Langsung ke konten utama

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993




Indra Fibiona

Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta
Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152

ABSTRAK
Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan  tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa  dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere. Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di tahun 1989. SDSB mendapat penolakan dari tokoh masyarakat serta mahasiswa khususnya di DIY. Mendapat tekanan dari masyarakat, pemerintah membekukan SDSB di akhir tahun 1993. Walaupun telah resmi ditutup, masyarakat di DIY masih merindukan adanya lotere, hal tersebut memicu tumbuhnya lotere ilegal dan jenis judi lainnya.

Kata Kunci : judi, lotere, Yogyakarta

From TSSB to SDSB  : History of The " legal lottery " Contribution Prize in DIY , 1970s to 1993

ABSTRACT
The rising phenomenon of both legal and illegal lottery in the 1970s made a stigma that gambling was a tradition of Javanese society. The lottery had negative impacts on the economy , including the economy in the DIY. This study is a qualitative research which has theme of social history with snowball sampling research methods and triangulation (criticism) the primary source of widespread lottery events at that time . This research describes the operation of the lottery from TSSB to SDSB in Yogyakarta with a historical framework. The results showed that the funds from village were sucked into the Jakarta in many times for each lottery draw. The existence KSOB and TSSB also sparked a public outcry because of the negative impact. TSSB and KSOB metamorphosed into SDSB in 1989. SDSB were rejected from community leaders and students, especially in DIY. Under the pressure from public , government froze SDSB at the end of 1993. Although it has been officially closed , the people in DIY still longed for the lottery , it triggers the growth of illegal lotteries and other types of gambling.

Keyword : gambling, lottery,Yogyakarta




I. Pendahuluan
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1960an dikenal sebagai Propinsi termiskin ketiga di Indonesia. 47 % dari seluruh lahan pertanian yang ada di DIY di antaranya adalah lahan kering dan kurang subur.  Sementara itu, perpindahan masyarakat dari  desa yang tidak produktif ke Yogyakarta tidak mampu meningkatkan kesejahteraan, justru semakin memperburuk keadaan dan meningkatkan kemiskinan (Yossi, 2009). Dalam kondisi seperti itu, masyarakat miskin mudah terjebak dengan berbagai hal yang memberi mereka angan – angan mendapat kekayaan dengan mudah dan cepat, salah satunya melalui perjudian. Lotere pada waktu itu merupakan jenis judi yang  sangat marak dan menjadi primadona. Tingginya animo masyarakat terhadap lotere disebabkan oleh tingkat ekonomi yang rendah serta mulai banyaknya fragmentasi tanah. Masyarakat banyak yang mencari jalan pintas agar dapat mencapai kehidupan sejahtera dan tercukupi segala kebutuhan, salah satunya dengan membeli lotere.[1]
Lotere tumbuh subur dalam kehidupan masyarakat DIY secara umum. Lotere tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat miskin saja, melainkan hampir sebagian masyarakat ekonomi menengah ke atas yang fanatik terhadap lotere. Pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan sumbangan sosial berhadiah (SSB) tahun 1979 (Mandayun,et. all,1998 dalam Tempo : 23).  Lotere legal” tersebut bertahan hingga kemudian di tahun 1985 Pemerintah meresmikan lotere jenis “Porkas” Sepak Bola yang mulai diedarkan dan diperdagangkan di akhir tahun 1985 (Suara Merdeka. 19 Januari 2004). Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta terbuai dengan kehadiran undian kupon semacam TSSB yang berkembang hingga menjadi SDSB. Loterelotere tersebut menuai pertentangan dari masyarakat karena ekses negatif yang ditimbulkan. Puncaknya adalah demonstrasi anti-SDSB, salah satunya seperti yang dilakukan oleh 5.000 mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta (Wirodono, 1994 : 55-59). Sebagai dampak kuatnya desakan pencabutan izin penyelenggaraan lotere tersebut di tingkat nasional, pemerintah mencabut dan menghapus  izin pemberlakuan SDSB tahun 1993 (Suara Merdeka, 19 Januari 2004).
Permasalahan utama yang diangkat dalam penulisan ini  yaitu bagaimana kegiatan perjudian dan pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi dan kondisi sosial masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, ketika legalisasi judi lotere TSSB hingga SDSB diberlakukan secara nasional oleh pemerintah pada akhir 1970an hingga awal 1990an ? Dari permasalahan utama tersebut digali beberapa pertanyaan penelitian. Pertama, mengapa TSSB, Porkas, KSOB dan SDSB bisa diizinkan oleh pemerintah DIY dan diterima oleh masyarakat DIY? Padahal secara teoritis, semua bentuk perjudian mempunyai ekses negatif terhadap kehidupan sosial. Kemudian seperti apakah proses pengelolaan lotere tersebut di DIY? Pertanyaan selanjutnya mengarah kepada pelaku ataupun orang - orang yang terlibat yaitu  mengenai siapakah yang terlibat di dalam proses penyelenggaraan lotere tersebut? Apakah dampak yang ditimbulkan dari TSSB hingga SDSB bagi masyarakat DIY? Karena animo masyarakat terhadap kupon - kupon baik TSSB hingga SDSB makin menggila, timbul gerakan masyarakat menentang keberadaan lotere tersebut. Lalu Siapakah yang melakukan perlawanan terhadap ekses negatif yang ditimbulkan lotere tersebut dan dengan cara apakah mereka melakukan perlawanan? 
Alasan pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai lingkup spasial dalam penelitian ini, yaitu DIY merupakan daerah yang kondisi ekonomi yang secara makro rendah. Alasan kedua yaitu merujuk pada  karakteristik masyarakat DIY yang beragam, sehingga timbul pro dan kontra mewarnai peredaran TSSB, Porkas, KSOB dan SDSB. Selain itu, dalam kehidupan masyarakat DIY masih banyak yang menghubungkan hal-hal tahayul dan mistis tersebut dalam peruntungan mencari jalan pintas menuju kekayaan dengan TSSB,  Porkas, KSOB dan SDSB. Sebuah Kotamadya di DIY juga terkenal dengan sebutan kota pelajar, tetapi masyarakat justru banyak yang terjembab dalam masalah lotere TSSB dan Porkas (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember1987).
Penelitian ini berlatarkan waktu tahun 1979 hingga 1993. Tahun 1979 merupakan periode awal TSSB diselenggarakan, kemudian disusul Porkas pada tahun 1986 dan KSOB di tahun 1988 dengan tujuan awal sebagai media penghimpun dana masyarakat guna memajukan prestasi olah raga di Indonesia. Lotere tersebut bergejolak dari tahun ke tahun karena dipandang negatif oleh sebagian masyarakat (Hartoyo dalam Tempo, 1993:40). Sedangkan tahun 1993 merupakan periode penghapusan lotere SDSB oleh pemerintah pusat. Rentang waktu antara tahun 1979 hingga 1993 bukan waktu yang singkat,  pada  rentang waktu tersebut terjadi dinamika sosial akibat kebijakan pemerintah terkait dengan fenomena TSSB, Porkas, KSOB hingga SDSB yang menimbulkan stigma di masyarakat pada awal tahun 1990an. 
Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk mendokumentasikan realitas sosial ekonomi dalam lingkup teritorial Yogyakarta terutama terkait dengan kemunculan TSSB hingga SDSB. Selain itu, menguraikan penjelasan substansial mengenai fenomena lotere yang pernah merebak di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dianggap sebagai kebijakan pemiskinan rakyat serta  tidak memihak terhadap masyarakat miskin. Realitas sosial seperti ini sekarang hampir terlupakan oleh akademisi dan masyarakat umum sehingga perlu diangkat sekaligus di waktu yang akan datang, diharapkan mampu memberikan ide mengenai problem solving apabila ditemukan permasalahan serupa.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertemakan sejarah sosial. Pengumpulan data dilakukan dengan penelusuran sumber primer berupa arsip di Dinas Sosial, Biro Hukum DIY, Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa instansi lainnya. Kemudian melalui  Majalah Tempo dan Majalah Suara Muhammadiyah terbitan tahun 1980an hingga 1990an, yang intens memuat berita mengenai lotere legal sumbangan berhadiah. Sedangkan sumber data lainnya berasal dari beberapa surat kabar baik lokal maupun nasional. Penelusuran sumber sekunder melalui  studi pustaka berhasil menemukan lebih dari 20 karya penulisan yang memuat peristiwa mengenai TSSB hingga SDSB. Data yang diperoleh kemudian dikomparasikan dan diverifikasikan dengan sumber primer sehingga lebih selektif dalam mengusung eviden yang betul – betul kredibel.
 Pencarian sumber data lisan menggunakan metode interview atau oral history,  Subjeknya antara lain konsumen kupon TSSB, Porkas, KSOB dan SDSB, selain itu penjual atau distributor kupon – kupon tersebut. Wawancara dilakukan dengan metode snowball sampling. Data yang diperoleh melalui  interview diverifikasikan (masuk dalam tahapan kritik sumber) melalui komparasi sumber data lainnya seperti arsip, majalah, suratkabar yang telah didapat sehingga didapat eviden yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Penulisan ini tentu memiliki perbedaan dengan kajian lainnya yang pernah meneliti tentang perjudian khususnya lotere. Penelitian ini lebih fokus terhadap peristiwa  terkait Porkas, KSOB, TSSB dan SDSB dan hubungan timbal balik dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang dibatasi oleh lingkup spasial Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini  juga menjadi pelengkap proses perkembangan beberapa bentuk lotere yang telah dikaji dalam beberapa karya penulisan, terutama lotere legal di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam ranah sejarah.
Penelitian  ini mengkaji tentang sejarah “lotre legal” sumbangan  berhadiah, diawali dengan  paparan tentang kondisi masyarakat Yogyakarta tahun 1970an hingga tahun 1980an, kemudian adanya “budaya judi” di kalangan masyarakat Yogyakarta serta judi jenis lotere yang dulu pernah ada di Yogyakarta.  Dilanjutkan dengan perkembangan TSSB hingga SDSB di Yogyakarta, diawali dengan dikeluarkannya kebijakan TSSB, kemudian disusul dengan Porkas serta transformasinya menjadi KSOB, kemudian masuknya SDSB. Sebagai klimaks dari fenomena “lotere legal” adalah  Realitas yang timbul akibat dampak lotere tersebut dan kristalisasi dari permasalahan pokok terkait fenomena TSSB hingga SDSB.

II. Kondisi Sosial Ekonomi serta Perjudian Pada Masyarakat DIY  Tahun 1970an hingga 1980an
A. Pendidikan dan Mata Pencaharian Masyarakat tahun 1970an hingga 1980an
Data tahun 1960an hingga 1970an mengungkapkan 90% Penduduk DIY hanya berpendidikan tingkat SD atau sederajat (Humas Propinsi DIY, 1994:51). Menginjak tahun 1980an, jumlah sekolah tersebut cenderung tetap dengan peningkatan jumlah siswa walau tidak signifikan (Djumali, 1988:4c-6c). Hal ini menandakan sedikitnya antusiasme masyarakat terhadap pendidikan waktu itu.  Sebagian masyarakat beranggapan bahwa dalam mengolah lahan pertanian tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, hanya butuh ketrampilan dan keuletan.[2]
Usia nonproduktif semakin bertambah dari tahun ke tahun di hampir seluruh wilayah Yogyakarta. Data tahun 1976 hingga 1979 mengindikasikan peningkatan usia nonproduktif sebesar 680% (Kantor Pusat Data DIY,1979: 314). Menurut data Survey Penduduk Antarsensus (SUPAS) tahun 1976, dari 2.624.138 jiwa penduduk DIY, 1.142.888 jiwa diantaranya merupakan usia nonproduktif. Di pedesaan sendiri, lapangan pekerjaan tidak dapat mengimbangi jumlah tenaga kerja produktif. Hal ini menyebabkan meningkatnya urbanisasi ke kota dan menimbulkan masalah sosial dan ekonomi baru di perkotaan. Melalui pendekatan teori W. Peterson, maka dapat dikatakan  77 penduduk usia non produktif DIY ditanggung oleh 100 penduduk usia produktif (Nototaruno,1979 dalam Kedaulatan Rakyat). Generasi muda (usia produktif)  lebih memilih menjadi kaum urban di kota, bukan dilatarbelakangi oleh ketidakinginan bermatapencaharian petani, tetapi mereka menyadari bahwa kehidupan yang memadai tidak bisa tercapai karena semakin banyaknya fragmentasi tanah di desa (Soemardjan, 1980: 296-297).        
Masyarakat pedesaan di DIY  hingga tahun 1980an pada umumnya lebih berorientasi untuk bekerja sebagai petani. Pekerjaan seperti guru atau sejenisnya kurang mendapatkan perhatian. Namun mendekati tahun 1990, pekerjaan guru mulai dilirik generasi muda.[3]   Di tahun 1980an, generasi muda mulai sadar akan pentingnya pendidikan. Data tahun 1988 tercatat 102.476 mahasiswa yang berkuliah di 49 perguruan tinggi baik swasta maupun negeri di DIY (Djumali, 1988:4c-6c). Meningkatnya jumlah masyarakat yang ingin menikmati pendidikan di DIY mengakibatkan sarana pendidikan semakin berkembang (Dahlan, 1992:75-79). Semakin banyaknya fragmentasi tanah di desa serta terbukanya pemikiran masyarakat desa akan pendidikan melatarbelakangi keluarga tani yang berkecukupan di pedesaan menginginkan putra – putrinya  mengenyam pendidikan di perguruan tinggi (Sosiologi Pedesaan jilid1,1994 : 2).
Gunung Kidul merupakan daerah yang masyarakatnya minim dalam mengenyam jenjang pendidikan baik formal maupun informal. Sebagian besar penduduk Gunung Kidul hanya mengenyam pendidikan setingkat Sekolah Dasar hingga SMP (Darmaningtyas, 2002:359). Tingkat Pendidikan yang dicapai masyarakat pada waktu itu mengantarkan masyarakat pada pencapaian matapencaharian mereka.
B. Tingkat Kemiskinan dan Kriminalitas di DIY
Secara konseptual kemiskinan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu absolute deprivation (kemiskinan absolut) dan relative deprivation (kemiskinan relatif). Kemiskinan absolut menunjuk kepada mereka yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, bisa disebabkan karena cacat ataupun usia nonproduktif, sedangkan  kemiskinan relatif adalah mereka yang sudah bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi mereka tidak bisa memenuhi standar normal kehidupan yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Sukamto dalam Jurnal Studi Pembangunan, 2000:56). Di DIY, kemiskinan absolut (golongan usia nonproduktif) dari tahun ke tahun jumlahnya selalu meningkat.[4] Hal ini disebabkan oleh generasi penerus kaum produktif yang enggan memilih hidup di desa untuk menopang kesejahteraan usia non produktif, sehingga hidup dalam keterbatasan ekonomi.[5]
Daerah yang berpenduduk miskin di Yogyakarta di dominasi Kabupaten Gunung Kidul yang dibayangi kekeringan lahan dan minimnya lapangan pekerjaan, sedangkan masyarakat hidup dengan kebutuhan yang cukup banyak. Sikap pamer, suka dipuji menyebabkan sebagian masyarakat mengedepankan prestise daripada kebutuhan yang seharusnya lebih diprioritaskan (Darmaningtyas, 2002:370-373). Di tahun 1984 tercatat bahwa Yogyakarta menempati urutan ke 2, Propinsi termiskin di Indonesia dilihat dari rendahnya biaya hidup masyarakat Yogyakarta dibandingkan dengan 27 Propinsi di Indonesia (Djumali, 1988:4c-6c).
Rendahnya SDM sejalan dengan banyaknya kemiskinan secara teoritis berpengaruh pada besarnya tindak kriminalitas. Di DIY,  dari tahun 1970an tindak kriminalitas yang sering banyak dijumpai adalah tindak premanisme.[6] Kasus tindak premanisme tahun 1980an di Yogyakarta  terbilang cukup besar. Para preman di Yogyakarta sering melakukan pemerasan terhadap pemilik - pemilik toko (Siegel, 2002:150). Pada tahun 1983, Yogyakarta adalah wilayah yang pertama kali diterapkan Operasi Clurit atau dikenal dengan penembakan misterius (Petrus) (Kompas, 6 April 1983). Operasi Petrus yang digalang oleh Komandan Garnisun Yogyakarta menyisir preman dan copet di Yogyakarta untuk menciptakan pariwisata yang kondusif (Siegel, 2002:150).  Tindak premanisme di Yogyakarta memiliki kaitan erat dengan perjudian yang marak di tahun 1980an (Novan, 2008). Selain tindak premanisme yaitu tindak pencurian yang kian marak seiring berkembangnya pariwisata Yogyakarta. Tingkat kriminalitas di daerah pariwisata Yogyakarta tidak dapat ditekan dengan maksimal terutama tindak pencurian terhadap wisatawan asing (Singarimbun 2003:38,42-46). Tindak kriminalitas lainnya yaitu perjudian yang marak di kalangan masyarakat sejak tahun 1950an hingga 1980 DIY, terutama dalam golongan masyarakat marginal. Perjudian semakin dikecilkan ruang geraknya oleh aparat penegak hukum. Masyarakat kemudian mengorganisir perjudian-perjudian gelap dengan bantuan preman. Inilah mengapa tindak premanisme menjamur sebagai dampak perjudian pada waktu itu.[7]



C. “Tradisi Judi” Dalam Kehidupan Masyarakat  Daerah Istimewa Yogyakarta  
Masyarakat Jawa, khususnya DIY telah mengenal perjudian sejak lama. Bukti bahwa masyarakat jawa telah mengenal judi dapat dilihat pada lukisan relief di Candi Borobudur (Haryanto, 2003:6). Namun sebetulnya judi dalam masyarakat Jawa digolongkan dalam aktivitas 5-M (mo limo) yang harus dijauhi. Mo limo tersebut antara lain minum-minuman keras atau mabuk madon atau main perempuan, maling atau mencuri, madat atau candu narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang) serta main atau judi (bebotohan) (Kartini, 1983:78). Pada masa penjajahan Belanda pun terdapat larangan untuk berjudi, seperti yang ditegaskan pada Staatsblad (Lembaran Negara) Tahun 1912 Nomor 230, Staatsblad Tahun 1935 Nomor 526. Pada intinya, kedua Staatsblad tersebut melarang segala bentuk perjudian baik yang menggunakan perantara bandar ataupun tidak. Walaupun ada larangan untuk berjudi, masyarakat tidak memperdulikan hal tersebut. Bahkan maraknya perjudian pada waktu itu didokumentasikan dan digunakan sebagai kartu pos yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda.[8]
Orang Jawa khususnya masyarakat Yogyakarta sendiri banyak yang melakukan perjudian dengan berbagai ragam dan jenis perjudian, walaupun terdapat norma yang mengikat orang Jawa untuk tidak melakukan bebotohan atau judi . Jenis – jenis perjudian yang sering dilakukan masyarakat di Yogyakarta di antaranya seperti adu jago atau sabung ayam, cliwik atau judi dadu, botoh Neker atau judi kelereng,  gaple atau teplek (Domino), ceki atau kartu Remi, ngépul atau bertaruh skor bola dengan kertas yang digulung. kemudian beberapa judi lotere, baik yang resmi ataupun tidak resmi.[9]    

 Sebagian masyarakat Yogyakarta tak bisa lepas dari perkara mo limo terutama moh main (tidak berjudi). Sebagian tidak mau meninggalkan berjudi karena sudah terbiasa melakukannya dan menjadi candu. Tindak perjudian banyak dijumpai hampir di seluruh wilayah Yogyakarta dengan perlindungan dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik itu dari preman bahkan dari aparat penegak hukum sendiri.[10]
Fenomena maraknya judi waktu itu dibuktikan dengan maraknya judi teplek di  Desa Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta. Bahkan di malam haripun ketika diadakan Siskamling (sistem keamanan keliling) warga terkadang berjudi untuk menghilangkan penat.[11] Selain judi teplek, banyak juga ditemukan judi sabung ayam seperti di seputaran Kota Yogyakarta dan daerah Sleman terletak dekat dengan Jalan Gejayan. Jenis judi ini banyak  ditemukan di berbagai wilayah di DIY pada tahun 1960an hingga tahun 1980an.[12]
Acara pernikahan  pun terkadang digunakan untuk ajang bermain judi kartu atau ceki (Remi) serta teplek atau domino. Jika tawaran pertaruhan dari salah seorang penjudi menarik, penjudi yang terlarut dalam perjudian biasanya melanjutkan kegiatan perjudian walau acara pernikahan telah usai. Pertaruhan judi jumlahnya sangat besar, senilai sebidang tanah. Dalam sebuah hajatan bisa diramaikan oleh 8 kelompok penjudi dan berlangsung selama 3 hari berturut-turut (Soekardjo, 2008:286).  Acara selamatan paska melahirkan juga biasanya dijadikan ajang botohan atau taruhan judi kartu remi. Kegiatan tersebut berlangsung hingga pagi, kemudian dilanjutkan dengan aktivitas seperti biasanya, yaitu mencari nafkah.[13]
Acara  berkabung terkadang dijadikan sebagai ajang berjudi. Masyarakat percaya bahwa arwah orang yang telah meninggal akan kembali menjumpai keluarga apabila jenazah meninggal dalam kurun satu hari. Para tetangga yang turut datang di rumah warga yang sedang berkabung tidak tidur semalam suntuk agar arwah orang yang meninggal tidak datang untuk mengganggu. Pada saat menunggui arwah tersebut digunakan untuk kegiatan berjudi agar tidak suntuk. Kegiatan judi  tersebut harus mendapat izin dari keluarga yang berkabung.[14]  
Pada tahun 1970an judi ngépul sangat marak. judi ngépul yaitu judi yang cara bermainnya mengambil secara acak gulungan kertas kecil yang berisikan angka. Angka tersebut dicocokkan dengan hasil pertandingan sepak bola  yang berlangsung di stadion.[15] Pada saat kunjungan Ratu Juliana ke Gedung Agung tahun 1971 sebagian warga berjudi teplek atau domino. Tidak hanya warga sipil yang berjudi, beberapa oknum Polisi Militer pun ikut meramaikan judi tersebut.[16] 
Bentuk perjudian lainnya yang juga banyak dijumpai di wilayah Yogyakarta adalah judi cliwik atau judi dadu. Di Tahun 1980an misalnya, Shopping Center Serba Guna digunakan sebagai arena judi cliwik atau judi dadu di bawah naungan Pemuda Pancasila.[17]  Dari beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa perjudian masyarakat Yogyakarta dilakukan dengan frekuensi yang cukup padat, walaupun terdapat larangan dari pemerintah terkait tindak perjudian. Para penjudi didominasi oleh masyarakat DIY yang berumur paruh baya (Koeswinarno,2000:84).  Hal tersebut yang menjadi stigma bahwa judi merupakan bagian dari tradisi masyarakat DIY. 


D. Judi Lotere Di Daerah Istimewa Yogyakarta
Beragam Judi jenis kupon atau yang lebih dikenal dengan lotere banyak dijumpai pada tahun 1940an  hingga 1970an. Lotere hadir di DIY dengan beragam wajah, salah satu yang terkenal pada waktu itu adalah jaw jie liang yang berpusat di Jakarta.  Pengundian dilakukan setiap satu ataupun dua pekan sekali. Permainan lotere lainnya yaitu Undian Uang Besar yang diadakan setiap dua pekan. Pengumuman pemenang lotere yang beruntung mendapatkan hadiah dimuat di surat kabar Shin Po (Harian Shin Po, 29 Mei 1956).

Judi lotere marak  kembali  di DIY terutama di Tahun 1960an, saat pemerintah mengeluarkan kebijakan lotere yang dikelola secara legal untuk dana pembangunan yang dikenal masyarakat Yogyakarta, yaitu national lottery atau nalo. Niels Mulder pernah menyatakan bahwa judi merupakan budaya orang jawa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat yang antusias terhadap kupon nalo kala itu. Hal tersebut dibantah Karkono Partokusumo (staf lembaga javanologi Yayasan Panunggala Yogyakarta) yang menyatakan bahwa Niels Mulder melihatnya tidak secara menyeluruh sehingga timbul interpretasi judi di kalangan masyarakat Jawa sudah menjadi tradisi (Widada dalam Harian Bernas, 16 Maret 1986). Kebiasaan judi yang diungkapkan Niels Mulder adalah masa – masa ketika demam nalo (national lottery) melanda Yogyakarta. Banyak ditemukan warung – warung baik yang resmi maupun tidak resmi yang menjual nalo pada waktu itu. Kehadiran nalo juga disertai dengan perilaku masyarakat yang mendatangi para peramal untuk meramal pertaruhan nalo. Selain itu juga kerap ditemukan anggota aliran kebatinan meminta ramalan pada pemimpin kebatinan.[18] nalo pada waktu itu merupakan bisnis yang menggiurkan bagi bandar, pengusaha dan jasa peramal di Yogyakarta.[19]  
Kupon nalo dijual dengan harga Rp.100,00 dan diedarkan dengan menggunakan izin dari Dinas Sosial. Begitu juga dengan toto totalisator atau lotto yang banyak beredar di Yogyakarta. Judi ini legal dan pendistribusiannya diawasi oleh pemerintah. toto totalisator didistribusikan di Kota Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Sleman.[20] Penyelenggara nalo di Yogyakarta adalah Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan nama Onggo Hartono (Aly dan Albanik, 2004 : 332).  Kedua judi kupon tersebut banyak dijual di areal THR (Taman Hiburan Rakyat)  Yogyakarta yang sekarang berubah nama menjadi Purawisata.[21] Beberapa bandar bekerjasama dengan oknum aparat penegak hukum, sehingga jenis perjudian ini bisa bertahan lama.[22] Tahun 1968, kedua jenis lotere ini mendapat protes dari organisasi Islam Muhammadiyah karena dianggap bertentangan dengan agama (Suara Muhammadiyah, No.23/76/1991 :17).
Jenis lain judi kupon lainnya yang banyak dijumpai di tahun 1970an yaitu lotere dana harapan, lotere daerah atau dikenal dengan loda dan hwa hwe. Kedua jenis lotere tersebut memiliki izin beredar dari pemerintah DIY. Lotere dana harapan disebut juga undian harapan dan dikelola oleh pemerintah pusat di bawah Yayasan Rehabilitasi Sosial yang berubah nama tahun 1978 menjadi Badan Usaha Undian Harapan (http://tempointeraktif.com). Hasil penarikan lotere undian harapan digunakan untuk membiayai penannggulangan masalah sosial.[23] Sedangkan loda dan hwa hwe dikelola oleh pemerintah Kota Yogyakarta.[24]
Penyelenggaraan Loda di DIY diberhentikan di tahun 1974, di awali dengan ditutupnya Taman Hiburan Rakyat (tempat pengundian loda) dan pemberhentian Proyek Kassa tahun 1973 (Harian Masa Kini, 5 Mei 1973).[25] Sedangkan lotere undian harapan dibekukan pada tahun 1978 oleh pemerintah pusat karena menuai protes dari masyarakat (Hartoyo dalam Tempo,1993 : 40).  Selain lotere resmi,, judi buntut juga booming dalam kehidupan masyarakat di DIY Tahun 1960an hingga 1980an. Penjualan judi buntut banyak dijumpai sekitar daerah THR. Sisanya tersebar di Jalan Gejayan, Jalan Kaliurang. Pembelinya pun beragam, dari buruh, tukang becak bahkan mahasiswa.[26]
Melihat dampak lotere yang sangat besar terhadap masyarakat, pemerintah melarang segala jenis perjudian dan lotere dengan mengeluarkan Kepres RI No  47 tahun 1973 tentang penertiban perjudian dan UU No. 7 Tahun 1974 .  Dalam UU No. 7 tahn 1974  dijelaskan bahwa ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi muda. Meskipun hasil perjudian yang diperoleh pemerintah baik pusat maupun daerah dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, ekses negatifnya lebih besar daripada ekses positifnya (Anggraini, 2008).[27] Pada tanggal 9 Febuari tahun 1976, presiden menginstruksikan kepada menteri sosial untuk menghentikan segala jenis toto atau undian.[28]  Walaupun pemerintah mengeluarkan larangan perjudian, perjudian ilegal justru semakin marak. Undian liar atau kupon putihan banyak dijumpai dan susah ditertibkan. Hingga Tahun 1979, jenis  undian liar merebak, diedarkan secara sembunyi - sembunyi dan terstruktur melalui beberapa agen di DIY (Kedaulatan Rakyat, 24 Febuari 1979). Pemerintah DIY mengalami kesulitan dalam menangani masalah perjudian gelap. Banyak oknum aparat yang mengeruk keuntungan perjudian jenis lotere di DIY. Oknum tersebut biasanya membiarkan perjudian di awal pekan. Menjelang akhir pekan, para bandar mendapatkan uang banyak hasil dari penarikan. Mereka bertindak menertibkan perjudian dengan menangkap bandar judi untuk dimintai sejumlah uang hasil dari penarikan. Para bandar juga terkadang lebih memilih untuk mendekam di penjara apabila tidak mampu membayar pemenang lotere yang berhasil menebak tepat. Fenomena tersebut dianggap lazim dan banyak dijumpai di tahun 1970an (Mulder, 2001:52).
III. Penyelenggaraan TSSB hingga SDSB di DaErah Istimewa Yogyakarta
  Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta sebetulnya masih trauma terhadap bentuk perjudian jenis lotere. Antusiasme masyarakat belum sepenuhnya terlihat menyambut diberlakukannya TSSB, disebabkan oleh tingginya  intensitas penegak hukum memberantas jenis judi lotere yang ilegal (judi putihan) waktu itu. Adanya kebijakan pemerintah DIY yang melarang segala tindak perjudian dengan dikeluarkannya UU no.7 tahun 1974 mengakibatkan masyarakat takut dan enggan, sehingga sosialisasi diselenggarakannya Sumbangan Sosial Berhadiah belum bisa diterima oleh masyarakat Yogyakarta. Baru seteleh dikeluarkan kebijakan Porkas, sedikit demi sedikit antusiasme masyarakat mulai bergeliat.[29]
Pendistribusian TSSB berdasarkan SK Menteri Sosial nomor 29/BSS 1988, memberikan wewenang penentuan wilayah peredaran TSSB pada gubernur (Rasyid dalam Tempo. 23 Juli 1988 : 22). TSSB didistribusikan di tempat yang strategis dan terbuka untuk umum. Distribusi TSSB diawasi ketat oleh Pemerintah DIY.[30] Pendistribusian TSSB di wilayah DIY diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor : 69 / KPTS / 1988 tentang penetapan wilayah administrasi peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).[31] Di daerah Sleman, penjualan TSSB tersebar di sepanjang Jalan Kaliurang, Jalan Gejayan, dan Jalan Magelang. Rata – rata penjual yang berada di sepanjang jalan protokol adalah penjual yang memiliki izin resmi atau disebut juga agen resmi TSSB.[32] Konsumen TSSB sangat  beragam, mulai dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah terutama petani, pedagang, buruh, tukang becak menjadi konsumen tetap TSSB.  Beberapa oknum pegawai negeri juga turut jadi bagian konsumen TSSB. Biasanya mereka menjual jatah beras satu tahun untuk membeli nomor TSSB.[33]  
Di tahun 1986, para penggemar Porkas dan TSSB menghabiskan hari – harinya untuk memprediksi dengan mengotak - atik kode ramalan Porkas dan TSSB. Alasan yang membuat mereka tertarik pada umumnya adalah jumlah hadiah utama yang menggiurkan.[34] Porkas terdiri dari dua kupon, yaitu kupon putih dan kupon hijau. Kupon hijau merupakan kupon terlaris di DIY karena harganya yang terjangkau bagi kalangan menengah bawah (Wirodono, dalam Kedaulatan Rakyat. 8 September 1987). Sedangkan untuk kupon TSSB yang paling laku terjual adalah kupon dengan harga Rp.300,00. Porkas dan TSSB didistribusikan melalui agen-agen yang tersebar di hampir seluruh wilayah kabupaten. Tiap agen harus memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah daerah melalui Dinas Sosial. Mengurus izin penjualan atau agen Porkas dan TSSB tidaklah mudah, karena dari pihak Dinas Sosial harus melakukan survei terhadap lingkungan yang tidak boleh dekat dengan peribadatan, sekolah untuk menghindari ekses negatif.[35] Jika agen - agen besar, pengajuan izin untuk mengedarkan TSSB dan Porkas ditujukan kepada Dinas Sosial Propinsi atas persetujuan gubernur. Agen besar TSSB dan Porkas yang mendapatkan izin resmi dari Dinas Sosial dan gubernur berada di Daerah Tingkat II dalam mengedarkan kupon tersebut.[36] Beberapa agen yang terletak di Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta di antaranya di Jalan Mayor Suryotomo No. 2-D, Toko Semeru di  Jalan Gejayan No.19A, serta beberapa agen lainnya di Jalan Mas Suharto, Jalan Kaliurang serta Jalan Magelang KM 6.[37]
Pengumuman hasil undian Porkas di Yogyakarta dicantumkan melalui surat kabar Kedaulatan Rakyat, atau bisa melihat di papan pengumuman yang terletak di depan Gedung Redaksi Kedaulatan Rakyat, Jalan Mangkubumi yang mulai dipampang sejak pukul 23.00 WIB. Para pengecer Porkas biasanya datang untuk melihat hasil pengundian, kemudian hasil tersebut mereka umumkan di lapak ataupun kios mereka.[38] Pengelola Porkas untuk wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dipercayakan kepada PT Bola Mas Sukses Sejati (Hendridewanto, dalam Tempo, 20 Juni 1987 :18). Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta melayangkan surat kepada Gubernur DIY tanggal 17 Nopember 1987 mengenai penentuan 75 lokasi penjualan kupon Porkas di wilayah Kota Yogyakarta agar mudah dikontrol. Hal ini ditanggapi positif untuk mengurangi ekses negatif akibat penjualan Porkas yang tidak terpantau, mengingat penjualan Porkas sudah masuk ke pelosok dan merambah remaja serta pelajar (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember 1987).
Ketika Porkas ditutup dan diganti menjadi KSOB, lembaran lembaran KSOB pun banyak diburu oleh para penggemar lotere di Yogyakarta. Namun ketenaran Porkas dan KSOB tidak secemerlang TSSB yang berhasil meraup untung lebih banyak. Distribusi KSOB di wilayah DIY mengacu pada SK Menteri Sosial nomor 29/BSS 1988, yang kemudian pada pelaksanaannya, wilayah peredaran KSOB dikontrol melalui Surat Keputusan Gubernur DIY, Nomor : 69 / KPTS / 1988 tentang penetapan wilayah administrasi peredaran KSOB dan  TSSB.  Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan wilayah administrasi peredaran KSOB yang meliputi Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta, Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman, Daerah Tingkat II Kabupaten Kulonprogo, Daerah Tingkat II Kabupaten Bantul serta Daerah Tingkat II Kabupaten Gunung Kidul.[39] Para penjual KSOB harus memiliki izin dari Dinas Sosial serta pemerintah daerah untuk memudahkan pengawasan terhadap kupon agar tidak menimbulkan ekses negatif.[40] Adapun pengajuan izin penjualan kupon KSOB maupun TSSB dilakukan dengan menghubungi agen resmi KSOB dan TSSB dengan membawa fotokopi kartu keluarga, KTP, dan tiga buah pasfoto. Kemudian mengisi formulir yang menjelaskan nama dan alamat pemohon dan keterangan apakah tinggal di rumah kontrakan atau milik sendiri. Setelah seminggu setelah permohonan diajukan, kiriman kupon TSSB dan KSOB dapat langsung dijual (Nasution, Dalam Tempo, 18 Juli 1988: 22). Berbeda dengan penjual kupon KSOB ataupun TSSB yang kebanyakan tidak resmi, para penjual tersebut membeli beberapa bendel kupon dari agen resmi KSOB dan TSSB kemudian dijual kembali tanpa mendapatkan izin dari pemerintah. Biasanya penjual kupon TSSB dan KSOB non resmi berjualan hingga ke pelosok tanpa mengindahkan larangan pemerintah untuk berjualan walau dekat dengan tempat ibadah maupun sekolah.[41] 
Hampir di tiap desa ditemukan banyak penjual KSOB dan TSSB walau tidak memiliki izin resmi dari Dinas Sosial Yogyakarta.[42] Bahkan warung – warung penjual jamu dan bahan kebutuhan pokok di desa – desa yang tersebar di DIY mengubah kiosnya menjadi warung KSOB dan TSSB (Nasution, Dalam Tempo 18 Juli 1988 : 23). Pedagang kupon tersebut kebanyakan tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. Para pedagang tidak memandang resiko yang akan mereka terima apabila diketahui aparat menjual kupon TSSB dan KSOB tanpa izin dari Dinas Sosial (Bernas, 3 januari 1989). Pemerintah DIY  kemudian melakukan usaha penertiban distribusi kupon TSSB dan KSOB dengan mewajibkan agen – agen  yang belum memiliki izin untuk mengajukan permohonan izin usaha untuk penjualan TSSB dan KSOB, melalui Pemda di setiap kabupaten. Seperti yang dilakukan Pemerintah Kotamadya Yogyakarta, yang mengeluarkan Surat Keputusan Walikodya Yogyakarta No. 057/KD/1988 tentang penertiban dan  pengawasan izin lokasi peredaran KSOB dan TSSB di Kodya Dati II Yogyakarta, kemudian Keputusan Walikodya Yogyakarta No.076/KD/1988 tentang penertiban dan pengawasan izin lokasi penjualan atau peredaran KSOB dan TSSB, Keputusan Walikodya Yogyakarta No. 084/KD/1988 tentang pemberian izin lokasi penjualan TSSB dan KSOB dalam bentuk izin tempat usaha di Kodya Yogyakarta (Bernas, 3 januari 1989). Namun pada pelaksanaannya belem sepenuhnya terkontrol dengan baik.
Di Kulonprogo, juga terjadi hal yang sama. Peredaran KSOB dan TSSB oleh agen agen tidak resmi merambah hingga daerah daerah yang dilarang oleh pemerintah. Lemahnya pengawasan terhadap penjualan kupon baik TSSB maupun KSOB menyebabkan kupon ini mudah dijumpai di banyak tempat. Bahkan ada yang menjual kupon TSSB maupun KSOB secara door to door (dari pintu ke pintu). Pemerintah Kulonprogo kemudian melakukan penertiban dan pengawasan dengan mewajibkan para penjual KSOB dan TSSB untuk melaporkan penjualannya dan juga membuat regulasi mengenai perizinan penjualan kupon tersebut (Kedaulatan Rakyat, 19 April 1988).
Penjualan sistem door to door TSSB serta KSOB juga terjadi di wilayah Kota Yogyakarta. Anggota fraksi Persatuan Pembangunan mengalaminya sendiri, di sela – sela rapat komisi masuk seseorang tidak dikenal menawarkan lembaran – lembaran TSSB dan KSOB (Kedaulatan Rakyat, 24 Agustus 1988). Walau terdapat beberapa larangan untuk tidak menjual TSSB dan KSOB ditempat – tempat tertentu, penjual tidak menghiraukan himbauan tersebut. Pemerintah menindak tegas penjual yang melanggar izin distribusi kupon TSSB dengan sanksi penertiban, selain itu juga sanksi pidana. Aparat penegak hukum melakukan operasi Tipiring (Tindak Pidana Ringan) guna menjaring penjual lotere legal yang tidak memiliki izin, seperti yang terjadi di Daerah Tingkat II Bantul. Jumlah penjual TSSB dan KSOB yang tidak berizin sebanyak 13 Orang tersebar di beberapa kecamatan perkaranya diseret ke meja hijau di tahun 1988 (Bernas, 11 Januari 1989).      
Pengawasan juga dilakukan terhadap siswa – siswa sekolah oleh Kanwil Depdikbud DIY, yaitu dengan mengeluarkan surat edaran yang ditujukan untuk kepala SMTP dan SMTA seluruh DIY. Kanwil Depdikbud DIY menghimbau kepada seluruh kepala SMTP dan SMTA untuk melakukan pengawasan terhadap anak didik mereka agar tidak larut dalam KSOB dan TSSB (Kedaulatan Rakyat, 23 Febuari 1988).  walaupun telah mendapat himbauan untuk melakukan pengawasan terhadap pelajar, tetap saja banyak oknum pelajar membeli kupon KSOB. Mereka membeli kupon KSOB maupun TSSB secara sembunyi – sembunyi di beberapa penjual kupon yang tidak resmi.[43]
Ketika KSOB dan TSSB diubah menjadi  SDSB, Pengawasan pun diperketat. Hal ini  bertujuan untuk memperkecil jumlah lokasi agen SDSB (Bernas, 3 januari 1989). Pada awal diberlakukan SDSB di DIY, belum begitu ramai oleh pembeli walaupun izin pendistribusian sudah diberikan kepada agen – agen di Propinsi DIY khususnya di Kota Yogyakarta.  Agen – agen yang mendistribusikan SDSB sebagian besar merupakan agen yang mendistribusikan KSOB maupun TSSB tahun 1988 (Kedaulatan Rakyat, 3 Januari 1989).
Pemasok utama Lembaran SDSB atau dikenal dengan BSDSB (Bukti Sumbangan Sosial Berhadiah) wilayah DIY adalah PT Nursada. Setiap minggu, PT Nursada menargetkan 2,8 juta lembaran SDSB laku terjual untuk Wilayah Jawa Tengah dan DIY. Pada 5 putaran pertama, target penjualan tidak mudah tercapai karena menurut humas PT Nursada, peredaran kupon SDSB di beberapa wilayah tersendat – sendat(Tempo, 4 Febuari 1989 : 21).
Wilayah distribusi BSDSB (Bukti Sumbangan Sosial Berhadiah) diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS / 1988. Surat keputusan tersebut merujuk pada Keputusan Menteri Sosial RI No. 21 / BSS / XII / 1988 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah serta  Keputusan Menteri Sosial RI No. BSS 16 - 11 / 88 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah kepada Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial di Jakarta.[44]
 Sedangkan agen - agen resmi yang telah terdaftar dalam wilayah Kotamadya Yogyakarta diatur dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 36/KPTS/1989. Keputusan yang ditetapkan dalam SK tersebut antara lain menunjuk tempat – tempat agen penjualan atau loket Bukti SDSB di beberapa tempat sesuai dengan izin. SK ini mulai diberlakukan sejak tanggal 19 Febuari 1989.[45]
Di Daerah Tingkat II Bantul, tercatat 19 penjual kupon SDSB yang tersebar di beberapa kecamatan, kecuali wilayah kecamatan Dlinggo, Pleret, dan Pajangan (Bernas, 11 Januari 1989). Walaupun beberapa kecamatan tidak terdapat loket SDSB, warganya tidak mau ketinggalan untuk membeli kupon SDSB di luar wilayahnya. Tidak ayal mereka juga ada yang menjualnya kembali secara sembunyi - sembunyi.[46] Di Gunung Kidul, ruang peredaran SDSB juga dipersempit agar tidak merambah wilayah krisis air. Setidaknya terdapat 30 agen resmi SDSB yang beroperasi di Gunung Kidul yang lokasi penjualannya telah dipertimbangkan dan mendapat izin (Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 1989). Wilayah  yang mendapat larangan untuk berjualan kupon SDSB di Dati II Gunung Kidul yaitu kecamatan Rongkop, Paliyan, Panggang, Tepus. Alasan pelarangan berjualan kupon SDSB di wilayah tersebut karena termasuk ke dalam wilayah keterbatasan ekonomi (Kedaulatan Rakyat, 9 Desember 1989). 
Jumlah agen resmi di Daerah Tingkat II Kulonprogo tercatat sebanyak 19 buah yang tersebar hampir di semua kecamatan. Dari 19 penjual SDSB yang telah mengajukan izin, hanya 10 penjual saja yang mengambil surat perizinan tersebut dari Pemda di tahun 1991. Pada perpanjangan izin penjualan SDSB di tahun selanjutnya akan dikenakan biaya tambahan. Terdapat beberapa penjual SDSB di Kulonprogo yang dicabut perizinannya, seperti yang terjadi di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo. Lokasi agen SDSB berada dekat dengan masjid. Sebetulnya agen SDSB tersebut hanya ingin mengedarkan kupon di kawasan yang ramai, mengingat masjid tersebut berdekatan dengan sebuah pasar di Sentolo. Hal tersebut diakui juga oleh humas perwakilan yayasan yang mewakili SDSB di wilayah Kulonprogo dan segera diambil tindakan (Bernas, 20 Desember 1991).
Para pembeli kupon SDSB terdiri dari beberapa kalangan seperti halnya Porkas, KSOB maupun TSSB. Bila dibandingkan pada saat KSOB dan TSSB diberlakukan, SDSB jauh lebih ramai tingkat penjualannya di hampir seluruh wilayah DIY. Mereka yang membeli kupon SDSB  mulai dari masyarakat ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Baik petani, pedagang, buruh, tukang becak bahkan beberapa oknum pegawai negeri, pelajar serta mahasiswa juga turut jadi pecandu SDSB.[47]
Agen – Agen penjual SDSB yang mempunyai banyak pelanggan diantaranya di Jalan Brigjen Katamso, Jalan Hayam wuruk, Jalan Mayor Suryotomo (Kedaulatan Rakyat, 5 Januari 1989). Rata – rata agen resmi SDSB adalah agen resmi KSOB maupun TSSB yang mengajukan perpanjangan izin. Ketika KSOB dan TSSB dihapus dan diganti dengan SDSB, izin penjualan KSOB dan TSSB yang telah diajukan dialihkan menjadi izin usaha penjualan SDSB.[48]
Para pecandu SDSB terkadang mengumpulkan iuran untuk membeli kupon SDSB yang berisi 10 tebakan nomor. Mereka juga berusaha mencari pinjaman uang sebesar Rp50.000,00 hingga Rp.100.000,00 dengan menjaminkan surat tanda nomor kendaraan bermotor untuk membeli kupon walau keadaan ekonominya sedang kacau. Jumlah tersebut sangatlah besar, mengingat pendapatan masyarakat kecil pada waktu itu hanya berkisar Rp.900,00 hingga Rp.5000,00 Mereka berani mengambil resiko demi memenangkan undian SDSB dan judi putihan.[49]  
SDSB menjadi sangat populer pada pertengahan 1989. Pembeli kupon SDSB di DIY semakin banyak karena termotivasi pembeli lainnya yang mendapatkan berbagai hadiah. Pernah seorang tukang becak di daerah Kota Yogyakarta membeli SDSB seri A (Kupon SDSB yang berbungkus amplop seharga Rp.5000,00) memenangkan undian utama senilai 1 Milyar Rupiah, keesokan harinya beberapa pembeli menyerbu agen yang tiketnya tersebut berhasil memenangkan undian. Para agen nakal  yang merangkap sebagai bandar kupon putihan juga terkadang memenangkan pembeli kupon lebih dikenal dengan buntutan atau dua angka untuk merangsang minat pembeli lainnya sehingga pendapatan agen tersebut meningkat.[50]
Ketika timbul aksi demonstrasi anti SDSB oleh gabungan mahasiswa perguruan tinggi di DIY yang dilakukan pada tahun 1991, penjualan SDSB tidaklah surut. Beberapa agen meraup untung besar karena merangkap sebagai penjual dan bahkan bandar dari judi toto gelap atau putihan. Pengecer SDSB menjamur hingga wilayah – wilayah terpencil walau telah diberikan regulasi mengenai larangan  penjualan di daerah tertentu. Penjualan SDSB di Yogyakarta dihentikan ketika SDSB resmi ditutup tahun 1993.[51] 

IV. Dampak  Sosial Ekonomi Lotere Terhadap Masyarakat    
A. Fanatisme Masyarakat Terhadap TSSB Hingga SDSB  Dan Munculnya Praktik Perdukunan Memenangkan Lotere
Siapa yang tidak tergiur untuk menjadi kaya dalam sekejap?  Itulah yang menjadi iming – iming sumbangan berhadiah dari TSSB hingga SDSB. Mulai dari rakyat biasa hingga Pegawai Negeri banyak yang terjembab untuk jalan pintas menuju kaya melalui TSSB, Porkas, KSOB maupun SDSB. Setiap hari kegiatan sebagian masyarakat DIY pada masa kejayaan TSSB, Porkas, dan KSOB bahkan hingga SDSB selalu diisi dengan meramal huruf dan nomor kupon.[52]
Konsumen lotere baik TSSB, Porkas dan KSOB tidak hanya masyarakat golongan dewasa saja, lotere tersebut juga merambah para pelajar. Banyak dijumpai pelajar membeli kupon lotere TSSB pada tahun 1988, saat pengundian TSSB dan KSOB ramai tiap akhir pekan. Sebagian dari pelajar ada yang melepas almamater sebagai pelajar maupun tidak, mereka mendatangi kios – kios KSOB dan TSSB untuk membeli kupon.[53]  Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di Kota Yogyakarta, di Kecamatan Imogiri juga terlihat hal yang sama. Para pelajar membeli kupon di agen – agen tidak resmi, serta mengenal baik para penjualnya. Hal tersebut mereka lakukan  mengingat pengawasan tidak begitu ketat dan  para penjual kupon tidak peduli siapa konsumen mereka.[54]    
Beberapa mahasiswa juga turut serta dalam meramaikan lotere legal tersebut pada waku itu. Para mahasiswa tersebut berdalih hanya untuk iseng dan mencoba sedikit peruntungan dengan membeli kupon TSSB hingga SDSB.[55]  Ketenaran lotere tersebut juga seakan menjadi virus yang menjadi penyakit dalam masyarakat. Hari - hari pegawai di kantor – kantor pemerintahan seringkali diwarnai dengan menebak kode – kode dan ramalan, terutama saat merebaknya SDSB di Yogyakarta. Hal ini menyebabkan pegawai kurang produktif dan malas (Suara Muhammadiyah, No.23/76/1991 :15).
Pegawai Negeri di Yogyakarta tidak mendapat larangan untuk membeli SDSB, hal ini dilontarkan oleh Pengurus KORPRI Yogyakarta yang menyatakan bahwa selama etos kerja pegawai negeri tidak terganggu, mereka tidak dilarang untuk membeli kupon SDSB (Bernas, 30 Nopember 1991). Namun pada kenyataannya, beberapa pegawai yang fanatik terhadap SDSB tidak produktif pada jam kerja karena sibuk berkutat dan mengotak atik ramalan – ramalan SDSB.[56]
Fanatisme masyarakat terhadap lotere pemerintah yang berkedok sumbangan berhadiah tersebut mewabah terutama di kalangan masyarakat miskin. Seperti yang tertuang dalam penelitian Iswantara Adhi Nugraha siswa SMA 6 Yogyakarta yang mengungkap anomali masyarakat desa Legundi di Kabupaten Gunung Kidul tahun 1991. Kebanyakan masyarakat di desa tersebut adalah orang orang yang hidup berada di bawah garis kemiskinan, tetapi mereka royal dalam menyumbang hartanya melalui SDSB. Hal tersebut dianggap sebagai anomali yang luar biasa terjadi ditengah keterpurukan ekonomi (Hidayat dalam Tempo, 24 Agustus 1991 : 102). Fanatisme masyarakat terhadap lotere pemerintah ini seakan tidak bisa direduksi karena mereka mengharapkan hasil yang lebih besar apabila memenangkan lotere pemerintah tersebut.[57]
Fanatisme masyarakat terhadap lotere menyebabkan banyak penggemar Porkas DIY mencoba mencari peruntungan Lotere  dengan mengaitkan kejadian kejadian mistis, peristiwa bahagia hingga peristiwa yang memilukan di sekeliling mereka.Pada saat boomingnya Porkas, penggemar Porkas biasanya mencari kode enkripsi huruf dari peristiwa – peristiwa yang telah terjadi di sekitarnya untuk memasang lotere Porkas. Sebagian penggemar Porkas mendengarkan siaran berita dalam radio ataupun membaca surat kabar yang memuat peristiwa mengenai kecelakaan lalulintas dan peristiwa lainnya. Kode enkripsi di dapat melalui rumusan- rumusan tertentu dari kejadian tersebut.[58]  
Ketika interval pengundian KSOB dan TSSB berjarak satu mingguan pada awal tahun 1988, warga banyak yang berbondong - bondong menuju Gunung Kemukus (tempat yang oleh sebagian masyarakat dianggap sakral dan mujarab dalam memanjatkan permintaan). Mereka bermeditasi untuk mendapatkan peruntungan undian TSSB dan KSOB. Masyarakat yang berdatangan untuk bersemedi ataupun bermeditasi kebanyakan berasal dari luar kota, terutama dari Yogyakarta (Wirodono, dalam Kedaulatan Rakyat, 31 Januari 1988).
Tempat keramat lain yang sering digunakan untuk mencari kode huruf dan angka yaitu tanah pemakaman tua. Penggemar lotere melakukan ritual di pemakaman tua yang dianggap keramat untuk Ngalap Nomer yang akan dipertaruhkan dalam undian TSSB melalui bimbingan ahli spiritual. mereka harus memenuhi persyaratan untuk dapat terpenuhi keluarnya nomor nomor TSSB. Ritual mistik ini dilakukan pada hari – hari khusus yang dianggap sakral dan keramat. Salah satu makam yang dianggap memberikan akurasi kode TSSB yaitu makam raja-raja Jawa di Girigondo (sebelah utara Pantai Glagah Indah, wilayah Kulon Progo Yogyakarta).[59]
Tidak hanya tempat tempat sakral saja yang digunakan sebagai ajang pencarian kode huruf untuk TSSB maupun KSOB. Masyarakat juga mengkaitkan peristiwa penting dengan perolehan kode huruf lotere tersebut, seperti ketika peristiwa wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada tanggal 13 Oktober 1988 yang  turut disangkutpautkan dengan peruntungan untuk memasang lotere TSSB dan KSOB. Selain tanggal wafatnya Sultan HB IX, Nomor lambung kereta jenazah yang digunakan untuk membawa jenazah sultan dari Jakarta menuju Yogyakarta juga dipertaruhkan dalam peruntungan menebak nomor undian TSSB.[60] Ini menjadi bukti bahwa masyarakat yang fanatik terhadap lotere menyangkutpautkan peruntungan dalam menebak nomor undian TSSB dengan peristiwa - peristiwa ganjil.
Kegilaan masyarakat DIY terhadap sumbangan berhadiah Porkas ditandai dengan kegiatan sehari hari meramal kode Porkas menjadikan banyak orang menganggap ini sebagai peluang bisnis. Mereka kemudian  menawarkan jasa meramal dengan membuat Pak Tepak (selembar kertas yang bergambarkan anagram huruf atau angka yang memiliki ambiguitas dalam penafsirannya).[61] Bahkan para penjual jasa meramal mengiklankan usahanya lewat media surat kabar, seperti yang dijumpai di surat kabar Kedauatan Rakyat.[62] Biasanya para penjual jasa ramalan menamai ramalan – ramalan yang mereka keluarkan untuk membedakan dengan yang lain. Terdapat ratusan nama – nama ramalan yang dijual, seperti Romo Gayeng dan  Mbah Mojo. Nama yang sering dipakai adalah “Mbah”, “Ki” ataupun “Romo”. Penggemar Porkas dan TSSB lebih menyukai ramalan yang kebanyakan bernama “Mbah” karena dianggap memiliki nilai mistis yang tinggi dan diyakini mampu memecahkan kode huruf atau angka secara akurat.[63]  Hingga TSSB dan KSOB dihapus dan diubah menjadi SDSB, lembar ramalan masih marak dijual walaupun dilarang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang ketentuan pengedaran SDSB (Tempo, 4 Febuari 1989 : 21).
Walaupun penjualan lembar lamaran dilarang oleh pemerintah, penjual SDSB di Yogyakarta secara sembunyi – sembunyi juga mengedarkan lembar ramalan. Penghasilan mereka pun terdongkrak akibat lembar ramalan tersebut diminati penggemar SDSB.[64] Masyarakat tidak berfikir secara rasional karena mereka cenderung dibutakan oleh hadiah yang menggiurkan dari menebak kupon – kupon dari TSSB hingga SDSB. Kebetulan – kebetulan di luar nalar atau akal pikir manusia dalam hal ini terkait antara peruntungan menebak kupon lotere dengan hal – hal mistis membawa hasil yang diluar dugaan, sehingga banyak masyarakat terjerat untuk terus mencoba walau terkadang mengalami kegagalan.[65]

B.  Pengaruh Sumbangan Berhadiah Terhadap Ekonomi Masyarakat Serta Tingkat Kriminalitas Di DIY
Banyak sekali efek yang ditimbulkan sebagai akibat dari sumbangan berhadiah mulai dari TSSB hingga SDSB, Pada awal beredarnya TSSB dan Porkas memang belum terlihat dampak negatif yang timbul terutama terkait dengan kondisi ekonomi masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, dampak Porkas mulai dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin. Seperti yang pernah disindir dalam karikatur koran Berita nasional Yogyakarta, Petani menjadi malas dan tidak produktif. Setiap harinya hanya diisi dengan meramal kode Porkas untuk mencoba peruntungan mendapatkan hadiah undian (Bernas, 24 Maret 1986).
Keadaan semakin parah ketika lotere Porkas berubah wajah menjadi KSOB. Bersamaan dengan TSSB, kedua lotere tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat khususnya golongan menengah bawah. Tidak hanya masyarakat miskin di desa - desa yang terhanyut irasionalitas iming - iming lotere tersebut yang menjadikan kaya dalam sekejap, tetapi juga tukang becak, buruh pasar, karyawan dan pegawai kecil di wilayah kota Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 1988).
Pada tahun 1988 terjadi resesi ekonomi yang menyebabkan harga – harga kebutuhan pokok melambung, sebagian masyarakat yang fanatik terhadap lotere KSOB dan TSSB tidak peduli dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang semakin susah.[66]  Mereka lebih mementingkan bagaimana cara memenangkan lotere tersebut, seolah tidak perduli terhadap kondisi ekonomi rumah tangga. Para penggemar lotere tersebut terkadang membelanjakan hampir seluruh biaya hidupnya untuk kupon – kupon lotere yang belum pasti dapat mengentaskan dari kemiskinan. Apabila seorang sudah sangat fanatik terhadap lotere sumbangan berhadiah, orang tersebut terus berharap agar dapat mendapatkan hasil undian. Bahkan ada yang merasa pasti bahwa hasil tebak kode nomer atau kode huruf yang akan dipasang akan berhasil. Jika  biaya hidupnya menipis, penggemar lotere akan meminjam sejumlah uang kepada kerabat hanya untuk memenuhi keinginan mendapatkan hadiah dari memasang lotere tersebut. [67] 
Ketika kondisi perekonomian masyarakat  di Kabupaten Gunung Kidul sangat memprihatinkan, baru saja masyarakat  lepas dari bergelut terhadap kesulitan air, pemerintah dihadapkan pada animo masyarakat terhadap kupon TSSB dan KSOB. Meski harga KSOB dan TSSB dinaikkan, ternyata tidak mencegah masyarakat miskin untuk membeli lotere tersebut. Mereka justru rela antri berjubel di agen – agen besar penjual KSOB dan TSSB demi membeli lotere (Kedaulatan Rakyat, 9 januari 1988).
Pegawai negeri yang berpenghasilan minim pada waktu itu banyak yang terjembab untuk mencoba peruntungan nasib melalui kupon TSSB, Porkas, KSOB hingga SDSB. Mereka mencoba pertaruhan Sumbangan berhadian tersebut dengan menjual jatah beras dari Bulog yang diberikan setiap bulan. Mereka seolah tidak perduli dengan kemampuan finansial, dan lebih mengutamakan memenangkan hadiah yang didapat dari memasang Lotere tersebut.[68]  
Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pedagang bahan kebutuhan pokok pun  mengeluh karena omzet penjualan menurun drastis semenjak diedarkannya TSSB hingga SDSB. Seperti yang terjadi di Kecamatan Godean serta beberapa daerah di Sleman. Pedagang mengeluh karena setiap hari menjelang pengundian KSOB dan TSSB, barang dagangan mereka tidak laku karena sebagian masyarakat membelanjakan uang mereka untuk membeli kupon lotere. Pendapatan pedagang turun hingga 50% di setiap hari hari menjelang pengundian KSOB dan TSSB (Nasution dalam Tempo, 9 juli 1988 :24). Pedagang kaki lima di Malioboro juga mengeluhkan hal yang sama, sepi penjual. Masyarakat cenderung membelanjakan hartanya untuk membeli KSOB dan TSSB. Pendapat yang sama juga dikemukakan beberapa pedagang makanan. Dengan beredarnya lotere KSOB dan TSSB, omzet mereka mengalami penurunan (Masa Kini, 15 Nopember 1988). Pada saat KSOB dan TSSB berubah menjadi SDSB, hal serupa terjadi di Kulonprogo. Masyarakat melakukan unjuk rasa terkait melambungnya  omzet para pengedar kupon SDSB di Kulonprogo, sehingga pendapatan warga berkurang karena tersedot oleh pengedar SDSB (Bernas, 20 Desember 1991).
Dana yang diserap dari desa - desa di Propinsi DIY dari penjualan lotere sangat besar. Di Gunung Kidul saja, yang notabene daerah miskin, setiap minggu dari satu agen resmi terkeruk dana sekitar 3 juta rupiah hingga 4 juta rupiah dari penjualan lotere jenis TSSB. Dana tersebut belum ditambah dengan penjualan KSOB yang setiap minggunya terjaring sekitar 2 juta rupiah. Jadi jika diakumulasikan menjadi 5 juta rupiah. Pada waktu itu terdapat sekitar 3 agen resmi. Total dana yang terserap dari distribusi KSOB dan TSSB yaitu 15 juta Rupiah dari 3 agen resmi. Penarikan dana selama 1 bulan mencapai 60 Juta Rupiah dan dalam 1 tahun bisa terkumpul 720 juta Rupiah. Sungguh ironis dan memprihatinkan, mengingat pendapatan murni daerah Kabupaten Gunung Kidul hanya 550 juta rupiah (Kedaulatan Rakyat, 9 januari 1988).
Pada saat peredaran SDSB merebak, hal serupa juga terjadi. Kehidupan masyarakat Gunung Kidul semakin terpuruk. Masyarakat miskin, dan dilanda kekeringan justru membelanjakan hartanya untuk lembaran BSDSB. Penghasilan masyarakat miskin yang pada waktu itu hanya 30 ribu Rupiah hingga 50 ribu Rupiah perbulan, tetapi mereka tidak pernah absen meramaikan SDSB. Fanatisme masyarakat miskin terhadap lotere pemerintah berdampak pada tingkat kesejahteraan, pendidikan serta kesehatan juga terabaikan (Hidayat dalam  Tempo, 24 Agustus 1991 : 102).  
Tindak kriminalitas banyak ditemukan terutama saat lotere Porkas mulai marak di tahun 1987. Tindak kriminalitas yang ditemukan salah satunya yaitu tindak penipuan calon pegawai dengan iming iming diterima kerja di Kepatihan untuk  membeli beberapa kupon Porkas (Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 1987). Tidak hanya Porkas, Ketika wajah Porkas berganti menjadi KSOB juga menuai dampak tindak kriminalitas, salah satunya aksi perkelahian akibat  berebut kertas ramalan KSOB. Perselisihan tersebut tidak kunjung selesai walau sudah menyatakan damai, bahkan berakhir dengan penikaman dan harus berurusan dengan pihak berwajib (Kedaulatan Rakyat, 12 April 1988). Fenomena tindak kriminalitas akibat lotere akibat KSOB dan TSSB juga mewabah di kalangan remaja dan pelajar di DIY. Sebagian dari pelajar menggelapkan uang SPP untuk pertaruhan menebak undian SOB.[69]  
Tindak kriminalitas lain yang timbul akibat SDSB adalah munculnya perjudian – perjudian liar yang pengundiannya merujuk pada hasil undian baik itu TSSB bahkan hingga SDSB. Bentuk kupon liar yang dikenal masyarakat pada waktu itu adalah kupon putihan atau dikenal dengan judi buntut.. Kupon putih yang dijual adalah kupon dua nomor dan kupon tiga nomor. Bandar besar kupon tersebut diketahui bernama Thian Ming. Penjual kupon tersebut mendapatkan imbalan 10 persen dari hasil penjualan kupon putihan. Kupon yang didistribusikan Thian Ming berlabel cap stupa (Kedaulatan Rakyat, 8 Nopember 1989). Di kota Yogyakarta saja setidaknya terdapat puluhan bandar besar yang mengedarkan kupon putihan dengan nama label kupon yang beragam. Kupon putihan yang pada waktu itu sangat terkenal diantaranya adalah cap kobra, elang dan  macan (Bernas, 5 Januari 1989).  Bandar judi buntut atau kupon putihan tersebut didominasi oleh warga keturunan (Tionghoa).[70]  Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pemberantasan perjudian ilegal tanggal 8 Desember 1988, Pengedar serta bandar judi dikenakan pasal subversif apabila tertangkap mengedarkan judi kupon illegal (Nasution dalam Tempo,7 Januari 1989 : 21-23).  Di DIY, bandar judi putihan yang tertangkap dan dimejahijaukan pada waktu itu adalah Oei Ten Ming atau dikenal dengan  Miming dengan tuduhan melanggar undang-undang antisubversif (S. Happy dalam Tempo, 3 Juni 1989 : 73)
IV.  Penghapusan Lotere Legal TSSB Hingga SDSB
A. Gerakan Masyarakat Menentang Lotere Sumbangan Berhadiah
Sedemikian besar realitas serta dampak yang timbul akibat lotere sumbangan berhadiah ditinjau dari sisi psikologis, sosial, ekonomi dan juga  hukum, membuat beberapa kalangan dari masyarakat mulai  sadar karena telah merasa dirugikan. Tokoh masyarakat yang semakin kritis terhadap permasalahan yang diakibatkan oleh lotere pemerintah tersebut gencar memberikan tanggapan dan masyarakat juga mendengarkan tanggapan mereka. Sedikit demi sedikit hati masyarakat tergerak untuk meninggalkan pengharapan semu dari loterelotere tersebut dan berpikir secara rasional. Kupon – kupon TSSB hingga SDSB cukup meresahkan terutama bagi masyarakat generasi muda dan ekonomi menengah bawah.[71] Sebagian masyarakat turut prihatin melihat sanak saudara dan kerabatnya larut dalam peruntungan TSSB hingga SDSB mulai bangkit untuk mengentaskannya dari jerat lotere tersebut.[72] Banyaknya dampak negatif yang ditemukan daripada dampak positif penyelenggaraan lotere  sumbangan berhadiah di DIY, menyulut masyarakat melakukan aksi menentang serta penghapusan lotere tersebut. Aksi protes dilakukan dengan turun ke jalan, kemudian mengadakan perundingan dengan wakil rakyat yang duduk di lembaga pemerintahan, dan jalan lain yang ditempuh yaitu dengan mengeluarkan pendapat serta larangan melalui media massa.  Gerakan perlawanan terhadap lotere sumbangan berhadiah datang dari mahasiswa serta masyarakat yang tergabung dalam organisasi massa.
B. Tekanan Kaum Religius Dan Intelektual 
Ketika dampak negatif yang ditimbulkan TSSB, Porkas, KSOB bahkan SDSB mulai terlihat, banyak tokoh agama menanggapi fenomena tersebut dengan kritik kepada pemerintah, seperti yang dilakukan oleh A.R. Fachrudin yang pada waktu itu menjabat sebagai ketua Muhammadiyah. Beliau dengan tegas menyatakan bahwa Porkas merupakan bentuk perjudian yang dampak negatifnya lebih banyak dibandingkan dengan dampak positifnya. Porkas baik dalam prosedur distribusi ataupun tujuannya telah banyak menyimpang. A.R. Fachrudin menilai penyimpangan tersebut sudah sangat parah, terutama terkait distribusi kupon Porkas yang telah merambah lingkup kecamatan. Selain itu, para remaja dan pelajar banyak yang menjadi konsumen kupon Porkas (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember1987).
Bahkan tak hanya pemuka agama Islam saja yang mengkritik lotere tersebut, para pendeta agama Nasrani pun turut menanggapi permasalahan yang timbul, salah satunya pernyataan yang dikeluarkan oleh Pendeta Budiyanto dari Sekolah Tinggi Theologi Duta Wacana Yogyakarta. Beliau menyatakan bahwa distribusi Porkas merambah hingga ke areal dekat peribadatan, hal ini juga dibenarkan oleh pendeta Nikolas. Pendistribusian kupon Porkas di dekat tempat peribadatan berakibat pada menurunnya jumlah pengumpulan uang kolekte terutama pada hari kebaktian. Kedua pendeta tersebut berpendapat bahwa  kebijakan apapun yang dikeluarkan pemerintah mengenai kontrol distribusi  kupon Porkas tetap akan menimbulkan dampak negatif, karena masyarakat mampu menerobosnya. Satu satunya jalan yang harus diambil pemerintah adalah dengan menutup Porkas (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember 1987).
Tokoh – tokoh Nasrani perihatin dengan masalah yang timbul akibat beredarnya lotere tersebut. Lotere adalah perbuatan yang dilarang, seperti yang ditegaskan dalam Akta Sinode XII/1971, artikel 100 yang menegaskan bahwa judi merupakan tindakan yang tidak terpuji. Alasan teologis  yang sangat mudah ditangkap oleh masyarakat pemeluk Nasrani yaitu apabila orang beriman diperbudak oleh judi, maka orang tersebut menuruti nafsunya dan cenderung ingin mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja keras (Sastrosupono, 1989: 4). Kritik juga disampaikan oleh Kriti Warsito yang juga menjabat sebagai Bimas Agama Budha Kanwil Depag DIY. Beliau berpendapat bahwa pemerintah telah melakukan upaya yang baik dalam melakukan pembatasan penjualan kupon Porkas, tetapi Pemerintah juga seharusnya meninjau ulang pemberian izin operasional Porkas (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember1987).
Tidak hanya tokoh-tokoh reigius yang menanggapi permasalahan terkait TSSB hingga SDSB. Tokoh intelaktualitas juga angkat bicara menanggapi permasalahan yang ditimbulkan oleh Porkas KSOB TSSB maupun SDSB. Salah satu tokoh tersebut adalah Prof. Djamaludin Ancok (guru besar Fakultas Psikologi UGM). Beliau mengemukakan bahwa dari segi psikologis, masyarakat kecil tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup jika terus terusan penghasilannya dibelikan Porkas setiap hari (Kedaulatan Rakyat, 16 september 1987). Lotere tersebut dianggap  sebagai usaha pemiskinan masyarakat (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 1988). Beliau juga mengungkapkan bahwa. lotere Porkas  pembangunan dengan tujuan – tujuan yang mulia bisa terwujud jika dibiayai dari dana hasil perjudian (Kedaulatan Rakyat, 16 september 1987).  
Kritikan mengenai KSOB dan TSSB juga datang dari tokoh intelektual UGM lainnya, yaitu Dibyo Prabowo (Fakultas Ekonomi UGM) yang menyatakan dampak KSOB dan TSSB sudah jelas melemahkan perekonomian desa dan masyarakat marginal di kota. Undian semacam itu turut andil dalam proses pemiskinan masyarakat, karena masyarakat ekonomi menengah bawah yang menjadi pecandu KSOB dan TSSB. Mereka berkhayal apabila lembaran kupon tersebut berhasil memenangkan undian utama KSOB dan TSSB, akan digunakan sebagai modal untuk membeli alat produksi ataupun menambah modal kerja. Pengharapan pada hal yang tidak pasti mengakibatkan mereka larut dan memilih untuk tidak produktif, justru menyibukkan diri dengan TSSB maupun KSOB dan berimbas pada berkurangnya pendapatan. Keadaan ini mengakibatkan penggemar lotere tersebut menggunakan tabungan yang dimilikinya. Solusi terbaik yaitu KSOB dan TSSB harus segera dihentikan agar pemiskinan masyarakat tidak berlanjut (Nasution dalam Tempo, 9 juli 1988 :24).     
Ketika undian KSOB dan TSSB bermetamorfosis menjadi SDSB, kritikan juga dilontarkan oleh Amin Rais sebagai tokoh intelektual Yogyakarta yang menjabat staf pengajar di Fakultas Ilmu Politik UGM serta tokoh aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Beliau berpendapat bahwa SDSB sangat destruktif bagi masyarakat kecil. Bukti nyata dapat dilihat pada sebagian masyarakat yang menjadi pecandu SDSB, ekonomi keluarga menjadi morat – marit. Ketika seseorang yang hidup dalam keterbatasan ekonomi (berpenghasilan rendah) terjebak dalam penjara mental SDSB, sejumlah uang yang ia hasilkan dari bekerja dengan susah payah yang seharusnya digunakan untuk hal – hal yang bermanfaat terbuang percuma ke agen SDSB. Selain itu,  SDSB turut andil dalam meningkatkan rate of crime atau tingkat kriminalitas. Apabila pecandu SDSB tidak mempunyai uang untuk membeli kupon SDSB, mereka bisa saja mempunyai pikiran gelap untuk mendapatkan uang dengan berbagai cara. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kriminalitas bertambah (Rais dalam Suara Muhammadiyah, No.23/76/1991 :12).
C. Gerakan Mahasiswa Menentang  Lotere Sumbangan Berhadiah Di DIY
Melihat dampak  lotere sumbangan berhadiah yang sedemikian besarnya  bagi masyarakat, mahasiswa Yogyakarta melakukan protes menentang sumbangan berhadiah tersebut. Pada saat Porkas berubah menjadi KSOB ramai digandrungi masyarakat bersama diedarkannya TSSB, 6 orang aktivis mahasiswa Universitas Gadjah Mada  diantar oleh Rektor Prof. Dr. Koesnadi Harjoesoemantri menemui pejabat gubernur DIY. Mereka memberikan penjelasan solutif mengenai alternatif pencarian dana untuk olah raga selain dari KSOB dan TSSB (J.A.,Denny, 1989 :116 – 117). Sebelumnya tanggal 28 Nopember 1988, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengunjungi kampus ISI Yogyakarta, terpampang beberapa poster yang berisi tentang protes kepada pemerintah serta himbauan untuk menghapus TSSB dan KSOB karya dari mahasiswa (Kedaulatan Rakyat, 31 Desember 1991).
Aksi protes menentang SDSB juga banyak dilakukan.  Salah satunya sebagai imbas penerimaan dana sumbangan dari YDBKS sebagai hasil SDSB untuk UII sebesar 100 juta rupiah untuk pembangunan sarana pendidikan di tahun 1991, mahasiswa UII melakukan aksi demonstrasi bulan Agustus 1991. Mereka menuntut uang yang disumbangkan untuk UII agar dikembalikan kepada YDBKS (Trihusodo, dalam Tempo, 20 Nopember 1993 : 35, dan Aqsha, 1995: 72). Tanggal 5 Nopember 1991, sejumlah 5000 mahasiswa  melakukan unjukrasa anti SDSB. Aksi unjuk rasa digelar sejak pagi dengan aksi jalan menuju  Malioboro dan dilanjutkan menuju gedung DPRD DIY. Kemudian tanggal 13 Nopember 1991, Terjadi aksi masa yang lebih besar.  Mahasiswa dari beberapa universitas di Yogyakarta di koordinir untuk melakukan aksi protes terhadap SDSB. Sebanyak 9000 mahasiswa dari UGM, UII dan  IAIN turun ke jalan melakukan aksi menentang SDSB. Aparat keamanan dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan aksi sebelumnya dikerahkan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan (Wirodono, 1994 : 56).
Gelombang unjuk rasa anti SDSB digelar kembali pada tanggal 3 Desember 1991. Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Anti SDSB (KMA-SDSB) mendatangi gedung DPRD di Jalan Malioboro. Mereka melakukan aksi dimulai dari Boulevard  kampus UGM Bulaksumur, melewati Jalan Cik Ditiro, Jalan Jend. Sudirman, Jalan Mangkubumi dan berakhir di jalan Malioboro (Kedaulatan Rakyat, 4 Desember 1991).
Aksi anti SDSB selanjutnya terjadi pada tanggal 10 Desember 1991, mahasiswa yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Pro Demokrasi (KMPD) melakukan aksi menuju stadion Mandala Krida. KMPD yang terdiri dari mahasiwa IAIN Kalijaga, ISI, UII. Sebenarnya substansi aksi demo yang dilakukan KMPD adalah membacakan “tuntutan SMPT se DIY” yang melahirkan 9 butir tuntutan kepada pemerintah RI, DPR/MPR, Orsospol, dan ormas untuk menegakkan hak azasi manusia. Aksi pembacaan tuntutan tersebut dihalau leh aparat keamanan. Mahasiswa kemudian membuka mimbar bebas dan melakukan aksi pembakaran repelika kios SDSB dan meminta pemerintah segera membubarkan SDSB (Kedaulatan Rakyat, 11 Desember 1991).

Sebelum melakukan aksi pada tanggal 10 Desember 1991, Mahasiswa UGM, IAIN, UII  serta perguruan tinggi lainnya juga menyukseskan renungan malam yang diadakan di kampus IAIN tanggal 9 Desember 1991. Kegiatan tersebut mengkritisi SDSB sebagai perampas hak – hak ekonomi rakyat. Para mahasiswa mengancam akan melakukan aksi golput apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi (Bernas, 10 Desember 1991).   Satu hal yang menarik dari aksi anti SDSB yang dilakukan mahasiswa adalah kalimat poster yang berbunyi “SDSB no, Golput yes”. Bunyi poster tersebut dapat ditafsirkan bahwa jika tuntutan terhadap penghapusan SDSB tidak segera ditanggapi, Mahasiswa akan bersikap golput dalam pemilu yang akan dilaksanakan pada tahun 1992 (Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 1991). Kalimat poster lainnya yaitu “Kuliahku hancur gara – gara bapakku pecandu SDSB”, “Jangan jerat rakyat kami dengan SDSB”, “SD Inpres yes, SDSB no”, “jangan racuni kota budaya kami dengan budaya judi” dan beberapa kalimat poster lainnya (Kedaulatan Rakyat, 4 Desember 1991). Kalimat poster tersebut menunjukkan betapa memuncaknya kekesalan mahasiswa atas dampak SDSB yang meracuni masyarakat.


D. Gerakan Massa Menentang  Lotere Sumbangan Berhadiah Di DIY
Tidak hanya mahasiswa yang melakukan aksi menentang lotere sumbangan berhadiah. aksi menentang Porkas juga dilakukan Badan Kerjasama Pondok Pesantren dan MUI Yogyakarta tergabung bersama Organisasi Islam daerah lainnya  dengan mengeluarkan fatwa haram terhadap Porkas (Badan Kerjasama Pondok pesantren dan MUI Yogyakarta 1986 : 124).  Pada saat SDSB kian marak, ormas Islam Gerakan Masyarakat Islam Yogyakarta (GMIY) menggelar mimbar bebas di Boulevard UGM menentang SDSB dan menuntut penghapusan SDSB.[73] GMIY juga memfasilitasi pesantren pesantren yang ada di DIY yang ingin melakukan aksi protes terhadap SDSB melalui mimbar tersebut (Tempo, 20 Nopember 1993 : 43).
Organisasi Muhammadiyah Yogyakarta juga lantang menyuarakan anti SDSB. Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta pernah mendapat tudingan mendapatkan suntikan dana dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) sebesar Rp. 100.000.000,00, tetapi tudingan tersebut dipatahkan dengan melampirkan bukti tanda pemberian sumbangan dengan atas nama Menteri Sosial Haryati Soebadio pada terbitan Suara Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, No.24/76/1991 : 6). Ormas Muhammadiyah juga menolak sumbangan dari SDSB sebesar 10 juta Rupiah untuk pendirian yayasan yatim piatu oleh Muhammadiyah di Yogyakarta (Darul et al, 1995 : 72).  Muhammadiyah juga dengan gencar menentang SDSB dengan mengeluarkan kritikan melalui tulisan, seperti salah satunya melalui media Suara Muhammadiyah. Organisasi religi ini menyatakan bahwa SDSB memberikan dampak negatif terutama terkait dengan kegiatan ekonomi (Suara Muhammadiyah,  No. 23/76/1991 : 14). Muhammadiyah juga menggagas Dana Santunan Dhuafa untuk menggalang dana dari dermawan muslimin dalam rangka memberikan santunan kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai alternatif SDSB sesuai hasil keputusan Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta  yang diselenggarakan pada Desember 1990 (Suara Muhammadiyah, No.23/76/1991 :17).  
Organisasi lainnya yang turut berjuang menghapuskan SDSB di DIY yaitu dari partai politik. Fraksi Karya Pembangunan (FKP) DPRD DIY menghimbau kepada  seluruh fraksi di DPRD menolak peredaran SDSB di DIY. Penolakan peredaran SDSB dilandaskan pada alasan dampak negatif yang dihasilkan SDSB lebih besar bila dibandingkan dampak positifnya (Kedaulatan Rakyat, 24 Desember 1991). Sedangkan FPP (Fraksi Persatuan Pembangunan) berinisiatif untuk mengajak seluruh elemen masyarakat khususnya para tokoh agama kritis terhadap SDSB di Yogyakarta. FPP juga meminta daftar tempat ibadah dan organisasi agama di DIY yang menerima bantuan dari YDBKS. Hal ini dianggap sangat meresahkan masyarakat, mengingat banyak pembeli kupon SDSB yang memiliki niat bukan untuk menyumbang (Kedaulatan Rakyat, 15 Nopember 1991). Dari beberapa fakta tersebut, dapat dilihat perlawanan terhadap kebijakan mengenai sumbangan berhadiah oleh organisasi massa dan partai politik yang menyuarakan aspirasi masyarakat yang semakin lama semakin keras terdengar.  Hal ini menandakan bahwa masyarakat tidak ingin dampak negatif dari sumbangan berhadiah tersebut berkembang lebih meluas.

V. Penghapusan Lotere Sumbangan Berhadiah di DIY
Banyak yang mengeluh mengenai keberadaan kupon – kupon lotere pemerintah, terlebih pada saat TSSB dan KSOB mengalami masa gemilang di tahun 1988. Pedagang – pedagang  kecil merasa dirugikan oleh kupon – kupon lotere tersebut. Mereka kehilangan pendapatan karena masyarakat lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli kupon daripada memenuhi kebutuhan pokok sehari – hari. Jika keaadaan tersebut berlarut – larut, tingkat perekonomian masyarakat mengalami penurunan (Masa kini, 15 Nopember 1988).
Para tokoh masyarakat yang semakin kritis terhadap permasalahan yang diakibatkan oleh lotere legal tersebut gencar memberikan tanggapan dan masyarakat juga mendengarkan tanggapan mereka. Sedikit demi sedikit hati masyarakat tergerak untuk meninggalkan pengharapan semu dari loterelotere tersebut dan berpikir secara rasional. Kupon – kupon TSSB hingga SDSB cukup meresahkan terutama bagi masyarakat generasi muda dan ekonomi menengah bawah.[74]  
Pada masa – masa akhir menjelang penghapusan KSOB dan TSSB, pemerintah di tiap Daerah Tingkat II di seluruh DIY disibukkan dengan regulasi yang mengatur penataan serta penertiban penjualan kupon tersebut. Penyelenggaraan KSOB dan TSSB tidak terlaksana dengan rapi, sehingga menimbulkan ekses negatif dan merugikan masyarakat. Pemerintah turun tangan dengan melakukan pengawasan hingga penertiban. Begitu juga dengan SDSB, dampak negatif yang dihasilkan hampir sama dengan KSOB dan TSSB menyulut aksi protes masyarakat. Seiring dengan besarnya arus yang menginginkan penghapusan SDSB, pemerintah mulai berbenah dan membahas hal tersebut dalam rapat kerja komisi II dengan menteri sosial. Hal yang tidak sepenuhnya bisa diterima masyarakat adalah tidak adanya pertanggungjawaban yang terperinci serta transparan terhadap masyarakat mengenai penggunaan dana dari penarikan SDSB. Selain itu, lotere legal tersebut justru dikelola oleh yayasan swasta (Suseno, 1998: 25-27).
Sebenarnya izin penyelenggaraan SDSB diperpanjang hingga tahun 1996, meniru suksesnya KSOB dan TSSB yang berhasil menyedot dana untuk kegiatan social (Soeriawidjaja, dalam Tempo, 20 Nopember 1993 : 31). Namun pemerintah berinisiatif ingin mencabut izin pengoperasian SDSB pada tanggal 9 September 1993 akibat menuai gelombang protes semenjak tahun 1991(Jati dalam Pos Kupang, 26 Agustus 2002). Diperparah dengan aksi massa yang membakar beberapa kios SDSB di wilayah DKI Jakarta (Tempo, 4 Desember 1994 : 38). SDSB hanya mampu bertahan sejak Januari 1989 hingga akhir tahun 1993 (Tempo, 12 Januari 2004 : 17). Pada realisasinya, semua kupon SDSB baru dapat ditarik dari peredaran secara penuh pada Nopember 1993. Tanggal 24 Nopember 1993, para agen yang tersebar di wilayah Indonesia sudah tidak lagi mengedarkan kupon SDSB. Esok harinya, menteri sosial Inten Soewono mengumumkan pembubaran SDSB atau dikenal dengan Lotere Berhadiah Semiliar di hadapan anggota DPR tanggal 25 Nopember 1993. Hal ini sebagai jawaban atas ketidakpuasan serta desakan masyarakat untuk membekukan SDSB. Sejak saat itulah SDSB benar – benar hilang dari masyarakat (Nasution, dalam http:\\www.tempointeraktif.com).
Paska penghapusan SDSB. Nopember 1993,  di DIY muncul beberapa jenis perjudian yang dikelola secara lokal. Jenis judi ilegal yang bermunculan bermacam - macam. Beberapa jenis judi tersebut antara lain judi buntut, Cap Jie Kia.[75] Bahkan kembali muncul judi tradisional yang dahulu sempat tenar yaitu perjudian yang dilakukan ketika warga melakukan hajatan. Jenis judi lainnya yakni judi yang mempertaruhkan perolehan suara terbanyak pemenang pemilu kepala desa, seperti yang dijumpai di daerah Wonosari, Desa Baleharjo. Kejadian seperti ini  banyak ditemui di pedesaan Kabupaten Gunung Kidul (Bernas, 28 Januari 1994).
Judi buntut juga semakin berkembang paska dihapusnya SDSB di wilayah DIY, seperti judi buntut totor, Gredal, Macan, Lucky 777, Bola Slemania, dan Rejeki (Mudjiono, 2004: 24-25). Pemberantasan judi buntut sangat sulit mengingat pengedar judi mempunyai jaringan yang kuat serta melibatkan preman dan oknum aparat. Pengundian judi buntut paska SDSB diadakan setiap minggu oleh bandar besar.[76] Judi jenis lainnya yang berkembang setelah tumbangnya SDSB yaitu judi yang menggunakan komputer bank player. Dalam sistem perjudian ini, penjudi diharuskan menukar koin untuk bermain di mesin judi, kemudian hasil yang diraih dapat ditukarkan dengan uang Rupiah (Bernas, 28 Januari 1994). Judi bentuk lainnya yang berkembang yaitu lotere Cap Tjia Kia yang berasal dari Surakarta. Pangsa pasar judi ini adalah masyarakat ekonomi menengah bawah. Harganya relatif terjangkau yaitu Rp.500,00. Sistem penjualan dilakukan secara door to door (Mudjiono, 2004 : 18).
Paska dihapusnya SDSB pemerintah DIY justru bekerja keras untuk menertibkan perjudian ilegal yang menjamur di mana – mana. Aparat keamanan mendapat kesulitan karena sebagian tempat perjudian juga disokong keamanannya oleh oknum aparat lainnya, sehingga butuh kelengkapan operasional pemberantasan perjudian yang lebih mumpuni seperti bekal surat tugas yang lengkap dan ketegasan dari aparat itu sendiri (Bernas, 28 Januari 1994). Walaupun usaha keras dilakukan oleh aparat pemerintahan, perjudian paska dihapusnya SDSB yang mengakar dan menyentuh beberapa lapisan masyarakat sangat susah diberantas.

VI. Penutup                                                                          
A. Kesimpulan
Kebijakan pemerintah dari TSSB hingga SDSB disetujui oleh pemerintah Propinsi ini untuk diselenggarakan  sebagai bentuk kebijakan paket yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan berlaku secara nasional, tidak ada kewenangan pemerintah daerah untuk menolaknya. Selain itu, adanya kepentingan  tertentu di kalangan elit  lokal, baik berlatar institusional maupun personal ditengarai menjadi salah satu faktor diterimanya lotere tersebut di DIY. Masyarakat DIY juga mau menerima keempat lotere tersebut karena  mendapat sosialisasi pemerintah tentang penggalangan dana melalui sumbangan berhadiah dan bukan merupakan judi. Bagi golongan masyarakat miskin beranggapan bahwa lotere tersebut merupakan solusi atas permasalahan ekonomi yang dihadapi. Mata pencaharian yang menghasilkan biaya hidup serba terbatas akibat kurangnya tingkat sumber daya manusia menyebabkan mereka mencoba mencari solusi  melalui lotere tersebut. Sebagian masyarakat yang malas untuk bekerja, serta oportunis dalam melihat lotere  sebagai  penghasilan sampingan dan jalan pintas untuk cepat kaya.
Periode keberadaan TSSB dan KSOB hingga berubah menjadi SDSB merupakan periode yang penting bagi masyarakat DIY karena tiga hal yang mempengaruhi realitas sosial ekonomi masyarakat, yaitu meningkatnya jumlah masyarakat yang fanatis terhadap lotere, berkurangnya pendapatan para pedagang akibat banyaknya masyarakat yang membeli lotere serta adanya pro dan kontra terhadap lotere tersebut. sasaran utama pembeli kupon - kupon tersebut sebenarnya adalah orang – orang yang mampu, namun pada kenyataannya justru masyarakat miskin dan sebagian besar mengenyam pendidikan rendahlah yang turut berpartisipasi meramaikan lotere tersebut. Mereka menggantungkan harapan dan angan – angan melalui keberuntungan menebak lembaran lembaran lotere undian berhadiah. Harta yang seharusnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, serta tabungan di hari tua disia – siakan hanya untuk memberi harapan yang belum tentu kepastiannya. Pro-kontra  keberadaan lotere pemerintah disebabkan oleh fanatisme masyarakat terhadap lotere yang bertabrakan dengan kepentingan masyarakat yang merasa dirugikan akibat lotere.
Dari semua lotere YDBKS yang diselenggarakan di DIY, dampak atau ekses negatif yang paling parah akibat lotere YDBKS tersebut adalah periode ketika TSSB diselenggarakan bersama KSOB. Kios penjual kupon lebih ramai dikunjungi daripada kios kebutuhan bahan pokok. Hal ini  juga terjadi saat SDSB digemari masyarakat. Royalnya masyarakat membelanjakan harta untuk harapan yang tidak pasti mengakibatkan pertumbuhan ekonomi DIY terhambat sebagai dampak tersedotnya dana dari DIY ke Jakarta. Pemerintah terkesan setengah hati untuk menertibkan peredaran SDSB seperti yang terjadi pada saat KSOB dan TSSB berjaya, terbukti dengan  hasil tidak semaksimal yang diharapkan masyarakat.  
Melihat dampak yang sangat besar dan akan lebih buruk jika dibiarkan, beberapa elemen masyarakat seperti tokoh intelektual, tokoh agama, mahasiswa, melakukan gerakan menentang lotere tersebut. Mereka menyatakan penolakan melalui media massa, aksi turun ke jalan, mengadakan diskusi dengan DPRD bahkan ada yang mengambil langkah untuk mengontrol distribusi sumbangan hasil penarikan lotere SDSB. Hal ini secara teoritis memang tidak bisa dielakkan mengingat jalan kebenaran untuk kemaslahatan masyarakat akan selalu dibela. Terutama menyangkut krisis kebutuhan hidup masyarakat ekonomi lemah yang juga terpengaruh harapan semu dari beredarnya lotere tersebut.  SDSB telah resmi dibubarkan, tetapi masyarakat tidak bisa terlepas dari jerat lotere. Hal tersebut dibuktikan dengan maraknya pembelian lotere putihan. Perilaku masyarakat yang tidak bisa lepas dari jerat lotere mengindikasikan bahwa penghapusan lotere hanya sebatas pencabutan legalitas dari lotere. Masyarakat penggemar lotere butuh waktu yang lama untuk meredam kecanduan terhadap judi jenis lotere.
B. Saran
Adanya peristiwa seperti ini seharusnya menjadikan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta lebih mawas diri dan kritis jika masa – masa yang akan datang terjadi fenomena serupa. Penelitian ini harus lebih diperdalam untuk menguak benang merah kebijakan yang bersifat elitis dan memberikan dampak besar bagi kondisi sosial masyarakat, tidak hanya di DIY, melainkan di seluruh Indonesia. Penelitian bertema sejenis diharapkan bisa berkembang sebagai moral hazard agar masyarakat mengetahui serta mampu menghindari permasalahan permasalahan serupa di masa yang akan datang.   

Daftar Pustaka
Aly, Rum, Hatta Albanik. 2004. Menyilang jalan kekuasaan militer otoriter: gerakan kritis mahasiswa Bandung di panggung politik Indonesia, 1970-1974. Jakarta : Kompas.
Anonim. 1994. Sosiologi Pedesaan jilid1. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Aqsha, Darul et al. 1995. Islam in Indonesia: A Survey and Developments From 1988 to March 1993, Jakarta : INIS.
Badan Kerjasama Pondok pesantren dan MUI Yogyakarta. 1986. Fatwa Lengkap Tentang Porkas. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Dahlan, M. Alwi. 1992. Penduduk Indonesia Selama Pembangunan Jangka Panjang Tahap I : Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap Tragedi Bunuh Diri Di Gunungkidul. Yogyakarta : Galangpress.
Dumadi, Sagimun Mulus. 1980. Sistem Kesatuan Hidup setempat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Depdikbud. 
Denny, J.A..1989. Menegakkan Demokrasi : Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai  Demokrasi di Indonesia. Jakarta : Yayasan Studi Indonesia.
Haryanto. 2003. Indonesia Negeri Judi?. Jakarta : Yayasan Khazanah Insan.
Happy S.1989.  “Merongrong SDSB, Merongrong Pemerintah”, Tempo, 3 Juni 1989.
Kantor Pusat Data DIY. 1979. Monografi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 1979. Yogyakarta: Kantor Pusat Data DIY.
Kartini, Kartono. 1983. Patologi Sosial. Jakarta: CV Rajawali.
Kartono St. 2001. Menabur Benih keteladanan: Kumpulan Essai Seorang Guru. Yogyakarta : Keppel Press.
Koeswinarno. 2000. Hidup Sebagai Waria. Yogyakarta:LkiS..
Kuntowijoyo. 2003. Metodologi Sejarah (edisi 2). Yogyakarta: Tiara Wacana.
Lesmana, Tjipta. 1995. Pornografi Dalam Media Massa. Jakarta: Puspaswara.
Mudjiono. 2004. Judi buntut. mengapa selalu ada?.Yogyakarta: Tri De.
Mulder, Niels. 2001.Mistisme jawa : Ideologi di Indonesia. Yogyakarta :LKIS
Pour, Julius. 1997. Laksamana Sudomo. mengatasi gelombang kehidupan. Jakarta : Gramedia.
Singarimbun, Masri. 2003. Reflection from Yogya : Potraits of indonesian Social Life. Yogyakarta:Galang press.
Sastrosupono. 1989. Buntutan. Kristianikah? Suatu Analisis Awal Terhadap TSSB. KSOB. SDSB dan Buntutannya. Salatiga : Pra Lembaga Studi & Pengembangan Sinode GKJ.
Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial masyarakat Yogyakarta. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Supono, Srie Sadaah, dkk. 1989.. Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Tatakrama Daerah: Studi Kasus Pada Komuniti Perkotaan di Yogyakarta. Jakarta : Depdikbud.
Suseno, Franz Magnis. 1998. Mencari Makna Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.
Wilardjito, Soekardjo. 2008. Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian Seorang Pengawal Presiden. Yogyakarta:Galang Press Group.
William, Liddle. R. 1992. Pemilu- Pemilu Orde Baru: Pasang Surut kekuasaan politik. Jakarta:LP3ES.
Wirodono, Sunardian. 1994. Gerakan Politik Indonesia : Catatan 1993. Jakarta: Puspaswara..
Yossi, Briandara. 2009. “Development of Riverside Kampungs and Management of Rivers in Yogyakarta, Indonesia: Issues of Policy Coherence and Relevance of Socio-Economic Indonesia ; Characteristics of River Bank Communities”, www.scribd.org, diakses tanggal 15 Oktober 2010 pukul 22.00 WIB

Artikel :
Anonim. “Menjerit Tanpa Kode”, Tempo, 4 Febuari 1989.
Abdullah, Irwan. “Viewing Yogyakarta Tough Billboard Media” Urban culture research. Vol. 1. 2003.
Djumali, Fachzenil. “Pembangunan Daerah : Daerah Istimewa Yogyakarta”. Business News. 4606/25  januari 1988.
Hartoyo, Budiman S. “Wajah Lotere Silih Berganti”. Tempo. 20 Nopember 1993.
H, Suhardjo. “Pohon tanda tanya”. Tempo. 10 september 1988.
Jati, Hironnymus. “Kaum miskin mengais pendapatan lewat judi” Pos Kupang. 26 Agustus 2002.
Mandayun, Rustam F, dkk. “Desa Desa Mati Karena Angan – Angan?” Tempo. 9 Juli 1998.
______________________.”Ssstt.... ini Masalah Peka”. Tempo. 9 Juli 1988.
Margana. Akhir Mimpi Indah . Tempo 20 Nopember 1993.
Martosubroto, Subagyo. “SDSB Upaya Aktualisasi Sistem Nilai dan Gotong Royong”.  Kedaulatan Rakyat. 6 Januari 1989.
Nasution, Amran. “Kupon – Kupon Anti Disiplin”. Tempo. 2 juli 1988
______________. “Desa-Desa Mati Karena Angan- Angan” Tempo. 9 Juli 1988.
______________. “Angin Melemah Dari Senayan” Tempo. 18 Juli 1988.
______________. “SDSB. Sama Dengan Sebelumnya?”. Tempo . 14 Januari 1989.
Rais, Amien. Semoga SDSB Segera Berakhir. Suara Muhammadiyah. No.23 Vol 76 1991.
Rasyid, Fachrul.Kupon Masuk Desa” Tempo. 23 Juli 1988.
Soeriawidjaja, Ahmed K.. dkk. Tinggal Menunggu Kata Akhir. Tempo 20 Nopember 1993.
Siegel, James T. 2002. Penjahat Gaya Orde Baru : Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogyakarta : LKiS
Sukamto. “Agama dan Kemiskinan: Prespektif  Kristen”. Jurnal Studi Pembangunan. Kemasyarakatan & Lingkungan. Vol. 2. No. 2/2000.
Trihusodo, Putut.”Dana Buat Siapa”. Tempo. 30 Nopember1993.
Wirodono, Sunardian.“Selamat Panjang Umur PorkasKedaulatan Rakyat. 8 September 1987.
__________________“Kemukus : Antara Wanita dan Angka Nujum” Kedaulatan Rakyat. 31 Januari 1988.
Syamsul Machmud. “SDSB dalam Konteks  Judi” Kedaulatan Rakyat. 4 Januari 1989.
Hadad, Toriq, Sri Wahyuni.  “Mereka Yang Gila Kaya. Tempo. 20 Nopember 1993
Nototaruno,Walgito.”Tiap 100 Penduduk usia Produktif Menanggung 77 Usia Nonproduktif”. Kedaulatan Rakyat. 2 Febuari 1979.
Widada, Yohanes Sumadya. “Porkas dan Forecasting” Berita Nasional. 16 Maret 1986.
Hidayat, Yopie. “Orang Miskin Pecandu SDSB”.  Tempo. 24 Agustus 1991.
Hendridewanto, Yusroni. “Porkas : Dana. Dukun & Duka”. Tempo. 20 Juni 1987.
____________________. “Jalan Pintas Mengubah Nasib”. Tempo. 20 Juni 1987.

Surat Kabar, Majalah dan Buletin
Balairung ,No.5 ,1987.
Bernas. 24 Maret 1986, 15 juli 1987,  23 Febuari 1988, 3 januari 1989, 11 Januari 1989, 30 Nopember 1991, 4 Desember 1991, 20 Desember 1991.
Kedaulatan Rakyat. 8 Febuari 1979, 24 Febuari 1979, 27 Maret 1986, 22 Juli 1986, 23 juli 1986, 18 Nopember 1987, 9 januari 1988, 23 Febuari 1988, 1 April 1988, 19 April 1988, 2 Juli 1988, 5 Juli 1988, 6 Juli 1988, 10 Juli 1988, 14 Juli 1988, 24 Agustus 1988, 23  Nopember 1988, 3 Januari 1989, 5 Januari 1989, 13 Januari 1989, 4 Januari 1991, 31 Desember 1991.
Kompas .13 Juli 1988.
Masa Kini. 5 Mei 1973, 15 Nopember 1988.
Shin po, 19 mei 1956, 29 Mei 1956.
Suara Merdeka. 19 Januari 2004.
Suara Muhammadiyah No.23/76/1991.
Tempo, 11 Januari 1986, 4 Januari 1994.

Arsip
Surat Keputusan Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169 Tentang Penyelenggaraan Undian Harapan
SK Menteri Sosial No.  K\55-IT\76\MS tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto Raga dan Toto Lainnya.
Surat Yayasan Pendidikan dan Kesejahteraan Pengusaha dan Pengendara Becak D.I. Yogyakarta. no 001/Y/P-3B.Y./1978 perihal  permohonan Izin penyelenggaraan Undian Intern. 10 April 1978.
SK Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 69 / KPTS / 1988 tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).
Staatsblad No. 526 Tahun 1935.
Staatsblad No. 230 Tahun 1912.
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS / 1988 Tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran Bukti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 36/KPTS/1989 Tentang Penetapan/Penunjukan Loket-Loket Penjualan BSDSB Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta.
Internet
Tedy Novan. “Ada Parpol dan Golkar Di Balik Bisnis Perjudian”. www.minihub.org, Diakses tanggal 20 September 2010 pukul 20.00.

http://djawatempoedoeloe.multiply.com, Diakses tanggal 24 Oktober 2010 Pukul 16.30 WIB.

http://sociopolitica.wordpress.com, diakses tanggal 23 Febuari 2010 Pukul 14.00 WIB.

Dari Lotere ke Lotere”, http://tempointeraktif.com, diakses tanggal 24 Oktober 2010 pukul 21.30. 

Mariana Anggraini, ”Hakikat dan Fungsi“, http://www.digilib.ui.ac.id, diakses tanggal 23 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.

http://legislasi.mahkamahagung.go.id, diakses tanggal 20 Oktober pukul 09.00 WIB.

http://mbaktyas.multiply.com, diakses tanggal 23 Agustus 2010.

http://www.ebay.shop.com diakses tanggal 25 Oktober 2010.

http://www.kaskus.us Diakses tanggal 23 April 2010 pukul 09.00 WIB

Daftar Wawancara / Interview

No
Nama
Alamat
Usia
Pekerjaan
Tanggal Interview
1
Lilik Wiyono
Turi, Sleman,DIY
68 tahun
wiraswasta
11 Desember 2009
2
Mulyanto
Karang Gayam, Catur Tunggal, Sleman DIY
74 tahun
wiraswasta

28 Juli 2010
3
Pongki Cahyo
Kota Yogyakarta, DIY
36 Tahun
Pegawai
11 Desember 2009
4
Sunaryo

Karang Gayam, Catur Tunggal, Sleman, DIY
40  tahun

wiraswasta

19 Febuari 2010
5
Sunardi
Imogiri, Bantul, DIY
38 tahun
wiraswasta
 30 Juni 2010
6.
Suyadi
Kompleks Purawisata Yogyakarta, DIY
53 tahun

wiraswasta
30 Juni 2010
7
Wagiyo

Karang Gayam, Catur Tunggal, Sleman DIY
57 Tahun

wiraswasta
28 Juli 2010
8
Wandi Wiroatmojo
Karang Malang, Sleman, DIY
80 tahun
Kepala Dukuh, Karang Malang
19 Februari 2010



[1] Sebenarnya tidak hanya lotere saja, judi jenis lainnya juga banyak dilakukan dalam aktivitas masyarakat Yogyakarta pada waktu itu. (Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2009 pukul 19.00WIB di Karanggayam).

[2] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.   
[3] Hal ini senada dengan apa yang dikemukakan oleh Wandi Wiroatmodjo, melihat antusiasme anak – anaknya yang menginginkan bekerja menjadi guru. Wandi Wiroatmodjo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang. Lihat juga buku Sosiologi Pedesaan jilid1. (Sosiologi Pedesaan jilid1,1994 : 2).
[4] Lihat Monografi daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1979. (Kantor Pusat Data DIY,1979: 314).
[5] Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, fragmentasi tanah menyebabkan usia produktif lebih memilih urbanisasi (Soemardjan, 1980: 296-297).
[6] Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat juga Harian Wawasan, 22 Nopember 2008
                [7] Mulyanto, wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30 WIB, di Karanggayam. Lihat juga artikel Tedy Novan (Novan, 2008), dan penjelasan James T. Siegel (Siegel, 2002:150).

[8] Fotografer mengabadikan gambar tersebut dan menggunakannya sebagai sampul pos. (http://djawatempoedoeloe.multiply.com, Diakses tanggal 24 Oktober 2010 Pukul 16.30 WIB).

[9] Wandi Wiroatmodjo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[10] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam
[11] Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam
[12] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[13] Hal ini dikemukakan Sunardi, tahun 1970an hingga 1990an di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, sering ditemukan perjudian ketika ada selametan pasca melahirkan. Sunardi, wawancara , 30 Juni 2010, pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[14] Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[15] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam, dan Sunardi. wawancara, 30 Juni 2010, pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta. 
[16] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
                [17]Mulyanto, wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30 WIB, di Karanggayam. Lihat juga ulasan Tedy Novan, (Novan, 2009).
[18] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam dan Wandi Wiroatmojo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang. Lihat juga aliran kebatinan yang dijelaskan Niels Mulder. (Mulder,2001: 52-54).
[19] Dikemukakan Niels Mulder, ketika  ia mengadakan penelitian di Yogyakarta bertepatan dengan merebaknya judi nalo. Masyarakat sangat antusias dengan perjudian jenis kupon tersebut (Mulder,2001: 51-52).
[20] Wandi Wiroatmodjo, wawancara,  19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[21] Lilik Wiyono, wawancara,11 Desember 2009, pukul 15.00 di Turi, Sleman. Lihat juga paparan Mudjijono (Mudjijono. 2002 : 24).
[22] Senada dengan yang diungkapkan Mulyanto, bahwa judi buntut adalah judi yang diundi berdasarkan nomor hasil undian Nalo, tapi seiring dengan diberhentikannya izin peredaran nalo, judi ini kemudian berkembang di bawah beberapa bandar – bandar, dengan nama sesuai kelompok bandar. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.  
[23] Hal ini dijelaskan dalam Surat Keputusan Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169 Tentang Penyelenggaraan Undian Harapan .
[24] Mulyanto. wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Dimuat juga dalam Kedaulatan Rakjat, 23 Desember 1971.
[25] Mulyanto, wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30 WIB, di Karanggayam.
[26]  Bapak Mulyanto sering memergoki mahasiswa UGM yang beliau kenal mampir di kios – kios penjual kupon Nalo. Bahkan ketika Bapak Mulyanto  menjadi penjual kupon Dana Harapan pun, banyak mahasiswa membeli kupon dari beliau. Mulyanto. wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30WIB di Karanggayam .
[27] Lihat juga UU No. 7 Tahun 1979 Tentang Perjudian. 
[28] SK Menteri Sosial No.  K\55-IT\76\MS tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto Raga dan Toto Lainnya.
[29]Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[30] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[31] Bisa dilihat dalam SK Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 69 / KPTS / 1988 Tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).   
[32] Sunaryo, Wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam. Lihat juga iklan TSSB di surat kabar Kedaulatan Rakyat.( Kedaulatan Rakyat, 22 Febuari 1988).
[33] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam dan Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat juga poster petani yang lebih memilih mengotak - atik Porkas daripada turun ke sawah. (Bernas, 15 juli 1987).
[34] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam dan Mulyanto, wawancara  28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[35] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[36] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[37] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam. Lihat juga iklan pada surat kabar  Kedaulatan Rakyat. (Kedaulatan Rakyat, 23 Agustus1986, Kedaulatan Rakyat, 12 Juli 1987 dan Kedaulatan Rakyat,11 Oktober 1987). 
[38] Wandi Wiroatmodjo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 14.30 WIB di Karangmalang.
[39] SK Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor : 69 / KPTS / 1988 tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).   
[40] Wandi wiroatmojo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 14.30 WIB di Karangmalang.
[41] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[42] Sunaryo, wawancara, 28 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[43] Pongky Cahyo, wawancara, 11 Desember 2010, pukul 13.30WIB di UGM.
[44] Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS / 1988 Tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran Bukti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
[45]Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 36/KPTS/1989 Tentang Penetapan/Penunjukan Loket-Loket Penjualan BSDSB Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta.
[46] Sunardi, wawancara , 30 Juni 2010, pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[47] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam dan Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[48] Wandi Wiroatmodjo, wawancara 19 Febuari 2010, pukul 14.30 di Karangmalang.
[49] Mulyanto wawancara, 28 Juli 2010, dan Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[50] Pongki Cahyo, wawancara, 11 Desember 2009, pukul 13.30WIB di UGM.
[51]Sunaryo , wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam. 
[52]  Wandi Wiroatmodjo,wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[53] Seperti yang dituturkan oleh Pongki, ketika itu ia sebagai pelajar bersama teman – teman sebayanya iseng - iseng mencoba peruntungan membeli kupon TSSB ataupun KSOB. Pongki Cahyo, wawancara, 11 Desember 2009. Lihat juga Kedaulatan Rakyat, 23  Nopember 1988.
[54] Sunardi, wawancara , 30 Juni 2010, pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[55] Wagiyo mengungkapkan, ketika kios – kios Porkas  tersebar hingga masuk ke gang – gang kampung sekitar Catur Tunggal, beberapa oknum mahasiswa tanpa malu – malu membeli kupon. Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB di Karanggayam.
[56] Seperti yang dikemukakan oleh Mulyanto, Beberapa kerabat beliau yang menjadi Pegawai negeri, sering kali mencuri -  curi waktu pada jam kerja untuk mengotak atik ramalan dan menebak nomor. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[57] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 di Karanggayam.
[58] Dalam hal ini Sunaryo memecahkan kode menggunakan rumusan-rumusan yang beliau karang sendiri dihubungkan dengan kejadian beruntun sehingga memperoleh nomor yang bisa dipertaruhkan dalam Porkas. Sunaryo, wawancara, 19 Febuari 2010 pukul 15.00 di Karanggayam.
[59] Ngalap nomer merupakan istilah yang tidak asing pada waktu itu untuk menyebutkan perilaku masyarakat penggemar judi kupon dalam mendapatkan nomor - nomor yang akan dipertaruhkan melalui cara-cara mistis. Sunaryo, wawancara,  26 Febuari 2010, pukul 15.00 di Karanggayam
[60]  Pongki Cahyo, wawancara, 11 Desember 2009.
[61] Lilik wiyono, wawancara,11 Desember 2009, pukul 15.00 di Turi, Sleman.
[62] Lihat juga gambar iklan yang terdapat pada Kedaulatan Rakyat (Kedaulatan Rakyat, 23 juli 1986).
[63] Suyadi, wawancara , 30 Juni 2010 pukul 13.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[64] Sunaryo, wawancara,  26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam. Larangan tersebut tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang ketentuan pengedaran SDSB (Tempo, 4 Febuari 1989 : 21).
[65] Sunaryo, wawancara, 28 Juli 2010,pukul 15.00 WIB di Karanggayam.

[66] Resesi disebabkan oleh kebijakan pemerintah melalui program Pakto (Paket Oktober) yang memberi kemudahan dalam pendirian bank, sehingga mata uang Rupiah mengalami kejatuhan dan harga – harga melambung tinggi (Muttaqin,dalam www.jurnal-ekonomi.org dan Pour, 1997: 297). Pada waktu itu, masyarakat yang gila Porkas tidak peduli dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. KSOB dan TSSB justru semakin ramai. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010 pukul 19.00 di Karanggayam.

[67] Sunaryo, wawancara,  26 Febuari 2010,pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[68] Sunaryo, wawancara,  26 Febuari 2010 pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[69]Seperti yang dilakukan teman sebaya Pongki yang sengaja menggunakan uang SPP untuk membeli kupon TSSB atau KSOB. Pongki Cahyo, wawancara. 11 Desember 2009 lihat juga Kedaulatan Rakyat, (Kedaulatan Rakyat, 23  Nopember 1988).
[70] Wagiyo,wawancara, 28 Juli 2010 dan Mulyanto, Wawancara, 28 Juli 2010.  
[71] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat juga Masa kini, (Masa kini ,15 Nopember 1988).
[72] Seperti yang dialami oleh para kerabat Wagiyo, keluarga mereka tak henti - hentinya menyadarkan mereka untuk lepas berharap pada sesuatu yang belum pasti. Wagiyo. wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[73] Mimbar tersebut juga diramaikan oleh mahasiswa, yang berunjuk rasa menentang SDSB di Boulevard UGM, dan digelar sejak pagi. (Wirodono, 1994 : 56).
[74] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat juga Masa kini (Masa kini, 15 Nopember 1988).
[75] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB, di Karanggayam.  
[76] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam,  dan  Sunaryo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB, di Karanggayam.



 
Artikel Ini Dipublikasikan Dalam   JURNAL PATRAWIDYA, VOL 16, NO.2, Juni 2015 dg ISSN 1411-5239, Halaman 205-232

Komentar

UnKnown mengatakan…
Promo Terbesar Dari POKERVITA Situs Judi Poker, Domino99 dan BandarQ Online.
* Promo Bonus Turnover Harian/Mingguan/Bulanan
* Promo Refferal 15% Seumur Hidup

Kelebihan bermain bersama Pokervita -->
> Semua Bank Online 24 Jam (BCA, MANDIRI, BNI, BRI, DANAMON, OVOPAY, dan Go-Pay)
> Layanan LiveChat, BBM Dan WA Respon Cepat
> Proses Deposit & Withdraw Maksimal 3 Menit (Keadaan Bank Normal)
> Minimal Deposit Terjangkau Rp.10.000
> Total Bonus Jackpot Hingga Ratusan Juta Rupiah Setiap Harinya
> Fair Play Tanpa Robot dan Tanpa Admin
> Rate Kemenangan Tertinggi

Menyediakan 8 Permainan Dalam 1 Akun!
> POKER
> DOMINOQQ
> CAPSA SUSUN
> BANDARQ
> BANDAR POKER
> SAKONG
> ADUQ
> BANDAR 66

POKERVITA juga menyediakan beberapa game populer saat ini, Judi Bola, Casino Online, Sabung Ayam, Tembak Ikan Joker.

Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker

DAFTAR KLIK SINI

Cheat Poker Online POKERVITA SITUS RESMI POKER ONLINE TERPERCAYA

JADWAL SABUNG TERLENGKAP agen adu ayam terbesar sejak 2014
918Kiss mengatakan…
It's really a nice and helpful piece of information. I'm glad free slot games in malaysai that you shared this helpful info with us. Please keep us informed like this.
SCR888 Cafe mengatakan…
I was searching for that post kiosk 918kiss login quick a long time... fortunately I found it on right time...Thanks again for sharing
3win8 mengatakan…
wow i love t hat SO much... can i cut and paste it into my blog?? 3win8 apk andriod but give u credit, of course???

Postingan populer dari blog ini

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par