Indra Fibiona
Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta
Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152
e-mail : indrafibiona@yahoo.com
ABSTRAK
Fenomena
maraknya lotere baik legal maupun
ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat
jawa. Lotere memiliki ekses negatif
terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode
penelitian snowball sampling dan
triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini
menjelaskan tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah
Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk
setiap kali pengundian lotere. Keberadaan
KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang
ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di tahun 1989.
SDSB mendapat penolakan dari tokoh masyarakat serta mahasiswa khususnya di DIY.
Mendapat tekanan dari masyarakat, pemerintah membekukan SDSB di akhir tahun 1993.
Walaupun telah resmi ditutup, masyarakat di DIY masih merindukan adanya lotere, hal tersebut memicu tumbuhnya lotere ilegal dan jenis judi lainnya.
Kata Kunci :
judi, lotere, Yogyakarta
From TSSB
to SDSB : History of The " legal
lottery " Contribution Prize in DIY , 1970s to 1993
ABSTRACT
The rising
phenomenon of both legal and illegal lottery in the 1970s made a stigma that
gambling was a tradition of Javanese society. The lottery had negative impacts
on the economy , including the economy in the DIY. This study is a qualitative
research which has theme of social history with snowball sampling research
methods and triangulation (criticism) the primary source of widespread lottery
events at that time . This research describes the operation of the lottery from
TSSB to SDSB in Yogyakarta with a historical framework. The results showed that
the funds from village were sucked into the Jakarta in many times for each
lottery draw. The existence KSOB and TSSB also sparked a public outcry because
of the negative impact. TSSB and KSOB metamorphosed into SDSB in 1989. SDSB
were rejected from community leaders and students, especially in DIY. Under the
pressure from public , government froze SDSB at the end of 1993. Although it
has been officially closed , the people in DIY still longed for the lottery , it
triggers the growth of illegal lotteries and other types of gambling.
Keyword :
gambling, lottery,Yogyakarta
I. Pendahuluan
Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1960an dikenal sebagai Propinsi
termiskin ketiga di Indonesia. 47 % dari seluruh lahan pertanian yang ada di DIY di antaranya adalah lahan kering dan kurang subur. Sementara itu, perpindahan masyarakat
dari desa yang tidak produktif ke Yogyakarta
tidak mampu meningkatkan kesejahteraan, justru semakin memperburuk keadaan dan
meningkatkan kemiskinan (Yossi, 2009). Dalam kondisi seperti itu, masyarakat miskin mudah terjebak dengan berbagai hal yang memberi mereka angan – angan mendapat kekayaan dengan mudah dan cepat, salah satunya melalui perjudian. Lotere pada waktu itu merupakan
jenis judi yang sangat marak dan menjadi
primadona. Tingginya
animo
masyarakat terhadap lotere disebabkan
oleh tingkat ekonomi yang rendah serta mulai banyaknya fragmentasi tanah. Masyarakat
banyak yang mencari jalan pintas agar dapat mencapai kehidupan sejahtera dan tercukupi segala kebutuhan, salah satunya dengan membeli lotere.[1]
Lotere tumbuh
subur dalam kehidupan masyarakat DIY secara
umum. Lotere tidak hanya dikonsumsi
oleh masyarakat miskin saja, melainkan hampir sebagian masyarakat ekonomi
menengah ke atas yang fanatik terhadap lotere. Pemerintah
pusat mengeluarkan kebijakan sumbangan sosial berhadiah (SSB) tahun 1979 (Mandayun,et.
all,1998 dalam Tempo : 23). “Lotere legal” tersebut bertahan hingga
kemudian di tahun 1985 Pemerintah meresmikan lotere jenis “Porkas”
Sepak Bola yang mulai diedarkan dan diperdagangkan di akhir tahun 1985 (Suara Merdeka.
19 Januari 2004). Masyarakat di Daerah Istimewa Yogyakarta terbuai dengan kehadiran undian kupon
semacam TSSB yang
berkembang hingga menjadi SDSB. Lotere – lotere tersebut menuai
pertentangan dari masyarakat karena ekses
negatif yang ditimbulkan. Puncaknya adalah demonstrasi anti-SDSB,
salah satunya seperti yang dilakukan oleh 5.000 mahasiswa di Daerah Istimewa Yogyakarta
(Wirodono, 1994 : 55-59). Sebagai
dampak kuatnya desakan pencabutan izin penyelenggaraan lotere tersebut di tingkat nasional, pemerintah mencabut dan
menghapus izin pemberlakuan SDSB tahun
1993 (Suara
Merdeka, 19 Januari 2004).
Permasalahan
utama yang diangkat dalam penulisan ini yaitu
bagaimana kegiatan perjudian dan pengaruhnya terhadap kegiatan ekonomi dan
kondisi sosial masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta, ketika legalisasi judi lotere TSSB hingga SDSB diberlakukan
secara nasional oleh pemerintah pada akhir 1970an hingga awal 1990an ? Dari permasalahan utama tersebut digali beberapa
pertanyaan penelitian. Pertama, mengapa TSSB, Porkas, KSOB dan SDSB bisa diizinkan oleh pemerintah DIY dan
diterima oleh masyarakat DIY? Padahal secara teoritis, semua bentuk perjudian
mempunyai ekses negatif terhadap kehidupan sosial. Kemudian seperti apakah
proses pengelolaan lotere tersebut di
DIY? Pertanyaan selanjutnya mengarah kepada pelaku ataupun orang - orang yang
terlibat yaitu mengenai
siapakah yang terlibat di
dalam proses penyelenggaraan lotere
tersebut? Apakah dampak yang ditimbulkan dari TSSB hingga SDSB bagi masyarakat DIY? Karena animo masyarakat terhadap
kupon - kupon baik TSSB
hingga SDSB makin menggila, timbul
gerakan masyarakat menentang keberadaan lotere
tersebut. Lalu Siapakah yang melakukan perlawanan terhadap ekses negatif yang
ditimbulkan lotere tersebut dan
dengan cara apakah mereka melakukan perlawanan?
Alasan
pemilihan Daerah Istimewa Yogyakarta
sebagai lingkup spasial dalam penelitian ini, yaitu DIY merupakan daerah yang kondisi ekonomi yang
secara makro rendah. Alasan kedua yaitu merujuk pada karakteristik masyarakat DIY yang beragam, sehingga timbul pro dan kontra mewarnai peredaran TSSB, Porkas, KSOB dan SDSB. Selain itu, dalam
kehidupan masyarakat DIY masih banyak yang menghubungkan hal-hal tahayul dan
mistis tersebut dalam peruntungan mencari jalan pintas menuju kekayaan dengan
TSSB, Porkas, KSOB dan SDSB. Sebuah Kotamadya di DIY juga terkenal dengan
sebutan kota pelajar, tetapi masyarakat justru banyak yang terjembab dalam masalah lotere
TSSB dan Porkas (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember1987).
Penelitian
ini berlatarkan waktu
tahun 1979 hingga 1993.
Tahun 1979 merupakan periode awal TSSB diselenggarakan, kemudian
disusul Porkas pada tahun 1986 dan KSOB di tahun 1988
dengan tujuan awal sebagai media penghimpun dana masyarakat guna memajukan
prestasi olah raga di Indonesia.
Lotere tersebut
bergejolak dari tahun ke tahun karena dipandang negatif oleh sebagian
masyarakat (Hartoyo dalam Tempo,
1993:40). Sedangkan tahun
1993 merupakan periode penghapusan lotere
SDSB oleh pemerintah pusat. Rentang waktu antara tahun 1979
hingga 1993 bukan waktu yang singkat,
pada rentang waktu tersebut
terjadi dinamika sosial akibat kebijakan pemerintah terkait dengan fenomena
TSSB, Porkas, KSOB hingga SDSB yang
menimbulkan stigma di masyarakat pada awal tahun 1990an.
Ada
beberapa tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yaitu untuk mendokumentasikan realitas sosial ekonomi dalam lingkup
teritorial Yogyakarta terutama terkait dengan kemunculan TSSB hingga SDSB.
Selain itu, menguraikan penjelasan
substansial mengenai fenomena lotere yang pernah merebak di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang
dianggap sebagai kebijakan pemiskinan rakyat serta tidak memihak terhadap masyarakat miskin. Realitas sosial seperti ini
sekarang hampir terlupakan oleh akademisi dan masyarakat umum sehingga perlu diangkat sekaligus di
waktu yang akan datang,
diharapkan mampu memberikan ide mengenai problem solving apabila ditemukan permasalahan serupa.
Penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang bertemakan sejarah sosial. Pengumpulan
data dilakukan dengan penelusuran sumber primer berupa arsip di Dinas Sosial, Biro Hukum DIY, Arsip Daerah Istimewa Yogyakarta
dan beberapa instansi lainnya. Kemudian melalui Majalah Tempo dan Majalah
Suara
Muhammadiyah terbitan tahun 1980an hingga 1990an, yang intens memuat berita mengenai lotere legal
sumbangan berhadiah.
Sedangkan sumber data
lainnya berasal dari beberapa surat kabar baik lokal maupun nasional. Penelusuran
sumber sekunder melalui studi pustaka berhasil menemukan lebih dari 20 karya penulisan yang memuat
peristiwa mengenai TSSB hingga SDSB. Data yang diperoleh kemudian
dikomparasikan dan diverifikasikan dengan sumber primer sehingga lebih selektif
dalam mengusung eviden yang betul –
betul kredibel.
Pencarian sumber data lisan menggunakan metode
interview atau oral history, Subjeknya antara lain konsumen kupon TSSB, Porkas,
KSOB dan SDSB, selain itu penjual atau distributor kupon – kupon tersebut.
Wawancara dilakukan dengan metode snowball
sampling. Data yang
diperoleh melalui interview
diverifikasikan (masuk dalam tahapan kritik sumber) melalui komparasi sumber
data lainnya seperti arsip, majalah, suratkabar yang telah didapat sehingga didapat
eviden yang kredibel dan dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
Penulisan ini tentu memiliki
perbedaan dengan kajian lainnya yang pernah meneliti tentang perjudian
khususnya lotere. Penelitian ini lebih fokus terhadap peristiwa
terkait Porkas, KSOB, TSSB dan
SDSB dan hubungan timbal balik dengan kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang
dibatasi oleh lingkup spasial Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian ini juga menjadi pelengkap proses perkembangan beberapa bentuk lotere yang telah dikaji dalam beberapa karya
penulisan, terutama lotere legal di Daerah Istimewa Yogyakarta
dalam ranah sejarah.
Penelitian ini mengkaji
tentang sejarah “lotre legal” sumbangan
berhadiah, diawali dengan paparan tentang kondisi masyarakat Yogyakarta
tahun 1970an hingga tahun 1980an, kemudian adanya “budaya judi” di kalangan
masyarakat Yogyakarta serta judi jenis lotere
yang dulu pernah ada di Yogyakarta. Dilanjutkan
dengan perkembangan TSSB hingga SDSB di Yogyakarta, diawali dengan
dikeluarkannya kebijakan TSSB, kemudian disusul dengan Porkas serta transformasinya menjadi KSOB, kemudian masuknya SDSB.
Sebagai klimaks dari fenomena “lotere
legal” adalah Realitas yang timbul
akibat dampak lotere tersebut dan kristalisasi dari
permasalahan pokok terkait fenomena TSSB hingga SDSB.
II.
Kondisi Sosial Ekonomi serta Perjudian
Pada Masyarakat DIY Tahun 1970an hingga
1980an
A.
Pendidikan dan Mata Pencaharian Masyarakat tahun 1970an hingga 1980an
Data tahun 1960an
hingga 1970an mengungkapkan 90% Penduduk DIY hanya berpendidikan tingkat SD
atau sederajat (Humas Propinsi DIY, 1994:51). Menginjak tahun 1980an, jumlah
sekolah tersebut cenderung tetap dengan peningkatan jumlah siswa walau tidak
signifikan (Djumali, 1988:4c-6c). Hal ini menandakan sedikitnya antusiasme
masyarakat terhadap pendidikan waktu itu.
Sebagian masyarakat beranggapan bahwa dalam mengolah lahan pertanian
tidak membutuhkan tingkat pendidikan yang tinggi, hanya butuh ketrampilan dan
keuletan.[2]
Usia nonproduktif
semakin bertambah dari tahun ke tahun di hampir seluruh wilayah Yogyakarta.
Data tahun 1976 hingga 1979 mengindikasikan peningkatan usia nonproduktif
sebesar 680% (Kantor Pusat Data DIY,1979: 314). Menurut data Survey Penduduk
Antarsensus (SUPAS) tahun 1976, dari 2.624.138 jiwa penduduk DIY, 1.142.888 jiwa
diantaranya merupakan usia nonproduktif. Di pedesaan sendiri, lapangan
pekerjaan tidak dapat mengimbangi jumlah tenaga kerja produktif. Hal ini
menyebabkan meningkatnya urbanisasi ke kota dan menimbulkan masalah sosial dan
ekonomi baru di perkotaan. Melalui pendekatan teori W. Peterson, maka dapat
dikatakan 77 penduduk usia non produktif
DIY ditanggung oleh 100 penduduk usia produktif (Nototaruno,1979 dalam Kedaulatan Rakyat). Generasi muda (usia
produktif) lebih memilih menjadi kaum
urban di kota, bukan dilatarbelakangi oleh ketidakinginan bermatapencaharian
petani, tetapi mereka menyadari bahwa kehidupan yang memadai tidak bisa
tercapai karena semakin banyaknya fragmentasi tanah di desa (Soemardjan, 1980:
296-297).
Masyarakat pedesaan di
DIY hingga tahun 1980an pada umumnya
lebih berorientasi untuk bekerja sebagai petani. Pekerjaan seperti guru atau
sejenisnya kurang mendapatkan perhatian. Namun mendekati tahun 1990, pekerjaan
guru mulai dilirik generasi muda.[3] Di tahun 1980an, generasi muda mulai sadar
akan pentingnya pendidikan. Data tahun 1988 tercatat 102.476 mahasiswa yang
berkuliah di 49 perguruan tinggi baik swasta maupun negeri di DIY (Djumali,
1988:4c-6c). Meningkatnya jumlah masyarakat yang ingin menikmati pendidikan di
DIY mengakibatkan sarana pendidikan semakin berkembang (Dahlan, 1992:75-79). Semakin banyaknya fragmentasi
tanah di desa serta terbukanya pemikiran masyarakat desa akan pendidikan
melatarbelakangi keluarga tani yang berkecukupan di pedesaan menginginkan putra
– putrinya mengenyam pendidikan di
perguruan tinggi (Sosiologi Pedesaan
jilid1,1994 : 2).
Gunung Kidul merupakan
daerah yang masyarakatnya minim dalam mengenyam jenjang pendidikan baik formal
maupun informal. Sebagian besar penduduk Gunung Kidul hanya mengenyam pendidikan
setingkat Sekolah Dasar hingga SMP (Darmaningtyas,
2002:359). Tingkat Pendidikan yang dicapai masyarakat pada waktu itu
mengantarkan masyarakat pada pencapaian matapencaharian mereka.
B.
Tingkat Kemiskinan dan Kriminalitas di
DIY
Secara konseptual
kemiskinan diklasifikasikan menjadi dua, yaitu absolute deprivation (kemiskinan absolut) dan relative deprivation (kemiskinan relatif). Kemiskinan absolut menunjuk
kepada mereka yang tidak bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, bisa disebabkan
karena cacat ataupun usia nonproduktif, sedangkan kemiskinan relatif adalah mereka yang sudah
bisa memenuhi kebutuhan dasarnya, tetapi mereka tidak bisa memenuhi standar
normal kehidupan yang berlaku dalam masyarakat tersebut (Sukamto dalam Jurnal
Studi Pembangunan, 2000:56). Di DIY, kemiskinan absolut (golongan usia
nonproduktif) dari tahun ke tahun jumlahnya selalu meningkat.[4]
Hal ini disebabkan oleh generasi penerus kaum produktif yang enggan memilih
hidup di desa untuk menopang kesejahteraan usia non produktif, sehingga hidup
dalam keterbatasan ekonomi.[5]
Daerah yang berpenduduk
miskin di Yogyakarta di dominasi Kabupaten Gunung Kidul yang dibayangi
kekeringan lahan dan minimnya lapangan pekerjaan, sedangkan masyarakat hidup
dengan kebutuhan yang cukup banyak. Sikap pamer, suka dipuji menyebabkan
sebagian masyarakat mengedepankan prestise daripada kebutuhan yang seharusnya
lebih diprioritaskan (Darmaningtyas,
2002:370-373). Di tahun 1984 tercatat bahwa Yogyakarta menempati urutan ke 2, Propinsi
termiskin di Indonesia dilihat dari rendahnya biaya hidup masyarakat Yogyakarta
dibandingkan dengan 27 Propinsi di Indonesia (Djumali, 1988:4c-6c).
Rendahnya SDM sejalan
dengan banyaknya kemiskinan secara teoritis berpengaruh pada besarnya tindak
kriminalitas. Di DIY, dari tahun 1970an tindak
kriminalitas yang sering banyak dijumpai adalah tindak premanisme.[6]
Kasus tindak premanisme tahun 1980an di Yogyakarta terbilang cukup besar. Para preman di Yogyakarta
sering melakukan pemerasan terhadap pemilik - pemilik toko (Siegel, 2002:150). Pada tahun 1983, Yogyakarta
adalah wilayah yang pertama kali diterapkan Operasi Clurit atau dikenal dengan
penembakan misterius (Petrus) (Kompas, 6 April 1983). Operasi Petrus yang
digalang oleh Komandan Garnisun Yogyakarta menyisir preman dan copet di Yogyakarta
untuk menciptakan pariwisata yang kondusif (Siegel, 2002:150). Tindak premanisme di Yogyakarta memiliki
kaitan erat dengan perjudian yang marak di tahun 1980an (Novan, 2008).
Selain tindak premanisme yaitu tindak pencurian yang kian marak seiring
berkembangnya pariwisata Yogyakarta. Tingkat kriminalitas di daerah pariwisata Yogyakarta
tidak dapat ditekan dengan maksimal terutama tindak pencurian terhadap
wisatawan asing (Singarimbun
2003:38,42-46).
Tindak kriminalitas lainnya yaitu perjudian yang marak di kalangan masyarakat
sejak tahun 1950an hingga 1980 DIY, terutama dalam golongan masyarakat marginal. Perjudian semakin dikecilkan
ruang geraknya oleh aparat penegak hukum. Masyarakat kemudian mengorganisir
perjudian-perjudian gelap dengan bantuan preman. Inilah mengapa tindak
premanisme menjamur sebagai dampak perjudian pada waktu itu.[7]
C.
“Tradisi Judi” Dalam Kehidupan Masyarakat
Daerah Istimewa Yogyakarta
Masyarakat Jawa,
khususnya DIY telah mengenal perjudian sejak lama. Bukti bahwa masyarakat jawa
telah mengenal judi dapat dilihat pada lukisan relief di Candi Borobudur
(Haryanto, 2003:6). Namun sebetulnya judi dalam masyarakat Jawa digolongkan
dalam aktivitas 5-M (mo limo) yang
harus dijauhi. Mo limo tersebut
antara lain minum-minuman keras atau mabuk madon atau main perempuan, maling
atau mencuri, madat atau candu narkoba (narkotika dan obat-obatan terlarang)
serta main atau judi (bebotohan)
(Kartini, 1983:78). Pada masa penjajahan Belanda pun terdapat larangan untuk
berjudi, seperti yang ditegaskan pada Staatsblad
(Lembaran Negara) Tahun 1912 Nomor 230, Staatsblad
Tahun 1935 Nomor 526. Pada intinya, kedua Staatsblad
tersebut melarang segala bentuk perjudian baik yang menggunakan perantara
bandar ataupun tidak. Walaupun ada larangan untuk berjudi, masyarakat tidak
memperdulikan hal tersebut. Bahkan maraknya perjudian pada waktu itu
didokumentasikan dan digunakan sebagai kartu pos yang dikeluarkan pemerintah
Hindia Belanda.[8]
Orang Jawa khususnya
masyarakat Yogyakarta sendiri banyak yang melakukan perjudian dengan berbagai
ragam dan jenis perjudian, walaupun terdapat norma yang mengikat orang Jawa
untuk tidak melakukan bebotohan atau
judi . Jenis – jenis perjudian yang sering dilakukan masyarakat di Yogyakarta di
antaranya seperti adu jago atau sabung ayam, cliwik atau judi dadu, botoh
Neker atau judi kelereng, gaple atau teplek (Domino), ceki atau
kartu Remi, ngépul atau bertaruh skor
bola dengan kertas yang digulung. kemudian beberapa judi lotere, baik yang resmi ataupun tidak resmi.[9]
Sebagian masyarakat Yogyakarta tak bisa lepas
dari perkara mo limo terutama moh main (tidak berjudi). Sebagian tidak
mau meninggalkan berjudi karena sudah terbiasa melakukannya dan menjadi candu.
Tindak perjudian banyak dijumpai hampir di seluruh wilayah Yogyakarta dengan
perlindungan dari berbagai pihak yang berkepentingan, baik itu dari preman
bahkan dari aparat penegak hukum sendiri.[10]
Fenomena maraknya judi
waktu itu dibuktikan dengan maraknya judi teplek
di Desa Caturtunggal, Depok, Sleman, Yogyakarta.
Bahkan di malam haripun ketika diadakan Siskamling (sistem keamanan keliling)
warga terkadang berjudi untuk menghilangkan penat.[11]
Selain judi teplek, banyak juga
ditemukan judi sabung ayam seperti di seputaran Kota Yogyakarta dan daerah
Sleman terletak dekat dengan Jalan Gejayan. Jenis judi ini banyak ditemukan di berbagai wilayah di DIY pada
tahun 1960an hingga tahun 1980an.[12]
Acara pernikahan pun terkadang digunakan untuk ajang bermain
judi kartu atau ceki (Remi) serta teplek atau domino. Jika tawaran pertaruhan dari salah seorang penjudi menarik,
penjudi yang terlarut dalam perjudian biasanya melanjutkan kegiatan perjudian
walau acara pernikahan telah usai. Pertaruhan judi jumlahnya sangat besar,
senilai sebidang tanah. Dalam sebuah hajatan bisa diramaikan oleh 8 kelompok
penjudi dan berlangsung selama 3 hari berturut-turut (Soekardjo,
2008:286). Acara selamatan paska
melahirkan juga biasanya dijadikan ajang botohan atau taruhan judi kartu remi.
Kegiatan tersebut berlangsung hingga pagi, kemudian dilanjutkan dengan
aktivitas seperti biasanya, yaitu mencari nafkah.[13]
Acara berkabung terkadang dijadikan sebagai ajang
berjudi. Masyarakat percaya bahwa arwah orang yang telah meninggal akan kembali
menjumpai keluarga apabila jenazah meninggal dalam kurun satu hari. Para
tetangga yang turut datang di rumah warga yang sedang berkabung tidak tidur
semalam suntuk agar arwah orang yang meninggal tidak datang untuk mengganggu.
Pada saat menunggui arwah tersebut digunakan untuk kegiatan berjudi agar tidak
suntuk. Kegiatan judi tersebut harus
mendapat izin dari keluarga yang berkabung.[14]
Pada tahun 1970an judi ngépul sangat marak. judi ngépul yaitu judi yang cara bermainnya
mengambil secara acak gulungan kertas kecil yang berisikan angka. Angka
tersebut dicocokkan dengan hasil pertandingan sepak bola yang berlangsung di stadion.[15]
Pada saat kunjungan Ratu Juliana ke Gedung Agung tahun 1971 sebagian warga
berjudi teplek atau domino. Tidak hanya warga sipil yang
berjudi, beberapa oknum Polisi Militer pun ikut meramaikan judi tersebut.[16]
Bentuk perjudian
lainnya yang juga banyak dijumpai di wilayah Yogyakarta adalah judi cliwik atau judi dadu. Di Tahun 1980an
misalnya, Shopping Center Serba Guna digunakan sebagai arena judi cliwik atau judi dadu di bawah naungan Pemuda
Pancasila.[17] Dari
beberapa hal tersebut menunjukkan bahwa perjudian masyarakat Yogyakarta
dilakukan dengan frekuensi yang cukup padat, walaupun terdapat larangan dari
pemerintah terkait tindak perjudian. Para penjudi didominasi oleh masyarakat
DIY yang berumur paruh baya (Koeswinarno,2000:84). Hal tersebut yang menjadi stigma bahwa judi
merupakan bagian dari tradisi masyarakat DIY.
D.
Judi Lotere Di Daerah Istimewa Yogyakarta
Beragam
Judi jenis kupon atau yang lebih dikenal dengan lotere banyak dijumpai pada tahun 1940an hingga 1970an. Lotere hadir di DIY dengan beragam wajah, salah satu yang terkenal
pada waktu itu adalah jaw jie liang
yang berpusat di Jakarta. Pengundian
dilakukan setiap satu ataupun dua pekan sekali. Permainan lotere lainnya yaitu Undian Uang Besar yang diadakan setiap dua
pekan. Pengumuman pemenang lotere
yang beruntung mendapatkan hadiah dimuat di surat kabar Shin Po (Harian Shin
Po, 29 Mei 1956).
Judi lotere marak kembali di DIY terutama di Tahun 1960an, saat
pemerintah mengeluarkan kebijakan lotere
yang dikelola secara legal untuk dana pembangunan yang dikenal masyarakat Yogyakarta,
yaitu national lottery atau nalo. Niels Mulder pernah menyatakan
bahwa judi merupakan budaya orang jawa. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya
masyarakat yang antusias terhadap kupon nalo
kala itu. Hal tersebut dibantah Karkono Partokusumo (staf lembaga javanologi
Yayasan Panunggala Yogyakarta) yang menyatakan bahwa Niels Mulder melihatnya
tidak secara menyeluruh sehingga timbul interpretasi judi di kalangan
masyarakat Jawa sudah menjadi tradisi (Widada dalam Harian Bernas, 16 Maret 1986). Kebiasaan judi yang diungkapkan
Niels Mulder adalah masa – masa ketika demam nalo (national lottery)
melanda Yogyakarta. Banyak ditemukan warung – warung baik yang resmi maupun
tidak resmi yang menjual nalo pada
waktu itu. Kehadiran nalo juga
disertai dengan perilaku masyarakat yang mendatangi para peramal untuk meramal
pertaruhan nalo. Selain itu juga
kerap ditemukan anggota aliran kebatinan meminta ramalan pada pemimpin
kebatinan.[18] nalo pada waktu itu merupakan bisnis
yang menggiurkan bagi bandar, pengusaha dan jasa peramal di Yogyakarta.[19]
Kupon nalo dijual dengan harga Rp.100,00 dan
diedarkan dengan menggunakan izin dari Dinas Sosial. Begitu juga dengan toto totalisator atau lotto yang banyak beredar di Yogyakarta.
Judi ini legal dan pendistribusiannya diawasi oleh pemerintah. toto totalisator didistribusikan di Kota
Yogyakarta dan sebagian Kabupaten Sleman.[20]
Penyelenggara nalo di Yogyakarta
adalah Ong Ging Ging yang lebih dikenal dengan nama Onggo Hartono (Aly dan Albanik,
2004 : 332). Kedua judi kupon tersebut
banyak dijual di areal THR (Taman Hiburan Rakyat) Yogyakarta yang sekarang berubah nama menjadi
Purawisata.[21]
Beberapa bandar bekerjasama dengan oknum aparat penegak hukum, sehingga jenis
perjudian ini bisa bertahan lama.[22]
Tahun 1968, kedua jenis lotere ini
mendapat protes dari organisasi Islam Muhammadiyah karena dianggap bertentangan
dengan agama (Suara Muhammadiyah,
No.23/76/1991 :17).
Jenis lain judi kupon
lainnya yang banyak dijumpai di tahun 1970an yaitu lotere dana harapan, lotere daerah
atau dikenal dengan loda dan hwa hwe. Kedua jenis lotere tersebut memiliki izin beredar
dari pemerintah DIY. Lotere dana harapan disebut juga undian harapan dan dikelola oleh
pemerintah pusat di bawah Yayasan Rehabilitasi Sosial yang berubah nama tahun
1978 menjadi Badan Usaha Undian Harapan (http://tempointeraktif.com).
Hasil penarikan lotere undian harapan digunakan untuk membiayai
penannggulangan masalah sosial.[23]
Sedangkan loda dan hwa hwe dikelola oleh pemerintah Kota Yogyakarta.[24]
Penyelenggaraan Loda di
DIY diberhentikan di tahun 1974, di awali dengan ditutupnya Taman Hiburan
Rakyat (tempat pengundian loda) dan
pemberhentian Proyek Kassa tahun 1973 (Harian Masa Kini, 5 Mei 1973).[25]
Sedangkan lotere undian harapan dibekukan pada tahun 1978 oleh pemerintah pusat
karena menuai protes dari masyarakat (Hartoyo dalam Tempo,1993 : 40). Selain
lotere resmi,, judi buntut juga booming
dalam kehidupan masyarakat di DIY Tahun 1960an hingga 1980an. Penjualan judi buntut banyak dijumpai sekitar
daerah THR. Sisanya tersebar di Jalan Gejayan, Jalan Kaliurang. Pembelinya pun
beragam, dari buruh, tukang becak bahkan mahasiswa.[26]
Melihat dampak lotere yang sangat besar terhadap
masyarakat, pemerintah melarang segala jenis perjudian dan lotere dengan mengeluarkan Kepres RI No 47 tahun 1973 tentang penertiban perjudian
dan UU No. 7 Tahun 1974 . Dalam UU No. 7
tahn 1974 dijelaskan bahwa ditinjau dari
kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai ekses yang negatif
dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama terhadap generasi
muda. Meskipun hasil perjudian yang diperoleh pemerintah baik pusat maupun
daerah dapat digunakan untuk usaha-usaha pembangunan, ekses negatifnya lebih
besar daripada ekses positifnya (Anggraini, 2008).[27] Pada tanggal 9 Febuari tahun 1976, presiden
menginstruksikan kepada menteri sosial untuk menghentikan segala jenis toto atau undian.[28] Walaupun
pemerintah mengeluarkan larangan perjudian, perjudian ilegal justru semakin
marak. Undian liar atau kupon putihan
banyak dijumpai dan susah ditertibkan. Hingga Tahun 1979, jenis undian liar merebak, diedarkan secara
sembunyi - sembunyi dan terstruktur melalui beberapa agen di DIY (Kedaulatan Rakyat, 24 Febuari 1979).
Pemerintah DIY mengalami kesulitan dalam menangani masalah perjudian gelap.
Banyak oknum aparat yang mengeruk keuntungan perjudian jenis lotere di DIY. Oknum tersebut biasanya
membiarkan perjudian di awal pekan. Menjelang akhir pekan, para bandar
mendapatkan uang banyak hasil dari penarikan. Mereka bertindak menertibkan
perjudian dengan menangkap bandar judi untuk dimintai sejumlah uang hasil dari
penarikan. Para bandar juga terkadang lebih memilih untuk mendekam di penjara
apabila tidak mampu membayar pemenang lotere
yang berhasil menebak tepat. Fenomena tersebut dianggap lazim dan banyak
dijumpai di tahun 1970an (Mulder, 2001:52).
III. Penyelenggaraan TSSB hingga SDSB di DaErah Istimewa
Yogyakarta
Masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta sebetulnya masih trauma
terhadap bentuk perjudian jenis lotere.
Antusiasme
masyarakat belum sepenuhnya terlihat menyambut diberlakukannya TSSB, disebabkan oleh tingginya intensitas penegak hukum memberantas jenis
judi lotere yang ilegal (judi putihan) waktu itu. Adanya kebijakan
pemerintah DIY yang melarang segala tindak perjudian dengan dikeluarkannya UU
no.7 tahun 1974 mengakibatkan masyarakat takut dan
enggan, sehingga sosialisasi diselenggarakannya
Sumbangan Sosial Berhadiah belum bisa diterima oleh masyarakat Yogyakarta. Baru
seteleh dikeluarkan kebijakan Porkas,
sedikit demi sedikit antusiasme masyarakat mulai bergeliat.[29]
Pendistribusian TSSB berdasarkan SK Menteri Sosial nomor 29/BSS
1988, memberikan wewenang penentuan wilayah peredaran TSSB pada gubernur (Rasyid dalam Tempo. 23 Juli 1988 : 22). TSSB didistribusikan di
tempat yang strategis dan terbuka untuk umum. Distribusi TSSB diawasi ketat
oleh Pemerintah DIY.[30]
Pendistribusian TSSB di wilayah DIY diatur dalam Surat Keputusan Gubernur DIY
Nomor : 69 / KPTS / 1988 tentang
penetapan wilayah administrasi peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah
(KSOB) dan atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).[31] Di
daerah Sleman, penjualan
TSSB tersebar di sepanjang Jalan
Kaliurang, Jalan Gejayan, dan Jalan
Magelang. Rata – rata penjual yang berada di sepanjang jalan protokol adalah
penjual yang memiliki izin resmi atau disebut juga agen resmi TSSB.[32]
Konsumen TSSB sangat beragam, mulai dari
masyarakat ekonomi menengah ke bawah terutama petani, pedagang, buruh, tukang
becak menjadi konsumen tetap TSSB. Beberapa oknum pegawai negeri juga turut jadi bagian konsumen TSSB. Biasanya mereka menjual jatah
beras satu tahun untuk membeli nomor TSSB.[33]
Di tahun 1986, para
penggemar Porkas dan TSSB menghabiskan hari – harinya untuk
memprediksi dengan mengotak - atik kode ramalan Porkas dan TSSB. Alasan yang membuat mereka tertarik pada umumnya
adalah jumlah hadiah utama yang menggiurkan.[34] Porkas terdiri dari dua kupon, yaitu kupon putih dan kupon hijau. Kupon hijau merupakan
kupon terlaris
di DIY karena harganya yang terjangkau bagi kalangan menengah bawah (Wirodono, dalam Kedaulatan Rakyat. 8 September 1987). Sedangkan untuk kupon
TSSB yang paling laku terjual adalah kupon dengan harga Rp.300,00. Porkas dan TSSB didistribusikan melalui
agen-agen yang tersebar di hampir seluruh wilayah kabupaten. Tiap agen harus
memiliki izin yang dikeluarkan pemerintah daerah melalui Dinas Sosial. Mengurus izin penjualan
atau agen Porkas dan TSSB tidaklah mudah, karena dari
pihak Dinas Sosial harus melakukan survei terhadap lingkungan yang tidak boleh
dekat dengan peribadatan, sekolah untuk menghindari ekses negatif.[35]
Jika agen - agen besar, pengajuan izin untuk mengedarkan TSSB dan Porkas ditujukan kepada Dinas Sosial Propinsi atas
persetujuan gubernur. Agen besar TSSB dan Porkas
yang mendapatkan izin resmi dari Dinas Sosial dan gubernur berada di Daerah
Tingkat II dalam mengedarkan kupon tersebut.[36]
Beberapa agen yang terletak di Kabupaten Sleman dan Kotamadya Yogyakarta di antaranya di
Jalan Mayor Suryotomo No. 2-D, Toko Semeru di
Jalan Gejayan No.19A, serta beberapa agen lainnya di Jalan Mas Suharto,
Jalan Kaliurang serta Jalan Magelang KM 6.[37]
Pengumuman hasil undian Porkas di Yogyakarta
dicantumkan melalui surat kabar Kedaulatan Rakyat, atau bisa melihat di papan
pengumuman yang terletak di depan Gedung Redaksi Kedaulatan Rakyat, Jalan
Mangkubumi yang mulai dipampang sejak pukul 23.00 WIB. Para pengecer Porkas biasanya datang untuk melihat hasil pengundian, kemudian
hasil tersebut mereka umumkan di lapak ataupun kios mereka.[38]
Pengelola Porkas untuk wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta dipercayakan kepada PT Bola Mas Sukses Sejati (Hendridewanto, dalam Tempo, 20 Juni 1987 :18). Pemerintah Daerah Kotamadya Yogyakarta
melayangkan surat kepada Gubernur DIY tanggal 17 Nopember 1987 mengenai
penentuan 75 lokasi penjualan kupon Porkas
di wilayah Kota Yogyakarta agar mudah dikontrol. Hal
ini ditanggapi positif untuk mengurangi ekses negatif akibat penjualan Porkas yang tidak terpantau, mengingat
penjualan Porkas sudah masuk ke
pelosok dan merambah remaja serta pelajar (Kedaulatan
Rakyat, 18 Nopember 1987).
Ketika Porkas ditutup dan
diganti menjadi KSOB, lembaran lembaran KSOB pun banyak diburu oleh para penggemar lotere di Yogyakarta. Namun ketenaran Porkas dan KSOB tidak secemerlang TSSB yang berhasil meraup untung
lebih banyak. Distribusi KSOB di wilayah DIY mengacu pada SK Menteri Sosial
nomor 29/BSS 1988, yang kemudian pada pelaksanaannya, wilayah peredaran KSOB
dikontrol melalui Surat Keputusan Gubernur DIY, Nomor : 69 / KPTS / 1988 tentang penetapan wilayah administrasi peredaran
KSOB dan TSSB. Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan
wilayah administrasi peredaran KSOB yang meliputi Kotamadya Daerah Tingkat II Yogyakarta,
Daerah Tingkat II Kabupaten Sleman, Daerah Tingkat II Kabupaten Kulonprogo, Daerah
Tingkat II Kabupaten Bantul serta Daerah Tingkat II Kabupaten Gunung Kidul.[39]
Para penjual KSOB harus memiliki izin dari Dinas Sosial serta pemerintah daerah
untuk memudahkan pengawasan terhadap kupon agar tidak menimbulkan ekses
negatif.[40]
Adapun pengajuan izin penjualan kupon KSOB maupun TSSB dilakukan dengan
menghubungi agen resmi KSOB dan TSSB dengan membawa fotokopi kartu keluarga,
KTP, dan tiga buah pasfoto. Kemudian mengisi formulir yang menjelaskan nama dan
alamat pemohon dan keterangan apakah tinggal di rumah kontrakan atau milik
sendiri. Setelah seminggu setelah permohonan diajukan, kiriman kupon TSSB dan
KSOB dapat langsung dijual (Nasution, Dalam Tempo, 18 Juli 1988: 22). Berbeda dengan penjual kupon KSOB ataupun TSSB yang kebanyakan
tidak resmi, para penjual tersebut membeli beberapa bendel kupon dari agen
resmi KSOB dan TSSB kemudian dijual kembali tanpa mendapatkan izin dari
pemerintah. Biasanya penjual kupon TSSB dan KSOB non resmi berjualan hingga ke
pelosok tanpa mengindahkan larangan pemerintah untuk berjualan walau dekat
dengan tempat ibadah maupun sekolah.[41]
Hampir di tiap desa ditemukan
banyak penjual KSOB dan TSSB walau tidak memiliki izin resmi dari Dinas Sosial Yogyakarta.[42]
Bahkan warung – warung penjual jamu dan bahan kebutuhan pokok di desa – desa
yang tersebar di DIY mengubah kiosnya menjadi warung KSOB dan TSSB (Nasution, Dalam Tempo 18 Juli 1988 : 23). Pedagang kupon
tersebut kebanyakan tidak memiliki izin resmi dari pemerintah. Para pedagang
tidak memandang resiko yang akan mereka terima apabila diketahui aparat menjual
kupon TSSB dan KSOB tanpa izin dari Dinas Sosial (Bernas, 3 januari 1989). Pemerintah DIY
kemudian melakukan usaha penertiban distribusi kupon TSSB dan KSOB
dengan mewajibkan agen – agen yang belum
memiliki izin untuk mengajukan permohonan izin usaha untuk penjualan TSSB dan
KSOB, melalui Pemda di setiap kabupaten. Seperti yang dilakukan Pemerintah Kotamadya Yogyakarta,
yang mengeluarkan Surat Keputusan Walikodya Yogyakarta No. 057/KD/1988 tentang
penertiban dan pengawasan izin lokasi
peredaran KSOB dan TSSB di Kodya Dati II Yogyakarta, kemudian Keputusan
Walikodya Yogyakarta No.076/KD/1988 tentang penertiban dan pengawasan izin
lokasi penjualan atau peredaran KSOB dan TSSB, Keputusan Walikodya Yogyakarta
No. 084/KD/1988 tentang pemberian izin lokasi penjualan TSSB dan KSOB dalam
bentuk izin tempat usaha di Kodya Yogyakarta (Bernas, 3 januari 1989). Namun pada pelaksanaannya belem sepenuhnya terkontrol dengan baik.
Di Kulonprogo, juga terjadi
hal yang sama. Peredaran KSOB dan TSSB oleh agen agen tidak resmi merambah
hingga daerah daerah yang dilarang oleh pemerintah. Lemahnya pengawasan
terhadap penjualan kupon baik TSSB maupun KSOB menyebabkan kupon ini mudah
dijumpai di banyak tempat. Bahkan ada yang menjual kupon TSSB maupun KSOB
secara door to door (dari pintu ke
pintu). Pemerintah Kulonprogo kemudian melakukan penertiban dan pengawasan dengan mewajibkan para penjual KSOB
dan TSSB untuk melaporkan penjualannya dan juga membuat regulasi mengenai
perizinan penjualan kupon tersebut (Kedaulatan Rakyat, 19 April 1988).
Penjualan sistem door to door TSSB serta KSOB juga
terjadi di wilayah Kota Yogyakarta. Anggota fraksi Persatuan Pembangunan
mengalaminya sendiri, di sela – sela rapat komisi masuk seseorang tidak dikenal
menawarkan lembaran – lembaran TSSB dan KSOB (Kedaulatan Rakyat, 24 Agustus 1988). Walau terdapat beberapa larangan
untuk tidak menjual TSSB dan KSOB ditempat – tempat tertentu, penjual tidak
menghiraukan himbauan tersebut. Pemerintah menindak tegas penjual yang melanggar izin distribusi kupon
TSSB dengan sanksi penertiban, selain itu
juga sanksi pidana. Aparat penegak
hukum melakukan operasi Tipiring
(Tindak Pidana Ringan) guna menjaring penjual lotere legal yang tidak memiliki izin, seperti yang terjadi di Daerah Tingkat II
Bantul. Jumlah penjual TSSB dan KSOB yang tidak berizin sebanyak 13 Orang
tersebar di beberapa kecamatan perkaranya diseret ke meja hijau di tahun 1988 (Bernas, 11 Januari 1989).
Pengawasan juga dilakukan terhadap siswa – siswa sekolah oleh Kanwil
Depdikbud
DIY, yaitu dengan mengeluarkan surat edaran yang ditujukan untuk kepala SMTP
dan SMTA seluruh DIY. Kanwil Depdikbud DIY menghimbau kepada seluruh kepala
SMTP dan SMTA untuk melakukan pengawasan terhadap anak didik mereka agar tidak
larut dalam KSOB dan TSSB (Kedaulatan Rakyat, 23 Febuari 1988). walaupun telah
mendapat himbauan untuk melakukan pengawasan terhadap pelajar, tetap saja
banyak oknum pelajar membeli kupon KSOB. Mereka membeli kupon KSOB maupun TSSB
secara sembunyi – sembunyi di beberapa penjual kupon yang tidak resmi.[43]
Ketika KSOB dan TSSB diubah menjadi
SDSB, Pengawasan pun diperketat. Hal ini
bertujuan untuk memperkecil jumlah lokasi agen SDSB (Bernas, 3 januari 1989). Pada awal diberlakukan
SDSB di DIY, belum begitu ramai oleh pembeli walaupun izin pendistribusian
sudah diberikan kepada agen – agen di Propinsi DIY khususnya di Kota Yogyakarta. Agen – agen yang mendistribusikan SDSB
sebagian besar merupakan agen yang mendistribusikan KSOB maupun TSSB tahun 1988 (Kedaulatan Rakyat, 3 Januari 1989).
Pemasok utama Lembaran SDSB atau dikenal dengan BSDSB (Bukti
Sumbangan Sosial Berhadiah) wilayah DIY adalah PT Nursada. Setiap minggu, PT
Nursada menargetkan 2,8 juta lembaran SDSB laku terjual untuk Wilayah Jawa Tengah
dan DIY. Pada 5 putaran pertama, target penjualan tidak mudah tercapai karena
menurut humas PT Nursada, peredaran kupon SDSB di beberapa wilayah tersendat –
sendat(Tempo, 4 Febuari 1989 : 21).
Wilayah distribusi BSDSB (Bukti Sumbangan Sosial Berhadiah) diatur
dalam Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS / 1988. Surat keputusan tersebut
merujuk pada Keputusan Menteri Sosial RI No. 21 / BSS / XII / 1988
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Pengumpulan Sumbangan Dermawan
Sosial Berhadiah serta Keputusan Menteri
Sosial RI No. BSS 16 - 11 / 88 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan
Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah kepada Yayasan Dana Bhakti
Kesejahteraan Sosial di Jakarta.[44]
Sedangkan agen - agen
resmi yang telah terdaftar dalam wilayah Kotamadya Yogyakarta diatur dalam
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 36/KPTS/1989.
Keputusan yang ditetapkan dalam SK tersebut antara lain menunjuk tempat –
tempat agen penjualan atau loket Bukti SDSB di beberapa tempat sesuai dengan
izin. SK ini mulai diberlakukan sejak tanggal 19 Febuari 1989.[45]
Di Daerah Tingkat II Bantul, tercatat 19 penjual kupon SDSB yang
tersebar di beberapa kecamatan,
kecuali wilayah kecamatan Dlinggo, Pleret, dan Pajangan (Bernas, 11 Januari 1989). Walaupun beberapa
kecamatan tidak terdapat loket SDSB, warganya tidak mau ketinggalan untuk
membeli kupon SDSB di luar wilayahnya. Tidak ayal mereka juga ada yang
menjualnya kembali secara sembunyi - sembunyi.[46] Di Gunung Kidul,
ruang peredaran SDSB juga dipersempit agar tidak merambah wilayah krisis air.
Setidaknya terdapat 30 agen resmi SDSB yang beroperasi di Gunung Kidul yang
lokasi penjualannya telah dipertimbangkan dan mendapat izin (Kedaulatan Rakyat, 13 Januari 1989). Wilayah yang mendapat larangan untuk berjualan kupon
SDSB di Dati II Gunung Kidul yaitu kecamatan Rongkop, Paliyan, Panggang, Tepus.
Alasan pelarangan berjualan kupon SDSB di wilayah tersebut karena termasuk ke dalam wilayah keterbatasan
ekonomi (Kedaulatan Rakyat, 9 Desember
1989).
Jumlah agen resmi di Daerah Tingkat II Kulonprogo tercatat sebanyak
19 buah yang tersebar hampir di semua kecamatan. Dari 19 penjual SDSB yang
telah mengajukan izin, hanya 10 penjual saja yang mengambil surat perizinan
tersebut dari Pemda di tahun 1991. Pada perpanjangan izin penjualan SDSB di
tahun selanjutnya akan dikenakan biaya tambahan. Terdapat beberapa penjual SDSB
di Kulonprogo yang dicabut perizinannya, seperti yang terjadi di Kecamatan Sentolo, Kabupaten Kulonprogo.
Lokasi agen SDSB berada dekat dengan masjid. Sebetulnya agen SDSB tersebut
hanya ingin mengedarkan kupon di kawasan yang ramai, mengingat masjid tersebut
berdekatan dengan sebuah pasar di Sentolo. Hal tersebut diakui juga oleh humas perwakilan yayasan
yang mewakili SDSB di wilayah Kulonprogo dan segera diambil tindakan (Bernas, 20 Desember 1991).
Para pembeli kupon SDSB terdiri dari beberapa kalangan seperti
halnya Porkas, KSOB maupun TSSB. Bila
dibandingkan pada saat KSOB dan TSSB diberlakukan, SDSB jauh lebih ramai
tingkat penjualannya di hampir seluruh wilayah DIY. Mereka yang membeli kupon
SDSB mulai dari masyarakat ekonomi menengah hingga menengah ke bawah. Baik petani,
pedagang, buruh, tukang becak bahkan beberapa oknum
pegawai negeri, pelajar serta mahasiswa
juga turut jadi pecandu SDSB.[47]
Agen – Agen penjual SDSB yang mempunyai banyak pelanggan diantaranya
di Jalan
Brigjen Katamso, Jalan Hayam wuruk, Jalan Mayor Suryotomo (Kedaulatan
Rakyat, 5 Januari 1989). Rata – rata agen resmi
SDSB adalah agen resmi KSOB maupun TSSB yang mengajukan perpanjangan izin.
Ketika KSOB dan TSSB dihapus dan diganti dengan SDSB, izin penjualan KSOB dan
TSSB yang telah diajukan dialihkan menjadi izin usaha penjualan SDSB.[48]
Para
pecandu SDSB terkadang mengumpulkan iuran untuk membeli kupon SDSB yang berisi
10 tebakan nomor. Mereka juga berusaha mencari pinjaman uang sebesar
Rp50.000,00 hingga Rp.100.000,00 dengan menjaminkan surat tanda nomor kendaraan
bermotor untuk membeli kupon walau keadaan ekonominya sedang kacau. Jumlah
tersebut sangatlah besar, mengingat pendapatan masyarakat kecil pada waktu itu
hanya berkisar Rp.900,00 hingga Rp.5000,00 Mereka berani mengambil resiko demi
memenangkan undian SDSB dan judi putihan.[49]
SDSB
menjadi sangat populer pada pertengahan 1989. Pembeli kupon SDSB di DIY semakin
banyak karena termotivasi pembeli lainnya yang mendapatkan berbagai hadiah.
Pernah seorang tukang becak di daerah Kota Yogyakarta membeli SDSB seri A
(Kupon SDSB yang berbungkus amplop seharga Rp.5000,00) memenangkan undian utama
senilai 1 Milyar Rupiah, keesokan harinya beberapa pembeli menyerbu agen yang
tiketnya tersebut berhasil memenangkan undian. Para agen nakal yang merangkap sebagai bandar kupon putihan juga terkadang memenangkan
pembeli kupon lebih dikenal dengan buntutan
atau dua angka untuk merangsang minat pembeli lainnya sehingga pendapatan agen
tersebut meningkat.[50]
Ketika
timbul aksi demonstrasi anti SDSB oleh gabungan mahasiswa perguruan tinggi di
DIY yang dilakukan pada tahun 1991, penjualan SDSB tidaklah surut. Beberapa
agen meraup untung besar karena merangkap sebagai penjual dan bahkan bandar
dari judi toto gelap atau putihan. Pengecer SDSB menjamur hingga wilayah –
wilayah terpencil walau telah diberikan regulasi mengenai larangan penjualan di daerah tertentu. Penjualan SDSB
di Yogyakarta dihentikan ketika SDSB resmi ditutup tahun 1993.[51]
IV. Dampak
Sosial Ekonomi Lotere Terhadap Masyarakat
A.
Fanatisme Masyarakat
Terhadap TSSB Hingga SDSB Dan Munculnya Praktik
Perdukunan Memenangkan Lotere
Siapa yang tidak tergiur untuk menjadi kaya dalam sekejap? Itulah yang menjadi iming – iming sumbangan
berhadiah dari TSSB hingga SDSB. Mulai dari rakyat biasa hingga Pegawai Negeri
banyak yang terjembab untuk jalan
pintas menuju kaya melalui TSSB, Porkas,
KSOB maupun SDSB. Setiap hari kegiatan sebagian masyarakat DIY pada masa
kejayaan TSSB, Porkas, dan KSOB
bahkan hingga SDSB selalu diisi dengan meramal huruf dan nomor kupon.[52]
Konsumen lotere baik TSSB,
Porkas dan KSOB tidak hanya
masyarakat golongan dewasa saja, lotere
tersebut juga merambah para pelajar. Banyak dijumpai pelajar membeli kupon lotere TSSB pada tahun 1988, saat
pengundian TSSB dan KSOB ramai tiap akhir pekan. Sebagian dari pelajar ada yang
melepas almamater sebagai pelajar maupun tidak, mereka mendatangi kios – kios
KSOB dan TSSB untuk membeli kupon.[53] Fenomena seperti ini tidak hanya ditemukan di
Kota Yogyakarta, di Kecamatan Imogiri juga terlihat hal yang sama. Para pelajar
membeli kupon di agen – agen tidak resmi, serta mengenal baik para penjualnya.
Hal tersebut mereka lakukan mengingat
pengawasan tidak begitu ketat dan para
penjual kupon tidak peduli siapa konsumen mereka.[54]
Beberapa mahasiswa juga
turut serta dalam meramaikan lotere
legal tersebut pada waku itu. Para mahasiswa tersebut berdalih hanya untuk
iseng dan mencoba sedikit peruntungan dengan membeli kupon TSSB hingga SDSB.[55] Ketenaran lotere
tersebut juga seakan menjadi virus yang menjadi penyakit dalam masyarakat. Hari
- hari pegawai di kantor – kantor pemerintahan seringkali diwarnai dengan
menebak kode – kode dan ramalan, terutama saat merebaknya SDSB di Yogyakarta.
Hal ini menyebabkan pegawai kurang produktif dan malas (Suara Muhammadiyah, No.23/76/1991 :15).
Pegawai Negeri di Yogyakarta tidak mendapat
larangan untuk membeli SDSB, hal ini dilontarkan oleh Pengurus KORPRI Yogyakarta
yang menyatakan bahwa selama etos kerja pegawai negeri tidak terganggu, mereka
tidak dilarang untuk membeli kupon SDSB (Bernas,
30 Nopember 1991). Namun pada kenyataannya, beberapa pegawai yang fanatik
terhadap SDSB tidak produktif pada jam kerja karena sibuk berkutat dan mengotak
atik ramalan – ramalan SDSB.[56]
Fanatisme masyarakat terhadap lotere
pemerintah yang berkedok sumbangan berhadiah tersebut mewabah terutama di
kalangan masyarakat miskin. Seperti yang tertuang dalam penelitian Iswantara
Adhi Nugraha siswa SMA 6 Yogyakarta yang mengungkap anomali masyarakat desa
Legundi di Kabupaten Gunung Kidul tahun 1991. Kebanyakan masyarakat di desa
tersebut adalah orang orang yang hidup berada di bawah garis kemiskinan, tetapi
mereka royal dalam menyumbang hartanya melalui SDSB. Hal tersebut dianggap
sebagai anomali yang luar biasa terjadi ditengah keterpurukan ekonomi (Hidayat dalam Tempo, 24 Agustus 1991 : 102). Fanatisme masyarakat
terhadap lotere pemerintah ini seakan
tidak bisa direduksi karena mereka mengharapkan hasil yang lebih besar apabila
memenangkan lotere pemerintah
tersebut.[57]
Fanatisme
masyarakat terhadap lotere
menyebabkan banyak penggemar Porkas DIY mencoba mencari peruntungan Lotere dengan mengaitkan kejadian kejadian mistis,
peristiwa bahagia hingga peristiwa yang memilukan di sekeliling mereka.Pada saat boomingnya
Porkas, penggemar Porkas
biasanya mencari kode enkripsi huruf dari peristiwa – peristiwa yang telah
terjadi di sekitarnya untuk memasang lotere
Porkas. Sebagian penggemar Porkas
mendengarkan siaran berita dalam radio ataupun membaca surat kabar yang memuat
peristiwa mengenai kecelakaan lalulintas dan peristiwa lainnya. Kode enkripsi
di dapat melalui rumusan- rumusan tertentu dari kejadian tersebut.[58]
Ketika interval pengundian KSOB dan TSSB berjarak satu mingguan pada
awal tahun 1988, warga banyak yang berbondong - bondong menuju Gunung Kemukus (tempat
yang oleh sebagian masyarakat dianggap sakral dan mujarab dalam memanjatkan
permintaan). Mereka bermeditasi untuk mendapatkan peruntungan undian TSSB dan
KSOB. Masyarakat yang berdatangan untuk bersemedi ataupun bermeditasi
kebanyakan berasal dari luar kota, terutama dari Yogyakarta (Wirodono, dalam
Kedaulatan Rakyat, 31 Januari 1988).
Tempat keramat lain yang sering digunakan untuk mencari kode huruf
dan angka yaitu tanah pemakaman tua. Penggemar
lotere melakukan ritual di pemakaman
tua yang dianggap keramat untuk Ngalap
Nomer yang akan dipertaruhkan dalam undian TSSB melalui bimbingan ahli
spiritual. mereka harus memenuhi persyaratan untuk dapat terpenuhi keluarnya
nomor nomor TSSB. Ritual mistik ini dilakukan pada hari – hari khusus yang
dianggap sakral dan keramat. Salah satu makam yang dianggap memberikan akurasi
kode TSSB yaitu makam raja-raja Jawa di Girigondo (sebelah utara Pantai Glagah
Indah, wilayah Kulon Progo Yogyakarta).[59]
Tidak hanya tempat tempat sakral saja yang digunakan sebagai ajang
pencarian kode huruf untuk TSSB maupun KSOB. Masyarakat juga mengkaitkan peristiwa
penting dengan perolehan kode huruf lotere
tersebut, seperti ketika peristiwa wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwana IX pada
tanggal 13 Oktober 1988 yang turut
disangkutpautkan dengan peruntungan untuk memasang lotere TSSB dan KSOB. Selain tanggal wafatnya Sultan HB IX, Nomor
lambung kereta jenazah yang digunakan untuk membawa jenazah sultan dari Jakarta
menuju Yogyakarta juga dipertaruhkan dalam peruntungan menebak nomor undian
TSSB.[60]
Ini menjadi bukti bahwa masyarakat yang fanatik
terhadap lotere menyangkutpautkan peruntungan dalam menebak nomor undian TSSB
dengan peristiwa - peristiwa ganjil.
Kegilaan masyarakat DIY terhadap sumbangan berhadiah Porkas ditandai dengan kegiatan sehari
hari meramal kode Porkas menjadikan
banyak orang menganggap ini sebagai peluang bisnis. Mereka kemudian menawarkan jasa meramal dengan membuat Pak Tepak (selembar kertas yang
bergambarkan anagram huruf atau angka yang memiliki ambiguitas dalam penafsirannya).[61]
Bahkan para penjual jasa meramal mengiklankan usahanya lewat media surat kabar,
seperti yang dijumpai di surat kabar Kedauatan Rakyat.[62]
Biasanya para penjual jasa ramalan menamai ramalan – ramalan yang mereka
keluarkan untuk membedakan dengan yang lain. Terdapat ratusan nama – nama
ramalan yang dijual, seperti Romo Gayeng dan Mbah Mojo. Nama yang sering
dipakai adalah “Mbah”, “Ki” ataupun “Romo”. Penggemar Porkas dan TSSB lebih menyukai ramalan
yang kebanyakan bernama “Mbah” karena dianggap memiliki nilai mistis yang
tinggi dan diyakini mampu memecahkan kode huruf atau angka secara akurat.[63] Hingga TSSB dan KSOB dihapus dan diubah
menjadi SDSB, lembar ramalan masih marak dijual walaupun dilarang berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang ketentuan
pengedaran SDSB (Tempo, 4 Febuari 1989 : 21).
Walaupun penjualan lembar lamaran dilarang oleh pemerintah, penjual
SDSB di Yogyakarta secara sembunyi – sembunyi juga mengedarkan lembar ramalan.
Penghasilan mereka pun terdongkrak akibat lembar ramalan tersebut diminati penggemar SDSB.[64]
Masyarakat tidak berfikir secara rasional karena mereka cenderung dibutakan
oleh hadiah yang menggiurkan dari menebak kupon – kupon dari TSSB hingga SDSB.
Kebetulan – kebetulan di luar nalar atau akal pikir manusia dalam hal ini
terkait antara peruntungan menebak kupon lotere
dengan hal – hal mistis membawa hasil yang diluar dugaan, sehingga banyak
masyarakat terjerat untuk terus mencoba walau terkadang mengalami kegagalan.[65]
B.
Pengaruh Sumbangan Berhadiah Terhadap Ekonomi Masyarakat Serta Tingkat Kriminalitas Di DIY
Banyak sekali efek yang ditimbulkan sebagai akibat
dari sumbangan berhadiah mulai dari TSSB hingga SDSB, Pada awal beredarnya TSSB
dan Porkas memang belum terlihat
dampak negatif yang timbul terutama terkait dengan kondisi ekonomi masyarakat. Seiring dengan berjalannya waktu, dampak Porkas mulai dirasakan oleh masyarakat, terutama masyarakat miskin.
Seperti yang pernah disindir dalam karikatur koran Berita nasional Yogyakarta,
Petani menjadi malas dan tidak produktif. Setiap harinya hanya diisi dengan
meramal kode Porkas untuk mencoba
peruntungan mendapatkan hadiah undian (Bernas, 24 Maret 1986).
Keadaan semakin parah ketika lotere
Porkas berubah wajah menjadi KSOB.
Bersamaan dengan TSSB, kedua lotere
tersebut mampu menyedot perhatian masyarakat khususnya golongan menengah bawah.
Tidak hanya masyarakat miskin di desa - desa yang terhanyut irasionalitas iming
- iming lotere tersebut yang
menjadikan kaya dalam sekejap, tetapi juga tukang becak, buruh pasar, karyawan
dan pegawai kecil di wilayah kota Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 1988).
Pada tahun 1988 terjadi resesi ekonomi yang menyebabkan harga –
harga kebutuhan pokok melambung, sebagian masyarakat yang fanatik terhadap lotere KSOB dan TSSB tidak
peduli dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang semakin susah.[66] Mereka lebih mementingkan bagaimana cara
memenangkan lotere tersebut, seolah
tidak perduli terhadap kondisi ekonomi rumah tangga. Para penggemar lotere tersebut
terkadang membelanjakan hampir seluruh biaya hidupnya untuk kupon – kupon lotere yang belum pasti dapat
mengentaskan dari kemiskinan. Apabila seorang sudah sangat fanatik terhadap lotere sumbangan berhadiah, orang
tersebut terus berharap agar dapat mendapatkan hasil undian. Bahkan ada yang
merasa pasti bahwa hasil tebak kode nomer atau kode huruf yang akan dipasang
akan berhasil. Jika biaya hidupnya
menipis, penggemar lotere akan meminjam sejumlah uang
kepada kerabat hanya untuk memenuhi keinginan mendapatkan hadiah dari memasang lotere tersebut. [67]
Ketika kondisi perekonomian masyarakat di Kabupaten Gunung Kidul sangat
memprihatinkan, baru saja masyarakat
lepas dari bergelut terhadap kesulitan air, pemerintah dihadapkan pada
animo masyarakat terhadap kupon TSSB dan KSOB. Meski harga KSOB dan TSSB dinaikkan,
ternyata tidak mencegah masyarakat miskin untuk membeli lotere tersebut. Mereka justru rela antri berjubel di agen – agen
besar penjual KSOB dan TSSB demi membeli lotere (Kedaulatan Rakyat, 9 januari 1988).
Pegawai negeri yang berpenghasilan minim pada
waktu itu banyak yang terjembab untuk
mencoba peruntungan nasib melalui kupon TSSB, Porkas, KSOB hingga SDSB. Mereka mencoba
pertaruhan Sumbangan berhadian tersebut dengan menjual jatah beras dari Bulog
yang diberikan setiap bulan. Mereka seolah tidak perduli dengan kemampuan
finansial, dan lebih mengutamakan memenangkan hadiah yang didapat dari memasang
Lotere tersebut.[68]
Masyarakat yang bermatapencaharian sebagai pedagang bahan kebutuhan
pokok pun mengeluh karena omzet
penjualan menurun drastis semenjak diedarkannya TSSB hingga SDSB. Seperti yang
terjadi di Kecamatan Godean serta beberapa daerah di Sleman. Pedagang mengeluh
karena setiap hari menjelang pengundian KSOB dan TSSB, barang dagangan mereka
tidak laku karena sebagian masyarakat membelanjakan uang mereka untuk membeli
kupon lotere. Pendapatan pedagang
turun hingga 50% di setiap hari hari menjelang pengundian KSOB dan TSSB (Nasution dalam Tempo, 9 juli 1988 :24). Pedagang kaki lima di
Malioboro juga mengeluhkan hal yang sama, sepi penjual. Masyarakat cenderung
membelanjakan hartanya untuk membeli KSOB dan TSSB. Pendapat yang sama juga
dikemukakan beberapa pedagang makanan. Dengan beredarnya lotere KSOB dan TSSB, omzet mereka mengalami penurunan (Masa Kini, 15 Nopember 1988). Pada saat KSOB dan TSSB
berubah menjadi SDSB, hal serupa terjadi di Kulonprogo. Masyarakat melakukan
unjuk rasa terkait melambungnya omzet
para pengedar kupon SDSB di Kulonprogo, sehingga pendapatan warga berkurang
karena tersedot oleh pengedar SDSB (Bernas, 20 Desember 1991).
Dana yang diserap dari desa - desa di Propinsi DIY dari penjualan lotere sangat besar. Di Gunung Kidul
saja, yang notabene daerah miskin, setiap minggu dari satu agen resmi terkeruk
dana sekitar 3 juta rupiah hingga 4 juta rupiah dari penjualan lotere jenis TSSB. Dana tersebut belum
ditambah dengan penjualan KSOB yang setiap minggunya terjaring sekitar 2 juta
rupiah. Jadi jika diakumulasikan menjadi 5 juta rupiah. Pada waktu itu terdapat
sekitar 3 agen resmi. Total dana yang terserap dari distribusi KSOB dan TSSB
yaitu 15 juta Rupiah dari 3 agen resmi. Penarikan dana selama 1 bulan mencapai
60 Juta Rupiah dan dalam 1 tahun bisa terkumpul 720 juta Rupiah. Sungguh ironis
dan memprihatinkan, mengingat pendapatan murni daerah Kabupaten Gunung Kidul
hanya 550 juta rupiah (Kedaulatan Rakyat, 9 januari 1988).
Pada saat peredaran SDSB merebak, hal serupa juga terjadi. Kehidupan
masyarakat Gunung Kidul semakin terpuruk. Masyarakat miskin, dan dilanda
kekeringan justru membelanjakan hartanya untuk lembaran BSDSB. Penghasilan
masyarakat miskin yang pada waktu itu hanya 30 ribu Rupiah hingga 50 ribu
Rupiah perbulan, tetapi mereka tidak pernah absen meramaikan SDSB. Fanatisme
masyarakat miskin terhadap lotere
pemerintah berdampak pada tingkat kesejahteraan, pendidikan serta kesehatan
juga terabaikan (Hidayat dalam Tempo, 24 Agustus 1991 : 102).
Tindak kriminalitas banyak
ditemukan terutama saat lotere Porkas mulai marak di tahun 1987. Tindak
kriminalitas yang ditemukan salah satunya yaitu tindak penipuan calon pegawai
dengan iming iming diterima kerja di Kepatihan untuk membeli beberapa kupon Porkas (Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 1987).
Tidak hanya Porkas,
Ketika wajah Porkas berganti menjadi
KSOB juga menuai dampak tindak kriminalitas, salah satunya aksi perkelahian akibat berebut kertas ramalan KSOB. Perselisihan
tersebut tidak kunjung selesai walau sudah menyatakan damai, bahkan berakhir dengan penikaman dan harus berurusan dengan pihak berwajib (Kedaulatan
Rakyat, 12 April 1988). Fenomena tindak kriminalitas akibat lotere akibat KSOB dan TSSB juga mewabah
di kalangan remaja dan pelajar di DIY. Sebagian dari pelajar menggelapkan uang
SPP untuk pertaruhan menebak undian SOB.[69]
Tindak kriminalitas lain yang timbul akibat SDSB adalah munculnya
perjudian – perjudian liar yang pengundiannya merujuk pada hasil undian baik
itu TSSB bahkan hingga SDSB. Bentuk kupon liar yang dikenal masyarakat pada
waktu itu adalah kupon putihan atau
dikenal dengan judi buntut.. Kupon
putih yang dijual adalah kupon dua nomor dan kupon tiga nomor. Bandar besar
kupon tersebut diketahui bernama Thian Ming. Penjual kupon tersebut mendapatkan
imbalan 10 persen dari hasil penjualan kupon
putihan. Kupon yang didistribusikan Thian Ming berlabel cap stupa (Kedaulatan Rakyat, 8 Nopember 1989). Di kota Yogyakarta saja setidaknya terdapat puluhan bandar besar
yang mengedarkan kupon putihan dengan
nama label kupon yang beragam. Kupon
putihan yang pada waktu itu sangat terkenal diantaranya adalah cap kobra, elang dan macan (Bernas,
5 Januari 1989). Bandar judi buntut atau kupon
putihan tersebut didominasi oleh warga keturunan (Tionghoa).[70] Ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan
tentang pemberantasan perjudian ilegal tanggal 8 Desember 1988, Pengedar serta
bandar judi dikenakan pasal subversif apabila tertangkap mengedarkan judi kupon
illegal (Nasution dalam Tempo,7 Januari 1989 : 21-23). Di DIY, bandar judi putihan yang tertangkap
dan dimejahijaukan pada waktu itu adalah Oei Ten Ming atau dikenal dengan Miming dengan tuduhan melanggar undang-undang
antisubversif (S. Happy dalam Tempo, 3 Juni 1989 : 73)
IV.
Penghapusan Lotere Legal TSSB Hingga
SDSB
A. Gerakan Masyarakat
Menentang Lotere Sumbangan Berhadiah
Sedemikian besar realitas serta dampak yang timbul
akibat lotere sumbangan berhadiah
ditinjau dari sisi psikologis, sosial, ekonomi dan juga hukum, membuat beberapa kalangan dari
masyarakat mulai sadar karena telah
merasa dirugikan. Tokoh masyarakat yang semakin kritis
terhadap permasalahan yang diakibatkan oleh lotere
pemerintah tersebut gencar memberikan tanggapan dan masyarakat juga
mendengarkan tanggapan mereka. Sedikit demi sedikit hati masyarakat tergerak
untuk meninggalkan pengharapan semu dari lotere
– lotere tersebut dan berpikir secara
rasional. Kupon – kupon TSSB hingga SDSB cukup meresahkan terutama bagi
masyarakat generasi muda dan ekonomi menengah bawah.[71]
Sebagian masyarakat turut prihatin melihat sanak saudara dan kerabatnya larut
dalam peruntungan TSSB hingga SDSB mulai bangkit untuk mengentaskannya dari
jerat lotere tersebut.[72]
Banyaknya dampak negatif yang ditemukan daripada dampak positif penyelenggaraan
lotere sumbangan berhadiah di DIY, menyulut
masyarakat melakukan aksi menentang serta penghapusan lotere tersebut. Aksi protes dilakukan dengan turun ke jalan,
kemudian mengadakan perundingan dengan wakil rakyat yang duduk di lembaga
pemerintahan, dan jalan lain yang ditempuh yaitu dengan mengeluarkan pendapat
serta larangan melalui media massa.
Gerakan perlawanan terhadap lotere sumbangan berhadiah datang dari mahasiswa serta masyarakat yang
tergabung dalam organisasi massa.
B.
Tekanan Kaum Religius Dan Intelektual
Ketika dampak negatif yang ditimbulkan TSSB, Porkas, KSOB bahkan SDSB mulai terlihat,
banyak tokoh agama menanggapi fenomena tersebut dengan kritik kepada
pemerintah, seperti yang dilakukan oleh A.R. Fachrudin yang pada waktu itu
menjabat sebagai ketua Muhammadiyah. Beliau dengan
tegas menyatakan bahwa Porkas
merupakan bentuk perjudian yang dampak negatifnya lebih banyak dibandingkan
dengan dampak positifnya. Porkas baik
dalam prosedur distribusi ataupun tujuannya telah banyak menyimpang. A.R.
Fachrudin menilai penyimpangan tersebut sudah sangat parah, terutama terkait
distribusi kupon Porkas yang telah
merambah lingkup kecamatan. Selain itu, para remaja dan pelajar banyak yang
menjadi konsumen kupon Porkas (Kedaulatan Rakyat, 18 Nopember1987).
Bahkan tak hanya pemuka agama Islam saja yang
mengkritik lotere tersebut, para
pendeta agama Nasrani pun turut
menanggapi permasalahan yang timbul, salah satunya pernyataan yang dikeluarkan
oleh Pendeta Budiyanto dari Sekolah Tinggi Theologi Duta Wacana Yogyakarta. Beliau menyatakan bahwa distribusi Porkas merambah hingga ke areal dekat peribadatan, hal ini juga
dibenarkan oleh pendeta Nikolas. Pendistribusian kupon Porkas di dekat tempat peribadatan berakibat pada menurunnya jumlah
pengumpulan uang kolekte terutama pada hari kebaktian. Kedua pendeta tersebut
berpendapat bahwa kebijakan apapun yang
dikeluarkan pemerintah mengenai kontrol distribusi kupon Porkas
tetap akan menimbulkan dampak negatif, karena masyarakat mampu menerobosnya.
Satu satunya jalan yang harus diambil pemerintah adalah dengan menutup Porkas (Kedaulatan
Rakyat, 18 Nopember 1987).
Tokoh – tokoh Nasrani
perihatin dengan masalah yang timbul akibat beredarnya lotere tersebut. Lotere adalah perbuatan yang dilarang,
seperti yang ditegaskan dalam Akta Sinode XII/1971, artikel 100 yang menegaskan
bahwa judi merupakan tindakan yang tidak terpuji. Alasan teologis yang sangat mudah ditangkap oleh masyarakat
pemeluk Nasrani yaitu apabila orang
beriman diperbudak oleh judi, maka orang tersebut menuruti nafsunya dan
cenderung ingin mendapatkan keuntungan tanpa harus bekerja keras (Sastrosupono, 1989: 4). Kritik juga disampaikan
oleh Kriti Warsito yang juga menjabat sebagai Bimas Agama Budha Kanwil Depag
DIY. Beliau berpendapat bahwa pemerintah telah melakukan upaya yang baik dalam
melakukan pembatasan penjualan kupon Porkas,
tetapi Pemerintah juga seharusnya meninjau ulang pemberian izin operasional Porkas (Kedaulatan
Rakyat, 18 Nopember1987).
Tidak hanya tokoh-tokoh reigius yang menanggapi permasalahan terkait
TSSB hingga SDSB. Tokoh intelaktualitas juga angkat bicara menanggapi
permasalahan yang ditimbulkan oleh Porkas
KSOB TSSB maupun SDSB. Salah satu tokoh tersebut adalah Prof. Djamaludin Ancok (guru besar Fakultas
Psikologi UGM). Beliau mengemukakan bahwa dari segi psikologis, masyarakat kecil
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup jika terus terusan penghasilannya
dibelikan Porkas setiap hari (Kedaulatan Rakyat, 16 september 1987). Lotere tersebut dianggap sebagai usaha
pemiskinan masyarakat (Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 1988). Beliau juga mengungkapkan bahwa. lotere Porkas pembangunan dengan tujuan – tujuan yang mulia
bisa terwujud jika dibiayai dari dana hasil perjudian (Kedaulatan Rakyat, 16 september 1987).
Kritikan mengenai KSOB dan TSSB juga datang dari tokoh intelektual
UGM lainnya, yaitu Dibyo Prabowo (Fakultas Ekonomi UGM) yang
menyatakan dampak KSOB dan TSSB sudah jelas melemahkan
perekonomian desa dan masyarakat marginal di kota. Undian semacam itu turut
andil dalam proses pemiskinan masyarakat, karena masyarakat ekonomi menengah
bawah yang menjadi pecandu KSOB dan TSSB. Mereka berkhayal apabila lembaran kupon tersebut
berhasil memenangkan undian utama KSOB dan TSSB, akan digunakan sebagai modal untuk membeli alat
produksi ataupun menambah modal kerja. Pengharapan pada hal yang tidak pasti
mengakibatkan mereka larut dan memilih untuk tidak produktif, justru
menyibukkan diri dengan TSSB maupun KSOB dan berimbas pada berkurangnya pendapatan. Keadaan
ini mengakibatkan penggemar lotere tersebut menggunakan tabungan yang dimilikinya. Solusi terbaik yaitu KSOB
dan TSSB harus segera dihentikan agar pemiskinan masyarakat tidak berlanjut (Nasution dalam Tempo, 9 juli 1988 :24).
Ketika undian KSOB dan TSSB bermetamorfosis menjadi SDSB, kritikan
juga dilontarkan oleh Amin Rais sebagai tokoh intelektual Yogyakarta yang
menjabat staf pengajar di Fakultas Ilmu Politik UGM serta tokoh aktif dalam
organisasi Muhammadiyah. Beliau berpendapat bahwa SDSB sangat destruktif bagi
masyarakat kecil. Bukti nyata dapat dilihat pada sebagian masyarakat yang
menjadi pecandu SDSB, ekonomi keluarga menjadi morat – marit. Ketika seseorang
yang hidup dalam keterbatasan ekonomi (berpenghasilan rendah) terjebak dalam
penjara mental SDSB, sejumlah uang yang ia hasilkan dari bekerja dengan susah
payah yang seharusnya digunakan untuk hal – hal yang bermanfaat terbuang
percuma ke agen SDSB. Selain itu, SDSB turut andil dalam
meningkatkan rate of crime atau
tingkat kriminalitas. Apabila pecandu SDSB tidak mempunyai uang untuk membeli
kupon SDSB, mereka bisa saja mempunyai pikiran gelap untuk mendapatkan uang
dengan berbagai cara. Hal inilah yang menyebabkan tingkat kriminalitas
bertambah (Rais dalam Suara Muhammadiyah,
No.23/76/1991 :12).
C.
Gerakan Mahasiswa Menentang Lotere Sumbangan Berhadiah Di DIY
Melihat dampak lotere sumbangan berhadiah yang
sedemikian besarnya bagi masyarakat,
mahasiswa Yogyakarta melakukan protes menentang sumbangan berhadiah tersebut.
Pada saat Porkas berubah menjadi KSOB
ramai digandrungi masyarakat bersama diedarkannya TSSB, 6 orang aktivis
mahasiswa Universitas Gadjah Mada
diantar oleh Rektor Prof. Dr. Koesnadi Harjoesoemantri menemui pejabat
gubernur DIY. Mereka memberikan penjelasan solutif mengenai alternatif
pencarian dana untuk olah raga selain dari KSOB dan TSSB (J.A.,Denny, 1989 :116 – 117). Sebelumnya tanggal 28 Nopember
1988, ketika Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengunjungi kampus ISI Yogyakarta,
terpampang beberapa poster yang berisi tentang protes kepada pemerintah serta
himbauan untuk menghapus TSSB dan KSOB karya dari mahasiswa (Kedaulatan Rakyat, 31 Desember 1991).
Aksi protes menentang SDSB
juga banyak
dilakukan. Salah satunya sebagai imbas penerimaan dana sumbangan dari YDBKS sebagai hasil SDSB untuk UII
sebesar 100 juta rupiah untuk pembangunan sarana pendidikan di tahun 1991,
mahasiswa UII melakukan aksi demonstrasi bulan Agustus 1991. Mereka menuntut
uang yang disumbangkan untuk UII agar dikembalikan kepada YDBKS (Trihusodo, dalam Tempo, 20 Nopember 1993 : 35, dan Aqsha,
1995: 72). Tanggal 5 Nopember 1991, sejumlah 5000 mahasiswa melakukan unjukrasa anti SDSB. Aksi unjuk
rasa digelar sejak pagi dengan aksi jalan
menuju Malioboro dan dilanjutkan
menuju gedung DPRD DIY. Kemudian tanggal 13 Nopember 1991, Terjadi aksi masa yang lebih
besar. Mahasiswa dari beberapa
universitas di Yogyakarta di koordinir untuk melakukan aksi protes terhadap
SDSB. Sebanyak 9000 mahasiswa dari UGM, UII dan IAIN
turun ke jalan melakukan aksi menentang SDSB. Aparat keamanan dengan jumlah
yang lebih besar dibandingkan aksi sebelumnya dikerahkan untuk mengantisipasi
hal yang tidak diinginkan (Wirodono, 1994 : 56).
Gelombang unjuk rasa anti SDSB digelar kembali pada tanggal 3 Desember
1991. Ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang
tergabung dalam Komite Mahasiswa Anti SDSB (KMA-SDSB) mendatangi gedung DPRD di
Jalan Malioboro. Mereka melakukan aksi dimulai dari Boulevard kampus UGM Bulaksumur, melewati Jalan Cik Ditiro, Jalan
Jend. Sudirman, Jalan Mangkubumi dan berakhir di jalan Malioboro (Kedaulatan Rakyat, 4 Desember 1991).
Aksi anti SDSB selanjutnya terjadi pada tanggal 10 Desember 1991,
mahasiswa yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Pro Demokrasi (KMPD) melakukan
aksi menuju stadion Mandala Krida. KMPD yang terdiri dari mahasiwa IAIN
Kalijaga, ISI, UII. Sebenarnya substansi aksi demo yang dilakukan KMPD adalah
membacakan “tuntutan SMPT se DIY” yang melahirkan 9 butir tuntutan kepada
pemerintah RI, DPR/MPR, Orsospol, dan ormas untuk menegakkan hak azasi manusia.
Aksi pembacaan tuntutan tersebut dihalau leh aparat keamanan. Mahasiswa
kemudian membuka mimbar bebas dan melakukan aksi pembakaran repelika kios SDSB
dan meminta pemerintah segera membubarkan SDSB (Kedaulatan
Rakyat, 11 Desember 1991).
Sebelum melakukan aksi pada tanggal 10 Desember 1991, Mahasiswa UGM, IAIN, UII serta perguruan tinggi lainnya juga
menyukseskan renungan malam yang diadakan di kampus IAIN tanggal 9 Desember
1991. Kegiatan tersebut mengkritisi SDSB sebagai perampas hak – hak ekonomi
rakyat. Para mahasiswa mengancam akan melakukan aksi golput apabila tuntutan mereka tidak dipenuhi (Bernas, 10 Desember 1991). Satu hal
yang menarik dari aksi anti SDSB yang dilakukan mahasiswa adalah kalimat poster
yang berbunyi “SDSB no, Golput yes”.
Bunyi poster tersebut dapat ditafsirkan bahwa jika tuntutan terhadap
penghapusan SDSB tidak segera ditanggapi, Mahasiswa akan bersikap golput dalam pemilu yang akan
dilaksanakan pada tahun 1992 (Kedaulatan Rakyat, 13 Desember 1991). Kalimat poster lainnya yaitu “Kuliahku hancur gara – gara bapakku
pecandu SDSB”, “Jangan jerat rakyat kami dengan SDSB”, “SD Inpres yes, SDSB
no”, “jangan racuni kota budaya kami dengan budaya judi” dan beberapa kalimat
poster lainnya (Kedaulatan Rakyat, 4 Desember 1991). Kalimat poster tersebut menunjukkan betapa memuncaknya kekesalan
mahasiswa atas dampak SDSB yang meracuni masyarakat.
D. Gerakan Massa Menentang Lotere
Sumbangan Berhadiah Di DIY
Tidak hanya mahasiswa yang melakukan aksi menentang lotere sumbangan berhadiah. aksi
menentang Porkas juga dilakukan Badan
Kerjasama Pondok Pesantren dan MUI Yogyakarta tergabung bersama Organisasi Islam daerah
lainnya dengan mengeluarkan fatwa haram terhadap Porkas (Badan Kerjasama Pondok pesantren dan MUI Yogyakarta
1986 : 124). Pada saat SDSB kian marak, ormas Islam
Gerakan Masyarakat Islam Yogyakarta (GMIY) menggelar mimbar bebas di Boulevard
UGM menentang SDSB dan menuntut penghapusan SDSB.[73]
GMIY juga memfasilitasi pesantren pesantren yang ada di DIY yang ingin
melakukan aksi protes terhadap SDSB melalui mimbar tersebut (Tempo, 20 Nopember 1993 : 43).
Organisasi Muhammadiyah Yogyakarta juga lantang menyuarakan anti
SDSB. Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta pernah mendapat tudingan
mendapatkan suntikan dana dari Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS)
sebesar Rp. 100.000.000,00, tetapi tudingan tersebut dipatahkan dengan
melampirkan bukti tanda pemberian sumbangan dengan atas nama Menteri Sosial
Haryati Soebadio pada terbitan Suara Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, No.24/76/1991 : 6). Ormas Muhammadiyah juga
menolak sumbangan dari SDSB sebesar 10 juta Rupiah untuk pendirian yayasan yatim piatu oleh
Muhammadiyah di Yogyakarta (Darul et al, 1995 : 72). Muhammadiyah juga dengan
gencar menentang SDSB dengan mengeluarkan kritikan melalui tulisan, seperti
salah satunya melalui media Suara Muhammadiyah. Organisasi religi ini
menyatakan bahwa SDSB memberikan dampak negatif terutama terkait dengan
kegiatan ekonomi (Suara Muhammadiyah, No. 23/76/1991 : 14). Muhammadiyah juga
menggagas Dana Santunan Dhuafa untuk menggalang dana dari dermawan muslimin
dalam rangka memberikan santunan kepada masyarakat yang membutuhkan sebagai
alternatif SDSB sesuai hasil keputusan
Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta yang
diselenggarakan pada Desember 1990 (Suara Muhammadiyah, No.23/76/1991
:17).
Organisasi lainnya yang turut berjuang menghapuskan SDSB di DIY
yaitu dari partai politik. Fraksi Karya Pembangunan (FKP) DPRD DIY menghimbau kepada seluruh fraksi di DPRD menolak peredaran SDSB
di DIY. Penolakan peredaran SDSB dilandaskan pada alasan dampak negatif yang
dihasilkan SDSB lebih besar bila dibandingkan dampak positifnya (Kedaulatan Rakyat, 24 Desember 1991). Sedangkan FPP (Fraksi
Persatuan Pembangunan) berinisiatif untuk mengajak seluruh elemen masyarakat
khususnya para tokoh agama kritis terhadap SDSB di Yogyakarta. FPP juga meminta
daftar tempat ibadah dan organisasi agama di DIY yang menerima bantuan dari
YDBKS. Hal
ini dianggap sangat meresahkan masyarakat, mengingat banyak pembeli kupon SDSB
yang memiliki niat bukan untuk menyumbang (Kedaulatan
Rakyat, 15 Nopember 1991). Dari beberapa fakta
tersebut, dapat dilihat perlawanan terhadap kebijakan mengenai sumbangan
berhadiah oleh organisasi massa dan partai politik yang menyuarakan aspirasi
masyarakat yang semakin lama semakin keras terdengar. Hal ini menandakan bahwa masyarakat tidak
ingin dampak negatif dari sumbangan berhadiah tersebut berkembang lebih meluas.
V. Penghapusan
Lotere Sumbangan Berhadiah di DIY
Banyak yang mengeluh mengenai keberadaan kupon – kupon lotere pemerintah, terlebih pada saat
TSSB dan KSOB mengalami masa gemilang di tahun 1988. Pedagang – pedagang kecil merasa dirugikan oleh kupon – kupon lotere tersebut. Mereka kehilangan
pendapatan karena masyarakat lebih memilih membelanjakan uangnya untuk membeli
kupon daripada memenuhi kebutuhan pokok sehari – hari. Jika keaadaan tersebut
berlarut – larut, tingkat perekonomian masyarakat mengalami penurunan (Masa kini, 15 Nopember 1988).
Para tokoh masyarakat yang semakin kritis terhadap permasalahan yang
diakibatkan oleh lotere legal
tersebut gencar memberikan tanggapan dan masyarakat juga mendengarkan tanggapan
mereka. Sedikit demi sedikit hati masyarakat tergerak untuk meninggalkan
pengharapan semu dari lotere – lotere tersebut dan berpikir secara
rasional. Kupon – kupon TSSB hingga SDSB cukup meresahkan terutama bagi
masyarakat generasi muda dan ekonomi menengah bawah.[74]
Pada masa – masa akhir menjelang penghapusan KSOB dan TSSB,
pemerintah di tiap Daerah Tingkat II di seluruh DIY disibukkan dengan regulasi
yang mengatur penataan serta penertiban penjualan kupon tersebut.
Penyelenggaraan KSOB dan TSSB tidak terlaksana dengan rapi, sehingga
menimbulkan ekses negatif dan merugikan masyarakat. Pemerintah turun tangan
dengan melakukan pengawasan hingga penertiban. Begitu juga dengan SDSB, dampak
negatif yang dihasilkan hampir sama dengan KSOB dan TSSB menyulut aksi protes
masyarakat. Seiring dengan besarnya arus yang menginginkan penghapusan SDSB,
pemerintah mulai berbenah dan membahas hal tersebut dalam rapat kerja komisi II
dengan menteri sosial. Hal yang tidak sepenuhnya bisa diterima masyarakat
adalah tidak adanya pertanggungjawaban yang terperinci serta transparan
terhadap masyarakat mengenai penggunaan dana dari penarikan SDSB. Selain itu, lotere legal tersebut justru dikelola
oleh yayasan swasta (Suseno, 1998: 25-27).
Sebenarnya izin penyelenggaraan SDSB diperpanjang
hingga tahun 1996, meniru suksesnya KSOB dan TSSB yang berhasil menyedot dana
untuk kegiatan social (Soeriawidjaja, dalam Tempo,
20 Nopember 1993 : 31). Namun pemerintah
berinisiatif ingin mencabut izin pengoperasian SDSB pada tanggal 9 September
1993 akibat menuai gelombang protes semenjak tahun 1991(Jati dalam Pos Kupang, 26 Agustus 2002). Diperparah dengan aksi
massa yang membakar beberapa kios SDSB di wilayah DKI Jakarta (Tempo, 4 Desember 1994 : 38). SDSB hanya mampu
bertahan sejak Januari 1989 hingga akhir tahun 1993 (Tempo, 12 Januari 2004 : 17). Pada realisasinya,
semua kupon SDSB baru dapat ditarik dari peredaran secara penuh pada Nopember
1993. Tanggal 24 Nopember 1993, para agen yang tersebar di wilayah Indonesia
sudah tidak lagi mengedarkan kupon SDSB. Esok harinya, menteri sosial Inten
Soewono mengumumkan pembubaran SDSB atau dikenal dengan Lotere Berhadiah Semiliar di hadapan anggota DPR tanggal 25 Nopember
1993. Hal ini sebagai jawaban atas ketidakpuasan serta desakan masyarakat untuk
membekukan SDSB. Sejak saat itulah SDSB benar – benar hilang dari masyarakat (Nasution, dalam http:\\www.tempointeraktif.com).
Paska penghapusan SDSB. Nopember 1993, di DIY muncul beberapa jenis perjudian yang
dikelola secara lokal. Jenis judi ilegal yang bermunculan bermacam - macam.
Beberapa jenis judi tersebut antara lain judi
buntut, Cap Jie Kia.[75]
Bahkan kembali muncul judi tradisional yang dahulu sempat tenar yaitu perjudian
yang dilakukan ketika warga melakukan hajatan. Jenis judi lainnya yakni judi yang
mempertaruhkan perolehan suara terbanyak pemenang pemilu kepala desa, seperti yang dijumpai di
daerah Wonosari, Desa Baleharjo. Kejadian seperti ini banyak ditemui
di pedesaan Kabupaten Gunung Kidul (Bernas, 28 Januari 1994).
Judi buntut juga semakin berkembang paska dihapusnya SDSB di wilayah DIY, seperti judi buntut totor, Gredal, Macan, Lucky 777, Bola
Slemania, dan Rejeki (Mudjiono,
2004: 24-25). Pemberantasan judi buntut sangat sulit mengingat
pengedar judi mempunyai jaringan yang kuat serta melibatkan preman dan oknum
aparat. Pengundian judi buntut paska
SDSB diadakan setiap minggu oleh bandar besar.[76] Judi jenis
lainnya yang berkembang setelah tumbangnya SDSB yaitu judi yang menggunakan
komputer bank player. Dalam sistem
perjudian ini, penjudi diharuskan menukar koin untuk bermain di mesin judi,
kemudian hasil yang diraih dapat ditukarkan dengan uang Rupiah (Bernas, 28 Januari 1994). Judi bentuk lainnya
yang berkembang yaitu lotere Cap Tjia Kia yang berasal dari
Surakarta. Pangsa pasar judi ini adalah masyarakat ekonomi menengah bawah.
Harganya relatif terjangkau yaitu Rp.500,00. Sistem penjualan dilakukan secara door to door (Mudjiono, 2004 : 18).
Paska dihapusnya SDSB pemerintah DIY justru bekerja keras untuk
menertibkan perjudian ilegal yang menjamur di mana – mana. Aparat keamanan
mendapat kesulitan karena sebagian tempat perjudian juga disokong keamanannya
oleh oknum aparat lainnya, sehingga butuh kelengkapan operasional pemberantasan
perjudian yang lebih mumpuni seperti bekal surat tugas yang lengkap dan
ketegasan dari aparat itu sendiri (Bernas, 28 Januari 1994). Walaupun usaha keras dilakukan oleh aparat pemerintahan, perjudian paska
dihapusnya SDSB yang mengakar dan menyentuh beberapa lapisan masyarakat sangat
susah diberantas.
VI. Penutup
A. Kesimpulan
Kebijakan pemerintah
dari TSSB hingga SDSB disetujui oleh pemerintah Propinsi ini untuk
diselenggarakan sebagai bentuk kebijakan
paket yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat dan berlaku secara nasional, tidak
ada kewenangan pemerintah daerah untuk menolaknya. Selain itu, adanya
kepentingan tertentu di kalangan
elit lokal, baik berlatar institusional
maupun personal ditengarai menjadi salah satu faktor diterimanya lotere tersebut di DIY. Masyarakat DIY
juga mau menerima keempat lotere
tersebut karena mendapat sosialisasi
pemerintah tentang penggalangan dana melalui sumbangan berhadiah dan bukan
merupakan judi. Bagi golongan masyarakat miskin beranggapan bahwa lotere tersebut merupakan solusi atas
permasalahan ekonomi yang dihadapi. Mata pencaharian yang menghasilkan biaya
hidup serba terbatas akibat kurangnya tingkat sumber daya manusia menyebabkan
mereka mencoba mencari solusi melalui lotere tersebut. Sebagian masyarakat
yang malas untuk bekerja, serta oportunis
dalam melihat lotere sebagai
penghasilan sampingan dan jalan pintas untuk cepat kaya.
Periode keberadaan TSSB
dan KSOB hingga berubah menjadi SDSB merupakan periode yang penting bagi
masyarakat DIY karena tiga hal yang mempengaruhi realitas sosial ekonomi
masyarakat, yaitu meningkatnya jumlah masyarakat yang fanatis terhadap lotere, berkurangnya pendapatan para
pedagang akibat banyaknya masyarakat yang membeli lotere serta adanya pro dan kontra terhadap lotere tersebut. sasaran utama pembeli kupon - kupon tersebut
sebenarnya adalah orang – orang yang mampu, namun pada kenyataannya justru
masyarakat miskin dan sebagian besar mengenyam pendidikan rendahlah yang turut
berpartisipasi meramaikan lotere
tersebut. Mereka menggantungkan harapan dan angan – angan melalui keberuntungan
menebak lembaran lembaran lotere undian berhadiah. Harta yang seharusnya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari – hari, serta tabungan di hari tua
disia – siakan hanya untuk memberi harapan yang belum tentu kepastiannya. Pro-kontra keberadaan lotere pemerintah disebabkan oleh fanatisme masyarakat terhadap lotere yang bertabrakan dengan kepentingan
masyarakat yang merasa dirugikan akibat lotere.
Dari semua lotere YDBKS yang diselenggarakan di
DIY, dampak atau ekses negatif yang paling parah akibat lotere YDBKS tersebut adalah periode ketika TSSB diselenggarakan
bersama KSOB. Kios penjual kupon lebih ramai dikunjungi daripada kios kebutuhan
bahan pokok. Hal ini juga terjadi saat
SDSB digemari masyarakat. Royalnya masyarakat membelanjakan harta untuk harapan
yang tidak pasti mengakibatkan pertumbuhan ekonomi DIY terhambat sebagai dampak
tersedotnya dana dari DIY ke Jakarta. Pemerintah terkesan setengah hati untuk
menertibkan peredaran SDSB seperti yang terjadi pada saat KSOB dan TSSB
berjaya, terbukti dengan hasil tidak
semaksimal yang diharapkan masyarakat.
Melihat
dampak yang sangat besar dan akan lebih buruk jika dibiarkan, beberapa elemen
masyarakat seperti tokoh intelektual, tokoh agama, mahasiswa, melakukan gerakan menentang lotere tersebut. Mereka menyatakan penolakan melalui media massa,
aksi turun ke jalan, mengadakan diskusi dengan DPRD bahkan ada yang mengambil
langkah untuk mengontrol distribusi sumbangan hasil penarikan lotere SDSB. Hal ini secara teoritis
memang tidak bisa dielakkan mengingat jalan kebenaran untuk kemaslahatan
masyarakat akan selalu dibela. Terutama menyangkut krisis kebutuhan hidup
masyarakat ekonomi lemah yang juga terpengaruh harapan semu dari beredarnya lotere tersebut. SDSB
telah
resmi dibubarkan, tetapi masyarakat tidak bisa terlepas dari jerat lotere. Hal tersebut dibuktikan dengan
maraknya pembelian lotere putihan. Perilaku masyarakat yang tidak bisa lepas dari jerat lotere mengindikasikan bahwa
penghapusan lotere hanya sebatas pencabutan
legalitas dari lotere.
Masyarakat penggemar
lotere butuh
waktu yang lama untuk meredam kecanduan terhadap judi jenis lotere.
B.
Saran
Adanya
peristiwa seperti ini seharusnya menjadikan masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta
lebih mawas diri dan kritis jika masa – masa yang akan datang terjadi fenomena
serupa. Penelitian ini harus lebih diperdalam untuk menguak benang merah
kebijakan yang bersifat elitis dan memberikan
dampak besar bagi kondisi sosial masyarakat, tidak hanya di DIY, melainkan di
seluruh Indonesia. Penelitian bertema sejenis diharapkan bisa berkembang
sebagai moral hazard agar masyarakat
mengetahui serta mampu menghindari permasalahan permasalahan serupa di masa
yang akan datang.
Daftar Pustaka
Aly, Rum, Hatta
Albanik. 2004. Menyilang jalan kekuasaan
militer otoriter: gerakan kritis mahasiswa Bandung di panggung politik
Indonesia, 1970-1974. Jakarta : Kompas.
Anonim. 1994.
Sosiologi Pedesaan jilid1. Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press.
Aqsha,
Darul et al. 1995. Islam in Indonesia: A
Survey and Developments From 1988 to March 1993, Jakarta : INIS.
Badan
Kerjasama Pondok pesantren dan MUI Yogyakarta. 1986. Fatwa Lengkap Tentang Porkas. Jakarta : Pustaka Panjimas.
Dahlan,
M. Alwi. 1992. Penduduk Indonesia Selama Pembangunan Jangka Panjang
Tahap I : Daerah Istimewa Yogyakarta. Jakarta : Kantor Menteri
Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Darmaningtyas. 2002. Pulung Gantung: Menyingkap
Tragedi Bunuh Diri
Di Gunungkidul. Yogyakarta : Galangpress.
Dumadi, Sagimun Mulus. 1980. Sistem Kesatuan Hidup setempat Daerah
Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta : Depdikbud.
Denny,
J.A..1989. Menegakkan Demokrasi :
Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai
Demokrasi di Indonesia. Jakarta : Yayasan Studi Indonesia.
Haryanto. 2003. Indonesia Negeri Judi?. Jakarta :
Yayasan Khazanah Insan.
Happy S.1989. “Merongrong SDSB, Merongrong Pemerintah”, Tempo, 3 Juni 1989.
Kantor Pusat
Data DIY. 1979. Monografi Daerah Istimewa
Yogyakarta Tahun 1979. Yogyakarta:
Kantor Pusat Data DIY.
Kartini, Kartono.
1983. Patologi Sosial. Jakarta: CV
Rajawali.
Kartono St. 2001.
Menabur Benih keteladanan: Kumpulan Essai
Seorang Guru. Yogyakarta : Keppel Press.
Koeswinarno. 2000. Hidup
Sebagai Waria. Yogyakarta:LkiS..
Kuntowijoyo. 2003.
Metodologi Sejarah (edisi 2). Yogyakarta:
Tiara Wacana.
Lesmana, Tjipta.
1995. Pornografi Dalam Media Massa.
Jakarta: Puspaswara.
Mudjiono. 2004. Judi buntut. mengapa selalu ada?.Yogyakarta:
Tri De.
Mulder, Niels.
2001.Mistisme jawa : Ideologi di
Indonesia. Yogyakarta :LKIS
Pour, Julius. 1997. Laksamana Sudomo. mengatasi gelombang kehidupan. Jakarta :
Gramedia.
Singarimbun, Masri. 2003. Reflection from
Yogya : Potraits of
indonesian Social Life. Yogyakarta:Galang press.
Sastrosupono. 1989. Buntutan.
Kristianikah? Suatu Analisis Awal Terhadap TSSB. KSOB. SDSB dan Buntutannya.
Salatiga : Pra Lembaga Studi & Pengembangan Sinode GKJ.
Soemardjan, Selo. 1981.
Perubahan
Sosial masyarakat Yogyakarta.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Supono, Srie Sadaah, dkk. 1989.. Dampak
Perkawinan Campuran Terhadap Tatakrama Daerah: Studi Kasus Pada Komuniti
Perkotaan di Yogyakarta. Jakarta : Depdikbud.
Suseno, Franz Magnis. 1998. Mencari Makna Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.
Wilardjito, Soekardjo. 2008. Mereka Menodong Bung Karno: Kesaksian
Seorang Pengawal Presiden. Yogyakarta:Galang
Press Group.
William, Liddle. R. 1992. Pemilu-
Pemilu Orde Baru: Pasang Surut kekuasaan politik. Jakarta:LP3ES.
Wirodono, Sunardian. 1994. Gerakan
Politik Indonesia : Catatan 1993. Jakarta: Puspaswara..
Yossi, Briandara. 2009. “Development of Riverside Kampungs and
Management of Rivers in Yogyakarta, Indonesia: Issues of Policy Coherence and Relevance of Socio-Economic
Indonesia ; Characteristics of River
Bank Communities”, www.scribd.org, diakses
tanggal 15 Oktober 2010
pukul 22.00 WIB
Artikel :
Anonim.
“Menjerit Tanpa Kode”, Tempo, 4
Febuari 1989.
Abdullah, Irwan.
“Viewing Yogyakarta Tough Billboard Media” Urban
culture research. Vol. 1. 2003.
Djumali,
Fachzenil. “Pembangunan Daerah : Daerah Istimewa Yogyakarta”. Business News. 4606/25 januari 1988.
Hartoyo,
Budiman S. “Wajah Lotere Silih
Berganti”. Tempo. 20 Nopember 1993.
H, Suhardjo. “Pohon tanda
tanya”. Tempo. 10 september 1988.
Jati,
Hironnymus. “Kaum miskin mengais pendapatan lewat judi” Pos Kupang. 26 Agustus 2002.
Mandayun, Rustam
F, dkk. “Desa Desa Mati Karena Angan – Angan?” Tempo. 9 Juli 1998.
______________________.”Ssstt....
ini Masalah Peka”. Tempo. 9 Juli
1988.
Margana.
Akhir Mimpi Indah . Tempo 20 Nopember
1993.
Martosubroto,
Subagyo. “SDSB Upaya Aktualisasi Sistem Nilai dan Gotong Royong”. Kedaulatan
Rakyat. 6 Januari 1989.
Nasution, Amran.
“Kupon – Kupon Anti Disiplin”. Tempo.
2 juli 1988
______________.
“Desa-Desa Mati Karena Angan- Angan” Tempo.
9 Juli 1988.
______________.
“Angin Melemah Dari Senayan” Tempo. 18
Juli 1988.
______________.
“SDSB. Sama Dengan Sebelumnya?”. Tempo . 14 Januari 1989.
Rais, Amien. Semoga SDSB Segera
Berakhir. Suara Muhammadiyah. No.23 Vol 76 1991.
Rasyid, Fachrul. “Kupon
Masuk Desa” Tempo. 23 Juli 1988.
Soeriawidjaja, Ahmed
K.. dkk. Tinggal Menunggu Kata Akhir.
Tempo 20 Nopember 1993.
Siegel, James T.
2002. Penjahat Gaya Orde Baru : Eksplorasi Politik dan Kriminalitas. Yogyakarta
: LKiS
Sukamto. “Agama dan Kemiskinan: Prespektif
Kristen”. Jurnal Studi Pembangunan. Kemasyarakatan & Lingkungan. Vol. 2. No. 2/2000.
Trihusodo, Putut.”Dana
Buat Siapa”. Tempo. 30 Nopember1993.
Wirodono, Sunardian.“Selamat
Panjang Umur Porkas” Kedaulatan Rakyat. 8 September 1987.
__________________“Kemukus
: Antara Wanita dan Angka Nujum” Kedaulatan
Rakyat. 31 Januari 1988.
Syamsul Machmud.
“SDSB dalam Konteks Judi” Kedaulatan Rakyat. 4 Januari 1989.
Hadad, Toriq,
Sri Wahyuni. “Mereka Yang Gila Kaya”. Tempo. 20 Nopember 1993
Nototaruno,Walgito.”Tiap
100 Penduduk usia Produktif Menanggung 77 Usia Nonproduktif”. Kedaulatan Rakyat. 2 Febuari 1979.
Widada, Yohanes
Sumadya. “Porkas dan Forecasting” Berita Nasional. 16 Maret 1986.
Hidayat, Yopie. “Orang Miskin Pecandu SDSB”. Tempo.
24 Agustus 1991.
Hendridewanto, Yusroni.
“Porkas : Dana. Dukun & Duka”.
Tempo. 20 Juni 1987.
____________________.
“Jalan Pintas Mengubah Nasib”. Tempo.
20 Juni 1987.
Surat Kabar,
Majalah dan Buletin
Balairung ,No.5 ,1987.
Bernas. 24 Maret 1986, 15 juli 1987, 23 Febuari 1988, 3 januari 1989, 11 Januari
1989, 30 Nopember 1991, 4 Desember 1991, 20 Desember
1991.
Kedaulatan Rakyat. 8 Febuari 1979, 24 Febuari 1979,
27 Maret 1986, 22 Juli 1986, 23 juli 1986, 18 Nopember 1987, 9 januari 1988, 23
Febuari 1988, 1 April 1988, 19 April 1988, 2 Juli 1988, 5 Juli 1988, 6 Juli 1988, 10 Juli 1988, 14 Juli
1988, 24 Agustus 1988, 23 Nopember 1988,
3 Januari 1989, 5 Januari 1989, 13 Januari 1989, 4
Januari 1991, 31 Desember 1991.
Kompas .13 Juli 1988.
Masa Kini. 5 Mei 1973, 15
Nopember 1988.
Shin po, 19 mei 1956, 29 Mei 1956.
Suara Merdeka. 19 Januari 2004.
Suara
Muhammadiyah No.23/76/1991.
Tempo, 11 Januari 1986, 4 Januari 1994.
Arsip
Surat Keputusan
Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169
Tentang Penyelenggaraan Undian Harapan
SK Menteri Sosial No. K\55-IT\76\MS tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto
Raga dan Toto Lainnya.
Surat Yayasan Pendidikan
dan Kesejahteraan Pengusaha dan Pengendara Becak D.I. Yogyakarta. no
001/Y/P-3B.Y./1978 perihal permohonan Izin penyelenggaraan Undian
Intern. 10 April 1978.
SK Gubernur
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
: 69 / KPTS / 1988 tentang Penetapan
Wilayah Administrasi Peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan
atau Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).
Staatsblad No. 526 Tahun 1935.
Staatsblad No. 230 Tahun 1912.
Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS / 1988 Tentang
Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran Bukti Sumbangan Dermawan Sosial
Berhadiah Di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 36/KPTS/1989 Tentang Penetapan/Penunjukan Loket-Loket Penjualan BSDSB Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II Yogyakarta.
Internet
Tedy Novan. “Ada Parpol dan Golkar
Di Balik Bisnis Perjudian”. www.minihub.org, Diakses tanggal 20 September 2010 pukul 20.00.
http://djawatempoedoeloe.multiply.com, Diakses tanggal 24 Oktober 2010 Pukul 16.30 WIB.
http://sociopolitica.wordpress.com, diakses tanggal 23 Febuari 2010 Pukul 14.00 WIB.
“Dari Lotere ke Lotere”, http://tempointeraktif.com, diakses tanggal 24 Oktober 2010 pukul 21.30.
Mariana Anggraini, ”Hakikat dan Fungsi“, http://www.digilib.ui.ac.id, diakses tanggal 23 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.
http://legislasi.mahkamahagung.go.id, diakses tanggal 20 Oktober pukul 09.00 WIB.
http://mbaktyas.multiply.com, diakses tanggal 23 Agustus 2010.
http://www.ebay.shop.com diakses tanggal 25 Oktober 2010.
http://www.kaskus.us Diakses tanggal 23 April 2010 pukul 09.00 WIB
Daftar Wawancara / Interview
No
|
Nama
|
Alamat
|
Usia
|
Pekerjaan
|
Tanggal
Interview
|
1
|
Lilik Wiyono
|
Turi,
Sleman,DIY
|
68 tahun
|
wiraswasta
|
11 Desember 2009
|
2
|
Mulyanto
|
Karang Gayam, Catur Tunggal, Sleman DIY
|
74 tahun
|
wiraswasta
|
28 Juli 2010
|
3
|
Pongki Cahyo
|
Kota Yogyakarta,
DIY
|
36 Tahun
|
Pegawai
|
11 Desember 2009
|
4
|
Sunaryo
|
Karang Gayam, Catur Tunggal, Sleman, DIY
|
40
tahun
|
wiraswasta
|
19 Febuari 2010
|
5
|
Sunardi
|
Imogiri,
Bantul, DIY
|
38 tahun
|
wiraswasta
|
30 Juni 2010
|
6.
|
Suyadi
|
Kompleks
Purawisata Yogyakarta, DIY
|
53 tahun
|
wiraswasta
|
30 Juni 2010
|
7
|
Wagiyo
|
Karang Gayam, Catur Tunggal, Sleman DIY
|
57 Tahun
|
wiraswasta
|
28 Juli 2010
|
8
|
Wandi Wiroatmojo
|
Karang Malang, Sleman, DIY
|
80 tahun
|
Kepala Dukuh, Karang Malang
|
19 Februari
2010
|
[1] Sebenarnya tidak hanya lotere saja, judi jenis lainnya juga
banyak dilakukan dalam aktivitas masyarakat Yogyakarta pada waktu itu.
(Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2009
pukul 19.00WIB di Karanggayam).
[2] Mulyanto, wawancara,
28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[3] Hal ini senada dengan apa yang
dikemukakan oleh Wandi Wiroatmodjo, melihat antusiasme anak – anaknya yang
menginginkan bekerja menjadi guru. Wandi Wiroatmodjo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang. Lihat
juga buku Sosiologi Pedesaan jilid1.
(Sosiologi Pedesaan jilid1,1994 : 2).
[4] Lihat Monografi daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1979. (Kantor Pusat Data DIY,1979: 314).
[5] Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya,
fragmentasi tanah menyebabkan usia produktif lebih memilih urbanisasi (Soemardjan, 1980: 296-297).
[6] Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat juga Harian Wawasan, 22 Nopember
2008
[7] Mulyanto,
wawancara, 6 Mei 2010, pukul 19.30 WIB, di Karanggayam. Lihat juga artikel Tedy Novan (Novan, 2008), dan
penjelasan James T. Siegel (Siegel,
2002:150).
[8] Fotografer mengabadikan
gambar tersebut dan menggunakannya sebagai sampul pos. (http://djawatempoedoeloe.multiply.com, Diakses tanggal 24 Oktober 2010 Pukul 16.30 WIB).
[9] Wandi Wiroatmodjo, wawancara, 19 Febuari 2010,
pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[10] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam
[11] Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam
[12] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[13] Hal ini dikemukakan Sunardi, tahun 1970an hingga
1990an di Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, sering ditemukan perjudian
ketika ada selametan pasca melahirkan. Sunardi, wawancara , 30 Juni 2010, pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[14] Wagiyo, wawancara,
28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[15] Mulyanto, wawancara,
28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam, dan Sunardi. wawancara, 30 Juni 2010, pukul 11.00 WIB
di Purawisata Yogyakarta.
[16] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[18] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam dan Wandi
Wiroatmojo, wawancara, 19 Febuari
2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang. Lihat
juga aliran kebatinan yang dijelaskan Niels Mulder. (Mulder,2001: 52-54).
[19] Dikemukakan Niels Mulder,
ketika ia mengadakan penelitian di Yogyakarta
bertepatan dengan merebaknya judi nalo.
Masyarakat sangat antusias dengan perjudian jenis kupon tersebut (Mulder,2001: 51-52).
[20] Wandi Wiroatmodjo, wawancara,
19 Febuari 2010, pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[21] Lilik Wiyono, wawancara,11 Desember 2009,
pukul 15.00 di Turi, Sleman.
Lihat juga paparan Mudjijono (Mudjijono. 2002 : 24).
[22] Senada dengan yang diungkapkan
Mulyanto, bahwa judi buntut adalah judi yang diundi berdasarkan nomor hasil
undian Nalo, tapi seiring dengan
diberhentikannya izin peredaran nalo,
judi ini kemudian berkembang di bawah beberapa bandar – bandar, dengan nama
sesuai kelompok bandar. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul
19.00 WIB, di Karanggayam.
[23] Hal ini dijelaskan dalam Surat
Keputusan Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169 Tentang Penyelenggaraan Undian Harapan .
[24] Mulyanto. wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Dimuat juga
dalam Kedaulatan Rakjat, 23 Desember 1971.
[25] Mulyanto, wawancara, 6 Mei 2010,
pukul 19.30 WIB, di Karanggayam.
[26]
Bapak Mulyanto sering memergoki mahasiswa UGM yang beliau kenal mampir
di kios – kios penjual kupon Nalo.
Bahkan ketika Bapak Mulyanto menjadi
penjual kupon Dana Harapan pun, banyak mahasiswa membeli kupon dari beliau.
Mulyanto. wawancara, 6 Mei 2010,
pukul 19.30WIB di Karanggayam .
[27] Lihat juga UU No. 7 Tahun 1979 Tentang Perjudian.
[28] SK Menteri Sosial No. K\55-IT\76\MS tentang Instruksi Presiden Mengenai Toto Raga dan Toto Lainnya.
[29]Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[30] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[31] Bisa dilihat dalam SK Gubernur
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor
: 69 / KPTS / 1988 Tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran
Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan atau Tanda Sumbangan Sosial
Berhadiah (TSSB).
[32] Sunaryo, Wawancara, 26 Febuari 2010,
pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
Lihat juga iklan TSSB di surat kabar Kedaulatan Rakyat.( Kedaulatan Rakyat, 22 Febuari 1988).
[33] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010,
pukul 15.00 WIB di Karanggayam dan Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam. Lihat
juga poster petani yang lebih memilih mengotak - atik Porkas
daripada turun ke sawah. (Bernas, 15
juli 1987).
[34] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010,
pukul 15.00 WIB di Karanggayam dan Mulyanto, wawancara 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[35] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[36] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[37] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam. Lihat juga iklan pada surat
kabar Kedaulatan Rakyat. (Kedaulatan Rakyat, 23 Agustus1986, Kedaulatan Rakyat, 12 Juli 1987 dan Kedaulatan Rakyat,11 Oktober 1987).
[38] Wandi Wiroatmodjo, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 14.30 WIB di Karangmalang.
[39] SK Gubernur Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor : 69 / KPTS /
1988 tentang Penetapan Wilayah
Administrasi Peredaran Kupon Sumbangan Olahraga Berhadiah (KSOB) dan atau Tanda
Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB).
[40] Wandi wiroatmojo, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 14.30 WIB di Karangmalang.
[41] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[42] Sunaryo, wawancara, 28 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[43] Pongky Cahyo, wawancara, 11 Desember 2010,
pukul 13.30WIB di UGM.
[44] Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS / 1988 Tentang Penetapan Wilayah
Administrasi Peredaran Bukti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah Di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta.
[45]Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta No. 36/KPTS/1989 Tentang Penetapan/Penunjukan Loket-Loket Penjualan BSDSB Di Wilayah Kotamadya Daerah Tingkat
II Yogyakarta.
[46] Sunardi, wawancara , 30 Juni 2010,
pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[47] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010,
pukul 15.00 WIB di Karanggayam dan Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[48] Wandi Wiroatmodjo, wawancara 19 Febuari 2010,
pukul 14.30 di Karangmalang.
[49] Mulyanto wawancara, 28 Juli 2010,
dan Wagiyo, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[50] Pongki Cahyo, wawancara, 11 Desember 2009,
pukul 13.30WIB di UGM.
[51]Sunaryo , wawancara, 26
Febuari 2010, pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[52] Wandi
Wiroatmodjo,wawancara, 19 Febuari 2010,
pukul 14.00 WIB di Karangmalang.
[53] Seperti yang dituturkan oleh
Pongki, ketika itu ia sebagai pelajar bersama teman – teman sebayanya iseng -
iseng mencoba peruntungan membeli kupon TSSB ataupun KSOB. Pongki Cahyo, wawancara, 11 Desember 2009. Lihat juga Kedaulatan Rakyat, 23 Nopember 1988.
[54] Sunardi, wawancara , 30 Juni 2010,
pukul 11.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[55] Wagiyo mengungkapkan, ketika
kios – kios Porkas tersebar hingga masuk ke gang – gang kampung
sekitar Catur Tunggal, beberapa oknum mahasiswa tanpa malu – malu membeli
kupon. Wagiyo, wawancara, 28 Juli
2010, pukul 19.00 WIB di Karanggayam.
[56] Seperti yang dikemukakan oleh
Mulyanto, Beberapa kerabat beliau yang menjadi Pegawai negeri, sering kali
mencuri - curi waktu pada jam kerja
untuk mengotak atik ramalan dan menebak nomor. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010,
pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
[57] Mulyanto,
wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00
di Karanggayam.
[58] Dalam hal ini Sunaryo memecahkan
kode menggunakan rumusan-rumusan yang beliau karang sendiri dihubungkan dengan
kejadian beruntun sehingga memperoleh nomor yang bisa dipertaruhkan dalam Porkas. Sunaryo, wawancara, 19 Febuari 2010 pukul 15.00 di Karanggayam.
[59] Ngalap nomer merupakan istilah yang tidak asing pada waktu itu
untuk menyebutkan perilaku masyarakat penggemar
judi kupon dalam mendapatkan nomor - nomor yang akan dipertaruhkan melalui
cara-cara mistis. Sunaryo, wawancara,
26 Febuari 2010, pukul 15.00 di Karanggayam
[60]
Pongki Cahyo, wawancara,
11 Desember 2009.
[61] Lilik wiyono, wawancara,11 Desember 2009,
pukul 15.00 di Turi, Sleman.
[62] Lihat juga gambar iklan yang
terdapat pada Kedaulatan Rakyat (Kedaulatan
Rakyat, 23 juli 1986).
[63] Suyadi, wawancara , 30 Juni 2010
pukul 13.00 WIB di Purawisata Yogyakarta.
[64] Sunaryo, wawancara,
26 Febuari 2010,
pukul 15.00 WIB di Karanggayam. Larangan tersebut tertuang
dalam Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988 tentang ketentuan
pengedaran SDSB (Tempo, 4 Febuari
1989 : 21).
[65] Sunaryo, wawancara, 28 Juli 2010,pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[66] Resesi disebabkan oleh kebijakan pemerintah melalui program Pakto (Paket Oktober) yang memberi kemudahan dalam pendirian bank, sehingga mata uang Rupiah mengalami kejatuhan dan harga – harga melambung tinggi (Muttaqin,dalam www.jurnal-ekonomi.org dan Pour, 1997: 297). Pada waktu itu, masyarakat yang gila Porkas tidak peduli dengan kondisi ekonomi keluarga mereka. KSOB dan TSSB justru semakin ramai. Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010 pukul 19.00 di Karanggayam.
[67] Sunaryo, wawancara,
26 Febuari 2010,pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[68] Sunaryo, wawancara,
26 Febuari 2010 pukul 15.00 WIB di Karanggayam.
[69]Seperti yang dilakukan teman
sebaya Pongki yang sengaja menggunakan uang SPP untuk membeli kupon TSSB atau
KSOB. Pongki Cahyo, wawancara. 11 Desember 2009 lihat juga Kedaulatan Rakyat, (Kedaulatan Rakyat,
23 Nopember 1988).
[70] Wagiyo,wawancara, 28 Juli 2010 dan Mulyanto, Wawancara, 28 Juli 2010.
[71] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
Lihat juga Masa kini, (Masa kini ,15 Nopember
1988).
[72] Seperti yang dialami oleh para
kerabat Wagiyo, keluarga mereka tak henti - hentinya menyadarkan mereka untuk
lepas berharap pada sesuatu yang belum pasti. Wagiyo. wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB,
di Karanggayam.
[73] Mimbar tersebut juga diramaikan
oleh mahasiswa, yang berunjuk rasa menentang SDSB di Boulevard UGM, dan digelar
sejak pagi. (Wirodono, 1994
: 56).
[74] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam.
Lihat juga Masa kini (Masa kini, 15 Nopember
1988).
[75] Sunaryo, wawancara, 26 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB, di Karanggayam.
[76] Mulyanto, wawancara, 28 Juli 2010, pukul 19.00 WIB, di Karanggayam, dan Sunaryo, wawancara, 19 Febuari 2010, pukul 15.00 WIB, di Karanggayam.
Artikel Ini Dipublikasikan Dalam
JURNAL PATRAWIDYA, VOL 16, NO.2, Juni 2015 dg ISSN 1411-5239, Halaman 205-232
Komentar
* Promo Bonus Turnover Harian/Mingguan/Bulanan
* Promo Refferal 15% Seumur Hidup
Kelebihan bermain bersama Pokervita -->
> Semua Bank Online 24 Jam (BCA, MANDIRI, BNI, BRI, DANAMON, OVOPAY, dan Go-Pay)
> Layanan LiveChat, BBM Dan WA Respon Cepat
> Proses Deposit & Withdraw Maksimal 3 Menit (Keadaan Bank Normal)
> Minimal Deposit Terjangkau Rp.10.000
> Total Bonus Jackpot Hingga Ratusan Juta Rupiah Setiap Harinya
> Fair Play Tanpa Robot dan Tanpa Admin
> Rate Kemenangan Tertinggi
Menyediakan 8 Permainan Dalam 1 Akun!
> POKER
> DOMINOQQ
> CAPSA SUSUN
> BANDARQ
> BANDAR POKER
> SAKONG
> ADUQ
> BANDAR 66
POKERVITA juga menyediakan beberapa game populer saat ini, Judi Bola, Casino Online, Sabung Ayam, Tembak Ikan Joker.
Info Lebih Lanjut Hubungi :
WA: 0812.2222.996
BBM : PKRVITA1 (HURUF BESAR)
Wechat: pokervitaofficial
Line: vitapoker
DAFTAR KLIK SINI
Cheat Poker Online POKERVITA SITUS RESMI POKER ONLINE TERPERCAYA
JADWAL SABUNG TERLENGKAP agen adu ayam terbesar sejak 2014