Langsung ke konten utama

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik




 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra
Pendahuluan
administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu  New Public  Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga (Dwiyanto, 2005). Lalu bagaimana sebenarnya asal usul ide Good Governance itu muncul? Bagaimana pula Konsep yang menjadi landasan untuk terwujudnya  Good Governance? Kritik apa saja yang muncul akibat adanya Paradigma Good Governance?  Paper ini menjelaskan tentang pengertian good governance, kronologi munculnya ide good governance, dan kritik yang muncul terhadap good governance.
Sejarah Good Governance
Transformasi government sepanjang abad ke-20 pada awalnya ditandai dengan konsolidasi pemerintahan demokratis (democratic government) di dunia Barat. Tahap II berlangsung pada pasca Perang Dunia I, diindikasikan dengan semakin menguatnya peran pemerintah. Pemerintah mulai tampil dominan, yang melancarkan regulasi politik, redistribusi ekonomi dan kontrol yang kuat terhadap ruang-ruang politik dalam masyarakat. Peran negara pada tahap ini sangat dominan untuk membawa perubahan sosial dan pembangunan ekonomi. Tahap III, terjadi pada periodisasi  tahun 1960-an sampai 1970-an, yang menggeser perhatian ke pemerintah di negara-negara Dunia Ketiga. Periode tersebut merupakan perluasan proyek developmentalisme (modernisasi) yang dilakukan oleh dunia Barat di Dunia Ketiga, yang mulai melancarkan pendalaman kapitalisme. Pada periode tersebut,  pendalaman kapitalisme itu diikuti oleh kuatnya negara dan hadirnya rezim otoritarian di kawasan Asia, Amerika Latin dan Afrika. Modernisasi mampu mendorong pembangunan ekonomi dan birokrasi yang semakin rasional, partisipasi politik semakin meningkat, serta demokrasi semakin tumbuh berkembang merupakan asumsi perspektif Barat yang dimanifestasikan dalam tahapan tersebut. Perspektif ini kemudian gugur, karena pembangunan ekonomi di kawasan Asia dan Amerika Latin diikuti oleh meluasnya rezim otoritarian yang umumnya ditopang oleh aliansi antara militer, birokrasi sipil dan masyarakat bisnis internasional (Bourgon, 2011). Tahap IV, ditandai dengan krisis ekonomi dan finansial negara yang melanda dunia memasuki dekade 1980-an.  Krisis ekonomi juga dihadapi  Indonesia yang ditandai dengan anjloknya harga minyak tahun 1980-an. Krisis ekonomi pada periode 1980-an mendorong munculnya cara pandang baru terhadap pemerintah. Pemerintah dimaknai bukan sebagai solusi terhadap problem yang dihadapi, melainkan justru sebagai akar masalah krisis. Karena itu pada masa ini berkembang pesat “penyesuaian struktural”, yang lahir dalam bentuk deregulasi, debirokratisasi, privatisasi, pelayanan publik berorientasi pasar. Berkembangnya isu-isu baru ini menandai kemenangan pandangan neoliberal yang sejak lama menghendaki peran negara secara minimal, dan sekaligus kemenangan pasar dan swasta. Tahap V, adalah era 1990-an, dimana proyek demokratisasi (yang sudah dimulai dekade 1980-an) berkembang luas seantero jagad. Pada era ini muncul cara pandang baru terhadap pemerintahan, yang ditandai munculnya governance dan good governance. Perspektif yang berpusat pada government bergeser ke perspektif governance. Sejumlah lembaga donor seperti IMF dan World Bank dan para praktisi pembangunan internasional yang justru memulai mengembangkan gagasan governance dan juga good governance.
Pada Good Governance telah dibedakan antara Government dengan Governance. Government lebih bersifat tertutup dan tidak sukarela, tidak bisa melibatkan Cso dan swasta / privat dalam membentuk struktur keorganisasiannya. Hal ini berbeda dengan sifat governance yang lebih terbuka dalam struktur keorganisasian dan bersifat sukarela. Governance melibatkan seluruh aktor baik publik maupun privat dalam membentuk struktur sehingga  bisa menempatkan pengarutan kebijakan sesuai kebutuhan fungsionalitasnya . Governance dilihat dari dimensi konvensi interaksi  memiliki ciri konsultasi yang sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang kooperatif sehingga lebih banyak keterbukaan. Government justru sebaliknya, hierarki kewenangan yang telah menjadi mainset mengakibatkan pola hubungan banyak bersifat konflik dan penuh dengan kerahasiaan. Dilihat dari dimensi distribusi kekuasaan, governance memiliki ciri dominasi negara sangat rendah, lebih mempertimbangkan kepentingan masyarakat (publicness) dalam pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antaraktor. Dalam  government justru dominasi negara sangat kuat dan tidak ada keseimbangan yang terjadi antaraktor (Kurniawan, 2007 : 15-16).
Istilah governance sebenarnya sudah dikenal dalam literatur administrasi dan ilmu politik hampir 120-an tahun, terutama oleh Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi Presiden Amerika Serikat ke 27. Tetapi selama itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengetian yang sempit. Wacana tentang  governance yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai tata-pemerintahan, penyelenggaraan pemerintahan atau pengelolaan pemerintahan, tata-pamong baru muncul sekitar 20-an tahun belakangan, terutama setelah berbagai lembaga pembiayaan internasional menetapkan “good governance” sebagai persyaratan utama untuk setiap program bantuan mereka. Oleh para teoritisi dan praktisi administrasi negara Indonesia, istilah “good governance” telah diterjemahkan dalam berbagai istilah, misalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang amanah (Bintoro Tjokroamidjojo), tata-pemerintahan yang baik (UNDP), pengelolaan pemerintahan yang baik dan bertanggunjawab (LAN), dan ada juga yang mengartikan secara sempit sebagai pemerintahan yang bersih (clean government) (Efendi, 2005).
Konsep  Good Governance
Istilah good governance kembali mencuat pada tahun 1980an terutama dalam diskusi yang bertajuk pembangunan. Governance merupakan redefinisi dari mendesain dan menemukan kembali konsep administrasi publik   (Wrihatnolo & Riant, 2007 : 125). Good Governance mempunyai karakteristik sebagai berikut[1].
1. Participation, yaitu setiap warga memiliki suara dalam pembuatan keputusan, secara langsung maupun melalui intermediasi institusi legitimasi yang merepresentasikan kepentingannya.
2. Rule of law, yaitu adanya kepastian hukum tanpa pandang bulu, terutama menyangkut HAM
3. Transparency, dibangun atas kebebasan informasi
4. Responsiveness, setiap penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus melayani stakeholders
5. Consensus orientation, good governance  menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas.
6. Equity, publik memiliki kesempatan untuk menjaga kesejahteraan.
7. Effectiveness and efficiency, proses lembaga menghasilkan produk sesuai dengan yang digariskan dan menggunakan sumber daya yang dimiliki dengan efisien dan efektif.
8. Accountability, pembuat kebijakan/ keputusan baik pemerintah, swasta maupun civil society atau Civil social organization harus bertanggungjawab pada publik dan stakeholders (Tangkisan, 2005 : 115)
Di Indonesia, Isu Governance mulai memasuki arena perdebatan pembangunan yang didorong oleh adanya dinamika menuntut perubahan baik dari sisi pemerintah maupun warga. Dalam konsep Governance, pemerintah hanya menjadi salah satu aktor dan tidak selalu menjadi aktor yang paling menentukan. Peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan infrastruktur bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi stakeholder lainnya untuk ikut aktif dalam kebijakan (Sumarto, 2004). Bank Dunia, sebagai inisiatif pembangunan kapasitas kelembagaan (institutional capacity building) di bawah rubrik governance untuk pembangunan untuk pertama kalinya telah memperkenalkan konsep public sector management programs (program pengelolaan sektor publik) dalam rangka memperlakukan tata pemerintah yang lebih baik, khususnya dalam bingkai persyaratan bantuan pembangunan, yang dikenal dengan Structural Adjustment Program (SAP, atau program penyesuaian struktural)[2]. Good governance merupakan imposisi politik hukum yang dikendalikan negara-negara industrial dan agen internasional (lembaga maupun negara donor) dalam membentuk  tata pemerintahan yang berselerakan pasar. Konsep good governance menjadi sangat populer digunakan oleh badan-badan donor internasional, yang sekarang diakui sebagai manifesto politik baru. Analisis Bank Dunia menekankan pentingnya program governance, yang di dalamnya mencakup kebutuhan akan kepastian hukum, pers yang bebas, penghormatan pada HAM, dan keterlibatan warga negara dalam organisasi-organisasi nonprofit.
Bank Dunia memberi batasan good governance sebagai pelayanan publik yang efisien, sistem peradilan yang dapat diandalkan, serta pemerintahan yang bertanggungjawab pada publiknya. Komunitas Eropa merumuskan good governance sebagai pengelolaan kebijakan sosial ekonomi yang masuk akal, pengambilan keputusan yang demokratis, transparansi pemerintahan dan pertanggungjawaban finansial yang memadai, penciptaan lingkungan yang bershabat dengan pasar bagi pembangunan, langkah-langkah untuk memerangi korupsi, penghargaan terhadap aturan hukum, penghargaan terhadap HAM, kebebasan pers dan ekspresi. Sedangkan UNDP memberi pengertian good governance sebagai sebuah konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahan dalam sebuah negara. Menurut UNDP,  pola kepemerintahan dalam good governance menuntut keterlibatan seluruh elemen yang ada dalam masyarakat, dan segera bisa terwujud apabila pemerintah didekatkan dengan yang diperintah, yang berarti harus ada desentralisasi dan otonomi daerah. Dalam praktek penyelenggaraan good governance untuk menciptakan demokrasi dan pembaruan hukum tidak lepas dari support penuh Bank Dunia. Melalui laporan tahunannya Bank Dunia jelas sekali proposisinya dalam membangun wacana kebutuhan good governance sebagai prasyarat liberalisasi pasar. Oleh sebab itu, proyek-proyek good governance Bank Dunia, senantiasa ditujukan pada pendisiplinan ketatapemerintahan yang berorientasikan pada kesetiaan pada liberalisasi pasar. Pendapat mengatakan bahwa kemunculan proyek-proyek good governance yang cukup sukses adalah terkait dengan kesuksesan model negara pembangunan (developmental state model) diantara negara-negara industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia Tenggara. Pendapat lainnya mengatakan bahwa ideologi neo-liberal telah melesat setelah runtuhnya komunisme dan membangun suatu suasana kondusif bagi kelahiran governance sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena neo-liberalisme sebagai ideologi dominan mencoba untuk mengkonstruksi “politically lock-in neo-liberal reforms‟ (Gill,1997). Kedua pendapat di atas relevan dengan kemunculan good governance di Indonesia, karena selain kebijakan pemerintah yang berorientasikan pembangunan semasa Orde Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam mengguyurkan utang yang disertai persyaratan-persyaratan khusus melengkapi posisi Indonesia yang mengarah pada disain liberalisasi pasar. Tetapi bila dilihat secara lebih dalam, dengan menggunakan analisis hegemoni, nampak bahwa good governance bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan teknologi kekuasaan untuk menghasilkan mesin yang halus dan efektif bagi upaya liberalisasi pasar.
Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan good governance di Indonesia melalui tiga pintu yaitu CGI (Consultative Group on Indonesia), Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan (Partnership for Governance Reform)  dan  Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI, Bank Dunia memimpin dan memiliki kekuasaan untuk mengarahkan kebijakan ekonomi (termasuk desakan pembentukan peraturan perundang-undangan). Ini bisa terjadi karena pemerintah masih menerima kucuran utang sehingga prasyarat utang tersebut harus dipenuhi sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk Partnership for Governance Reform. Melalui forum kelompok multi-stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah terlibat aktif dalam membuat kerangka kerja hukum untuk pembangunan (legal framework for development), seperti pembaruan peradilan, pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga pemerintahan baru. Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru peran hegemoninya sebagai lembaga dana untuk proyek-proyek governance yang dijalankan oleh tidak saja lembaga negara, namun juga organisasi non-pemerintah. Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank Dunia dalam mempromosikan pengurangan kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah strategi pemberdayaan untuk kaum miskin melalui bantuan hukum. Bagi Bank Dunia, program-program pemberdayaan hukum dan penyadaran hukum merupakan hal penting dalam mewujudkan kaum miskin atas akses keadilan. Dalam urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia sendiri memilih menfokuskan lebih banyak pada proyek-proyek yang didanainya sendiri, semacam Proyek Pengembangan Kecamatan (PPK). Proyek pembaruan ketatapemerintahan melalui good governance cenderung untuk melayani promosi konsensus pembaruan sosial dan ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah yang disebut “market friendly human rights paradigm‟ (paradigma hak-hak asasi manusia yang ramah pasar). Muncul dan berperannya Justice for the Poor di Indonesia adalah tak terpisahkan dengan program global dalam Poverty Reduction Strategy Papers (PRSPs) yang disponsori Bank Dunia. PRSPs telah mengaplikasikan proyek dan mekanisme seragam untuk berbagai persoalan kemiskinan di negara ketiga. PRSPs yang demikian harus diimplementasikan sebagai kondisi untuk menerima pinjaman. Berdasarkan laporan Focus on Global South yang bermarkas di Bangkok, PRSPs telah mempromosikan kebijakan-kebijakan berorientasikan pasar, perdagangan terbuka, investasi, rezim finansial, dan mendesakkan peran negara agar menghapus perusahaan-perusahaan milik negara.(Wiratraman 2006: 67). Kritik Good Governance Berdasarkan uraian diatas dalam perjalanan penerapan good governance hampir banyak negara mengasumsikannya sebagai sebuah ideal type of governance, padahal konsep itu sendiri sebenarnya dirumuskan oleh banyak praktisi untuk kepentingan praktis-strategis dalam rangka membangun relasi negara-masyarakat-pasar yang baik dan sejajar.
Kritik Terhadap Good Governance

Beberapa ahli malah tidak setuju dengan konsep good governance, karena dinilai terlalu bermuatan nilai-nilai ideologis. Alternatif lainnya adalah democratic governance, yaitu suatu tata pemerintahan yang berasal dari (partisipasi), yang dikelola oleh rakyat (institusi demokrasi yang legitimate, akuntabel dan transparan), serta dimanfaatkan (responsif) untuk kepentingan masyarakat. Konseptualisasi ini secara substantif tidak berbeda jauh dengan konseptualisasi good governance, hanya saja tidak memasukkan dimensi pasar dalam governance. Term Good  dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa terkadang mendekati God, sehingga prasyarat yang ada dalam Good Governance harus dituruti atau diikuti. Kritik berikutnya dalam good governance, seolah-olah kehidupan hanya berkuatat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Hal tersebut tidak sesuai dengan realitas, karena secara kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, aktor tersebut adalah dunia internasional. Merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik dengan mengabaikan peran aktor internasional adalah pengingkaran atas realitas global. Dampak dari pengingkaran ini adalah banyaknya variable, yang sebenarnya sangat penting, tidak masuk kedalam hitungan. Variabel-variabel yang absen itu adalah kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good‟ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional.
Good governance memiliki dampak terhadap kerdilnya struktur negara berkembang, sementara kekuatan bisnis dunia makin membesar. Oleh karena itu, harus ada penyempurnaan dari paradigma Good governance, salah satunya yaitu konsep Sound Governance (SG) yang sekaligus membuka arah baru bagi pembangunan global ke depan (Ali Farazmand, 2004).  Pada  Implementasi  good governance,  aktor kunci yang berperan terfokus pada tiga aktor (pemerintah, pasar dan civil society), dan good governance selama ini lebih merestrukturisasi pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat secara domestik.  Sound Governance mempunyai pandangan yang jauh komprehensif dengan empat aktor, yaitu tiga aktor sudah diketahui dalam konsep good governance yaitu inklusifitas relasi politik antara negara, civil society, bisnis yang sifatnya domestik dan satu lagi aktor yaitu kekuatan internasional. Kekuatan internasional di sini mencakup korporasi global, organisasi dan perjanjian internasional. Dalam pandangan Sound Governance penerapan good governance kehidupannya hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif, sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan. Aktor tersebut adalah dunia internasional. Bahkan Ali Farazmand (2004) secara tegas menyebut good governance sebagai bagian dari praktik penyesuaian struktural (structural adjustment programs/SAPs).
Kritik lain juga muncul terhadap identitas dari good governance kata “good” menjadi sesuatu yang hegemonik, seragam dan juga dilakukan tak jarang dengan paksaan. Term “good‟ dalam good governance adalah westernized dan diabsolutkan sedemikian rupa. Pentingnya sistem pemerintahan yang berbasis pada budaya lokal sudah mulai banyak terabaikan dan ini juga terjadi di negara dunia ketiga termasuk di Indonesia. Hal ini terjadi karena kontruksi konsep birokrasi modern Weber yang mewarnai perkembangan ilmu administrasi publik termasuk lahirnya good governance adalah bentuk pembantaian budaya lokal dalam sistem pemerintahan. Sound governance muncul untuk memberikan peluang dalam menyelamatkan keragaman kebudayaan lokal dalam mewarnai konsep tata pemerintahan. Bentuk kritik lainnya dalam pelaksanaan good governance agar proses tata pemerintahan yang baik bisa terwujud maka ada satu jalan yaitu pemerintahan harus menjalankan prinsip-prinsip yang digariskan dalam good governance, seperti participation, rule of law, transparancy, responsiveness, consensus orientation, equity, effectiveness and efficiency, accountability, strategic vision. Sound Governance mempunyai pandangan berbeda dan lebih melihat pada proses menuju tercapainya tujuan, dari pada membahas perdebatan soal bagaimana (prinsip-prinsip) dilakukan untuk mencapai tujuan. Sound governance sebagai wacana baru yang muncul sebagai kritik good governance, yaitu memberikan makna term “Sound” menggantikan “Good” adalah dalam rangka penghormatan terhadap kenyataan keragaman (diversity). Untuk itu Sound governance dalam tata pemerintahan (pola relasi pemerintah, swasta dan masyarakat) membuka kembali peluang variable-variable yang absen yaitu kearifan lokal (akibat hegemoni terma “good‟ oleh Barat) dan dampak dari kekuatan kooptatif internasional. Sound Governance menyadarkan kembali bahwa konsep-konsep non-barat sebenarnya banyak yang applicable, khususnya di bidang pemerintahan. Selain itu Sound governance pada prinsipnya juga memberikan ruang bagi tradisi atau invoasi lokal tentang bagaimana negara dan pemerintahan harus ditata, sesuai dengan kebiasaan, budaya dan konteks lokal serta ukuran universal tentang kesejahteraan rakyat dan penghormatan hak dasar harus tetap ditegakkan.

Kesimpulan
Secara konseptual, seharusnya keberhasilan penerapan good governance di berbagai dunia itu diikuti dengan dampak kuatnya fundamental ekonomi rakyat.  Kenyataannya, relasi antara kesejahteraan rakyat dengan good governance dalam realitas deskiptif tidak sesuai dengan teori normatif . Makin merekatnya hubungan antara negara, bisnis dan rakyat ternyata tidak serta merta menguatkan fundamental ekonomi rakyat.  Salah satu kegagalan Good governance adalah tidak memasukkan arus globalisasi dalam pigura analisisnya. Dalam good governance seolah-olah kehidupan hanya berkutat pada interaksi antara pemerintah di negara tertentu, pelaku bisnis di negara tertentu dengan rakyat di negara tertentu pula. Tentulah ini sangat naif. Sebab kenyataan bahwa aktor yang sangat besar dan bekuasa di atas ketiga elemen tersebut tidak dimasukkan dalam hitungan, yaitu aktor tersebut adalah dunia internasional.

Daftar Pustaka
Bourgon, Jocelyne. 2011. A New Synthesis of Public Administration: Serving in the 21st Century. Canada : Mc Gill Queen University Press.  
Dwiyanto, Agus. 2004. “Reorientasi Administrasi Publik dari Government ke Governance”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisipol UGM. Yogyakarta, diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2554_pp11060003.pdf,  tanggal 26 juli 2013.
Dwiyanto, Agus. 2005.  Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Efendy, Sofyan. 2005. “Membangun Good Governance”. Diakses melalui situs  http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf, tanggal 28 juli 2013.
Farazmand, Ali. 2004. Sound Governance, Policy and Administrative Innovation. Westport : Praeger.
Gilpin, Robert. 2001. Global Political Economy: Understanding the International Economic Order. Princeton and Oxford: Princeton University Press.
Kurniawan, Teguh. 2007. “Pergeseran Paradigma Administrasi Publik : dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara Volume VII. Jakarta,  diakses melalui http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id, tanggal 25 juli 2013 pukul 15.00 WIB.
Muhammad,  Fadel. 2008. Reinventing Local Government : Pengalaman dari Daerah. Jakarta : Elekmedia Komputindo.
Pasolong, Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik. Bandung : Alfabeta.
Sedarmayati. 2008. Penerapan Good governance Dalam Organisasi kepemerintahan. Jurnal Manajemen Mutu.
Sumarto, Hetifah. 2009. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor.
Syakarni, Syahriani. 2009. Implementasi Otonomi Daerah dalam Perspektif: Good Governance. Yogyakarta: Pustaka pelajar.
T. Keban, Yeremias. 2008. Enam Dimensi Administrasi Publik : Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.
Tangkisan, Hessel Nogi. 2005.  Manajemen Publik. Jakarta : Grasindo.
Wiratraman, R. Herlambang Perdana. 2008. Good Governance dan Mitos Ketatanegaraan Neo-Liberal. Jurnal Bersatu, Edisi Mei 2008, Jakarta.
Wrihatnolo, Randi R. dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta : Elekmedia Komputindo.
Kumorotomo, Wahyudi , Ambar Widaningrum (ed.). 2010. Reformasi Aparatur negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta: Gava Media.



[1] Karakteristik ini dikemukakan oleh UNDP.
[2] Sebagai reaksi terhadap krisis ini, pada tahun 1985, Secretary of the Treasury Amerika Serikat, James Baker menginisiasi sebuah kebijakan baru, yaitu Structural Adjustment Program (SAP). Kebijakan ini berbasis pada Washington Consensus. Berdasarkan kebijkana baru ini, Negara-negara yang ingin mendapatkan utang dari IMF dan Bank Dunia harus berkomitmen untuk melakukan re-strukturisasi atau perubahan dalam kebijakan ekonomi makro mereka, yang berarah pada ekonomi yang berorientasi ekspor (export-led growth), mengurangi peranan Negara dalam ekonomi (good governance), dan privatisasi sector-sektor publik (Gilpin, 2001 :314).

Komentar

3win8 mengatakan…
Body sculpting treatments use non-invasive methods to destroy fat cells on the body. Learn more about 5 Best Body Sculpting Treatments. Body sculpting Body Sculpting VS Liposuction also known as body contouring is a non-surgical or minimally invasive treatment procedure that helps reduce weight by destroying fat cells. https://diseasesdata.com/5-best-body-sculpting-treatments/

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par