written by
Indra Fibiona
Indra Fibiona
Tahun 1970an hingga tahun 1990an adalah masa masa
dilematis yang dihadapi bangsa Indonesia. Perjudian terutama jenis
lotere tumbuh subur melibatkan elemen stakeholder.
Pemerintah pada awalnya hanya ingin menekan aliran dana ke luar negeri sebagai
akibat dari suburnya perjudian di negeri Singapura dan Malaysia.
Melihat
dampak perjudian lotere yang sangat besar terhadap masyarakat, pemerintah
melarang segala jenis perjudian dan lotere dengan mengeluarkan Kepres RI No
47 tahun 1973 tentang penertiban perjudian dan UU No. 7 Tahun 1974 . Dalam UU No. 7 tahn 1974 dijelaskan bahwa ditinjau dari kepentingan nasional, penyelenggaraan perjudian mempunyai
ekses yang negatif dan merugikan terhadap moral dan mental masyarakat, terutama
terhadap generasi muda. Meskipun kenyataan juga menunjukkan bahwa hasil
perjudian yang diperoleh pemerintah baik pusat maupun daerah dapat digunakan
untuk usaha-usaha pembangunan, ekses negatifnya lebih besar daripada ekses
positifnya.[1]
Pemerintah
pada akhirnya membuat beberapa kebijakan untuk mencegah aliran dana dari dalam
negeri ke luar negeri, sekaligus menggalang dana untuk kepentingan sosial.
Tulisan
ini mengkaji tentang kebijakan pemerintah tentang sumbangan berhadiah untuk mengatasi permasalahan terkait
banyaknya aliran dana ke luar negeri akibat dari aktivitas perjudian terutama
di Singapura dan Malaysia yang mengakibatkan sebagian masyarakat di Indonesia
membelanjakan uangnya untuk melakukan aktivitas perjudian di luar negeri.
Kebijakan Dana Harapan hingga SDSB
Lotere Dana Harapan disebut juga Undian
Harapan dikelola oleh pemerintah pusat dan berada di bawah Yayasan Rehabilitasi
Sosial yang berubah nama tahun 1978 menjadi Badan Usaha Undian Harapan.[2]
Hasil penarikan Lotere undian Harapan digunakan untuk membiayai penannggulangan
masalah sosial. [3] Dana Harapan
kemudian ditutup karena protes dari masyarakat dan tidak mampu menggalang dana lebih untuk
kepentingan sosial, kemudian diganti dengan SSB.
SSB ( Sumbangan
Sosial Berhadiah) dikeluarkan sebagai pengganti undian harapan yang telah dibekukan pada tahun 1978 karena
menimbulkan kontroversi dan mengundang reaksi protes dari masyarakat.
Pemerintah kemudian membuat kebijakan baru dengan mengeluarkan SSB yang
ditengarai sebagai ajakan judi terselubung dengan menyamarkan namanya. Sosialisasi kebijakan tersebut oleh
pemerintah dijelaskan bukan sebagai judi melainkan bentuk sumbangan. Kupon SSB
sendiri disebut dengan Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB) atau disebut
juga KSSB (Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah).[4]
SSB mulai diberlakukan di tahun 1979 dan dicetak sebanyak 4 juta lembar, diundi
setiap dua minggu sekali. Pengelolaan SSB diserahkan pada Yayasan Dana Bhakti
Kesejahteraan Sosial (YDBKS) yang berpusat di Jakarta.[5]
Kebijakan TSSB
diberlakukan selama kurun waktu 9 tahun, terhitung sejak awal diedarkan yaitu
tahun 1979 hingga dibekukan dan diganti menjadi SDSB di penghujung tahun 1988. [6]
peredaran TSSB juga diikuti dengan diedarkannya porkas sampai porkas
bertransformasi menjadi KSOB. Omzet yang didapatkan dari TSSB per tahun
diperkirakan menembus angka 1 trilyun rupiah. Dana
yang diperoleh dari penarikan TSSB didistribusikan salah satunya untuk bantuan
sosial. Hingga tahun 1985 tercatat 2,59 milyar dana yang diperoleh YDBKS dari
TSSB didistribusikan untuk keperluan sosial dan kemanusiaan. TSSB yang berhasil
dijual hingga tahun 1985 sebanyak 4 juta lembar. Penyaluran hasil TSSB senilai
2,95 milyar tersebut diantaranya untuk sumbangan pendidikan dan kebudayaan,
agama dan kerohanian, kesehatan masyarakat, kegiatan masyarakat, pantiwreda dan
alokasi kegiatan sosial lainnya.[7]
Di tahun 1988, TSSB bersama KSOB ditengarai menyedot dana rakyat hingga 962,4
milyar Rupiah. Dana tersebut sebagian besar dikembalikan kepada rakyat dalam
bentuk hadiah serta honor bagi para agen dan pengecer, kemudian sisanya digunakan
Yayasan Dana Bhakti Kesejahteraan Sosial untuk
kepentingan sosial dan olahraga.[8]
Porkas, berasal
dari kata Forecast merupakan sarana
untuk mengumpulkan dana untuk olahraga yang mulai dikenal pada awal tahun 1986.[9] Berawal dari
studi banding yang dilakukan Depsos selama dua tahun di Inggris, penyelenggaraan forecast Inggris
dilaksanakan dengan bentuk sederhana dan tidak menimbulkan ekses judi.
Berangkat dari hal tersebut, pemerintah mencoba untuk mengaplikasikannya di
Indonesia.[10] Forecast di Indonesia yang dikeluarkan
izinnya oleh departemen sosial kemudian disebut Porkas Sepak Bola. Porkas
merupakan akronim dari Pekan Olah Raga
dan Ketangkasan.
Pengadaan Porkas Sepakbola mengacu pada UU no.
2 Tahun 1954 tentang undian. Kemudian diperkuat dengan SK menteri Sosial No
BSS-10-12/85 tanggal 10 Desember 1985. Walaupun kebijakan telah dikeluarkan
pada akhir Desember 1985, Porkas baru secara resmi diberlakukan mulai tahun
1986.[11]
Banyak yang menyangkal bahwa Porkas bukan merupakan bentuk perjudian, tetapi
banyak juga yang berpendapat bahwa Porkas merupakan judi. Mereka yang
menganggap Porkas bukan tergolong judi mempunyai alasan bahwa jika menebak
porkas tidak sembarangan, tetapi harus ada logika dan materi yang dianalisis.[12]
Abdul Gafur selaku menpora pada waktu itu juga menyatakan bahwa porkas
sepakbola merupakan sebuah permainan dan bukan merupakan judi. Beliau juga
menegaskan bahwa sebelum kebijakan porkas diberlakukan, pemerintah mengadakan
penelitian cukup lama dan komprehensif, sehingga keputusan berlakunya porkas
bukan keputusan yang sembarang diambil.[13] Sebetulnya lotere Porkas hampir mirip dengan
lotere atau toto yang ada di Spanyol pada tahun 1985, yaitu menebak hasil
pertandingan sepakbola atas 14 klub profesional yang masuk di divisi utama di
negeri tersebut.[14] Peluang
kemungkinan menang porkas adalah 1:10 juta, yang artinya seorang pembeli kupon
harus membeli 10 juta kupon dan diisi dengan 10 juta kemungkinan untuk
mendapatkan hadiah utama. Ini menjadikan porkas sangat sulit untuk ditebak,
karena menurut Ahmed Soeriawidjadja sebagai staf ahli dalam kementrian sosial
pada waktu itu menjelaskan bahwa tujuan utama Porkas yaitu mencari dana untuk
pembinaan olahraga, jadi permainan porkas dibuat agak sulit dalam sistem menebaknya
agar tidak mudah bangkrut.[15]
Porkas kemudian bertransformasi menjadi KSOB tahun 1987. Pelaksanaan KSOB mengacu pada SK Menteri Sosial nomor 29/BSS 1987. Keberadan
KSOB sama halnya dengan Porkas, hanya berlangsung singkat. KSOB dan TSSB
kemudian digantikan oleh SDSB. Implementasi SDSB didasari oleh Keputusan Menteri Sosial RI No. 21 / BSS / XII / 1988 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan
Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah
serta Keputusan Menteri Sosial RI No. BSS 16 - 11 / 88 tentang Pemberian Ijin Penyelenggaraan
Pengumpulan Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah kepada Yayasan Dana Bhakti
Kesejahteraan Sosial di Jakarta.[16] Surat Keputusan Menteri Sosial Nomor 21/BSS/XII/1988
tentang ketentuan pengedaran SDSB.
Dampak Implementasi Sumbangan Berhadiah
Banyak sekali efek yang ditimbulkan sebagai akibat
dari sumbangan berhadiah mulai dari TSSB hingga SDSB, seperti yang dijumpai
pada tahun 1986. Ketika kehadiran TSSB juga diramaikan dengan kehadiran Porkas.
Pada awal beredarnya TSSB dan Porkas memang belum terlihat dampak negatif yang
timbul terutama terkait dengan kondisi ekonomi masyarakat. Seiring dengan
berjalannya waktu, dampak Porkas mulai dirasakan oleh masyarakat, terutama
masyarakat miskin. Seperti yang pernah disindir dalam karikatur koran Berita
nasional Yogyakarta, Petani menjadi malas dan tidak produktif. Setiap harinya
hanya diisi dengan meramal kode Porkas untuk mencoba peruntungan mendapatkan
hadiah undian.[17]
Keadaan semakin parah ketika lotere Porkas berubah
wajah menjadi KSOB. Bersamaan dengan TSSB, kedua lotere tersebut mampu menyedot
perhatian masyarakat khususnya golongan menengah bawah. Tidak hanya masyarakat
miskin di desa - desa yang terhanyut irasionalitas iming - iming Lotere
tersebut yang menjadikan kaya dalam sekejap, tetapi juga masyarakat marjinal di
kota kota di Indonesia.[18] Keadaan semakin
parah pada tahun 1988, ketika terjadi resesi ekonomi yang menyebabkan harga –
harga kebutuhan pokok melambung, sebagian masyarakat yang gila lotere KSOB dan
TSSB tidak peduli dengan pemenuhan kebutuhan pokok yang kian susah.[19] Mereka
lebih mementingkan bagaimana cara memenangkan lotere tersebut, seolah tidak
perduli terhadap kondisi ekonomi rumah tangga. Para penggila lotere tersebut
terkadang membelanjakan hampir seluruh biaya hidupnya untuk kupon – kupon
lotere yang belum pasti dapat mengentaskan dari kemiskinan.
Pegawai Negeri yang berpenghasilan minim pada waktu
itu banyak yang terjelembab untuk mencoba peruntungan nasib melalui kupon TSSB,
Porkas, KSOB hingga SDSB. Mereka mencoba pertaruhan Sumbangan berhadian
tersebut dengan menjual jatah beras dari Bulog yang diberikan setiap bulan.
Mereka seolah tidak perduli dengan kemampuan finansial, dan lebih mengutamakan
memenangkan hadiah yang didapat dari memasang Lotere tersebut. Masyarakat yang
bermatapencaharian sebagai pedagang bahan kebutuhan pokok pun mengeluh karena omzet penjualan menurun
drastis semenjak diedarkannya TSSB hingga SDSB. Pedagang mengeluh karena di
setiap hari menjelang pengundian KSOB dan TSSB, barang dagangan mereka tidak
laku karena sebagian masyarakat membelanjakan uang mereka untuk membeli kupon
lotere. Pendapatan pedagang turun hingga 50% di setiap hari hari menjelang
pengundian KSOB dan TSSB.[20] Pada saat KSOB
dan TSSB berubah menjadi SDSB, hal serupa terjadi di Kulonprogo. Masyarakat
melakukan unjuk rasa terkait melambungnya
omzet para pengedar kupon SDSB di Kulonprogo, sehingga pendapatan warga
berkurang karena tersedot oleh pengedar SDSB.[21]
Dana yang diserap dari desa – desa di Indonesia,
terutama di provinsi DIY dari penjualan lotere sangat besar. Di Gunung Kidul
saja, yang notabene daerah miskin, setiap minggu dari satu agen resmi terkeruk
dana sekitar 3 juta rupiah hingga 4 juta rupiah dari penjualan lotere jenis
TSSB. Dana tersebut belum ditambah dengan penjualan KSOB yang setiap minggunya
terjaring sekitar 2 juta rupiah. Jadi jika diakumulasikan menjadi 5 juta
rupiah. Pada waktu itu terdapat sekitar 3 agen resmi. Total dana yang terserap
dari distribusi KSOB dan TSSB yaitu 15 juta Rupiah dari 3 agen resmi. Penarikan
dana selama 1 bulan mencapai 60 Juta Rupiah dan dalam 1 tahun bisa terkumpul
720 juta rupiah. Hal ini sangat memprihatinkan, mengingat pendapatan murni
daerah kabupaten Gunung Kidul hanya 550 juta rupiah.[22] Pada
saat peredaran SDSB merebak, hal serupa juga terjadi. Kehidupan masyarakat
Gunung Kidul semakin terpuruk. Masyarakat miskin, dan dilanda kekeringan justru
membelanjakan hartanya untuk lembaran BSDSB. Penghasilan masyarakat miskin yang
pada waktu itu hanya 30 ribu rupiah hingga 50 ribu rupiah perbulan tidak pernah
absen meramaikan SDSB. Hal ini berdampak pada kesejahteraan dan masalah
pendidikan serta kesehatan juga terabaikan.[23]
Tidak hanya dampak ekonomi yang sangat besar
dijumpai akibat peredaran lotere sumbangan berhadiah tersebut, tetapi juga
tindak kriminalitas banyak ditemukan terutama saat lotere Porkas mulai marak di
tahun 1987. Tindak kriminalitas yang ditemukan salah satunya yaitu tindak
penipuan yang dilakukan oleh mantan staf biro kepegawaian Setwilda DIY,
Sugiarto. Dia menipu calon pegawai dengan iming iming diterima kerja di
Kepatihan. Secara tidak sengaja, korban penipuan tersebut memergoki tersangka
ketika tengah membeli beberapa kupon Porkas. Korban kemudian melaporkan tindak
penipuan tersebut kepada pihak berwajib. Tersangka menjalani masa hukuman
selama tiga bulan. Tersangka mengakui perbuatannya karena kecanduan kupon
Porkas dan merasa yakin bahwa ia pasti beruntung dan bisa memenangkan undian
lotere tersebut.[24]
Tindak kriminalitas lain yang timbul akibat SDSB
adalah munculnya perjudian – perjudian liar yang pengundiannya merujuk pada
hasil undian baik itu TSSB bahkan hingga SDSB. Bentuk kupon liar yang dikenal
masyarakat pada waktu itu adalah kupon putihan atau dikenal dengan Judi Buntut.
Seperti yang terjadi di Umbulharjo, seorang warga bernama Simon Sentani Marpaung mengedarkan
kupon putihan yang berpatokan pada
penarikan SSB di jakarta.[25] Ketika
pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang pemberantasan perjudian ilegal
tanggal 8 desember 1988, Pengedar serta bandar judi dikenakan pasal subversif
apabila tertangkap mengedarkan judi kupon ilegal.[26] Bandar Judi gelap atau putihan tidak
menghiraukan pemerintah dan cenderung nekat untuk mengedarkannya walaupun
melanggar undang – undang anti subversif.[27]
Melihat
dampak lotere sumbangan berhadiah yang
sedemikian besarnya bagi masyarakat,
mahasiswa khususnya di Yogyakarta melakukan protes menentang sumbangan
berhadiah tersebut. Pada saat porkas berubah menjadi KSOB dan juga ramai
digandrungi masyarakat bersama diedarkannya TSSB, aksi protes pun datang dari
mahasiswa. 6 orang aktivis mahasiswa Universitas Gadjah Mada diantar oleh Rektor Prof. Dr. Koesnadi
Harjoesoemantri menemui pejabat gubernur DIY. Mereka memberikan penjelasan
solutif mengenai alternatif pencarian dana untuk olah raga selain dari KSOB dan
TSSB.[28] Sebelumnya tanggal 28 November 1988, ketika Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan mengunjungi kampus ISI Yogyakarta, terpampang beberapa poster yang
berisi tentang protes kepada pemerintah serta himbauan untuk menghapus TSSB dan
KSOB karya dari mahasiswa.[29]
Aksi protes
juga terjadi saat SDSB digandrungi masyarakat, dan banyak korban dari
masyarakat kecil. Kritisnya mahasiswa dalam menanggapi hal tersebut menyebabkan
mereka turun untuk menentang SDSB.
diawali dari penerimaan dana sumbangan dari YDBKS sebagai hasil SDSB untuk UII
sebesar 100 juta rupiah untuk pembangunan sarana pendidikan di tahun 1991,
mahasiswa UII melakukan aksi demonstrasi bulan agustus 1991. Mereka menuntut
uang yang disumbangkan untuk UII agar dikembalikan kepada YDBKS.[30] Tanggal 5 November 1991, sejumlah 5000 mahasiswa melakukan unjukrasa anti SDSB. Aksi unjuk
rasa digelar sejak pagi kemudian diselingi shalat Jumat berjamaah, kemudian
dilanjutkan dengan aksi jalan menuju Malioboro dan dilanjutkan menuju gedung DPRD
DIY.[31]
Kemudian
tanggal 13 November 1991, Terjadi aksi masa yang lebih besar. Mahasiswa dari beberapa universitas di
yogyakarta di koordinir untuk melakukan aksi protes terhadap SDSB. Sebanyak
9000 mahasiswa dari UGM, UII, IAIN turun ke jalan melakukan aksi menentang
SDSB. Aparat keamanan dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan aksi
sebelumnya dikerahkan untuk mengantisipasi hal yang tidak diinginkan.[32]
Gelombang
unjuk rasa anti SDSB digelar kembali pada tanggal 3 Desember 1991. Ribuan
mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta yang tergabung dalam
Komite Mahasiswa Anti SDSB (KMA-SDSB) mendatangi gedung DPRD di Jalan
Malioboro. Mereka melakukan aksi dimulai dari Boulevard kampus UGM Bulaksumur, melewati jalan Cik
Ditiro, Jalan Jend. Sudirman, jalan Mangkubumi dan berakhir di jalan Malioboro.[33] Aksi anti SDSB selanjutnya terjadi pada tanggal 10 desember 1991,
mahasiswa yang tergabung dalam Komite Mahasiswa Pro Demokrasi (KMPD) melakukan
aksi menuju stadion Mandala Krida. KMPD yang terdiri dari mahasiwa IAIN
Kalijaga, ISI, UII. Sebenarnya substansi aksi demo yang dilakukan KMPD adalah
membacakan “tuntutan SMPT se DIY” yang melahirkan 9 butir tuntutan kepada
pemerintah RI, DPR/MPR, Orsospol, dan ormas untuk menegakkan hak azasi manusia.
Aksi pembacaan tuntutan tersebut dihalau leh aparat keamanan. Mahasiswa
kemudian membuka mimbar bebas dan melakukan aksi pembakaran repelika kios SDSB
dan meminta pemerintah segera membubarkan SDSB.[34]
Walaupun UGM
pada tahun 1991 menerima bantuan sebesar 7,5 juta rupiah dari YDBKS, Mahasiswa
UGM tampil dalam front barisan terdepan dan yang paling keras menentang SDSB.
Padahal bantuan dana tersebut digunakan untuk aktivitas kemahasiswaan.[35] Sebelum melakukan aksi pada tanggal 10 Desember 1991, Mahasiswa UGM
beserta IAIN, UII serta perguruan tinggi
lainnya juga menyukseskan renungan malam yang diadakan di kampus IAIN tanggal 9
Desember 1991. Kegiatan tersebut mengkritisi SDSB sebagai perampas hak – hak
ekonomi rakyat. Para mahasiswa mengancam akan melakukan aksi golput apabila
tuntutan mereka tidak dipenuhi.[36]
SDSB mampu
menyedot dana tak kurang dari 350 milyar dan diyakini sebagai sumbangan yang
terbesar dilihat dari pendapatan perkapita masyarakat. Melihat banyaknya animo masyarakat
yang menyumbang tetapi tidak disesuaikan
dengan kemampuan dan menanggapi fenomena SDSB bukanlah persoalan yang sederhana
karena menyangkut isu agama, ekonomi, politik dan psikologi sosial, maka tak
heran jika banyak terjadi aksi demonstrasi.[37]
Seiring dengan
besarnya arus yang menginginkan penghapusan SDSB, pemerintah mulai berbenah dan
membahas hal tersebut dalam rapat kerja komisi II dengan menteri sosial. Hal
yang tidak sepenuhnya bisa diterima masyarakat adalah tidak adanya
pertanggungjawaban yang terperinci serta transparan terhadap masyarakat
mengenai penggunaan dana dari penarikan SDSB. Selain itu, lotere legal tersebut
justru dikelola oleh yayasan swasta.[38] Sebenarnya izin penyelenggaraan SDSB diperpanjang hingga tahun
1996, meniru suksesnya KSOB dan TSSB yang berhasil menyedot dana untuk kegiatan
sosial.[39] Namun pemerintah berinisiatif ingin mencabut izin pengoperasian
SDSB pada tanggal 9 September 1993 akibat menuai gelombang protes semenjak
tahun 1991.[40] Diperparah dengan aksi massa yang membakar beberapa kios SDSB di
wilayah DKI jakarta.[41] SDSB hanya mampu bertahan sejak Januari 1989 hingga akhir tahun
1993.[42] Pada realisasinya, semua kupon SDSB baru dapat ditarik dari
peredaran secara penuh pada November 1993. Tanggal 24 November 1993, para agen
yang tersebar di wilayah Indonesia sudah tidak lagi mengedarkan kupon SDSB.[43] Esok harinya, menteri sosial Inten Soewono mengumumkan pembubaran
SDSB atau dikenal dengan Lotere Berhadiah
Semiliar di hadapan anggota DPR tanggal 25 November 1993. Hal ini sebagai
jawaban atas ketidakpuasan serta desakan masyarakat untuk membekukan SDSB.
Sejak saat itulah SDSB benar – benar hilang dari masyarakat.[44]
Pasca
dihapusnya SDSB oleh pemerintah, timbul beberapa masalah terkait perjudian.
Penyelenggaraan judi ilegal semakin
marak. Salah satunya adalah kasino yang terletak di Pluit, Jakarta.
Bandar judi ini mengadakan judi dengan nominal ratusan juta sebagai taruhan.
Bandar tersebut tidak takut walau harus bertentangan dengan undang - undang
antisubversif No. 135/1965 karena menyelenggarakan perjuidan ilegal.[45]
Fenomena perjudian ilegal juga marak di beberapa provinsi di indonesia.
perjudian ilegal yang banyak dijumpai adalah bentuk kupon putihan serta judi
kartu. Judi tersebut marak dan berkembang sebagai bentuk kerinduan masyarakat
setelah ditutupnya SDSB. Sebagian judi kupon putihan juga tumbuh dari embrio
semasa berlangsungnya SDSB. Judi kupon putihan kemudian berkembang dan dikenal
dengan nama Toto Gelap atau lebih dikenal dengan sebutan Togel dan juga Lotere Singapura.[46]
Sungguh ironis, penutupan SDSB justru menimbulkan masalah baru yang harus
diselesaikan oleh segenap aparatur negara.
Konklusi
Keberadaan
SSB hingga SDSB yang tujuan awalnya untuk mengumpulkan dana sosial justru
membawa akses negatif yang sangat besar. Dimulai dari kebijakan awal SSB tahun
1979 merupakan periode awal berkembangnya lotere YDBKS ketika pemerintah
berupaya meminimalisir lotere ilegal yang marak di beberapa
daerah. Lotere tersebut mampu bertahan hingga dikeluarkan kebijakan tentang
Porkas di tahun 1985. Tidak ada resistensi dari masyarakat yang sangat
mengancam keberadaan lotere tersebut. Periode selanjutnya menjadi klimaks dari
keberadaan lotere legal, ketika mulai terlihat dampak negatifnya terutama saat
Porkas beralih wajah menjadi KSOB di tahun 1988. Banyak opini kontra mengkritisi
keberadaan lotere tersebut. Periode antiklimaks terjadi ketika TSSB dan KSOB
bertransformasi menjadi SDSB. Perlawanan masyarakat semakin keras menentang
keberadaan lotere tersebut hingga akhirnya pemerintah membekukannya di akhir tahun
1993.
Semua
lotere tersebut disetujui oleh
pemerintah provinsi ini untuk diselenggarakan
sebagai bentuk kebijakan paket yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat
dan berlaku secara nasional, tidak ada kewenangan pemerintah daerah untuk
menolaknya. Selain itu, adanya kepentingan
tertentu di kalangan elit lokal,
baik berlatar institusional maupun personal ditengarai menjadi salah satu
faktor diterimanya lotere tersebut terutama di provinsi DIY. Masyarakat mau
menerima keempat lotere tersebut karena
mendapat sosialisasi pemerintah tentang penggalangan dana melalui
sumbangan berhadiah dan bukan merupakan judi. Bagi golongan masyarakat miskin
beranggapan bahwa lotere tersebut merupakan solusi atas permasalahan ekonomi
yang dihadapi.
[1] Mariana
Anggraini, ”Hakikat dan Fungsi“, http://www.digilib.ui.ac.id, diakses tanggal 23 Oktober 2010
pukul 09.00 WIB. Lihat juga “UU No. 7 Tahun 1979 Tentang Perjudian”, http://legislasi.mahkamahagung.go.id, Diakses tanggal 20 Oktober 2010 pukul 09.00 WIB.
[2] “Dari Lotere ke Lotere”, http://tempointeraktif.com, diakses tanggal 24 Oktober 2010 pukul 21.30.
[3] Surat Keputusan
Menteri Sosial No. B.A. 5-4-76/169 Tentang
Penyelenggaraan Undian Harapan .
[4]
Budiman S. Hartoyo, “Wajah Lotere Silih Berganti”, Tempo, 20 November 1993 : 40. Lihat juga lampiran iklan SSB tahun
1979, Kedaulatan Rakyat, 8 Febuari
1979.
[5] Budiman S. Hartoyo, “Wajah
Lotere Silih Berganti”, Tempo, 20
November 1993 : 40.
[6] Budiman S. Hartoyo, “Wajah
Lotere Silih Berganti”, Tempo, 20
November 1993 : 40.
[7] Kedaulatan Rakyat, 27 Maret 1986.
[8] Kompas ,13 Juli 1988.
[9] Tidak dijelaskan secara detail
pengertian forecast, tetapi jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, forecast (fo:’ka:st) berarti peramalan atau
meramalkan. Yusroni Hendridewanto “Porkas : Dana, Dukun dan Duka” Tempo(20 juni 1987):14.
[10] Suara Merdeka. 19 Januari 2004.
[11] Kedaulatan Rakyat, 22 Juli 1986.
[12]Sunardian Wirodono,“Selamat
Panjang Umur Porkas” Kedaulatan Rakyat.
8 September 1987.
[13] Yohanes Sumadya Wijaya”Porkas
dan Forecasting”, Bernas, 26 Maret
1986.
[14] Yusroni Hendridewanto, “Porkas
: Dana, Dukun & Duka”, Tempo, 20 Juni 1987 :14.
[15] “Bagaimana Cara Memenangkan
Undian Porkas?”, Tempo, 11 Januari 1986 : 12.
[16] Surat Keputusan Gubernur Kepala
Daerah Istimewa Yogyakarta No. 295 / KPTS /
1988 Tentang Penetapan Wilayah Administrasi Peredaran
Bukti Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah Di Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta.
[17] Bernas, 24 Maret 1986.
[18] Kedaulatan Rakyat, 10 Juli 1988.
[19] Resesi disebabkan oleh kebijakan pemerintah melalui program Pakto (Paket Oktober) yang memberi kemudahan dalam pendirian bank, sehingga mata uang Rupiah mengalami kejatuhan dan harga – harga melambung tinggi. Hidayatullah Muttaqin.”Saatnya Menggusur Riba dari Percaturan Ekonomi Indonesia”. www.jurnal-ekonomi.org. Diakses tanggal 1 Januari 2010 pukul 20.00 WIB. Lihat Juga Julius Pour. Laksamana Sudomo, mengatasi gelombang kehidupan. (Jakarta : Gramedia, 1997): 297.
[20] Amran Nasution. “Desa Desa
Mati Karena Angan – Angan”. Tempo, 9
juli 1988 :24.
[21] Bernas, 20 Desember 1991.
[22] Kedaulatan
Rakyat, 9
januari 1988.
[23] Yopie Hidayat, “Orang Miskin Pecandu SDSB”, Tempo, 24 Agustus 1991 : 102.
[24] Kedaulatan Rakyat, 11 Agustus 1987.
[25] Kedaulatan Rakyat, 8 November 1989.
[26] Amran Nasution, “Mengejar
Buntut”, Tempo,7 Januari 1989 : 21-23.
[27] Happy S., “Merongrong SDSB,
Merongrong Pemerintah”, Tempo, 3 Juni
1989 : 73.
[28] Denny J.A., Menegakkan Demokrasi : Pandangan Sejumlah
Tokoh dan Kaum Muda mengenai Demokrasi
di Indonesia, (jakarta : Yayasan Studi Indonesia 1989) :116 – 117.
[29] Kedaulatan Rakyat, 31 Desember 1991.
[30]
Putut trihusodo, “Dana Buat Siapa”, Tempo,
20 November 1993 : 35. Lihat juga Aqsha,
Darul et al, Islam in Indonesia: A Survey
and Developments From 1988 to March 1993, (Jakarta : INIS, 1995) : 72.
[31] Sunardian Wirodono, Gerakan Politik Indonesia : catatan 1993, (Jakarta : Puspa
Swara1994) : 56.
[32] Sunardian Wirodono, Ibid : 57.
[33] Kedaulatan Rakyat, 4 desember 1991.
[34] Kedaulatan Rakyat, 11 desember 1991.
[35] Putut Trihusodo, op.cit : 37.
[36] Bernas, 10 Desember 1991.
[37] Sunardian Wirodono, Gerakan Politik Indonesia : catatan 1993,
(Jakarta : Puspa Swara1994) : 55.
[38] Franz Magnis
Suseno. Mencari Makna Kebangsaan.( Yogyakarta: Kanisius, 1998) : 25-27.
[39] Ahmed K Soeriawidjaja,
“Tinggal Menunggu Kata Akhir”, Tempo, 20
November 1993 : 31.
[40] Hironnymus Jati. “Kaum miskin
mengais pendapatan lewat judi” Pos Kupang,
26 Agustus 2002.
[41] “Akhir
Tunjangan Rabu Malam”, Tempo, 4
Desember 1994 : 38.
[42] “
Dari Lotere Ke Lotere”, Tempo, 12 Januari 2004 : 17.
[43]“Akhir
Tunjangan Rabu Malam”, op.cit : 39.
[44] Amran
Nasution,“1993 Bukan Hanya Untuk Tahun Mega Dan Syuga”, http:\\www.tempointeraktif.com, Diakses tanggal 23 Januari 2011,
pukul 21.00 WIB.
[45] Ivan Haris, “Ditipu Sampai Malu”, http://majalah.tempointeraktif.com.
Diakses
tanggal 20 Januari 2011 pukul 20.00 WIB.
[46] Mudjijono,
Judi Buntut, Mengapa Selalu Ada?,
(Yogyakarta: Tri de, 2004) :13.
Komentar