Langsung ke konten utama

Waspada kapitalisme global

Sore kala itu nampak cerah, sang surya kuning-oranye sudah berjalan menuju ufuk barat. Dari sudut taman hijau nan asri yang cukup luas itu terlihat seorang anak perempuan dan dua orang laki-laki sedang sibuk berbincang. Izzah, 18 tahun kuliah di jurusan Sastra Indonesia UGM dengan antusias menyimak cerita-cerita yang diceritakan oleh Huda kakak laki-lakinya, 20 tahun yang juga masih kuliah di UGM jurusan Psikologi. Begitu juga dengan Bima teman Izzah yang kuliah di jurusan Sastra Inggris UGM dan memang kebetulan mereka sudah berteman sejak SMA.
“Jadi seks bebas itu ada kaitannya sama kapitalisme global, Kak?” tanya Izzah penuh keruwetan diwajahnya. Kak Huda tersenyum, mengangguk mantap.
”Yah, gitu deh”, jawab kak Huda singkat sambil berharap jawaban ini dapat memancing respon lain dari Bima atau Izzah.
”Kak Huda, memangnya kapitalisme global itu apa sih? Terus... kok bisa dikait-kaitkan sama seks bebas. Ah, nggak masuk akal tuh.” tukas Bima nggak kalah ruwetnya.
”Justru sangat masuk akal, Bim. Kalau kata seorang Sosiolog yang ahli di bidangnya, pak Imam B Prasodjo, fenomena seks bebas itu tidak bisa dilepaskan dari konteks kapitalisme global. Maksudnya kapitalisme global disini adalah mereka yang punya modal besar yang tidak hanya sekedar bagaimana meluaskan dan melebarkan pasar. Tetapi yang paling utama adalah menarik keuntungan sebesar-besarnya dari berbagai komoditi yang laik dijual. Dan yang paling disesalkan adalah sering kali mereka menabrak segala etika dan norma untuk menjual dagangan mereka. Salah satu contohnya adalah komoditi hiburan. Disini para kapitalis sering kali memasukkan sebuah produk mereka bernama seks sebagai salah satu komoditi dagangannya. Masih menurut pak Imam B Prasodjo lagi nih, seks mengikuti prinsip dagang, harus bisa dipasarkan dan dikemas dengan menarik. Ini dia yang mengerikan.” jelas Kak Huda.
”Mengerikan gimana, kak!” sahut Izzah dan Bima hampir bersamaan.
”Begini, kakak jelaskan... jadi para kaum kapitalis akan berbuat dengan berbagai macam cara untuk menjual dagangannya itu agar laku dipasaran. Dan dengan bantuan kecanggihan teknologi, biasanya dikemas melalui rekaman gambar atau suara yang dikirim lewat internet, ponsel atau dicetak dimajalah serta ada juga yang dijadikan kepingan cd, yang tentu saja akan sangat mudah dalm proses pendistribusiaannya ke pasaran. Ini sangat bisa menjadi satu bahaya laten yang akhirnya membuat kita ngeri.”
”Gitu ya kak? Kok, Izzah masih belum ngerti sih.” ujar Izzah, sambil menopangkan dagu pada kedua tangannya.
”Contoh konkretnya, kayak pengiriman foto-foto syur ke dalam e-mail kita tanpa diminta. Ya kan, kak.” jelas Bima.
”Bener sekali Bim. Suka atau nggak suka orang dipaksa untuk melihat. Misalnya lagi, orang yang tadinya nggak mau melihat sesuatu yang aneh-aneh itu, kemudian ’dipaksa’ melihat karena sudah dipaparkan ditelevisi yang datangnya tidak perlu ketok pintu lagi.” tambah kak Huda.
”O-o,.. gitu ya Kak.” Izzah mulai paham.
“Tapi bagaimana kalau yang dikirim itu malah suka.” tambah Izzah.
“Ya, pertanyaan yang bagus. Taruhlah orang yang dikirimin itu suka dan merasa fine-fine saja dengan segala macem gambar dan foto yang terkirim di e-mailnya. Tapi pernahkah kita berpikir, satu kali aja... akibat yang akan ditimbulkan dari hal itu semua. Analoginya seperti kopi, jika kita dibiasakan untuk minum kopi setiap hari, maka kopi itu akan menjadi hal yang biasa dan hal yang sah-sah saja untuk diminum tanpa melihat side effect yang bakal ditimbulkan dari konsumsi yang rutin dan berlebihan itu. Misalnya saja, kalau dalam kopi yang terkenal adalah zat kafeinnya yang jika dikonsumsi secara rutin dan berlebihan akan membuat si-penikmat kopi menjadi adiktif atau ketergantungan pada kopi. Sama seperti orang yang tiap kali lihat e-mail yang mengisi inboxnya hanya gambar-gambar atau foto-foto atau bahkan vidio yang berbau pornografi, ia akan merasa bahwa hal itu atau foto-foto dan gambar-gambar itu sah-sah saja dilihat atau dilakukan atau bahkan mereka akan menjadi salah satu korban dari gambar, foto, atau vidio itu. Lebih jauhnya adalah hal ini dapat menyebabkan tranformasi luar biasa dalam cara pandang manusia. Jika seks selama ini dipandang sebagai hubungan sakral dan sangat pribadi karena harus melalui ijab-kabul dalam proses pernikahan, maka transaksi perdagangan yang tidak mengenal etika ini membuat seks menjadi barang publik yang jauh dari nilai-nilai budaya timur dan terlebih nilai-nilai Islam.”
“O-oo, gitu ya Kak. Ya, Aku mengerti sekarang. Jadi itu masalah pembiasaan diri kan Kak. Ibaratnya otak dan pemikiran kita akan menjadi terbiasa jika sesuatu itu terus dilakukan dan berulang-ulang. Sehingga menyebabkan hal itu tersimpan dalam memory dan itu menjadi suatu hal yang biasa atau lebih parah lagi hal itu menjadi kebiasaan.”
”Betul.” jawab Bima dan Kak Huda bersamaan. Merekapun tertawa bersaama.
”Dan menurut salah satu Psikolog almumnus Unpad, Bandung, Dra. Sarwi Astuti, Psi, jika norma masyarakat sudah mengganggap seks bebas sebagai hal biasa, dampaknya akan buruk, terutama bagi anak-anak. Akan terjadi benturan antara norma rumah dan norma masyarakat atau norma sosial. Gitu, Zah, Bim.” Izzah dan Bima mengangguk-angguk tanda mereka sudah paham.
”Ngomong-ngomong, Aku ada satu pertanyaan nih Kak.” ujar bima sambil membenarkan letak duduknya..
”Apa?” sahut kak Huda.
”Sebenarnya penyebab dari fenomena seks bebas ini apa sih kak? Apa benar karena dekadensi moral? Atau seperti yang kak Huda jelaskan tadi, bahwa kapitalisme global-lah yang menjadi penyebab dari ini semua?” tanya Bima penuh semangat. Kak Huda tersenyum lebar, ia kemudian mengarahkan tubuhnya ke arah Bima.
”Bagus. Ini dia yang kakak mau dari kalian. Sikap kritis, peka dan mau mengungkapkan pertanyaan atau apa saja yang sekiranya masih mengganjal, Subhanallah!” puji Kak Huda kepada Bima. Bima tersenyum, wajahnya berubah merah entah karena malu atau GR..
”Ye, Bima. Dibilang gitu aja GR.” ledek Izzah yang merasa biasa saja dengan pujian kakaknya.
”Lagian siapa yang GR.” Bima membela diri.
”Tadi,... kenapa wajahmu memerah segala?...”
”Hey, sudah-sudah. Mau diteruskan lagi tidak nih diskusinya.” sahut kak Huda menyela.
”Iya, Iya Kak. Gitu aja marah.” ejek Izzah. kak Huda hanya menggelengkan kepalanya.
”Oh, ya tadi sampai mana?”
”Penyebab fenomena seks bebas, dekadensi moral atau kapitalisme global?” sabet Izzah.
“O-iya, jadi gini Bim, Zah. Menurut temannya teman kakak yang jadi aktivis organisasi Pusat Studi Hubungan Antar Kelompok dan Penyelesaian Konflik FISIP UI, penyebab utamanya ya memang tidak diragukan lagi, yaitu kapitalisme global. Sementara kemerosotan moral hanya sekedar akibat dari proses transformasi dari kebiasaan-kebiasaan melihat dan mengkonsumsi hal-hal yang berbau pornografi tadi.” jelas kak Huda.
“O-oo, jadi karena itu ya kak.” Bima paham.
”Tapi sebenarnya, tidak cuma itu Bim, Zah. Ada lagi faktor lain yang menyebabkan fenomena seks bebas itu terjadi. Menurut temannya teman kakak tadi, hal ini terkait dengan kreativitas masyarakat. Jika saja bangsa ini memiliki kreativitas yang tinggi dalam hal pengembangan kecerdasan IQ, EQ, dan SQ. Maka sangat mungkin untuk menciptakan film-film yang dapat meng-counter fenomena seks bebas yang terjadi belakangan ini. Misalnya saja, muncul film-film yang menyentuh kepekaan jiwa hingga jika kita yang menontonnya dapat membuat seseorang tersentuh bahkan hingga menangis. Nah, ini kan lebih produktif. Ya kan?” jelas Kak Huda.
”Produktif sih produktif, tapi apa iya kalau dijual di salah satu stasiun televisi ratingnya bakalan tinggi? Atau paling tidak standar. Hari gini nonton film yang kayak gitu, mana ada yang mau nonton. Kakak juga udah bisa lihat tayangan-tayangan yang sekarang sering nongol di televisi kalau tidak jauh-jauh dari hal-hal yang mengumbar hawa nafsu atau kekerasan, bahkan yang ratingnya lagi naik nih, adalah film-film yang justru berbau mistis dan klenik. Terus bagimana cara kita bisa bikin film yang kayak tadi kakak bilang? menyentuh jiwa, hingga kita menangis, de el el deh.” Izzah mulai panas.
”O-iya, Aku jadi inget nih kak, Zah.” Bima mencoba menjawab.
”Waktu kemarin, pokoknya tidak lama ini, Aku sempat baca di salah satu media cetak tentang fenomena ini, yang ternyata terjadi juga di negara paman Sam sana, Amerika. Tapi kerennya, mereka bikin penyeimbangan yang jauh lebih kuat. Caranya dengan memberikan penghargaan untuk sineas muda atau tua, baru atau lama yang mampu membuat film yang bermutu. Atau dengan memberikan alternatif bacaan yang bermutu dan berkualitas ditengah merebaknya ’buku-buku sampah’. Sementara di Indonesia penyeimbangnya lemah karena akhlak yang baik itu sedikit dan tidak dikemas dengan kemasan yang kreatif dan lebih bersaing. Kalaupun ada perlawanan untuk meng-counter-nya, lebih banyak bersifat emosional bukan kreativitas. Intinya, Indonesia butuh penyeimbang. Karena bangsa kita sedang kehilangan orientasi.” jelas Bima.
”Benar sekali itu Bim. Kakak setuju...” sahut kak Huda
”Aku juga!!!” potong Izzah setengah teriak.
”Izzah! Jaga Izzah* mu donk.” ledek kak Huda.
”Ye,... Kakak. reseh.” Izzah ngambek, namun tak lama ia kembali tersenyum. Karena kakaknya yang satu ini memang paling tidak bisa membikin Izzah marah sampai 5 bahkan 3 menit.
”Ya sudah, kembali ke lap...” ujar kak Huda
”...top.” Bima nenyahut cepat
”Lanjut ya. Jadi fenomena seks bebas ini juga merupakan salah satu akibat dari krisis keimanan yang terjadi di negeri kita sekarang ini. Kalau mengutip dari pemaparan Bima tadi, bahwa sekarang bangsa kita itu sedang kehilangan orientasi, nyambung banget tuh. Kalau ditarik benang merahnya pasti akan ketemu dengan yang namanya krisis keimanan.”
”Kok bisa Kak?” tanya Izzah kemudian.
”Ya, bisa lah Zah. Coba bayangkan, di zaman yang modern ini. Dengan teknologi yang canggih sepetri sekarang ini, kita pastinya dituntut untuk serba cepat. Nah, para kaum kapitalis yang punya banyak modal tentu saja sangat terbantu. Apa lagi dengan teknologinya dan SDM bangsa Indonesia yang terkenal murah. Komoditi-komoditi dagangan kaum kapitalis kayak seks tadi, itu akan makin banyak tersebar dipasaran. Dengan harga jual yang murah meriah bak kacang goreng atau bahkan terkadang gratis, siapa yang nggak mau sih? Ya, ada juga sebagian yang tidak mau. Tapi yang harus jadi fokus dalam masalah ini adalah akibat dari itu semua adalah krisis keimanan. Nantinya akibat lanjut dari itu semua adalah kebobrokan moral bangsa. Gitu Zah.” jelas kak Huda meyakinkan Izzah
“Terus kira-kira solusinya apa kak?” tanya Izzah kembali.
”Yup... solusinya kira-kira apa ya? Bima atau Izzah mungkin?” kak Huda menawarkan.
”Kalau menurut ku, ya... yang pasti dari dalam dirinya sendiri dulu, terus dukungan dari keluarga, baru lingkungan. Maksudnya, kalau dari dalam diri sendiri itu berarti kita harus mendekatkan diri dengan Allah. Dalam hal ini selain menjalankan ibadah yang wajib dijalankan atau ikut-ikut kajian ke-Islam atau setidaknya tahu mana yang benar mana yang salah. Sebagai manusia yang beragama, kita juga pasti punya aturan-aturan yang akhirnya menganjurkan berbuat baik dan melarang kita untuk tidak berlaku yang buruk. Misalnya kalau dalam konteks yang sekarang lagi kita bicarakan ini, kayak ada dalam salah satu surat di Alqur’an. nama suratnya aku lupa.... tapi yang jelas tentang perintah agar kita tidak mendekati zina, deh...”
”... surat Al-Israa ayat 32.” potong kak Huda.
”O-iya suarat Al-Israa ayat 32. disana diterangkan kalau kita dilarang mendekati zina...”
”... Mendekatinya aja dilarang apa lagi melakukannya, iya kan?” kali ini Izzah yang memotong.
”Betul. Yang aku tahu juga, Allah melarang kita dalam satu hal itu bukan tidak ada tujuannya. Justru tujuaanya sangat jelas. Misalnya, Allah melarang mendekati zina, itu karena jika kita melakukan perbuatan tersebut selain mendapat murka dari Allah kita juga akan mendapatkan penyakit, seperti HIV-AIDS yang hingga sekarang belum juga ada obatnya. Yah, yang aku tahu penjegahan agar tidak terkena penyakit itu hanya berusaha menjauhi zina itu sendiri. Kedua, keluarga juga sangat berperan, karena diyakini dapat menjadi social support memberikan banyak nilai-nilai, seperti agama, susila, sopan-santun, de es be, sehingga ketika berada diluar, keluarga dan kekuatan dalam diri sendiri itu akan bersinergi untuk membentuk suatu sikap tegas yang akhirnya dapat menunjukkan siapa diri kita sebenarnya. Dan yang terakhir dari lingkungan kita sendiri, usahakan bergaul dengan orang-orang yang akhirnya baik. Baik akhlaknya, perangainya, sikap dan sifatnya atau bahkan pengetahuaannya. Kalau ketiga itu sudah terpenuhi maka Insyaallah otak kita secara kognitif akan bekerja menentukan sikap diri kita. Gitu, ya kan Kak?”.
”Ya. Bener banget Bim. Solusinya memang salah satunya adalah yang Bima sebutkan tadi. Wah, kayaknya kakak sudah nggak perlu menambahkan lagi. Jawabannya sudah disampaikan sama Bima semua. Nah, kalau Izzah gimana nih?” tanya kak Huda.
”Aku,... sama kayak Bima.” jawab Izzah singkat.
”Kok sama?” tanya kak Huda.
”Tidak kreatif nih. Plagiator.” sindir Bima sambil tersenyum.
”Yee, Bima. Jangan salah, plagiator itu justru kreatif buktinya dia bisa muter otaknya untuk menyontek punya orang. Kalau dia tidak kreatif mana mungkin punya pikirin kayak gitu.” sahut Izzah tidak mau kalah.
”Hey, sudah-sudah. Izzah ngaco aja jawabannya! Ya udah, karena sudah sore dan sebentar lagi azan magrib. Jadi, bagimana kalau kita pulang?” ujar kak Huda mencoba melerai mereka berdua.
”Iya.” ujar Izzah.
”Yuu-uk.” kak Huda mengajak mereka berdua pulang.
Langit sore mulai memerah, san raja siang perlahan mulai tenggelam ke peraduan.. Bima segera berpamitan dengan orangtua kak Huda dan Izzah yang merupakan budenya. Kak Huda dan Izzah masuk dan mempersiapkan sholat berjama’ah. Tak lama sayup-sayup sapaan mesra sang penguasa mayapada berkumandang. Lembut menyentuh nurani. Memanggil setiap insan untuk segera kembali ke dekapan hangat nan mesra Illahi Rabbi....
By cuin Kopet

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par