IMPLEMENTASI PROGRAM AKSI DESA MANDIRI PANGAN DI KABUPATEN BANTUL, STUDI KOMPARASI DESA DLINGO DAN DESA TEMUWUH, KECAMATAN DLINGO
Written By Indra Fibiona
BAB I
PENDAHULUAN
Pendahuluan
Ketahanan
Pangan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan
sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan
terjangkau (Badan Ketahanan Pangan, 2007:1). Ketahanan pangan secara nasional pada
tahun 2005 belum dapat diwujudkan. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya
kejadian rawan pangan di berbagai daerah yang bersifat kronis. Melihat
kenyataan berbagai permasalahan ketahanan pangan, maka penanganan rawan pangan
menjadi salah satu prioritas penting. Pemenuhan pangan untuk
hidup sehat dan aktif diukur dengan menggunakan aspek ketersediaan pangan,
yaitu tersedia cukup untuk seluruh penduduk, kemudian aspek konsumsi pangan
yaitu masyarakat mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsi sesuai
dengan kecukupan status gizi dan kesehatan.
Indikator
tersebut disusun untuk menentukan rumah tangga sasaran, dan pada tingkat makro,
untuk menetapkan desa sasaran, agar dapat digunakan sebagai bahan penetapan
daerah rawan pangan. Pendekatan penetapan peta kerawanan pangan dalam pengelolaan kebijakan di tingkat kabupaten
untuk program pangan dapat efektif karena memanfaatkan ketersediaan informasi
ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik. Perwujudan hasil
penetapan peta kerawanan pangan adalah teridentifikasinya 100 kabupaten rawan
pangan yang kemudian ditindaklanjuti dengan program aksi ketahanan pangan yaitu
desa mandiri pangan secara nasional, dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah
terkecil yaitu desa sebagai basis kegiatan pertanian. Program Aksi Desa Mandiri
Pangan, berbasis pada pembangunan perdesaan untuk mewujudkan ketahanan pangan
dalam satu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dalam aspek
ketersediaan, distribusi, dan kecukupan konsumsi pangan dalam lingkup rumah
tangga.
Program
Aksi Desa Mandiri Pangan dilaksanakan di desa-desa terpilih yang mempunyai
rumah tangga miskin sehingga risiko rawan pangan dan gizi buruk yang tersebar
di seluruh propinsi dapat teridentifikasi. Melalui Program Aksi Desa Mandiri
Pangan, diharapkan masyarakat desa mampu memproduksi dan memenuhi produk-produk
pangan yang dibutuhkan dengan didukung unsur-unsur sumber daya alam, sumber
daya manusia, kelembagaan, permodalan, sarana dan prasarana, sehingga dapat
mengurangi risiko kerawanan pangan dan dapat menciptakan ketahanan pangan di
dalam lingkup desa. Desa mandiri pangan mempunyai definisi desa yang
masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi
melalui pengembangan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan
subsistem konsumsi dengan memanfaatkan sumber daya setempat secara
berkelanjutan.
Pedoman
Umum Kegiatan Demapan ini disusun sebagai acuan bagi aparat pusat dan daerah
dalam melaksanakan kegiatan Desa Mandiri Pangan. Adapun tujuan program tersebut
adalah untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin perdesaan dalam
mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki atau dikuasainya secara optimal,
dalam mencapai kemandirian pangan rumah tangga dan masyarakat. Sasaran
kegiatan Demapan adalah Rumah tangga miskin di desa rawan pangan untuk
mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan masyarakat. Mengingat sasaran akhir
kegiatan Demapan untuk mewujudkan kemandirian pangan masyarakat miskin di desa
rawan pangan, maka indikator keberhasilannya berupa perwujudan kemandirian
pangan tingkat desa dan masyarakat sebagai berikut.
Output
|
Outcome
|
Benefit
|
Impact
|
a.Terbentuknya
kelompok-kelompok afinitas;
b.Terbentuknya
Lembaga Keuangan Desa (LKD);
c.Tersalurnya
dana Bansos untuk usaha produktif;
|
a.Terbentuknya
kelompok usaha produktif;
b.Berperannya
lembaga permodalan;
c.Meningkatnya
usaha produktif;
|
Meningkatnya
pendapatan, daya beli, dan akses pangan masyarakat
|
Terwujudnya
ketahanan pangan dan gizi masyarakat
|
Pelaksanaan
program aksi mandiri pangan tahap persiapan sudah dimulai sejak tahun 2005.
Tahap perencanaan awal yang terstruktur dan terprogram akan menjadi acuan kinerja tahapan penumbuhan, pengembangan dan
pemandirian. Kurun waktu pelaksanaan tahapan program aksi mandiri pangan menuju
kemandirian direncanakan selama empat tahun. Pelaksanaan Program Aksi Mandiri
Pangan melibatkan institusi-institusi terkait lintas-sektor yang
dikoordinasikan melalui Dewan Ketahanan Pangan. Integrasi kegiatan
lintas-sektor bertujuan menanggulangi kondisi rawan pangan dan gizi secara
terpadu dan terarah hanya di daerah sasaran saja.
Dana
untuk kegiatan Program Aksi Mandiri Pangan bersumber dari APBN dan dukungan
dana dari APBD. Komposisi dan besaran dana diatur dan disesuaikan dengan
kebutuhan di masing-masing daerah. Sebagai penguatan modal untuk kelompok
sasaran, dialokasikan dana APBN yang disalurkan melalui lembaga keuangan
perdesaan. Kabupaten Bantul merupakan satu-satunya Kabupaten di Propinsi DI.
Yogyakarta yang pertama kali mendapat kepercayaan dari Badan Ketahanan Pangan
Departemen Pertanian RI untuk melaksanakan program Desa Mandiri Pangan. Alokasi
anggaran dari program ini diberikan selama 4 (empat) tahun mulai dari tahun 2006.
Keberadaan program Desa Mandiri Pangan dinyatakan sebagai trigger mechanism
dalam penanganan rawan pangan dan diharapkan dapat diaplikasikan pada daerah
lain (Nainggolan, 2008:135).
Program
Aksi Desa Mandiri Pangan di Kabupaten Bantul merupakan pilot project dalam
penanganan rawan pangan. Implementasi program ini sangat berpengaruh untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam ketahanan pangan, sekaligus tantangan untuk
implementor agar bisa maksimal dalam melaksanakan kebijakan/program untuk
tercapainya outputs dan outcomes. Paper ini mencoba menjelaskan efektivitas implementasi
program dan menelaah kesesuaian pelaksanaan program dengan yang ditetapkan
Badan Ketahanan Pangan. Peningkatan status ketahanan pangan meliputi
peningkatan kemajuan kapasitas manusia yang ditunjukkan melalui perkembangan
pola pikir masyarakat yang positif (nonfisik) melalui pendayagunaan sumber
daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan serta; terwujudnya ketahanan
pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat
kerawanan pangan dan gizi di Kabupaten Bantul.
Tabel Aspek Pemanfaatan Pangan di Desa Dlingo dan
Temuwuh, Tahun 2010
Desa
|
Jumlah balita
ditimbang
|
Gizi kurang
|
Gizi buruk
|
%KEP
|
Bobot
|
Warna
|
||
Jumlah
|
(%)
|
Jumlah
|
(%)
|
(7=4+6)
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Dlingo
|
327
|
49
|
14,98
|
8
|
2,44
|
17,43
|
2
|
Kuning
|
Temuwuh
|
430
|
38
|
8,83
|
-
|
-
|
8,83
|
1
|
Hijau
|
Sumber
: data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2010
Data
tabel Aspek Pemanfaatan pangan di desa Dlingo dan Desa Temuwuh tahun 2010
menunjukkan bahwa jumlah penyandang gizi buruk di Desa Dlingo masuk dalam
kategori rawan pangan dengan prosentase penyandang kurang gizi sekitar 17,43%,
sedangkan Desa Temuwuh masih dianggap
baik, karena tingkat penyandang kurang gizi sebanyak 8,83% dan masih dalam
tahap wajar. Desa Dlingo memiliki tingat penyandang kurang gizi lebih banyak
bila dibandingkan dengan desa Temuwuh.
Tabel Aspek Pemanfaatan Pangan di Desa
Dlingo dan Temuwuh, Tahun 2012
Desa
|
Jumlah balita
ditimbang
|
Gizi kurang
|
Gizi buruk
|
%KEP
|
Bobot
|
Warna
|
||
Jumlah
|
(%)
|
Jumlah
|
(%)
|
(7=4+6)
|
||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
8
|
9
|
Dlingo
|
337
|
38
|
11,28
|
2
|
0,59
|
11,87
|
1
|
Hijau
|
Temuwuh
|
461
|
37
|
8,03
|
-
|
-
|
8,03
|
1
|
Hijau
|
Sumber
: data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2012
Bila
dibandingkan dengan tabel Aspek Pemanfaatan pangan di desa Dlingo dan Desa
Temuwuh tahun 2010, di tahun 2012 Desa Dlingo mengalami penurunan penyandang
kurang gizi cukup signifikan, yaitu sebesar 5,56%. Sedangkan penurunan penyandang
kurang gizi di Desa Temuwuh hanya
sebesar 0,8%. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan akses terhdap pangan desa
Dlingo lebih baik jika dibandingkan dengan Desa Temuwuh.
Tabel Akses Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Tahun
2010
Desa
|
Jumlah KK Desa
|
Jumlah KK Miskin Per Desa
|
% desa
|
Skor
|
Warna
|
Dlingo
|
1.709
|
447
|
26,16
|
3
|
MERAH
|
Temuwuh
|
2.117
|
337
|
15,92
|
1
|
HIJAU
|
data
BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2010
Dari
data tahun 2010, dapat dilihat bahwa desa Dlingo memiliki tingkat kemiskinan
sebesar 26, 16% dengan jumlah Kepala keluarga
miskin sebesar 447 Kepala keluarga
dari 1709 Kepala Keluarga, sedangkan di Desa Temuwuh, tingkat kemiskinan
sebesar 15,2 % dengan jumlah Kepala
keluarga miskin sebesar 337 Kepala
keluarga dari 2117 Kepala keluarga. Desa
Dlingo memiliki tingkat kemiskinan lebih
tinggi bila dibandingkan dengan Desa Temuwuh.
Tabel Akses Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Tahun
2012
Desa
|
Jumlah KK Desa
|
Jumlah KK Miskin Per Desa
|
% KK Miskin Per Desa
|
Skor
|
Warna
|
|
Dlingo
|
1700
|
385
|
22,65
|
2
|
KUNING
|
|
Temuwuh
|
2117
|
338
|
15,97
|
1
|
HIJAU
|
Sumber
: data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2012
Di
tahun 2012, jumlah kepala keluarga miskin
masyarakat Desa Dlingo mengalami penurunan, dengan kondisi kepala keluarga miskin dari tahun 2010 sebesar 26,16% turun menjadi
22,65% atau turun sebesar 3,51% , sedangkan temuwuh justru
naik sebesar 0,05%. Dari data kesediaan pangan dan akses pangan tahun 2010 dan
tahun 2012, Desa Dlingo lebih unggul bila dibandingkan dengan Desa Temuwuh.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, permasalahan yang diangkat dalam
paper ini yaitu mengapa implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo lebih
berhasil jika dibandingkan dengan Desa Temuwuh Kecamatan Dlingo Kabupaten
Bantul? Faktor apa sajakah yang
mempengaruhi Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh
Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul?
Tujuan Penelitian
Adapun
Tujuan Penelitian implementasi Aksi Desa Mandiri Pangan antara lain sebagai
berikut.
- Menganalisis dan mengkaji efektivitas yang dicapai dalam implementasi
Program Aksi Desa Mandiri Pangan di
Desa Dlingo dan Desa Temuwuh
Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul
- Mengidentifikasi Faktor Faktor yang menghambat
Implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Temuwuh Kecamatan
Dlingo Kabupaten Bantul.
Manfaat
Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan terkait
implementasi Aksi Desa Mandiri Pangan di desa Dlingo dan Desa Temuwuh antara
lain sebagai berikut.
- Bagi instansi Badan Ketahanan Pangan dan
Pelaksana Penyuluhan , penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan bahan
pertimbangan untuk memaksimalkan Implementasi
program Aksi Desa Mandiri Pangan Kabupaten Bantul.
- Bagi akademisi diharapkan dapat menambah wawasan, referensi dan
pengetahuan terutama yang berkaitan dengan efektivitas
terkait program
Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Kabupaten Bantul
- Secara praktis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan
pemikiran bagi masyarakat maupun peneliti lain terkait memaksimalkan
Implementasi program Aksi Desa Mandiri Pangan di Daerah lainnya yang
memiliki kesamaan karakteristik .
Metode Penelitian
Jenis
dan Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
penelitian Kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Unit Analisis dalam
penelitian ini yaitu implementasi Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh. Evaluasi
dilakukan pada seluruh tahapan, yakni tahap persiapan, tahap penumbuhan, tahap
pengembangan dan tahap kemandirian. Data yang digunakan sebagai dasar analisis
adalah data kualitatif. Data kualitatif dikumpulkan dengan cara wawancara
mendalam dengan informan terpilih.
Sumber Data
Data
Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data
melalui wawancara, penelitian yang dilakukan langsung ke obyek penelitian
dengan draft pertanyaan. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan
dengan teknik purposive sampling,
yaitu sample yang berorientasi pada tujuan. Secara spesifik, varian Porposif Sampling yang dipakai dalam
wawancara ini adalah snowball sampling, yaitu sample rujukan berantai,
dilakukan dengan menggali informasi sebanyak mungkin hingga mencapai titik
jenuh (Daymon & Holloway, 2008). Peneliti mewawancarai beberapa narasumber untuk mendapatkan informasi secara
mendalam. Narasumber yang diwawancarai antara lain sebagai berikut.
1. Ir.
Sriwidodo, MP (Kabid Ketahanan Pangan)
2. Sumandari,
STP, Mekdev. (Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan)
3. Maryani
(Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh)
4. Mulyono
(Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh)
5. Suratmi
(Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo)
6. Sunaryo
(Kelompok Wana Lestari Desa Dlingo)
Data
Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui
media massa, undang-undang, dokumen maupun bersumber dari publikasi dari Biro
Pusat Statistik (BPS), BKP3, Deptan, dan Instansi terkait
lainnya.
Lokasi dan objek penelitian
Penelitian
ini berlokasi di dua Desa, yakni Desa Dlingo dan Desa Temuwuh. Adapun alasan
pemilihan lokasi karena Kedua desa tersebut memulai program pada periode yang sama yakni tahun 2010, dan
tahapan program yang sama, namun memiliki hasil yang berbeda.
Kerangka Pemikiran
Data
yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis sesuai dengan kerangka
pemikiran sehingga sesuai dengan tujuan
penelitian. Adapun kerangka pemikiran yang
digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
BAB II
Landasan Teoritis dan Indikator Kinerja Implementasi Kebijakan aksi
desa mandiri pangan
A. Landasan Teori
Untuk
mendukung kerangka teori yang telah dibuat agar tujuan peneilitian ini dapat
dicapai, penelitian ini menggacu pada beberapa teori, antara lain teori kebijakan
publik, teori komparasi kebijakan, implementasi kebijakan, model kebijakan, dan
indikator kinerja implementasi. Adapun penjelasan dari teori-teori tersebut sebagai
berikut.
a.
Kebijakan
Publik
Produk utama dari sistem dan
proses politik adalah kebijakan publik dan setiap sistem politik pasti membuat
kebijakan publik(wibawa, 2011). Kebijakan (policy
term) digunakan secara luas. Secara umum istilah “kebijakan atau policy”
biasanya digunakan untuk menunjuk perilaku seseorang atau sejumlah aktor dalam
suatu bidang tertentu (misalnya: pejabat, suatu kelompok, lembaga pemerintah)
atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu(Winarno, 2007). Kebijakan
publik merupakan sesuatu yang dipilih oleh
pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan (Thomas R. Dye dalam Winarno,
2007). batasan ini tidak cukup memberi
pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan
dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan publik pada
dasarnya ditujukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam
masyarakat. Oleh karena itu, kegagalan atau kesalahan dalam mendefinisikan
masalah kebijakan publik akan berpengaruh pada kebijakan publik secara umum.
Ini sebabnya karena dalam proses kebijakan, pendefinisian masalah merupakan
tahap yang paling mendasar yang menentukan tahap-tahap kebijakan selanjutnya. Kebijakan
publik yang dibahas dalam hal ini adalah kebijakan yang berkaitan dengan
kebijakan ketahanan pangan melalui program
aksi desa mandiri pangan . Dalam
pelaksanaan kebijakan pengadaan barang ada faktor-faktor yang mempengaruhinya
untuk berhasil ataupun tidak.
b.
Komparasi kebijakan
Sebagaimana dikemukakan
oleh Feldman (1978); perbandingan kebijakan public adalah suatu metode
mempelajari kebijakan public (meliputi proses kebijakan, hasil kebijakan dan
dampak kebijakan) yang dilakukan dengan mengadopsi pendekatan “comparative”, yaitu
membandingkan kebijakan tertentu dengan kebijakan yang lain yang ada daerah
tertentu. Heidenheimer, et al., (1990), memberi penegasan yang lebih khusus,
dengan menyatakan bahwa perbandingan kebijakan public adalah studi tentang bagaimana, mengapa, dan dampak
apa yang ditimbulkan dari adanya tindakan pemerintah dan tidak bertindaknya pemerintah.
Baik dari definisi Feldman maupun Heidenheimer tentang CPP (Comparative Public
Policy) dapat kita ambil kesimpulan bahwa terdapat 3 unsur (elemen) yang
merupakan kata kunci (keywords) yang menjadi pusat perhatian CPP. Dalam istilah
Feldman 3 keywords itu adalah“proses”,“output’, dan“outcomes” dalam hal ini
adalah perbandingan proses, output dan outcomes program aksi desa mandiri pangan di kedua desa, yaitu
desa Dlingo dan Desa Temuwuh.
c.
Implementasi
Kebijakan
Suatu tindakan dari
proses kebijakan segera setelah undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang
berwenang, dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah, individu secara pribadi
atau kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan merupakan maksud implementasi kebijakan dalam
pengertian yang luas. Tindakan-tindakan yang dilakukan itu harus mampu
mengaitkan antara tujuan yang dirumuskan dan realisasi atau hasil yang akan dan
atau telah dilakukan, agar ada sinkronisasi.
In
general, the task of implementation is to establish a link that allows the
goals of public policies to be realized as outcomes of governmental activity.
In involves, therefore, the creation of a “policy delivery system”, in which
specific means are designed and pursued in the expectation of arriving at
particular ends Grindle (1980:6).
Tindakan-tindakan yang
cermat tersebut dalam suatu organisasi dilakukan oleh pejabat yang memiliki
kewenangan atau otoritas sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku,
menggunakan sarana dan prasarana, serta dilakukan secara bersama-sama untuk
mencapai tujuan. Sementara itu, Implementasi menurut Lester dan Stewart (2000,
104-105) bermakna pelaksanaan
undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja
bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan
atau program-program. Implementasi pada sisi lain merupakan fenomena yang
kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran
(output) maupun sebagai suatu dampak (outcome). implementasi kebijakan dapat
dikatakan sebagai pelaksanaan
undang-undang dalam bentuk program kerja yang lebih operasional oleh
implementor dalam organisasi yang terorganisir dengan baik, dilakukan dengan
prosedur dan teknik kerja yang jelas, serta dilakukan secara bersama-sama untuk
mencapai tujuan kebijakan.
Implementasi kebijakan
merupakan hal yang kompleks, karena dalam pelaksaannya merupakan satu sistem
yang tidak lepas dari sub-sub sistem yang ada (input – proses – output) sampai
dengan outcome atau dampak yang ditimbulkan. Dampak yang ditimbulkan dari
implementasi kebijakan merupakan sasaran utama, oleh karena itu konsensus atau
kesepakatan-kesepakatan para pejabat bawahan (implementor) sangat berperan
serta dalam hal ini. Disamping itu konsensus tersebut menunjukkan bahwa
motivasi dan tanggungjawab implementor dalam membangun organisasi sebagai wadah
menjalankan amanah mensejahterakan masyarakat semakin terwujud.
Model-model
Implementasi Kebijakan
Terdapat beberapa pandangan mengenai
keberhasilan suatu implementasi kebijakan apabila diterapkan dalam dunia nyata.
Para ahli mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil jika
didukung oleh faktor-faktor yang saling menguatkan seperti sebuah sistem yang
saling terkait. Perbedaan pandangan tersebut logis karena tergantung pada
konteks mana para ahli kebijakan itu memandangnya dari berbagai sisi
masing-masing. Kajian tentang Implementasi kebijakan dalam beberapa model implementasi kebijakan dipaparkan
sebagai berikut.
a. Model Edwards III
Dalam mengkaji implementasi kebijakan,Edwards
III (1980: 9-10) berpandangan bahwa perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan antara
lain Apa prasyarat untuk keberhasilan
implementasi kebijakan? Apa hambatan utama keberhasilan implementasi kebijakan?
Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan menguraikan empat
faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor-faktor atau
variabel-variabel tersebut yaitu communication, resources, dispositions/attitudes,
and bureaucratic structure. Keempat Faktor tersebut berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan dan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama
lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan.
b. Model Mazmanian and
Sabatier
Implementasi kebijakan merupakan fungsi
dari tiga variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada
keseluruhan proses implementasi. Pemikiran tersebut tertuang dalam tulisan yang berjudul: A Frame
Work for Implementations Analysis (Mazmanian dan Sabatier, 1983). Keseluruhan
proses implementasi selanjutnya diklasifikasi oleh Mazmanian dan Sabatier
(1983: 21-30) dalam tiga variabel sebagai berikut.
1.
Tractability of the problems (Mudah /
tidaknya masalah dikendalikan) ;
2.
Ability of policy decision to structure
implementation (Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi) ;
3.
Nonstatury variable affecting
implementation (Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses
implementasi ) .
c. Model Van Meter dan
Van Horn
Kinerja implementasi kebijakan pada
dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tertentu
yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan.) Model yang dikembangkan Van Meter
and Van Horn (1975: 462-474) lebih populer disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process. Dalam model ini, kinerja
kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yang saling berkaitan. Terdapat
enam variabel yang membentuk kaitan (linkage) antara kebijakan dan kinerja
(performance). Model ini tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara
variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan,
tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel-variabel bebas.
Variabel-variabel tersebut antara lain standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya,
karakteristik organisasi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dengan
kegiatan-kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana, lingkungan sosial, ekonomi
dan politik.
Tahapan krusial yang
dihadapi oleh implementor di lapangan yaitu menentukan indikator-indikator untuk mengukur
keberhasilan implementasi kebijakan. Sebelum suatu kebijakan diimplementasikan,
Meter dan Horn merekomendasikan untuk menentukan terlebih dahulu standar dan sasaran program
secara tertulis, sehingga implementor mengacu pada standar yang telah
ditentukan dalam melakukan aktivitasnya. Hai ini juga dilakukan agar hasil pekerjaan yang
dilakukan tidak menyimpang dari sasaran.
d. Model Merilee S.
Grindle
Implementasi Kebijakan Model
Merilee S. Grindle dikenal dengan pendekatan top-down. (Merilee S. Grindle, 1980).
Dalam model ini, variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik
meliputi dua hal: pertama, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan
sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya.
Kedua, apakah tujuan kebijakan tercapai. Tolok ukurnya dilihat dari dua faktor,
yaitu:
1. Impact atau efek pada masyarakat secara
individu dan kelompok;
2. Tingkat perubahan yang terjadi serta
penerimaan kelompok sasaran.
Implementasi kebijakan
sesungguhnya bukan sekedar sangkut paut dengan mekanisme penjabaran
keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat
saluran-saluran birokrasi, melainkan menyangkut masalah konflik, keputusan dan
siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Pendapat ini dilontarkan Grindle atar kritik tentang
teori implementasi kebijakan sebelumnya (Grindle, 1980).
Kerangka pemikiran Merilee S. Grindle
(1980: 5) mengenai implementasi kebijakan khususnya di negara berkembang
keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan
tersebut, yaitu Content of Policy (isi kebijakan) and Context of Implementation
(konteks implementasi).
Berdasarkan penjelasan
teori-teori di atas, penulis menggunakan kombinasi teori yang dikemukakan oleh
George C Edwards III dan Van Meter and Van Horn yang merepresentasikan penelitian
yang dilakukan terkait dengan faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi aksi
Desa Mandiri Pangan yaitu Sumberdaya, dalam hal ini adalah peran implementor terutama dalam komunikasi antar
organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana baik
Pendamping, Tim Pangan Desa dan Lembaga Keuangan Desa. Di sisi lain yaitu tingkat
partisipasi masyarakat.
B. Indikator kinerja implementasi
indikator utama untuk mengukur kinerja dibedakan menjadi dua,
yaitu: indikator output dan indikator
outcome (Purwanto
dan Sulistyastuti, 2012).
1.
Indikator
Output
Indikator output digunakan
untuk mengetahui kensekuensi langsung yang dirasakan oleh kelompok sasaran
sebagai akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas, pendistribusian hibah,
subsidi, dan lain-lain yang dilaksanakan dalam implementasi suatu kebijakan.
Secara umum apabila kebijakan atau program yang ingin dievaluasi tersebut
merupakan kebijakan distributive, yaitu kebijakan yang dimaksudkan untuk
membantu anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang kurang beruntung
melalui instrument material seperti pelayanan gratis, subsidi, hibah, dan
lain-lain. (cf. Ripley, 1986) maka berbagai indikator yang dapat digunakan
untuk menilai kualitas policy output adalah
sebagai berikut:
a.
Akses
Indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa kebijakan atau
program yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Selain itu akses
juga mengandung pengertian bahwa dan orang-orang yang bertanggung jawab untuk
mengimplementasikan kebijakan atau program mudah diakses oleh masyarakat yang
menjadi kelompok sasaran.
b.
Cakupan
Indikator ini digunakan untuk menilai seberapa besar kelompok
sasaran yang sudah dapat dijangkau oleh kebijakan publik yang diimplementasikan
dalam hal ini Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
c.
Service delivery (ketepatan
layanan)
Indikator ini digunakan untuk menilai apakah Program Aksi Desa
Mandiri Pangan yang diberikan dalam implementasi dilakukan
tepat waktu atau tidak. Indikator ini sangat penting untuk menilai output suatu
program yang memiliki sensitivitas terhadap waktu. Artinya keterlambatan dalam
implementasi program tersebut akan membawa implikasi kegagalan mencapai tujuan Program
Aksi Desa Mandiri Pangan.
d.
Efektivitas
Indicator ini digunakan untuk mengukur apakah program yang ada
dapat efektif, sehingga output dan outcome bisa tercapai.
2.
Indikator Policy Outcome
Indikator
kedua adalah policy outcome, yaitu
untuk menilai hasil implementasi suatu kebijakan. Dalam berbagai literatur,
indikator outcome juga disebut
sebagai indikator dampak kebijakan (policy
impact). Hasil atau dampak kebijakan pada dasarnya berkaitan dengan
perubahan kondisi masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kebijakan atau
program, yaitu dari kondisi awal yang tidak dikehendaki menuju ke kondisi baru
yang lebih dikehendaki. Dalam hal ini yang menjadi policy outcome adalah
terciptanya efisiensi. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas policy output adalah prospek awal (Initial), prospek jangka menengah (Intermediate), dan prospek jangka
panjang (Long-term).
Untuk
menilai kinerja program digunkan indiaktor-indikator berikut:
1. Indikator output Program Aksi Desa
Mandiri Pangan, antara lain meliputi
Sosialisasi, Pendampingan, Pelatihan Masyarakat, Tumbuhnya Kelembagaan Pangan
di Desa dan Penerimaan Bantuan Usaha Ekonomi Produktif.
2. Indikator outcome diukur dengan
mengevaluasi kemajuan status dan posisi ketahanan pangan yang dicapai oleh
peserta dan penerima manfaat program Desa Mandiri Pangan.
Bab III
Kinerja Implementasi Program
Aksi Desa Mandiri Pangan Di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh
Program
Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh melibatkan beberapa aktor implementor . Program Desa Mandiri Pangan di
Desa Dlingo dan Desa Temuwuh dilakukan melalui tahapan tahapan yang telah
disusun. Dalam bab ini dijelaskan mengenai aktor
implementor, tahapan tahapan yang
telah disusun dan indikator Program Aksi
Desa Mandiri Pangan yang dilaksanakan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh. Adapun
Penjelasannya sebagai berikut.
a.
Aktor
Implementor Program Aksi Desa Mandiri pangan
Secara teoritis, aktor
Implementor dalam suatu kebijakan berdasarkan keterlibatan implementor dalam
struktur dibedakan menjadi dua, yaitu simple
structure dan complex structure.
Dalam implementasi kebijakan menggunakan Simple structure, implementasi
dilakukan oleh organisasi tunggal (single agency), sedangkan dalam implementasi
yang menggunakan complex structure,
implementasi melibatkan multiple agencies (purwanto & Sulistyastuti, 2012:
133). Terkait dengan hal tersebut,
Program Aksi Mandiri pangan menggunakan complex structure. Agensi yang terlibat dalam implementasi
program Aksi Desa Mandiri Pangan antara
lain Bupati Bantu, SKP BKP3, koordinator Pendamping Kabupaten, Tim pangan Desa, Pendamping tingkat
Desa, LKD dan Kelompok Afiitas.
Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan
Pelaksana Penyuluhan
- LKD adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh
kelompok bersama masyarakat, yang beranggotakan sub-sub kelompok afinitas
untuk mengelola keuangan sebagai modal usaha produktif perdesaan. Pengurus
LKD berasal dari masyarakat setempat dan merupakan perwakilan dari sub-sub
kelompok afinitas yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan keuangan dan
administrasi. LKD ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja
yang menangani Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. Tugas LKD: mengelola
keuangan sebagai modal usaha produktif kelompok afinitas menjadi lembaga
pelayanan usaha produktif masyarakat.
- TPD
adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh masyarakat sebagai penggerak pembangunan
ketahanan pangan di perdesaan. Jumlah anggota TPD tahun 2012 terdiri dari
unsur-unsur pewakilan: aparat desa; penggerak PKK; tokoh masyarakat;
perwakilan KK Miskin kelompok afinitas. TPD ditetapkan oleh Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana
Penyuluhan Kabupaten Bantul. Tugas TPD yaitu mengarustamakan pengentasan kemiskinan
dan pengurangan kerawanan pangan di tingkat desa, serta memberikan
advokasi kepada kepala desa.
- Tenaga
pendamping adalah petugas/penyuluh yang bertanggungjawab untuk melakukan
pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di lokasi Demapan. Tugas Pendampinga antara lain menyusun rencana kerja pendampingan, menumbuhkan
dan mengembangkan kelompok-kelompok afinitas dan kelompok penyedia protein
hewani, mengembangkan dinamika kelompok afinitas, membina kelompok-kelompok afinitas dalam
merencanakan usaha produktif, dan menumbuhkan lembaga layanan permodalan
bersama-sama dengan TPD dan kelompok-kelompok afinitas.
- Kelompok
afinitas adalah anggota kelompok yang diikat dengan rasa kesatuan dan kebersamaan
oleh jaringan persahabatan dan keluarga untuk melaksanakan kegiatan- kegiatan
usaha ekonomi secara bersama- sama (BKPPP, 2007).
b.
Tahapan
Implementasi Program Aksi Desa Mandiri pangan
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Pada
pelaksanaannya, program Aksi Desa
Mandiri Pangan dibagi ke dalam 4 tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap
pertumbuhanm, tahap pengembangan dan tahap kemandirian. Adapun proses dalam
tahapan tahapan program Aksi Desa Mandiri Pangan adalah sebagai berikut.
TAHAPAN PEMBANGUNAN DESA MAPAN
|
|||
TAHAP PERSIAPAN
|
TAHAP PENUMBUHAN
|
TAHAP PENGEMBANGAN
|
TAHAP KEMANDIRIAN
|
1.Data Base Desa
2.Rencana Pembangunan Desa Mapan
3.Meningkatnya kemampuan tenaga
pendamping aparat dan masyarakat
|
4. Berkembangnya kelembagaan
masyarakat
5. Berkembangnya lembaga-lembaga
usaha produksi dan agribisnis pangan
6. Berkembangnya lembaga
permodalan di perdesaan
7. Berkembangnya lembaga
pelayanan kesehatan di perdesaan
8. Meningkatnya peran
kelembagaan pangan dan gizi
|
9. Meningkatnya produksi pangan masyarakat
10. Meningkatnya usaha pemenuhan
cadangan pangan keluarga
11. Dihasilkannya teknologi dan
produk pangan olahan
12. Diterapkannya pola pangan 3B
13. Meningkatnya pengetahuan dan
kesadaran masyarakat tentang gizi keluarga
14. Meningkatnya kemampuan SDM
dalam sistem informasi ketahanan pangan
|
15. Meningkatnya peran
masyarakat dalam ketersediaan dan distribusi pangan
16. Berkembangnya usaha yang
mapan
17. Mantapnya organisasi/
kelembagaan yang ada
18. Terbentuknya jaringan usaha
19. Menurunnya prevalensi
kelaparan
20. Menurunnya prevalensi wabah
penyakit
21. Menurunnya prevalensi gizi
buruk
|
1.
Tahap
Persiapan
Tahap
persiapan dilaksanakan pada tahun pertama kegiatan Demapan, dengan kegiatan
mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui: seleksi lokasi sasaran,
pendampingan, pembentukan TPD, penumbuhan LKD, sosialisasi kegiatan, penyusunan
data dasar desa, penetapan kelompok, pelatihan-pelatihan, pemberdayaan kelompok
afinitas, penyusunan rencana pembangunan wilayah desa (RPWD), penyaluran
Bansos.
a. Seleksi
Lokasi Sasaran
1. Kabupaten/Kota
,dengan syarat antara lain merupakan kabupaten rentan pangan; memiliki unit
kerja ketahanan pangan; terbentuk Dewan Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota; dan adanya partisipasi
masyarakat/Pemerintah Daerah setempat untuk pengentasan kemiskinan.
2. Kecamatan
, dengan syaratantara lain adanya kelembagaan ekonomi dalam mendukung
pengembangan ketahanan pangan (pasar, KUD, dan lainnya); dan memiliki SDM
aparat (penyuluh) yang dapat mendukung pelaksanaan program.
3. Desa,
dengan syarat antara lain desa rawan pangan yang memiliki penduduk lebih dari 30
persen RTM berdasarkan Survei DDRT; memiliki potensi sumberdaya alam dan
sumberdaya manusia yang belum dikembangkan; aparat desa dan masyarakat bersedia
menerima dan mendukung kegiatan Demapan. Desa yang telah terpilih ditetapkan
oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota yang dikuatkan melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Dalam hal ini, Desa Dlingo dan Desa
Temuwuh dipilih karena termasuk dalam desa yang rawan pangan dan juga merupakan
replikasi dari program aksi desa mandiri pangan yang telah berhasil sebelumnya
di Desa Muntuk[1].
b.
Penetapan Pendamping
Pendamping ditetapkan dengan SK
Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan
Kabupaten/Kota. Dalam menetapkan pendamping baik desa Dlingo Maupun Desa
Temuwuh, BKPPP Bantul sebagai badan
yang
menangani Ketahanan Pangan Kabupaten
bantul, melaksanakan penetapan berdasarkan usulan pendamping yang sudah
dipilih dari masing masing desa[2].
Proses pemilihan Pendamping dilakukan dengan musyawarah warga desa. Pendamping dipilih berdasarkan kapabilitas
dalam meningkatkan pertanian dan mampu memberikan pengarahan terhadap kelompok
tani, sehingga kelompok tani termotivasi untuk meningkatkan produksi pangan[3].
c.
Penetapan Koordinator Pendamping
Koordinator pendamping ada di provinsi
dan kabupaten/kota, yang ditetapkan dengan SK Kepala Badan/Dinas/Kantor /Unit
kerja yang menangani Ketahanan Pangan. Dalam hal ini, Koordinator pendamping di
BKPPP Kabupaten bantul telah terbentuk sejak tahun 2006, pada saat program Aksi
Desa Mandiri Pangan pertama kali diimplementasikan dengan locus desa muntuk
kecamatan Dlingo. Susunan koordinator masih sama, di bawah Kasubid Pemberdayaan
Distribusi pangan.[4]
d.
Penyusunan Data Dasar Desa
Penyusunan data dasar desa berupa kara kteristik
rumah tangga, pemetaan potensi wilayah desa lokasi kegiatan, profil kelompok,
dan profil desa. Penyusunan data desa baik Desa Dlingo maupun \Desa Temuwuh
dilakukan oleh stakeholder tingkat desa di bawah koordinasi kepala desa di tiap
desa.
e.
Penetapan Kelompok Afinitas
. Anggota kelompok afinitas adalah RTM
hasil survey DDRT, yang dibina melalui kegiatan Desa Mandiri Pangan. Kelompok
afinitas ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/ Unit kerja yang menangani
ketahanan pangan Kabupaten/Kota.
Tabel Banyaknya Kelompok Tani dan
Gabungan Kelompok Tani
Desa
|
Kelompok Tani
|
Gapoktan
|
Dlingo
|
10
|
1
|
Temuwuh
|
12
|
1
|
Data diolah dari BPS Kabupaten
Bantul 2012
Kelompok afinitas yang telah terbentuk
antara Desa Dlingo dengan Desa Temuwuh lebih banyak Desa Dlingo. Desa temuwuh
memiliki 12 kelompok tani, sedangkan Dlingo hanya 12 kelompok tani. Semua
kelompok tani tertampung dalam satu
wadah Gapoktan.
f.Penetapan Tim Pangan Desa (TPD) di
kedua desa dilakukan dengan melalui Musyawarah Desa. penetapan tim pangan desa
dilaksanakan langsung oleh BKPPP Bantul.[5]
g. Penumbuhan LKD di kedua desa
dilakukan dengan penyuluhan langsung
dari BKPPP dan peran aktif masyarakat. Di desa Dlingo, intensitas masyarakat dalam berinteraksi dengan LKD
lebih banyak apabila dibandingkan dengan Desa Temuwuh. Walaupun Desa Temuwuh
memiliki LKD dengan integrasi tugas yang baik, namun intensitas interaksi
dengan masyarakat masih sangat minim. Hal ini disebabkan LKD Temuwuh kurang guyub (belum bisa bersatu dengan
masyarakat).[6]
h. Sosialisasi Kegiatan Demapan dilaksanakan
di tingkat kabupaten, dan desa. Sosialisasi dilakukan oleh Badan Ketahanan
Pangan dan Pelaksana Penyuluhan. Baik Desa Dlingo maupun Desa Temuwuh,
sosialisasi yang dilakukan langsung di bawah Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul.[7]
i.
Pendampingan
Pendamping dipilih berdasarkan musyawarah
warga desa. Pendampingan dilakukan pada setiap kelompok afiitas yang telah
dibentuk sebelumnya. Di kedua Desa, proses pendampingan sudah berjalan baik di awal program, namun
intensitas pendampingan seiring berjalannya waktu semakin berkurang, karena
masyarakat dianggap sudah mulai bisa
mandiri.[8]
j.
Penyusunan Rencana Pembangunan Wilayah Desa (RPWD):
1)
RPWD merupakan usulan prioritas kegiatan yang disusun oleh kelompok masyarakat
secara parsitipatif bersama wakil-wakil kelompok afinitas, dan tokoh masyarakat.
2)
Usulan rencana kegiatan yang telah disepakati di forum RPWD ditetapkan sebagai
kegiatan desa, disampaikan kepada kecamatan.
k.
Pelatihan Untuk mempersiapkan pelaksanaan Kegiatan Demapan dilaksanakan
pelatihan dasar dan pelatihan teknis. Pelatihan dasar kepada:
pendamping/pembina kemitraan, pamong desa, aparat kabupaten/kecamatan, pengurus
LKD dan TPD. Sedangkan pelatihan teknis kepada kelompok afinitas.
l.
Penyaluran Dana Bansos untuk Usaha Produktif:
a. Dana
Bansos untuk Usaha Produktif merupakan dana stimulan untukmendukung usaha
kelompok-kelompok afinitas, yang memiliki kemauan sendiri untuk meningkatkan
kemampuan mengelola usaha produktif;
b. Dana
Bansos dikelola oleh LKD untuk pengembangan usaha produktifkelompok afinitas,
yang penggunaannya didasarkan pada keputusan bersama seluruh anggota kelompok
afinitas.
Secara keseluruhan, pada tahap
persiapan Program Aksi Desa Mandiri, Desa
Dlingo lebih unggul dibandingkan dengan
Desa Temuwuh. Berdasarkan Hasil FGD yang
dilakukan, Dlingo unggul dalam beberapa penilaian. Adapun hasil scoring FGD
oleh BKPPP adalah sebagai berikut.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Dlingo
|
Temuwuh
|
||
1
|
Pengembangan Kelompok Afinitas
|
6,30
|
4,50
|
2
|
Pengembangan peran TPD
|
7,50
|
7,50
|
3
|
Pengembangan peran LKD
|
6,00
|
5,00
|
4
|
Pengembangan kelembagaan
pengelolaan cadangan pangan
masyarakat
|
4,50
|
4,50
|
5
|
Pengembangan peran dan fungsi DKP
|
4,50
|
1,50
|
Sub Total
|
28,80
|
23,00
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa ditinjau
dari pengembangan Kelompok Afinitas, Desa Dlingo lebih unggul daripada desa
Temuwuh. Pengembangan Afinitas di Desa Dlingo dilakukan secara solid.
Sosialisasi dan motivasi yang diberikan oleh Pendamping, dilakukan dengan
intensitas yang tinggi. [9]
Selain itu, pengembangan peran LKD di Desa Dlingo lebih baik daripada desa
Temuwuh. LKD Desa Dlingo walaupun dijabat oleh aparatur desa (dalam hal ini
dikoordinir langsung oleh kepala desa) mampu mengurai tugas secara baik.[10]
2.Tahap Penumbuhan
Kegiatan
yang dilakukan pada Tahap penumbuhan diantaranya: pemberdayaan masyarakat,
pengembangan Sistem Ketahanan Pangan, dan dukungan pengembangan sarana dan
prasarana.
a. Pemberdayaan
Masyarakat: Dilakukan melalui pendampingan, pelatihan-pelatihan,
peningkatan aksesibilitas, dan penguatan kelembagaan.
1) Pendampingan
dilakukan untuk: mengembangkan dinamika
kelompok afinitas dan menumbuhkembangkan usaha produktif ;
2) Pelatihan-pelatihan
dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM kelompok afinitas bidang
administrasi dan pengelolaan usaha.
3) Peningkatan
aksesibilitas masyarakat di daerah rawan pangan, meliputi: akses informasi,
sarana prasarana, teknologi, permodalan, pasar, dan lainnya dilakukan melalui
kerjasama dengan stakeholder terkait, yang dapat memberikan peluang dan
kesempatan berusaha kepada masyarakat melalui proses pendampingan, pembinaan,
dan penyuluhan.
4) Penguatan
kelembagaan dilakukan pada Kelompok Kerja (Pokja) Demapan, TPD, kelompok
afinitas.
b.Pengembangan
Sistem Ketahanan Pangan:
1) Pada
subsistem ketersediaan pangan dilakukan untuk peningkatan produksi dan
pengembangan cadangan pangan masyarakat;
2) Pada
subsistem distribusi, dilakukan melalui penumbuhan usaha-usaha perdagangan, pemasaran,
dan sistem informasi harga pangan oleh anggota kelompok di tingkat desa;
3) Pada
subsistem konsumsi, dilakukan untuk peningkatan penganekaragaman pangan
berbasis sumberdaya lokal, perbaikan pola konsumsi keluarga melalui pembinaan
dasa wisma, pemanfaatan pekarangan, serta pengembangan teknologi pengolahan dan
produk pangan olahan.
c.
Dukungan Pengembangan Sarana dan Prasarana
Dukungan sarana dan prasarana diarahkan untuk perbaikan sarana, prasarana,
dan fasilitasi yang dilaksanakan pemerintah untuk pengembangan Demapan melalui
integrasi program kerja lintas sektor.
Berdasarkan
scoring yang dilakukan oleh BKPPP dengan melibatkan stakeholder di kedua desa
(baik Dlingo maupun Temuwuh) diperoleh hasil sebagai berikut.
No
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Desa Dlingo
|
Desa Temuwuh
|
||
1.
|
Pembangunan
infrastruktur pedesaan
|
5,09
|
5,63
|
2.
|
Pembangunan
Pengolahan dan Pemasaran komoditas
|
5,25
|
6,00
|
3.
|
Pemanfaatan
Teknologi Pedesaan
|
9,38
|
9,38
|
4.
|
Kelembagaan Penyuluhan dan Transfer teknologi
|
8,44
|
8,44
|
Sub
Total
|
28,15
|
29,44
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dilihat
dari hasil scoring tersebut, Desa Temuwuh unggul dalam hal pembangunan
infrastruktur pedesaan, pembangunan pengolahan dan pemasaran komoditas. Hal ini
disebabkan oleh kondisi geografis desa Temuwuh yang sebagian besar diliputi
dataran rendah, sedangkan di Desa Dlingo, kondisi geografis diliputi daerah
perbukitan sehingga pengadaan
infrastruktur membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang panjang.[11]
3.Tahap Pengembangan
Tahap pengembangan dilaksankan untuk penguatan dan pengembangan dinamika serta
usaha produktif kelompok afinitas, serta pengembangan fungsi kelembagaan layanan
modal, kesehatan, pendidikan, sarana usahatani, dan lainnya. Pada tahap ini sudah
terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat,
peningkatan ketahanan pangan rumah tangga, peningaktan pola pikir masyarakat,
peningkatan keterampilan, dan pengetahuan masyarakat.
Pada Tahap pengembangan, Desa Temuwuh dalam
hal sinergi program sangat baik bila dibandingkan dengan Desa Dlingo. Hal ini
disebabkan oleh pemahaman stakeholder implementor tentang program Demapan dan
program program lainnya yang mendukung, seperti P2KP, LDPM, PUAP. [12]
Hasil dari scoring yang dilakukan oleh BKPPP melalui FGD juga mengindikasikan
hal yang sama. Adapun hasil scoring melalui FGD oleh BKPPP adalah sebagai
berikut.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Desa Dlingo
|
Desa Temuwuh
|
||
1
|
Sinergi program
|
15,28
|
18,06
|
2
|
Komitmen daerah
|
12,50
|
12,50
|
3
|
Perluasan Program
Demapan pada Desa Lainnya.
|
12,50
|
4,17
|
Sub Total
|
40,28
|
34,72
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari data hasil FGD tersebut dapat
dilihat bahwa perluasan program Demapan pada desa lainnya di Desa Dlingo
memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan desa Temuwuh. Peran
aktif stakeholder implementor sangat baik dengan komitmen yang tinggi, walau
ditinjau dari sinergi program masih kurang. Di desa Temuwuh justru sebaliknya, Peran aktif
stakeholder implementor sangat kurang dan komitmen yang kurang. Masyarakat
sebenarnya masih belum bisa mandiri, namun peran implementor sedikit demi
sedikit dikurangi sehingga outcomes yang dicapai Desa Temuwuh tidak bisa
maksimal. [13]
4.
Tahap Kemandirian
Tahap Kemandirian ditandai dengan: (a)
adanya perubahan pola pikir, aktivitas, dan perbaikan usaha kelompok afinitas;
(b) adanya perubahan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan
aman; (c) berfungsinya cadangan pangan masyarakat; (d) berfungsinya
lembaga-lembaga layanan kesehatan, permodalan, akses produksi, dan pemasaran
pertanian; (e) bekerjanya sistem ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan
dan kecukupan pangan, kemudahan akses distribusi pangan wilayah, kestabilan
harga pangan, serta konsumsi pangan yang cukup, beragam, bergizi, berimbang,
dan aman sampai tingkat rumah tangga.
Kemandirian pangan tingkat desa
memerlukan dukungan program lintas sektor untuk pembangunan wilayah perdesaan
dan pembangunan sarana prasarana perdesaan. Tingkat kemandirian dicapai dengan
berfungsinya sarana fisik yang dibangun secara partisipatif oleh masyarakat dan
fasilitasi pemerintah dengan menggunakan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan
masyarakat dan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan desa
sekitarnya.
Desa-desa yang sudah melalui tahap
kemandirian dan mamasuki tahun kelima, selanjutnya akan mengembangkan Gerakan Kemandirian
Pangan, dimana desa-desa yang telah mandiri berperan sebagai desa inti dan
membina desa-desa sekitarnya. Pelaksanaan kegiatan Gerakan Kemandirian Pangan
diatur dalam Pedoman Teknis Gerakan.
c. Indikator Implementasi Program
Aksi Desa Mandiri Pangan
Dalam implemntasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan
di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, terdapat
indikator kinerja yang menjadi tolak ukur keberhasilan implementasi. Indikator
tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Akses
Program yang dilaksanakan dan implementor yang bertanggung jawab mudah
dijangkau oleh kelompok sasaran. Dalam hal ini,
Desa Dlingo memiliki tingkat kemudahan akses lebih tinggi dibandingkan
dengan temuwuh[14]. Walaupun kondisi desa Dlingo diliputi oleh
perbukitan, aktor implementor sangat aktif dalam melakukan tugasnya, sehingga kelompok afinitas
mendapatkan akses yang baik terhadap program aksi desa mandiri pangan[15].
2. Cakupan
Sasaran yang
telah dijangkau Desa Dlingo lebih luas
jika dibandingkan dengan Desa Temuwuh. TPD dan TKD sangat aktif dalam perannya
untuk menyukseskan program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Desa Dlingo
|
Desa Temuwuh
|
||
1
|
Perluasan Program
Demapan pada Desa Lainnya.
|
12,50
|
4,17
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Desa Dlingo Memiliki Perluasan Program Demapan lebih baik daripada Desa Temuwuh berdasarkan
tabel tersebut. Sasaran Demapan yang dijangkau Desa Dlingo sangat luas
karena peran aktif masarakat dan stakeholder dengan komitmen yang tinggi,
walaupun sinergitas program oleh implementor masih kurang apabila dibandingkan
Desa Temuwuh.[16]
3. Service
delivery (ketepatan layanan)
Jangkauan ketepatan layanan program Demapan di desa Dlingo
lebih baik jika dibandingkan dengan Desa
Temuwuh. Ketepatan layanan program
Demapan Desa Dlingo sudah menjangkau seluruh masyarakat miskin. Pembinaan
dilakukan secara intensif, masyarakat Desa Dlingo diberikan pembinaan untuk
meningkatkan nilai tambah pada produk hasil pangan dan pertanian, sehingga
pendapatan bisa meningkat dan menekan angka kekurangan gizi.[17]
Lain halnya di Desa Temuwuh, pembinaan dilakukan tidak sepenuhnya menjangkau
masyarakat miskin. Selain itu, pembinaan tidak berorientasi pada peningkatan
nilai tambah pada produk pangan dan pertanian, sehingga angka kekurangan gizi tidak berkurang signifikan.[18]
4. Efektivitas
Efektivitas program dilihat dari target output,
yakni terbentuknya kelompok afinitas,
Temuwuh lebih unggul. Terbentuknya LKD ,
kedua Desa berimbang. Tersalurkannya dana
Bansos, Dlingo lebih unggul. Hal ini seperti yang tertera pada tabel hasil
scoring FGD BKPPP, sebagai berikut.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Desa Dlingo
|
Desa Temuwuh
|
||
1
|
Komposisi
sharing dana dari APBN & APBD
|
30,00
|
26,25
|
2
|
Dukungan
lintas sektor
|
22,50
|
22,50
|
Sub
Total
|
52,50
|
48,75
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa Desa Dlingo
lebih unggul dalam hal komposisi sharing dana dari APBN dan APBD. Sedangkan
Dukungan lintas sektor, kedua desa berimbang. Hal ini mengindikasikan bahwa
efektivitas penyaluran bantuan sosial untuk program Demapan di desa Dlingo
lebih baik jika dibandingkan dengan desa Temuwuh.
Indikator Efektivitas lainnya juga bisa dilihat dari
capaian outcomes. Kepala keluarga miskin
masyarakat Desa Dlingo mengalami penurunan, dengan kondisi kepala keluarga miskin dari tahun 2010 sebesar 26,16% turun menjadi
22,65% atau turun sebesar 3,51% , sedangkan Temuwuh justru naik sebesar 0,05%. Dari data
kesediaan pangan dan akses pangan tahun 2010 dan tahun 2012(BPS Kab. Bantul,
2012). Hal ini juga diperkuat dengan hasil scoring melalui FGD yang dilakukan
oleh BKPPP, yaitu sebagai berikut.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Desa
Dlingo
|
Desa
Temuwuh
|
||
Tingkat
Kelompok Afinitas
|
|||
1
|
Rawan
pangan
|
13,13
|
11,25
|
2
|
Pengentasan
Kemiskinan
|
12,75
|
9,75
|
Tingkat
Desa
|
|||
1
|
Rawan
pangan
|
13,13
|
16,88
|
2
|
Pengentasan
Kemiskinan
|
11,25
|
11,25
|
Sub
Total
|
50,25
|
49,13
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Tabel tersebut mengindikasikan bahwa di tingkat
kelompok afinitas dalam pengentasan rawan pangan dan pengentasan kemiskinan,
efektivitas dalam pencapaian output desa
Temuwuh lebih unggul. Jika ditinjau dari
tingkat desa, desa Dlingo lebih unggul dalam pengentasan rawan pangan. Secara
keseluruhan, desa Dlingo paling unggul. Di Desa Dlingo, baik masyarakat sebagai
sasaran program serta Pendamping, TPD
dan LKD sebagai implementor bisa
bekerja sama dengan baik sehingga program bisa berjalan secara efektif. Setiap
kelompok afinitas yang menghadapi kendala dalam peningkatan produksi pangan dan
pertanian, dibantu dengan baik oleh pendamping dan TPD, selain itu kegiatan
simpan pinjam oleh LKD sesuai program Demapan juga berjalan cukup baik guna menunjang
masyarakat yang membutuhkan.[19]
Bab IV
Faktor Yang Mempengaruhi Implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan Di Desa
Dlingo dan Desa Temuwuh
Keberhasilan
implementasi suatu program pemerintah sangat ditentukan oleh berbagai faktor
(Subarsono, 2006:89), antara lain Komunikasi, dalam hal ini, kapasitas pemerintah mentransmisikan tujuan dan hal yang ingin dicapai secara jelas,
akurat dan konsisten kepada kelompok sasaran (target group) untuk mengurangi
terjadinya distorsi implementasi. Yang kedua adalah Sumber Daya implementasi
kebijakan akan tidak efektif apabila para implementatornya kekurangan sumber
daya yang penting untuk melaksanakan kebijakan. Peranan seluruh pihak yang
terlibat sumberdaya sangat penting, baik sumberdaya manusia maupun ketersediaan
fasilitas untuk melaksanakan kebijakan (Widodo. 2001:202). Selain itu, struktur birokrasi yang bertugas
mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
implementasi kebijakan. Salah satu aspek yang paling penting dari setiap
organisasi adalah adanya prosedur operasi standar (Standart Operating
Procedures atau SOP) (seobarsono, 2005:90). Hal lain yang perlu dicermati dari
beragamnya derajat kualitas efektivitas program adalah kondisi dari kelompok
sasaran. Selain itu juga Partisipasi
masyarakat di dalam kegiatan pembangunan karena partisipasi masyarakat sangat
penting, bahkan mampu menentukan keberhasilan suatu program. Faktor-faktor yang
mendukung efektivitas Program Aksi Desa Mandiri Pangan dikelompokkan menjadi
tiga faktor yaitu peranan stakeholder implementor dan partisipasi masyarakat.
Kedua faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1. Peranan stakeholder Implementor
Peranan
Stakeholder sesuai ditinjau dari
pembagian tugas dan wewenang
seluruh pihak yang terlibat serta mekanisme komunikasi dan koordinasi.
Scoring
berdasarkan indikator oleh Peranan Kelembagaan, Pengelolaan usaha produktif,
Terjalinnya jaringan usaha dan pemasaran oleh BKPPP
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Dlingo
|
Temuwuh
|
||
1
|
Peranan Kelembagaan
|
60,00
|
40,00
|
2
|
Pengelolaan usaha
produktif
|
53,33
|
53,33
|
3
|
Terjalinnya jaringan
usaha dan pemasaran
|
53,33
|
53,33
|
Sub Total
|
166,67
|
146,67
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Scoring
berdasarkan indikator oleh Pemberdayaan Masyarakat, Pengelolaan usaha
produktif, Terjalinnya jaringan usaha dan pemasaran oleh BKPP. Sumberdaya
yang dikerahkan untuk pelaksanaan program, meliputi sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan
masyarakat dan stakeholder.
Ditinjau dari indikator pengembangan kelompok afinitas, Skor tertinggi
desa Dlingo yang mencapai 6,30 dan terendah desa Temuwuh sebesar 4,50. Dengan
demikian desa Dingo dapat mengembangkan kelompok afinitas secara baik dibanding
dengan Desa Dlingo pada tahap
mandiri. Hal ini disebabkan oleh
komitmen implementor serta performa kinerja yang konstan, selain itu didukung
dengan sikap implementor yang guyub
(bersatu) dengan masyarakat sehingga pengembangan kelompok afinitas bisa
maksimal dan berdampak pada outcomes yang dicapai[20].
Kelembagaan yang dibentuk dengan adanya program Aksi
Desa mandiri Pangan di kedua desa pada dasarnya sudah cukup baik, namun
konsistensi implementor dalam melaksanakan
perannya adalah kunci utama dalam keberhasilan program ini. Berdasarkan hasil
FGD yang dilakukan oleh BKPPP, Indikasi keberhasilan di Desa Dlingo lebih baik
daripada Desa Temuwuh. Adapun hasil FGD oleh BKPPP adalah sebagai berikut.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Desa Dlingo
|
Desa Temuwuh
|
||
1
|
Pengembangan Kehidupan KA
|
||
a. Usaha dan Pengembangan Modal
|
6,67
|
6,67
|
|
b. Sosialisasi dan Penyuluhan konsumsi
pangan Beragam, Bergizi, Berimbang dan Aman (B3A)
|
6,67
|
5,00
|
|
c. Peningkatan Manajemen &
Organisasi
|
6,68
|
5,01
|
|
d. Peningkatan Ketrampilan Teknis
|
5,01
|
5,85
|
|
e. Peningkatan Sanitasi dan Kebersihan
|
7,24
|
6,12
|
|
2
|
Pengembangan Pola Fikir KA
|
||
a. Peningkatan Aktivitas Anggota
Kelompok Afinitas
|
6,68
|
5,25
|
|
b. Peningkatan Kepercayaan diri
|
8,35
|
6,12
|
|
c. Kebiasaan Menabung dan Meminjam
|
8,35
|
3,90
|
|
d. Pengarusutamaan Jender (Aspek : partisipasi, kontrol,
manfaat, akses)
|
6,12
|
8,35
|
|
Sub Total
|
61,8
|
52,3
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari
hasil FGD tersebut dapat dilihat bahwa Dlingo lebih unggul dalam hal
peningkatan manajemen dan organisai, sosialisasi dan penyuluhan
konsumsi pangan B3A, peningkatan aktivitas anggota afinitas, peningkatan
kepercayaan diri kelompok afinitas dan kebiasaan menabung dan meminjam. Peran
implementor dari pendamping sangat aktif dalam meningkatkan produktivitas di
setiap kelompok afinitas Desa Dlingo. Pendamping memberikan arahan untuk
peningkatan produk pertanian dan olahan secara tepat. Masyarakat yang tergabung
dalam kelompok afinitas di Desa Dlingo, diberikan penyuluhan mengenai
pengolahan hasil pertanian dan kehutanan. Desa Dlingo yang sebagian besar
diliputi oleh lahan non pertanian justru bisa lebih baik dalam mencukupi kebutuhan pangan, karena bimbingan
pendamping yang intensif dan orientasi pengolahan nilai tambah pada hasil
pertanian, peternakan dan kehutanan. Selain itu LKD mampu memfasilitasi simpan pinjam secara
baik sehingga produktivitas kelompok afinitas bisa meningkat signifikan.[21]
Berbeda halnya yang terjadi di Desa
Temuwuh, walaupun memiliki integritas dengan program lain secara baik,
implementor kurang inovatif dalam memberikan pendampingan terhadap kelompok
afinitas. Pendampingan hanya difokuskan pada peningkatan kuantitas pertanian,
tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas berupa nilai tambah, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat masih terbebani. Penggunaan teknologi
tepat guna belum maksimal dalam program Aksi Desa Mandiri Pangan Desa Temuwuh. Selain
itu Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam melakukan simpan pinjam kurang akuntabel,
sehingga masyarakat tidak bisa mengakses dana untuk meningkatkan produktivitas.[22]
2.
Bentuk partisipasi masyarakat.
Hal yang tidak bisa dipisahkan selain
peran dari implementor yang terdiri dari
TPD, para pendamping dan LKD adalah
feedback dari masyarakat itu sendiri dalam bentuk partisipasi. Program Aksi
Desa Mandiri Pangan tidak akan bisa mencapai outcomes apabila masyarakat
sebagai sasaran juga kurang aktif berpartisipasi dalam program tersebut. Hal ini
juga dapat dilihat dari hasil scoring FGD oleh BKPPP sebagai berikut.
No.
|
Indikator
|
Nilai Skor
|
|
Dlingo
|
Temuwuh
|
||
1
|
Pemberdayaan Masyarakat
|
166,67
|
146,67
|
2
|
Kemandirian Sistem Ketahanan Pangan
|
141,11
|
112,22
|
3
|
Kemandirian Sarana dan Prasarana
|
88,57
|
94,29
|
Total
|
396,35
|
353,17
|
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Ditinjau
dari Bentuk Partisipasi masyarakat, Masyarakat Desa Dlingo lebih aktif dan dalam
hal kemandirian sistem ketahanan pangan, desa Dlingo lebih unggul. Hal ini
deisebabkan oleh dekatnya masyarakat dengan implementor. Selain itu bentuk
komunikasi yang baik menyebabkan masyarakat terutama kelompok afinitas tidak
canggung untuk mendeskripsikan masalah yang terjadi di lapangan sehingga bisa
dicarikan solusi yang efektif untuk memecahkannya.[23]
Masyarakat juga memiliki kemampuan swadaya dan swakelola yang baik. Di Desa
Temuwuh, kondisi guyub demikian
justru tidak ditemukan. Hal ini disebabkan adanya gap antara masyarakat dengan
implementor. Implementor dalam melakukan
sosialisasi sebatas formalitas saja, tanpa diimbangi dengan rangsangan
rangsangan agar masyarakat terutama kelompok afinitas mau menyampaikan feedback
secara baik.[24]
BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi
a. Kesimpulan
Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan
bahwa Efektivitas Pelaksanaan Program
Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo memiliki hasil yang signifikan bila
dibandingkan dengan Desa Temuwuh hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
• Dalam
hal Peranan Stakeholder, Peran kelembagaan baik Pendamping, TPD, dan LKD di
Desa Dlingo sangat aktif dalam membina masyarakat dalam rangka pelaksanaan aksi
desa mandiri pangan. Pendamping, TPD dan LKD menjalankan tugas ntegritas dan
deferensiasi secara baik, berdasarkan data penilaian melalui FGD. Di Desa
Temuwuh, sinergitas peran masih belum maksimal karena kapasitas dan komitmen
stakeholder implementor yang berbeda.
• Desa
Dlingo dalam hal pemberdayaan masyarakat
lebih unggul, baik dari sisi intensitas dan komitmen sehingga berdampak pada pencapaian outcomes, ditandai
dengan tingginya aktivitas tingkat afinitas,
sedangkan di Desa Temuwuh, sudah cukup baik, namun intensitas dan komitmen
belum maksimal.
b.
Rekomendasi
Melihat
faktor tersebut, perlu adanya rekomendasi
perbaikan untuk dapat memaksimalkan kinerja implementasi Program Aksi
Desa Mandiri Pangan, sehingga output dan outcome bisa tercapai secara
maksimal. Rekomendasi untuk mengatasi faktor yang menghambat
kebijakan antara lain sebagai berikut.
• Perlu
adanya Peningkatan Kapasitas Dalam hal Peranan Stakeholder melalui penyuluhan dan motivasi oleh BKP3, terkait dengan peran
kelembagaan baik Pendamping, TPD, dan LKD di Desa temuwuh, selain itu juga BKP3
memberikan motivasi serta kewenangan agar stakeholder bisa menjalankan tugas
integrtas dan deferensiasi secara lebih baik untuk mencapai outcomes. Peran LKD
di Desa Temuwuh harus lebih dimaksimalkan terutama terkait dengan aktivitas
simpan pinjam yang menunjang Deamapan. LKD Desa Temuwuh harus lebih responsif dalam memberikan
pelayanan simpan pinjam kepada masyarakat dan proses pengawasan serta
akuntabilitas aktivitas simpan pinjam juga disosialisasikan pada setiap
kesempatan musyawarah desa terkait Demapan.
• Harus
ada sosialisasi mengenai hasil demapan di tiap kelompok afinitas desa Temuwuh,
untuk referensi benchmarking untuk motivasi, sehingga masyarakat akan semakin
aktif dan secara intensif bergerak mengejar ketertinggalan. Untuk meningkatkan
keakraban dan guyub (persatuan)
antara masyarakat dengan stakeholder implementor dan memotivasi masyarakat agar
peningkatan ketersediaan pangan oleh kelompok afinitas bisa tercapai, setiap
periode tertentu diadakan kegiatan seperti lomba unggulnya kelompok
afinitas. Mengadakan rembug desa dan
pendekatan personal terhadap kelompok afinitas yang kurang maksimal dalam
pencapaian hasil.
Referensi
Badan
Ketahanan Pangan. 2007. Petunjuk Evaluasi
Program Desa Mandiri Pangan. Departemen Pertanian RI.
Daymon,
Christine, Immy Holloway. 2008. Riset Kualitatif
. Yogyakarta : Bentang.
Departemen
Pertanian RI. 2005. Revitalisasi
Pertanian. Perikanan dan Kehutanan. Jakarta : Deptan.
Feldman,
Elliot J. 1978. "Comparative Public Policy: Field or Method?" Comparative Politics 10(2): 287-305.
G.C.
Edwards III, 1980. Implementing Public
Policy, Washington, D.C :Congressional Quarterly Press.
Grindle,
Merilee S. (ed.). 1980. Politics and
Policy Implementation in the Third World . Princeton: Princeton University
Press.
Heidenheimer,
A. et al. 1990. Comparative Public
Policy, 3rd ed. New York: St. Martin's Press.
Mazmanian,
Daniel , Paul Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy. Glencoe, Ill.: Scott. Foresman
& Company.
Nainggolan.
Kaman. 2008. “Ketahanan dan Stabilitas Pasokan. Permintaan dan Harga Komoditas Pangan”. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian vol 6, Juni 2008.
Osborne,
David, Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan
Birokrasi. Jakarta: Pustaka Binaman Pres sindo.
Purwanto, Erwan Agus. Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2012. Implementasi Kebijakan Publik “Konsep dan
“Aplikasinya di Indonesia”. Yogyakarta :Gava Media.
Ripley,
Randall B.. 1985. Political Analysis in
Political Science. Chicago: Nelson Hall Inc.
Samodra Wibawa. 2011. Politik
Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Simatupang.
Pantjar. 2007. Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan
Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian.
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik, konsep, Teori
dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Van Meter, D.S and C.E. Van Horn (1975).
“The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework”, in Lester, J. P
and Stewart, J, JR. 2000. Public Policy:
An Evolutionary Approach 2nd edition. Wadsworth : Belmont.
Winarno Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses.
Yogyakarta;Media Pressindo.
Peraturan
dan Undang Undang
Undang-undang
No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan
Wawancara
No
|
Nama
|
Alamat
|
Jabatan
|
Waktu Wawancara
|
1
|
Ir.
Sriwidodo, MP
|
Kantor
BKPPP
|
Kabid
Ketahanan Pangan
|
2,
9 September 2013
|
2
|
Sumandari,
STP, Mekdev
|
Kantor
BKPPP
|
Kasubid
Pemberdayaan Distribusi pangan
|
9,
16September 2013
|
3
|
Maryani
|
Desa
Temuwuh
|
Anggota
Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh
|
1
September 2013
|
4
|
Mulyono
|
Desa
Temuwuh
|
Anggota
Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh
|
8
September 2013
|
5
|
Suratmi
|
Desa
Dlingo
|
Ketua
Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo
|
15
September 2013
|
6
|
Sunaryo
|
Desa
Dlingo
|
Kelompok
Wana Lestari Desa Dlingo
|
22
September 2013
|
[1] Wawancara Ir.
Sriwidodo, MP, Kabid Ketahanan Pangan
[2] Wawancara Ir. Sriwidodo,
MP, Kabid Ketahanan Pangan
[3] Wawancara
Suratmi, Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo.
[4] Wawancara
Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul.
[5] Wawancara
Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul.
[6] Wawancara
Mulyono, Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh.
[7] Wawancara
Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul
[8]
Wawancara
dengan Suratmi, Ketua Kelompok Tani
Ngudi Rejeki Desa Dlingo.
[9] Wawancara dengan
Suratmi, Ketua Kelompok Tani Ngudi
Rejeki Desa Dlingo
[10] Wawancara dengan
Suratmi, Ketua Kelompok Tani Ngudi
Rejeki Desa Dlingo
[12]Wawancara Maryani, Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo
Desa Temuwuh.
[13]
Wawancara Maryani, Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo
Desa Temuwuh
[14] Wawancara
Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan.
[15] Wawancara
Sunaryo, Kelompok Wana Lestari Desa Dlingo.
[16]
Wawancara
Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan.
[17]Wawancara Sunaryo,
Kelompok Wana Lestari Desa Dlingo.
[18]
Wawancara Maryani, Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo
Desa Temuwuh
[19]
Wawancara
Sunaryo, Kelompok Wana Lestari Desa Dlingo.
[20]
Wawancara
Mulyono, Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh.
[22]
Wawancara
Mulyono, Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh.
Komentar