Dari
Administrasi Publik ke Publik Governance
(written by : Indra Fibiona and Jon Roy Tua Purba, MAP UGM 57)
Pendahuluan
Pemahaman tentang ilmu administrasi publik kian
berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Munculnya berbagai teori tentang
ilmu administrasi adalah sebuah pertanda nyata bahwa ilmu administrasi akan
terus berkembang dan mengalami dinamikanya. Hal ini pulalah yang membuat ilmu
administasi menjadi perhatian penting untuk mewujudkan tata pemerintahan yang
baik.
Ilmu administrasi
publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana
terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan
government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru,
yaitu New Public Manajemen, New Public
Services hingga Good Governance.
Old Public Administration
Pada awalnya “Publik”
dalam Old Publik Administration memiliki asosiasi pada government, locusnya cenderung merujuk pada lembaga pemerintahan. Diawali
dari timbulnya paradigma dikotomi administrasi dan politik , tahun 1900 hingga
tahun 1926. Dalam paradigma tersebut terjadi pemisahan antara politik dengan
administrasi. Tokoh – tokoh yang
berpengaruh paradigma dikotomi
administrasi dan politik pada waktu itu adalah Frank J. Goodnow, Leonard D.
White. Mereka mengungkapkan bahwa politik harus memusatkan perhatiannya pada
kebijakan atau ekspresi dari kehendak rakyat, sedangkan administrasi .Implikasi paradigma iniadalah administrasi
harus dilihat sebagai sesuatu yang bebas nilai serta diarahkan untuk mencapai
nilai efisiensi dan ekonomi dari government
bureaucracy (T. Keban, 2008:32). Dwilight Waldo juga membenarkan pernyataan
yang dikemukakan oleh White, bahwa yang dikemukakan White memiliki subtansi penting bagi kemajuan
administrasi di Amerika (Thoha, 2008 : 20). Poin penting dalam substansi
tersebut antara lain sebegai berikut.
1. Politik seharusnya
tidak mengganggu administrasi
2. Manajemen memberikan
kontribusi analisis ilmiah terhadap administrasi
3. Administrasi publik
(negara) merupakan pengetahuan yang “value free”
4. Misi ilmu
administrasi adalah ekonomis dan efisiensi
Paridigma yang
pertama memberikan
afirmasi bahwa fokus administarasi
negara yaitu birokrasi pemerintahan. Sistem keadministrasian secara keseluruhan adalah bagian dari tugas negara. Dalam paridigma pertama ini pula kita menemukan kegiatan politik tidak bisa
disamakan dengan administrasi.
Paradigma kedua mengenai
prinsip - prinsip dasar administrasi publik, tahun 1927 hingga tahun 1937. Pada periode ini, prinsip administrasi mempunyai prinsip
bahwa administrasi publik (publik sebagai negara) dapat diterapkan di mana saja
walaupun memiliki perbedaan budaya, visi, lingkungan dll. Tokoh yang memiliki kontribusi dalam paradigma
ini adalah Willoughby, Urwick & Gulick. Prinsip administrasi yang terkenal dikemukakan oleh
Urwick dan
Gulwick yaitu
teori POSDCORB (Planning, Organizing, Staffing, Directing, reporting,
Budgeting). Urwick dan
Gulwick beranggapan bahwa prinsip sangat penting bagi administrasi sebagai
suatu ilmu. Pada paradigma ini, focus memegang peranan penting daripada locus
(Pasolong, 2010, 28). POSDCORB kemudian direvisi dengan
PAFHRIER (Policy, Analisis, Financial, Human Resources, Information and
External Relation) yang dikemukakan oleh G.D. Garson dan E.S. Overman (T.
Keban, 2008:35). Prinsip administrasi sebagai fokus dipandang
dapat berlaku secara universal pada setiap bentuk organisasi dan setiap
lingkungan sosial budaya (Pasolong, 2010, 28-29). Interpretasi
yang didapat dari paradigma kedua yaitu sebuah prinsip admnistrasi dipakai secara umum tanpa
memandang latar belakang suatu daerah atau negara dimanapun. Dalam teori ini
segala sesuatu yang telah dibentuk dengan berbgai kriteria dipandang bisa
dipakai dimana saja. Hal ini terus berkembang dan mempunyai banyak kelemahan,
mengingat faktor suatu daerah dengan orang yanga ada didalamnya sangat
mempengaruhi adanya suatu kebijakan.
Paradigma ketiga
mengenai administrasi publik sebagai ilmu politik. Paradigma ini muncul tahun
1950 hingga 1970. Pada fase ini,
terdapat perkembangan baru yang sangat diperhatikan, yaitu tumbuhnya penggunaan
studi kasus sebagai suatu sarana yang bersifat epistimologis. Selain itu juga timbul studi perbandingan dan
pembangunan administrasi sebagai salah satu bagian dari ilmu administrasi.
Dwilight Waldo melakukan protes terhadap laporan Komisi Ilmu politik yang
menyebutkan bahwa administrasi bukan lagi dianggap sebagai ilmu politik (Pasolong,
2010 :29). Paradigma ini cukup memberikan respon dari berbagai kalangan akademisi admnistrasi negara. Seperti yang diungkapkan Dwilight
Waldo,
pernyataanya merupakan salah satu contoh
berkembangnya pendapat dari paradigma ini, sehingga memunculkan ide-ide baru
dan gebarakan baru dalam ilmu admnistrasi negara pada umumnya. Kegiatan politik
yang dipisahkan dari atau tidak bagian dari admnistrasi negara mendorong para
tokoh mengembangkan ilmu admnistarsi dan hubungannya dengan ilmu politik.
Paradigma keempat (tahun
1956 – 1970) sebenarnya berada pada periodisasi paradigma ketiga. Pada
paradigma iniadministrasi publik (negara) telah berkembang menjadi ilmu
administrasi. Ditandai dengan ketidaksenangan bahwa ilmu administrasi dianggap sebagai
ilmu kelas dua setelah ilmu politik (T.
Keban, 2008:32). Pada fase ini,
focus lebih mendapat perhatian, tetapi locus tidak sama sekali. Usaha
pengembangan ilmu administrasi dipengaruhi oleh fakultas administrasi
perusahaan (School
of Business
administration). Paradigma
ini kemudian ditunjang dengan keberadaan jurnal Administrative Science Quarterly[1]
sebagai sarana untuk menyuarakan pendapat tentang konsepsi yang berkembang di
paradigma ini (Pasolong, 2010 : 30). Dengan adanya pandangan bahwa ilmu
admnistrasi negara merupakan ilmu yang berada di bawah ilmu politik membuat perkembangan ilmu admnistarsi
semakin terdesak. Desakan atas ketidaksetujuan para ahli
ilmu administrasi berusaha menemukan
identitasnya, dengan harapan ilmu admnistrasi bisa berdiri sendiri dan bukan
ilmu kelas dua dari ilmu politik seperti yang telah diungkapkan sebelumnya.
Paradigma ke lima mengenai
administrasi publik (negara) menjadi administrasi publik, paradigma ini dikenal luas setelah tahun 1970.
Administrasi publik mulai merambah pada teori organisasi,
ilmu kebijakan (policy science) dan
ekonomi politik. Pada periode ini, public
affair[2]
mulai bermunculan (Pasolong, 2010 : 30). Focus dari
administrasi pada paradigma ini adalah teori organisasi, sedangkan locusnya
masalah kepentingan publik (T. Keban, 2008:33). Pada paradigma ini dapat
diinterpretasikan bahwa publicness dalam administrasi publik mulai
diperhatikan. Dalam paradigma
ini ilmu, admnistarasi publik (negara) mula menemukan jati dirinya. Adanya teori
bahwa admnistrasi negara merupakan ilmu kebijakan menjadikan ilmu admnistrasi
publik (negara) menjadi lebih dinamis. Admnistrasi negara tidak lagi hanya
berbicara tatanan birokrasi, tetapi lebih kepada pelayanan publik melalui
kebijakan. Serta mulai melibatkan teori ekonomi untuk mewujudkan kebijakan
publik (policy science).
Perbedaan
Government dengan Governance
Perbedaan
Government dengan governance mulai terlihat di OPA pada paradigma ke lima
yang locusnya lebih cenderung publicness. Antara Government dengan governance mulai terlihat jelas ketika paradigma
berpindah dari OPA menuju ke NPM. Schwab dan Kubler melihat perbedaan antara
government dengan governance dari 5 dimensi, antara lain dimensi aktor, fungsi,
struktur, konvensi dari interaksi dan distribusi dari kekuasaan. Ditinjau dari
dimensi aktor, Government memiliki partisipan yang sangat terbatas, yaitu
umumnya diisi oleh lembaga pemerintah, sedangkan governance jumlah pesertanya
sangat besar, meliputi aktor publik dan aktor privat. Dilihat dari dimensi
fungsi, Government jarang mengadakan konsultasi dengan pihak swasta ataupun civil society[3],
sedangkan Governance lebih banyak melakukan konsultasi, memperbesar kemungkinan
kerjasama, sehingga isu kebijakan yang dihasilkan lebih
sempit (Kurniawan, 2007 : 14).
Apabila ditinjau dari
dimensi struktur, Government lebih bersifat tertutup dan tidak sukarela, tidak
bisa melibatkan Cso dan swasta / privat dalam membentuk struktur
keorganisasiannya. Hal ini berbeda dengan sifat governance yang lebih terbuka
dalam struktur keorganisasian dan bersifat sukarela. Governance melibatkan
seluruh aktor baik publik maupun privat dalam membentuk struktur sehingga bisa menempatkan pengarutan kebijakan sesuai
kebutuhan fungsionalitasnya . Governance dilihat dari dimensi konvensi
interaksi memiliki ciri konsultasi yang
sifatnya horizontal dengan pola hubungan yang kooperatif sehingga lebih banyak
keterbukaan. Government justru sebaliknya, hierarki kewenangan yang telah
menjadi mainset mengakibatkan pola hubungan banyak bersifat konflik dan penuh
dengan kerahasiaan. Dilihat dari dimensi distribusi kekuasaan, governance
memiliki ciri dominasi negara sangat rendah, lebih mempertimbangkan kepentingan
masyarakat (publicness) dalam
pengaturan kebijakan dan adanya keseimbangan antaraktor. Dalam government justru dominasi negara sangat kuat
dan tidak ada keseimbangan yang terjadi antaraktor (Kurniawan, 2007 : 15-16).
Agus Dwiyanto dalam
pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu politik UGM menjelaskan bahwa dalam prespektif governance,
lokus utamanya bukan lagi birokrasi pemerintah seperti Government, melainkan bergeser
lebih luas (Dwiyanto, 2004). Bisa dipahami bahwa pergeseran yang meluas yang
dimaksud adalah pembagian peran dan pengambil kebijakan. Pemerintah itu membagi atau menurangi peranya untuk melaksanakan
kebijakan publik yang lebih baik dan merata.
Selain perbedaan
Government dan Governance yang semakin terlihat jelas, Denhart dan Denhart
melihat perbedaan dalam peralihan paradigma dari Old public Administration
menjadi New Public Manajemen dalam hal kinerja. Doktrin utama yang terkandung
dalam OPA adalah using control to achieve efficiency,
atau menggunakan kontrol untuk mencapai efisiensi, sedangkan dalam NPM
ditekankan melalui rasionalitas ekonomi melalui intrepreneurial spirit or using incentives to achieve productivity (Muhammad, 2008 : 18).
NPM
(New Public Management)
Paradigma NPM timbul
sebagai dampak dari kurang efektifnya paradigma administrasi sebelumnya dalam
memecahkan masalah dan memberikan pelayanan publik. NPM sendiri merupakan paradigma
yang bersifat reformatif sebagai embrio dari reinventing government yang disampaikan oleh D. Osborne dan
T.Gaebler. Pada paradigma ini, pemerintah harus memiliki sifat catalyc, community owned, competitive,
mission driven, result oriented, customer driven, enterprising, anticipatory,
decentralized dan market oriented (T. Keban, 2008 :35-36). Paradigma ini mengimplementasi konsep yang dilakukan sektor bisnis dan privat. Segala sesuatu yang
berhubungan dengan pelayanan publik menggunakan sistem mekanisme bisnis
seutuhnya. Slogan yang terkenal dalam persfeksif
New Publik Managament
ini ialah mengatur dan mengendalikan pemerintahan tidak jauh bedanya mengatur
dan mengendalikan bisnis (run government like business) (Thoha,
2008).
Paradigma ini mengalami
perubahan orientasi pada perkembangannya. Orientasi yang pertama dikenal dengan
the efficiency drive yaitu
mengutamakan nilai efisiensi dalam pengukuran kinerja. Orientasi lainnya yaitu downsizing and decentralization yang
mengutamakan penyederhanaan struktur, serta memperkaya fungsi. Orientasi ketiga
yaitu in search of excellence yang
mengutamakan optimalisasi kinerja dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan
teknologi. Orientasi keempat yaitu public
service orientation yang menekankan pada kualitas, misi, dan nilai yang
akan dicapai organisasi publik, serta lebih publicness
dan akuntabel (T. Keban, 2008 :36-37).
Dalam implementasinya
konsep ini cukup
berhasil dilaksanakan, namun tetap saja masih ada pandangan berbeda dan kritik
dari berbagai pihak tentang pelaksanaan sistem admninstrasi publik
yang dijalankan seperti bisnis. Dinamika perkembangan teori ini kemudian berusaha disempurnakan. Alasan yang melatarbelakanginya yaitu seluruh pelayanan admnistrasi publik
memperhitungkan
keuntungan dari setiap kebijakan yang dikeluarkan dari paradigma ini. Hal ini perlu dikaji lebih lanjut untuk memperbaiki sistem pelayanan publik
karena mekanisme pasar
sesungguhnya tidak bisa diterapkan secara utuh.
New Public Service
Ada
beberapa hal yang dicatat dalam munculnya konsep ini: 1).Teori democratic citizenship. 2). Model komunitas dan civil society. 3). Organisasi humanism. 4). Postmodern ilmu administrasi public (Thoha, 2008). Model yang biasa dipergunakan untuk menjelaskan hubungan
warga negara dan negara dalam basis bahwa pemerintah itu diperlukan untuk
menjamin warga negaranya bisa membuat pilihan-pilihan yang bebas selaras dengan
kepentingan individu (self-interest) yang
dijamin oleh suatu prosedur dan hak individu. Peranan pemerintah adalah untuk
memastikan bahwa interplay kepentingan pribadi bagi setiap individu bisa
dijalankan secara bebas dan terbuka (Sandel dalam Thoha, 2008 : 85).
Menurut Denhardt,
administrasi publik dalam New Public Service harus memenuhi
kriteria sebagai berikut.
1. Melayani warga
masyarakat, bukan pelanggan (serve citizen, not customers)
2. Mengutamakan
kepentingan publik
3. Lebih menghargai
kewarganegaraan daripada kewirausahaan
4. Berpikir strategis
dan bertindak demokratis
5. Menyadari bahwa
akuntabilitas bukan merupakan suatu yang mudah
6. Lebih
menitikberatkan pada pelayanan daripada mengendalikan
7. Menghargai publik
bukan dari produktivitas semata
(T.Keban, 2008 : 37)
Pemahaman paradigma ini mengedepankan bagaimana peran negara terhadap
masyarakat (warganya) lebih bersifat memberikan perlindungan. Artinya
kenyamanan warga negara menjadi tanggungjawab negara. Perhatian terhadap keawarganegaraan menjadi poin penting untuk mewujudkan new public service. Pelayanan terhadap
publik diberikan dengan mengedepankan kepentingan individu secara menyeluruh. Hal
ini mengindikasikan penyerapan
keinginan warga negara menjadi poin penting untuk memberikan pelayanan publik
yang tepat terhadap kebutuhan publik yang dilayani pemerintah.
Good Governance
Istilah good governance mulai mencuat pada tahun
1980an terutama dalam diskusi yang bertajuk pembangunan. Governance merupakan
redefinisi dari mendesain dan menemukan kembali konsep administrasi publik (Wrihatnolo & Riant, 2007 : 125). Good
Governance mempunyai karakteristik sebagai berikut[4].
1. Participation, yaitu setiap warga memiliki suara
dalam pembuatan keputusan, secara langsung maupun melalui intermediasi
institusi legitimasi yang merepresentasikan kepentingannya.
2. Rule of law, yaitu adanya kepastian hukum tanpa
pandang bulu, terutama menyangkut HAM
3. Transparency, dibangun atas kebebasan informasi
4. Responsiveness, setiap penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan harus melayani stakeholders
5. Consensus orientation, good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda
untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas.
6. Equity, publik memiliki kesempatan untuk menjaga
kesejahteraan.
7. Effectiveness and efficiency, proses lembaga menghasilkan
produk sesuai dengan yang digariskan dan menggunakan sumber daya yang dimiliki
dengan efisien dan efektif.
8. Accountability, pembuat kebijakan/ keputusan baik
pemerintah, swasta maupun civil society atau Civil social organization harus
bertanggungjawab pada publik dan stakeholders (Tangkisan, 2005 : 115)
Public Governance
Menurut
Dwiyanto ada tiga ciri admnistrasi publik
sebagai public governance:1). Kelembagaan: multi stakeholder (melibatkan negara, swasta, dan masyarakat). 2).Penggunaan kekuasaan: demokratis (sebagai konsekuensi adanya multi
stakeholder). 3). Proses: dalam
merumuskan dan melaksanakan
kebijakan. Dalam mewujudkan
admnistrasi publik sebagai public governace salah satu yang harus diperhatiakan
adalah kelembagaan. Kelembagaan melibatkan tiga aktor yakni, negara, swasta dan
masyrakat. Kerjasama antar lembaga ini bisa menjadi kekuatan untuk mengambil
formulasi kebijakan. Saling keterkaitan antara ketiga sektor ini diindikasikan dengan pembagian
peran. Peran swasta dalam hal ini sangat penting, mengingat negara tidak bisa
seluruhnya melaksanakan suatu kebijakan. Hal-hal tertentu bisa diserahkan
pemerintah kepada swasta, dalam hal ini
swasta yang dimaksud adalah LSM, Perusahaan, dll. Keberadaan masayrakat juga
menjadi penting untyuk menggolkan kebijakan tersebut.
Dilihat dari penggunaan kekuasaan
tentunya dengan cara yang demokrasi. Dalam hal ini merupakan dari konsekuesnsi
adanya multi stakeholder seperti yang telah diungkapkan sebelumnya. Artinya
kekuasaan tidak lagi dipegang satu. Pemerataan yang memperhatikan prinsip
demokrasi seperti penyebaran kekuasaan dan tidak sentralisasi. Untuk yang
dikedepankan adalah partisipasi untyuk mewujudkan kepemerintahan yang baik. Proses dalam perumusan
kebijakan adalah menjadi poin penting yang tidak bisa dilepaskan ketika
admnistrasi negara dikatakan sebagai public governance. Proses perumusan
kebijakan menjadi pembahasan yang sangat luas mengingat menyinggung banyak
aspek yang harus diperhatikan.Untuk memahami siapa sebenarnya yang merumuskan
kebijakan lebih dahulu harus dipahami sifat-sifat semua pemeran serta saling
menguasai. Dan berbagaijenis pemeran serta mempunyai peran secara khusus yang
meliputi: warga negara biasa, pemimpin organisasi, anggota DPR, pemimpin badan legislatif,
aktivis partai, pemimpin partai, hakim, pegawai sipil, ahli tehnik, dan manajer
dunia usaha (Charles Lindblom dalam Winarno, 2002 : 67). Dengan demikian begitu
pentingnya memperhatikan proses dan siapa saya yang terlibat dalam proses
tersebut. Pemeran-pemeran yang dimaksud oleh Charles Lindblom harus diajak
bekerjasama dan menjadi pertimbangan untuk menghasilkan sebuah kebijakan yang
lebih baik.
Konklusi
Dari dinamika paradigma
administrasi yang telah dipaparkan, dapat ditarik konklusi bahwa perkembangan
paradigma akan terus berlanjut karena kebutuhan dan aspek yang semakin
kompleks. Penyempurnaan paradigma akan selalu dilakukan agar lebih
representatif dan relevan terhadap perkembangan zaman. Setiap kegagalan dalam implementasi konsep
paradigma akan ditindaklanjuti dengan evaluasi dan kritik untuk memperbaiki
paradigma. Selain itu, paradigma juga disesuaikan dengan ekologi masyarakat untuk dapat mewujudkan administrasi publik yang ideal dalam memberikan kontribusi pelayanan pada publik. Di Indonesia yang merupakan negara dengan kolektivisme publik sangat kental, jenis paradigma NPM dan NPS tidak maksimal jika diimplementasikan, mengingat kolektivisme mempunyai orientasi pada welfare state.
Referensi
:
Dwiyanto, Agus. 2004. “Reorientasi Administrasi Publik dari Government
ke Governance”. Pidato Pengukuhan Guru
Besar Fisipol UGM. Yogyakarta,
diakses melalui http://lib.ugm.ac.id/digitasi/upload/2554_pp11060003.pdf, tanggal 29
September 2012.
Efendy, Sofyan.
2006. “Membangun Good Governance”. Diakses melalui situs http://sofian.staff.ugm.ac.id/artikel/membangun-good-governance.pdf, tanggal 28 September 2012.
Kurniawan, Teguh.
2007. “Pergeseran Paradigma Administrasi Publik
: dari Perilaku Model Klasik dan NPM ke Good Governance”. Jurnal Ilmu Administrasi Negara
Volume VII. Jakarta,
diakses melalui http://teguh-kurniawan.web.ugm.ac.id, tanggal 25 September 2012 pukul 15.00 WIB.
Muhammad,
Fadel. 2008. Reinventing Local
Government : Pengalaman dari Daerah. Jakarta : Elekmedia Komputindo.
Pasolong,
Harbani. 2010. Teori Administrasi Publik.
Bandung : Alfabeta.
T. Keban, Yeremias.
2008. Enam Dimensi Administrasi Publik :
Konsep, Teori dan Isu. Yogyakarta: Gava Media.
Thoha, Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik Kontemporer. Jakarta : Kencana
Tangkisan, Hessel Nogi. 2005. Manajemen Publik. Jakarta : Grasindo.
Wrihatnolo, Randi R. dan Riant Nugroho Dwidjowijoto.
2007. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta
: Elekmedia Komputindo.
[1] Administrative Science Quarterly
merupakan jurnal triwulan yang kajiannya meliputi bidang administrasi. Jurnal
ini didirikan tahun 1956 dan diterbitkan oleh Sage Publications untuk
memfasilitasi sekolah pascasarjana Manajemen - Curtis Samuel Johnson di
Universitas Cornell.
[2] Public affair adalah term untuk
mendeskripsikan hubungan dalam hal organisasi dengan stakeholders.
[3] Civil society dinterpretasisikan sebagai masyarakat yang
berasosiasi secara bersama untuk memajukan kepentingan bersama. Civil society dianggap pula sebagai
keluarga, dan ranah privat yang kemudian disebut sebagai sektor ketiga dari
masyarakat yang berada di luar
pemerintah dan bisnis.
[4] Karakteristik ini dikemukakan
oleh UNDP
Komentar