Langsung ke konten utama

IMPLEMENTASI PROGRAM AKSI DESA MANDIRI PANGAN DI KABUPATEN BANTUL, STUDI KOMPARASI DESA DLINGO DAN DESA TEMUWUH, KECAMATAN DLINGO

Written By Indra Fibiona

BAB I
PENDAHULUAN


Pendahuluan
Ketahanan Pangan dalam Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau (Badan Ketahanan Pangan, 2007:1). Ketahanan pangan secara nasional pada tahun 2005 belum dapat diwujudkan. Hal ini ditandai dengan masih banyaknya kejadian rawan pangan di berbagai daerah yang bersifat kronis. Melihat kenyataan berbagai permasalahan ketahanan pangan, maka penanganan rawan pangan menjadi salah satu prioritas penting. Pemenuhan pangan untuk hidup sehat dan aktif diukur dengan menggunakan aspek ketersediaan pangan, yaitu tersedia cukup untuk seluruh penduduk, kemudian aspek konsumsi pangan yaitu masyarakat mampu mengakses cukup pangan dan mengelola konsumsi sesuai dengan kecukupan status gizi dan kesehatan.
Indikator tersebut disusun untuk menentukan rumah tangga sasaran, dan pada tingkat makro, untuk menetapkan desa sasaran, agar dapat digunakan sebagai bahan penetapan daerah rawan pangan. Pendekatan penetapan peta kerawanan pangan  dalam pengelolaan kebijakan di tingkat kabupaten untuk program pangan dapat efektif karena memanfaatkan ketersediaan informasi ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik. Perwujudan hasil penetapan peta kerawanan pangan adalah teridentifikasinya 100 kabupaten rawan pangan yang kemudian ditindaklanjuti dengan program aksi ketahanan pangan yaitu desa mandiri pangan secara nasional, dimulai dari pemenuhan pangan di wilayah terkecil yaitu desa sebagai basis kegiatan pertanian. Program Aksi Desa Mandiri Pangan, berbasis pada pembangunan perdesaan untuk mewujudkan ketahanan pangan dalam satu wilayah yang mempunyai keterpaduan sarana dan prasarana dalam aspek ketersediaan, distribusi, dan kecukupan konsumsi pangan dalam lingkup rumah tangga.
Program Aksi Desa Mandiri Pangan dilaksanakan di desa-desa terpilih yang mempunyai rumah tangga miskin sehingga risiko rawan pangan dan gizi buruk yang tersebar di seluruh propinsi dapat teridentifikasi. Melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan, diharapkan masyarakat desa mampu memproduksi dan memenuhi produk-produk pangan yang dibutuhkan dengan didukung unsur-unsur sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan, permodalan, sarana dan prasarana, sehingga dapat mengurangi risiko kerawanan pangan dan dapat menciptakan ketahanan pangan di dalam lingkup desa. Desa mandiri pangan mempunyai definisi desa yang masyarakatnya mempunyai kemampuan untuk mewujudkan ketahanan pangan dan gizi melalui pengembangan subsistem ketersediaan, subsistem distribusi, dan subsistem konsumsi dengan memanfaatkan sumber daya setempat secara berkelanjutan.
Pedoman Umum Kegiatan Demapan ini disusun sebagai acuan bagi aparat pusat dan daerah dalam melaksanakan kegiatan Desa Mandiri Pangan. Adapun tujuan program tersebut adalah untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat miskin perdesaan dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki atau dikuasainya secara optimal, dalam  mencapai  kemandirian  pangan rumah tangga dan masyarakat. Sasaran kegiatan Demapan adalah Rumah tangga miskin di desa rawan pangan untuk mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan masyarakat. Mengingat sasaran akhir kegiatan Demapan untuk mewujudkan kemandirian pangan masyarakat miskin di desa rawan pangan, maka indikator keberhasilannya berupa perwujudan kemandirian pangan tingkat desa dan masyarakat sebagai berikut.
Output
Outcome
Benefit
Impact
a.Terbentuknya kelompok-kelompok afinitas;
b.Terbentuknya Lembaga Keuangan Desa (LKD);
c.Tersalurnya dana Bansos untuk usaha produktif;
a.Terbentuknya kelompok usaha produktif;
b.Berperannya lembaga permodalan;
c.Meningkatnya usaha produktif;
Meningkatnya pendapatan, daya beli, dan akses pangan masyarakat
Terwujudnya ketahanan pangan dan gizi masyarakat

Pelaksanaan program aksi mandiri pangan tahap persiapan sudah dimulai sejak tahun 2005. Tahap perencanaan awal yang terstruktur dan terprogram akan menjadi acuan  kinerja tahapan penumbuhan, pengembangan dan pemandirian. Kurun waktu pelaksanaan tahapan program aksi mandiri pangan menuju kemandirian direncanakan selama empat tahun. Pelaksanaan Program Aksi Mandiri Pangan melibatkan institusi-institusi terkait lintas-sektor yang dikoordinasikan melalui Dewan Ketahanan Pangan. Integrasi kegiatan lintas-sektor bertujuan menanggulangi kondisi rawan pangan dan gizi secara terpadu dan terarah hanya di daerah sasaran saja.
Dana untuk kegiatan Program Aksi Mandiri Pangan bersumber dari APBN dan dukungan dana dari APBD. Komposisi dan besaran dana diatur dan disesuaikan dengan kebutuhan di masing-masing daerah. Sebagai penguatan modal untuk kelompok sasaran, dialokasikan dana APBN yang disalurkan melalui lembaga keuangan perdesaan. Kabupaten Bantul merupakan satu-satunya Kabupaten di Propinsi DI. Yogyakarta yang pertama kali mendapat kepercayaan dari Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI untuk melaksanakan program Desa Mandiri Pangan. Alokasi anggaran dari program ini diberikan selama 4 (empat) tahun mulai dari tahun 2006. Keberadaan program Desa Mandiri Pangan dinyatakan sebagai trigger mechanism dalam penanganan rawan pangan dan diharapkan dapat diaplikasikan pada daerah lain (Nainggolan, 2008:135).
Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Kabupaten Bantul merupakan pilot project dalam penanganan rawan pangan. Implementasi program ini sangat berpengaruh untuk meningkatkan kapasitas masyarakat dalam ketahanan pangan, sekaligus tantangan untuk implementor agar bisa maksimal dalam melaksanakan kebijakan/program untuk tercapainya outputs dan outcomes. Paper ini mencoba menjelaskan efektivitas implementasi program dan menelaah kesesuaian pelaksanaan program dengan yang ditetapkan Badan Ketahanan Pangan. Peningkatan status ketahanan pangan meliputi peningkatan kemajuan kapasitas manusia yang ditunjukkan melalui perkembangan pola pikir masyarakat yang positif (nonfisik) melalui pendayagunaan sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal di pedesaan serta; terwujudnya ketahanan pangan dan gizi tingkat desa yang ditandai dengan berkurangnya tingkat kerawanan pangan dan gizi di Kabupaten Bantul.

Tabel Aspek Pemanfaatan Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Tahun 2010
Desa
Jumlah balita
ditimbang
Gizi kurang
Gizi buruk
%KEP
Bobot
Warna
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
(7=4+6)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dlingo
327
49
14,98
8
2,44
17,43
2
Kuning
Temuwuh
430
38
8,83
-
-
8,83
1
Hijau
Sumber : data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2010
Data tabel Aspek Pemanfaatan pangan di desa Dlingo dan Desa Temuwuh tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah penyandang gizi buruk di Desa Dlingo masuk dalam kategori rawan pangan dengan prosentase penyandang kurang gizi sekitar 17,43%, sedangkan   Desa Temuwuh masih dianggap baik, karena tingkat penyandang kurang gizi sebanyak 8,83% dan masih dalam tahap wajar. Desa Dlingo memiliki tingat penyandang kurang gizi lebih banyak bila dibandingkan dengan desa Temuwuh.
Tabel Aspek Pemanfaatan Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Tahun 2012
Desa
Jumlah balita
ditimbang
Gizi kurang
Gizi buruk
%KEP
Bobot
Warna
Jumlah
(%)
Jumlah
(%)
(7=4+6)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Dlingo
337
38
11,28
2
0,59
11,87
1
Hijau
Temuwuh
461
37
8,03
-
-
8,03
1
Hijau
Sumber : data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2012
Bila dibandingkan dengan tabel Aspek Pemanfaatan pangan di desa Dlingo dan Desa Temuwuh tahun 2010, di tahun 2012 Desa Dlingo mengalami penurunan penyandang kurang gizi cukup signifikan, yaitu sebesar 5,56%. Sedangkan penurunan penyandang kurang gizi di Desa Temuwuh  hanya sebesar 0,8%. Ini mengindikasikan bahwa peningkatan akses terhdap pangan desa Dlingo lebih baik jika dibandingkan dengan Desa Temuwuh.
Tabel Akses Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Tahun 2010
Desa
Jumlah KK Desa
Jumlah KK Miskin Per Desa
% desa
Skor
Warna
Dlingo
    1.709
       447
26,16
3
MERAH
Temuwuh
    2.117
       337
15,92
1
HIJAU
data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2010
Dari data tahun 2010, dapat dilihat bahwa desa Dlingo memiliki tingkat kemiskinan sebesar 26, 16% dengan jumlah Kepala keluarga  miskin sebesar 447 Kepala keluarga  dari 1709 Kepala Keluarga, sedangkan di Desa Temuwuh, tingkat kemiskinan sebesar 15,2 %  dengan jumlah Kepala keluarga  miskin sebesar 337 Kepala keluarga  dari 2117 Kepala keluarga. Desa Dlingo memiliki tingkat kemiskinan  lebih tinggi bila dibandingkan dengan Desa Temuwuh.   
Tabel Akses Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Tahun 2012
Desa
Jumlah  KK Desa
Jumlah KK Miskin Per Desa
% KK Miskin Per Desa
Skor
Warna
Dlingo
1700
385
22,65
2
KUNING
Temuwuh
2117
338
15,97
1
HIJAU
Sumber : data BKPPP Kabupaten Bantul tahun 2012
Di tahun 2012, jumlah kepala keluarga miskin  masyarakat Desa Dlingo mengalami penurunan, dengan kondisi  kepala keluarga miskin  dari tahun 2010 sebesar 26,16% turun menjadi 22,65% atau turun sebesar 3,51% , sedangkan temuwuh   justru naik sebesar 0,05%. Dari data kesediaan pangan dan akses pangan tahun 2010 dan tahun 2012, Desa Dlingo lebih unggul bila dibandingkan dengan Desa Temuwuh.  

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dijelaskan sebelumnya, permasalahan yang diangkat dalam paper ini yaitu mengapa implementasi Program Aksi  Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo lebih berhasil jika dibandingkan dengan Desa Temuwuh Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul?  Faktor apa sajakah yang mempengaruhi Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul?
Tujuan Penelitian
Adapun Tujuan Penelitian implementasi Aksi Desa Mandiri Pangan antara lain sebagai berikut.
  1. Menganalisis dan mengkaji efektivitas yang dicapai dalam implementasi Program Aksi  Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh  Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul
  2. Mengidentifikasi Faktor Faktor yang menghambat Implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Temuwuh Kecamatan Dlingo Kabupaten Bantul.

Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian yang dilakukan terkait implementasi Aksi Desa Mandiri Pangan di desa Dlingo dan Desa Temuwuh   antara lain sebagai berikut. 
  1. Bagi instansi Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan , penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dan bahan pertimbangan untuk memaksimalkan Implementasi program Aksi Desa Mandiri Pangan Kabupaten Bantul.
  2. Bagi akademisi diharapkan dapat menambah wawasan, referensi dan pengetahuan terutama yang berkaitan dengan efektivitas  terkait program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Temuwuh, Kabupaten Bantul
  3. Secara praktis, penelitian ini diharapkan bisa memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat maupun peneliti lain terkait memaksimalkan Implementasi program Aksi Desa Mandiri Pangan di Daerah lainnya yang memiliki kesamaan karakteristik .
Metode Penelitian
Jenis dan Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian Kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Unit Analisis  dalam  penelitian ini yaitu implementasi Aksi Desa Mandiri Pangan  di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh. Evaluasi dilakukan pada seluruh tahapan, yakni tahap persiapan, tahap penumbuhan, tahap pengembangan dan tahap kemandirian. Data yang digunakan sebagai dasar analisis adalah data kualitatif. Data kualitatif dikumpulkan dengan cara wawancara mendalam dengan informan terpilih.
Sumber Data
Data Primer
Yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber data melalui wawancara, penelitian yang dilakukan langsung ke obyek penelitian dengan draft pertanyaan. Dalam penelitian ini, wawancara dilakukan dengan teknik purposive sampling, yaitu sample yang berorientasi pada tujuan. Secara spesifik, varian  Porposif Sampling yang dipakai dalam wawancara ini adalah snowball sampling, yaitu sample rujukan berantai, dilakukan dengan menggali informasi sebanyak mungkin hingga mencapai titik jenuh (Daymon & Holloway, 2008). Peneliti mewawancarai beberapa  narasumber untuk mendapatkan informasi secara mendalam. Narasumber yang diwawancarai antara lain sebagai berikut.
1.      Ir. Sriwidodo, MP (Kabid Ketahanan Pangan)
2.      Sumandari, STP, Mekdev. (Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan)
3.      Maryani (Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh)
4.      Mulyono (Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh)
5.      Suratmi (Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo)
6.      Sunaryo (Kelompok Wana Lestari  Desa Dlingo)
Data Sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini diperoleh melalui media massa, undang-undang, dokumen maupun bersumber dari publikasi dari Biro Pusat Statistik (BPS), BKP3, Deptan, dan Instansi terkait lainnya.

Lokasi dan objek penelitian
Penelitian ini berlokasi di dua Desa, yakni Desa Dlingo dan Desa Temuwuh. Adapun alasan pemilihan lokasi karena Kedua desa tersebut memulai program  pada periode yang sama yakni tahun 2010, dan tahapan program yang sama, namun memiliki hasil yang berbeda.



Kerangka Pemikiran
Data yang telah didapatkan kemudian diolah dan dianalisis sesuai dengan kerangka pemikiran  sehingga sesuai dengan tujuan penelitian. Adapun kerangka pemikiran yang  digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.



BAB II
Landasan Teoritis dan Indikator Kinerja Implementasi Kebijakan  aksi desa mandiri pangan  

A.    Landasan Teori
Untuk mendukung kerangka teori yang telah dibuat agar tujuan peneilitian ini dapat dicapai, penelitian ini menggacu  pada  beberapa teori, antara lain teori kebijakan publik, teori komparasi kebijakan,  implementasi kebijakan, model kebijakan, dan indikator kinerja implementasi. Adapun penjelasan dari teori-teori tersebut sebagai berikut.
a.      Kebijakan Publik
Produk utama dari sistem dan proses politik adalah kebijakan publik  dan setiap sistem politik pasti membuat kebijakan publik(wibawa, 2011). Kebijakan (policy term) digunakan secara luas. Secara umum istilah “kebijakan atau policy” biasanya digunakan untuk menunjuk perilaku seseorang atau sejumlah aktor dalam suatu bidang tertentu (misalnya: pejabat, suatu kelompok, lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu(Winarno, 2007). Kebijakan publik merupakan  sesuatu yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan (Thomas R. Dye dalam Winarno, 2007). batasan ini tidak cukup memberi pembedaan yang jelas antara apa yang diputuskan oleh pemerintah untuk dilakukan dan apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah.
Kebijakan publik pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, kegagalan atau kesalahan dalam mendefinisikan masalah kebijakan publik akan berpengaruh pada kebijakan publik secara umum. Ini sebabnya karena dalam proses kebijakan, pendefinisian masalah merupakan tahap yang paling mendasar yang menentukan tahap-tahap kebijakan selanjutnya. Kebijakan publik yang dibahas dalam hal ini adalah kebijakan yang berkaitan dengan kebijakan ketahanan pangan melalui program aksi desa mandiri pangan . Dalam pelaksanaan kebijakan pengadaan barang ada faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk berhasil ataupun tidak.




b.      Komparasi kebijakan
Sebagaimana dikemukakan oleh Feldman (1978); perbandingan kebijakan public adalah suatu metode mempelajari kebijakan public (meliputi proses kebijakan, hasil kebijakan dan dampak kebijakan) yang dilakukan dengan mengadopsi pendekatan “comparative”, yaitu membandingkan kebijakan tertentu dengan kebijakan yang lain yang ada daerah tertentu. Heidenheimer, et al., (1990), memberi penegasan yang lebih khusus, dengan menyatakan bahwa perbandingan kebijakan public adalah  studi tentang bagaimana, mengapa, dan dampak apa yang ditimbulkan dari adanya tindakan pemerintah dan tidak bertindaknya pemerintah. Baik dari definisi Feldman maupun Heidenheimer tentang CPP (Comparative Public Policy) dapat kita ambil kesimpulan bahwa terdapat 3 unsur (elemen) yang merupakan kata kunci (keywords) yang menjadi pusat perhatian CPP. Dalam istilah Feldman 3 keywords itu adalah“proses”,“output’, dan“outcomes” dalam hal ini adalah perbandingan proses, output dan outcomes program  aksi desa mandiri pangan di kedua desa, yaitu desa Dlingo dan Desa Temuwuh. 
c.       Implementasi Kebijakan
Suatu tindakan dari proses kebijakan segera setelah undang-undang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang, dan selanjutnya dilakukan oleh pemerintah, individu secara pribadi atau kelompok masyarakat untuk mencapai tujuan merupakan  maksud implementasi kebijakan dalam pengertian yang luas. Tindakan-tindakan yang dilakukan itu harus mampu mengaitkan antara tujuan yang dirumuskan dan realisasi atau hasil yang akan dan atau telah dilakukan, agar ada sinkronisasi.
In general, the task of implementation is to establish a link that allows the goals of public policies to be realized as outcomes of governmental activity. In involves, therefore, the creation of a “policy delivery system”, in which specific means are designed and pursued in the expectation of arriving at particular ends Grindle (1980:6).
Tindakan-tindakan yang cermat tersebut dalam suatu organisasi dilakukan oleh pejabat yang memiliki kewenangan atau otoritas sesuai mekanisme dan prosedur yang berlaku, menggunakan sarana dan prasarana, serta dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan.  Sementara itu,  Implementasi menurut Lester dan Stewart (2000, 104-105)  bermakna pelaksanaan undang-undang dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya meraih tujuan-tujuan kebijakan atau program-program. Implementasi pada sisi lain merupakan fenomena yang kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai suatu proses, suatu keluaran (output) maupun sebagai suatu dampak (outcome). implementasi kebijakan dapat dikatakan  sebagai pelaksanaan undang-undang dalam bentuk program kerja yang lebih operasional oleh implementor dalam organisasi yang terorganisir dengan baik, dilakukan dengan prosedur dan teknik kerja yang jelas, serta dilakukan secara bersama-sama untuk mencapai tujuan kebijakan.
Implementasi kebijakan merupakan hal yang kompleks, karena dalam pelaksaannya merupakan satu sistem yang tidak lepas dari sub-sub sistem yang ada (input – proses – output) sampai dengan outcome atau dampak yang ditimbulkan. Dampak yang ditimbulkan dari implementasi kebijakan merupakan sasaran utama, oleh karena itu konsensus atau kesepakatan-kesepakatan para pejabat bawahan (implementor) sangat berperan serta dalam hal ini. Disamping itu konsensus tersebut menunjukkan bahwa motivasi dan tanggungjawab implementor dalam membangun organisasi sebagai wadah menjalankan amanah mensejahterakan masyarakat semakin terwujud.
Model-model Implementasi Kebijakan
Terdapat beberapa pandangan mengenai keberhasilan suatu implementasi kebijakan apabila diterapkan dalam dunia nyata. Para ahli mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat berhasil jika didukung oleh faktor-faktor yang saling menguatkan seperti sebuah sistem yang saling terkait. Perbedaan pandangan tersebut logis karena tergantung pada konteks mana para ahli kebijakan itu memandangnya dari berbagai sisi masing-masing. Kajian tentang Implementasi kebijakan dalam  beberapa model implementasi kebijakan dipaparkan sebagai berikut.
a. Model Edwards III
Dalam mengkaji implementasi kebijakan,Edwards III (1980: 9-10) berpandangan bahwa perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan antara lain  Apa prasyarat untuk keberhasilan implementasi kebijakan? Apa hambatan utama keberhasilan implementasi kebijakan? Edwards berusaha menjawab dua pertanyaan penting ini dengan menguraikan empat faktor atau variabel krusial dalam implementasi kebijakan. Faktor-faktor atau variabel-variabel tersebut yaitu communication, resources, dispositions/attitudes, and bureaucratic structure. Keempat Faktor tersebut berpengaruh terhadap implementasi kebijakan dan bekerja secara simultan dan berinteraksi satu sama lain untuk membantu dan menghambat implementasi kebijakan.
b. Model Mazmanian and Sabatier
Implementasi kebijakan merupakan fungsi dari tiga variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Pemikiran tersebut  tertuang dalam tulisan yang berjudul: A Frame Work for Implementations Analysis (Mazmanian dan Sabatier, 1983). Keseluruhan proses implementasi selanjutnya diklasifikasi oleh Mazmanian dan Sabatier (1983: 21-30) dalam tiga variabel sebagai berikut.
1.        Tractability of the problems (Mudah / tidaknya masalah dikendalikan) ;
2.        Ability of policy decision to structure implementation (Kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi) ;
3.        Nonstatury variable affecting implementation (Variabel di luar kebijakan yang mempengaruhi proses implementasi ) .
c. Model Van Meter dan Van Horn
Kinerja implementasi kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat tercapainya standar dan sasaran tertentu yang telah ditetapkan dalam suatu kebijakan.) Model yang dikembangkan Van Meter and Van Horn (1975: 462-474) lebih populer disebut sebagai A Model of the Policy Implementation Process. Dalam model ini, kinerja kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel bebas yang saling berkaitan. Terdapat enam variabel yang membentuk kaitan (linkage) antara kebijakan dan kinerja (performance). Model ini tidak hanya menentukan hubungan-hubungan antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel-variabel bebas. Variabel-variabel tersebut antara lain  standar dan sasaran kebijakan, sumberdaya, karakteristik organisasi pelaksana, komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana, lingkungan sosial, ekonomi dan politik.
Tahapan krusial yang dihadapi oleh implementor di lapangan yaitu menentukan  indikator-indikator untuk mengukur keberhasilan implementasi kebijakan. Sebelum suatu kebijakan diimplementasikan, Meter dan Horn merekomendasikan untuk menentukan  terlebih dahulu standar dan sasaran program secara tertulis, sehingga implementor mengacu pada standar yang telah ditentukan dalam melakukan aktivitasnya. Hai ini  juga dilakukan agar hasil pekerjaan yang dilakukan tidak menyimpang dari sasaran.
d. Model Merilee S. Grindle
Implementasi Kebijakan Model Merilee S. Grindle dikenal dengan pendekatan top-down. (Merilee S. Grindle, 1980). Dalam model ini, variabel yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik meliputi dua hal: pertama, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi kebijakannya. Kedua, apakah tujuan kebijakan tercapai. Tolok ukurnya dilihat dari dua faktor, yaitu:
1.  Impact atau efek pada masyarakat secara individu dan kelompok;
2.  Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran.
Implementasi kebijakan sesungguhnya bukan sekedar sangkut paut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik ke dalam prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan menyangkut masalah konflik, keputusan dan siapa yang memperoleh apa dari suatu kebijakan. Pendapat  ini dilontarkan Grindle atar kritik tentang teori implementasi kebijakan sebelumnya (Grindle, 1980).
Kerangka pemikiran Merilee S. Grindle (1980: 5) mengenai implementasi kebijakan khususnya di negara berkembang keberhasilannya ditentukan oleh derajat implementability dari kebijakan tersebut, yaitu Content of Policy (isi kebijakan) and Context of Implementation (konteks implementasi).
Berdasarkan penjelasan teori-teori di atas, penulis menggunakan kombinasi teori yang dikemukakan oleh George C Edwards III dan Van Meter and Van Horn yang merepresentasikan penelitian yang dilakukan terkait dengan  faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi aksi Desa Mandiri Pangan yaitu Sumberdaya, dalam hal ini adalah peran  implementor terutama dalam komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan-kegiatan pelaksanaan, sikap para pelaksana baik Pendamping, Tim Pangan Desa dan Lembaga Keuangan Desa. Di sisi lain yaitu tingkat partisipasi masyarakat.
B.     Indikator kinerja implementasi
indikator utama untuk mengukur kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu: indikator output dan indikator outcome (Purwanto dan Sulistyastuti, 2012).
1.      Indikator Output
Indikator output digunakan untuk mengetahui kensekuensi langsung yang dirasakan oleh kelompok sasaran sebagai akibat adanya realisasi kegiatan, aktivitas, pendistribusian hibah, subsidi, dan lain-lain yang dilaksanakan dalam implementasi suatu kebijakan. Secara umum apabila kebijakan atau program yang ingin dievaluasi tersebut merupakan kebijakan distributive, yaitu kebijakan yang dimaksudkan untuk membantu anggota masyarakat atau kelompok masyarakat yang kurang beruntung melalui instrument material seperti pelayanan gratis, subsidi, hibah, dan lain-lain. (cf. Ripley, 1986) maka berbagai indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas policy output adalah sebagai berikut:
a.       Akses
Indikator akses digunakan untuk mengetahui bahwa kebijakan atau program yang diberikan mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Selain itu akses juga mengandung pengertian bahwa dan orang-orang yang bertanggung jawab untuk mengimplementasikan kebijakan atau program mudah diakses oleh masyarakat yang menjadi kelompok sasaran.
b.      Cakupan
Indikator ini digunakan untuk menilai seberapa besar kelompok sasaran yang sudah dapat dijangkau oleh kebijakan publik yang diimplementasikan dalam hal ini Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
c.       Service delivery (ketepatan layanan)
Indikator ini digunakan untuk menilai apakah Program Aksi Desa Mandiri Pangan  yang diberikan dalam implementasi dilakukan tepat waktu atau tidak. Indikator ini sangat penting untuk menilai output suatu program yang memiliki sensitivitas terhadap waktu. Artinya keterlambatan dalam implementasi program tersebut akan membawa implikasi kegagalan mencapai tujuan Program Aksi Desa Mandiri Pangan.
d.      Efektivitas
Indicator ini digunakan untuk mengukur apakah program yang ada dapat efektif, sehingga output dan outcome bisa tercapai.
2.      Indikator Policy Outcome
Indikator kedua adalah policy outcome, yaitu untuk menilai hasil implementasi suatu kebijakan. Dalam berbagai literatur, indikator outcome juga disebut sebagai indikator dampak kebijakan (policy impact). Hasil atau dampak kebijakan pada dasarnya berkaitan dengan perubahan kondisi masyarakat yang menjadi kelompok sasaran kebijakan atau program, yaitu dari kondisi awal yang tidak dikehendaki menuju ke kondisi baru yang lebih dikehendaki. Dalam hal ini yang menjadi policy outcome adalah terciptanya efisiensi. Indikator yang dapat digunakan untuk menilai kualitas policy output adalah prospek awal (Initial), prospek jangka menengah (Intermediate), dan prospek jangka panjang (Long-term).
Untuk menilai kinerja program digunkan indiaktor-indikator berikut:
1. Indikator output Program Aksi Desa Mandiri Pangan, antara lain  meliputi Sosialisasi, Pendampingan, Pelatihan Masyarakat, Tumbuhnya Kelembagaan Pangan di Desa dan Penerimaan Bantuan Usaha Ekonomi Produktif.
2. Indikator outcome diukur dengan mengevaluasi kemajuan status dan posisi ketahanan pangan yang dicapai oleh peserta dan penerima manfaat program Desa Mandiri Pangan.
Bab III
Kinerja Implementasi  Program Aksi Desa Mandiri Pangan  Di Desa  Dlingo dan Desa Temuwuh



Program Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh melibatkan  beberapa aktor  implementor . Program Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh dilakukan melalui tahapan tahapan yang telah disusun. Dalam bab ini dijelaskan mengenai  aktor  implementor,  tahapan tahapan yang telah disusun dan indikator Program  Aksi Desa Mandiri Pangan yang dilaksanakan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh. Adapun Penjelasannya sebagai berikut. 
a.    Aktor Implementor Program Aksi Desa Mandiri pangan
Secara teoritis, aktor Implementor dalam suatu kebijakan berdasarkan keterlibatan implementor dalam struktur dibedakan menjadi dua, yaitu simple structure dan complex structure. Dalam implementasi kebijakan menggunakan Simple structure, implementasi dilakukan oleh organisasi tunggal (single agency), sedangkan dalam implementasi yang menggunakan complex structure, implementasi melibatkan multiple agencies (purwanto & Sulistyastuti, 2012: 133). Terkait dengan hal tersebut,     Program Aksi Mandiri pangan menggunakan complex structure. Agensi yang terlibat dalam implementasi program  Aksi Desa Mandiri Pangan antara lain Bupati Bantu, SKP BKP3, koordinator Pendamping Kabupaten,  Tim pangan Desa, Pendamping tingkat Desa,  LKD dan Kelompok Afiitas.    


Pola Hubungan Implementor Program Aksi Desa Mandiri Pangan



Sumber : Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan

  1.  LKD adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh kelompok bersama masyarakat, yang beranggotakan sub-sub kelompok afinitas untuk mengelola keuangan sebagai modal usaha produktif perdesaan. Pengurus LKD berasal dari masyarakat setempat dan merupakan perwakilan dari sub-sub kelompok afinitas yang memiliki kemampuan dalam pengelolaan keuangan dan administrasi. LKD ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. Tugas LKD: mengelola keuangan sebagai modal usaha produktif kelompok afinitas menjadi lembaga pelayanan usaha produktif masyarakat.
  2. TPD adalah lembaga yang ditumbuhkan oleh masyarakat sebagai penggerak pembangunan ketahanan pangan di perdesaan. Jumlah anggota TPD tahun 2012 terdiri dari unsur-unsur pewakilan: aparat desa; penggerak PKK; tokoh masyarakat; perwakilan KK Miskin kelompok afinitas. TPD ditetapkan oleh Kepala Badan  Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Kabupaten Bantul. Tugas TPD yaitu  mengarustamakan pengentasan kemiskinan dan pengurangan kerawanan pangan di tingkat desa, serta memberikan advokasi kepada kepala desa.
  3. Tenaga pendamping adalah petugas/penyuluh yang bertanggungjawab untuk melakukan pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di lokasi Demapan.  Tugas Pendampinga antara lain  menyusun rencana kerja pendampingan, menumbuhkan dan mengembangkan kelompok-kelompok afinitas dan kelompok penyedia protein hewani, mengembangkan dinamika kelompok afinitas,  membina kelompok-kelompok afinitas dalam merencanakan usaha produktif,  dan  menumbuhkan lembaga layanan permodalan bersama-sama dengan TPD dan kelompok-kelompok afinitas.
  4. Kelompok afinitas adalah anggota kelompok yang diikat dengan rasa kesatuan dan kebersamaan oleh jaringan persahabatan dan keluarga untuk melaksanakan kegiatan- kegiatan usaha ekonomi secara bersama- sama (BKPPP, 2007).
  

b.   Tahapan Implementasi Program Aksi Desa Mandiri pangan
Bagan implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan

Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Pada pelaksanaannya,  program Aksi Desa Mandiri Pangan dibagi ke dalam 4 tahapan, yaitu tahap persiapan, tahap pertumbuhanm, tahap pengembangan dan tahap kemandirian. Adapun proses dalam tahapan tahapan program Aksi Desa Mandiri Pangan adalah sebagai berikut.

TAHAPAN PEMBANGUNAN DESA MAPAN
TAHAP PERSIAPAN
TAHAP PENUMBUHAN
TAHAP PENGEMBANGAN
TAHAP KEMANDIRIAN
1.Data Base Desa
2.Rencana Pembangunan Desa Mapan
3.Meningkatnya kemampuan tenaga pendamping aparat dan masyarakat




4. Berkembangnya kelembagaan masyarakat
5. Berkembangnya lembaga-lembaga usaha produksi dan agribisnis pangan
6. Berkembangnya lembaga permodalan di perdesaan
7. Berkembangnya lembaga pelayanan kesehatan di perdesaan
8. Meningkatnya peran kelembagaan pangan dan gizi


9.  Meningkatnya produksi pangan masyarakat
10. Meningkatnya usaha pemenuhan cadangan pangan keluarga
11. Dihasilkannya teknologi dan produk pangan olahan
12. Diterapkannya pola pangan 3B
13. Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang gizi keluarga
14. Meningkatnya kemampuan SDM dalam sistem informasi ketahanan pangan

15. Meningkatnya peran masyarakat dalam ketersediaan dan distribusi pangan
16. Berkembangnya usaha yang mapan
17. Mantapnya organisasi/ kelembagaan yang ada
18. Terbentuknya jaringan usaha
19. Menurunnya prevalensi kelaparan
20. Menurunnya prevalensi wabah penyakit
21. Menurunnya prevalensi gizi buruk

1.                  Tahap Persiapan
Tahap persiapan dilaksanakan pada tahun pertama kegiatan Demapan, dengan kegiatan mempersiapkan aparat pelaksana dan masyarakat melalui: seleksi lokasi sasaran, pendampingan, pembentukan TPD, penumbuhan LKD, sosialisasi kegiatan, penyusunan data dasar desa, penetapan kelompok, pelatihan-pelatihan, pemberdayaan kelompok afinitas, penyusunan rencana pembangunan wilayah desa (RPWD), penyaluran Bansos.
a.    Seleksi Lokasi Sasaran
1.      Kabupaten/Kota ,dengan syarat antara lain merupakan kabupaten rentan pangan; memiliki unit kerja ketahanan pangan; terbentuk Dewan Ketahanan Pangan  Kabupaten/Kota; dan adanya partisipasi masyarakat/Pemerintah Daerah setempat untuk pengentasan kemiskinan.
2.      Kecamatan , dengan syaratantara lain adanya kelembagaan ekonomi dalam mendukung pengembangan ketahanan pangan (pasar, KUD, dan lainnya); dan memiliki SDM aparat (penyuluh) yang dapat mendukung pelaksanaan program.
3.      Desa, dengan syarat antara lain desa rawan pangan yang memiliki penduduk lebih dari 30 persen RTM berdasarkan Survei DDRT; memiliki potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang belum dikembangkan; aparat desa dan masyarakat bersedia menerima dan mendukung kegiatan Demapan. Desa yang telah terpilih ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota yang dikuatkan melalui Surat Keputusan Bupati/Walikota.
Dalam hal ini, Desa Dlingo dan Desa Temuwuh dipilih karena termasuk dalam desa yang rawan pangan dan juga merupakan replikasi dari program aksi desa mandiri pangan yang telah berhasil sebelumnya di Desa Muntuk[1].
b. Penetapan Pendamping
Pendamping ditetapkan dengan SK Kepala Badan/Dinas/Kantor/Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan Kabupaten/Kota. Dalam menetapkan pendamping baik desa Dlingo Maupun Desa Temuwuh, BKPPP Bantul sebagai  badan yang menangani Ketahanan Pangan Kabupaten  bantul, melaksanakan penetapan berdasarkan usulan pendamping yang sudah dipilih dari masing masing desa[2]. Proses pemilihan Pendamping dilakukan dengan musyawarah warga desa.  Pendamping dipilih berdasarkan kapabilitas dalam meningkatkan pertanian dan mampu memberikan pengarahan terhadap kelompok tani, sehingga kelompok tani termotivasi untuk meningkatkan produksi pangan[3].
c. Penetapan Koordinator Pendamping
Koordinator pendamping ada di provinsi dan kabupaten/kota, yang ditetapkan dengan SK Kepala Badan/Dinas/Kantor /Unit kerja yang menangani Ketahanan Pangan. Dalam hal ini, Koordinator pendamping di BKPPP Kabupaten bantul telah terbentuk sejak tahun 2006, pada saat program Aksi Desa Mandiri Pangan pertama kali diimplementasikan dengan locus desa muntuk kecamatan Dlingo. Susunan koordinator masih sama, di bawah Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan.[4]  
d. Penyusunan Data Dasar Desa
Penyusunan data dasar desa berupa kara kteristik rumah tangga, pemetaan potensi wilayah desa lokasi kegiatan, profil kelompok, dan profil desa. Penyusunan data desa baik Desa Dlingo maupun \Desa Temuwuh dilakukan oleh stakeholder tingkat desa di bawah koordinasi kepala desa di tiap desa.   
e. Penetapan Kelompok Afinitas
. Anggota kelompok afinitas adalah RTM hasil survey DDRT, yang dibina melalui kegiatan Desa Mandiri Pangan. Kelompok afinitas ditetapkan oleh Kepala Badan/Dinas/Kantor/ Unit kerja yang menangani ketahanan pangan Kabupaten/Kota.
Tabel Banyaknya Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani
Desa
Kelompok Tani
Gapoktan
Dlingo
10
1
Temuwuh
12
1
Data diolah dari BPS Kabupaten Bantul 2012
Kelompok afinitas yang telah terbentuk antara Desa Dlingo dengan Desa Temuwuh lebih banyak Desa Dlingo. Desa temuwuh memiliki 12 kelompok tani, sedangkan Dlingo hanya 12 kelompok tani. Semua kelompok tani tertampung  dalam satu wadah Gapoktan. 
f.Penetapan Tim Pangan Desa (TPD) di kedua desa dilakukan dengan melalui Musyawarah Desa. penetapan tim pangan desa dilaksanakan  langsung oleh BKPPP Bantul.[5]
g. Penumbuhan LKD di kedua desa dilakukan dengan  penyuluhan langsung dari BKPPP dan peran aktif masyarakat. Di desa Dlingo, intensitas  masyarakat dalam berinteraksi dengan LKD lebih banyak apabila dibandingkan dengan Desa Temuwuh. Walaupun Desa Temuwuh memiliki LKD dengan integrasi tugas yang baik, namun intensitas interaksi dengan masyarakat masih sangat minim. Hal ini disebabkan LKD Temuwuh kurang guyub (belum bisa bersatu dengan masyarakat).[6]
h. Sosialisasi Kegiatan Demapan dilaksanakan di tingkat kabupaten, dan desa. Sosialisasi dilakukan oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan. Baik Desa Dlingo maupun Desa Temuwuh, sosialisasi yang dilakukan langsung di bawah Kasubid  Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul.[7]
i. Pendampingan
Pendamping dipilih berdasarkan musyawarah warga desa. Pendampingan dilakukan pada setiap kelompok afiitas yang telah dibentuk sebelumnya. Di kedua Desa,  proses pendampingan  sudah berjalan baik di awal program, namun intensitas pendampingan seiring berjalannya waktu semakin berkurang, karena masyarakat  dianggap sudah mulai bisa mandiri.[8]   
j. Penyusunan Rencana Pembangunan Wilayah Desa (RPWD):
1) RPWD merupakan usulan prioritas kegiatan yang disusun oleh kelompok masyarakat secara parsitipatif bersama wakil-wakil kelompok afinitas, dan tokoh masyarakat.
2) Usulan rencana kegiatan yang telah disepakati di forum RPWD ditetapkan sebagai kegiatan desa, disampaikan kepada kecamatan.
k. Pelatihan Untuk mempersiapkan pelaksanaan Kegiatan Demapan dilaksanakan pelatihan dasar dan pelatihan teknis. Pelatihan dasar kepada: pendamping/pembina kemitraan, pamong desa, aparat kabupaten/kecamatan, pengurus LKD dan TPD. Sedangkan pelatihan teknis kepada kelompok afinitas.
l. Penyaluran Dana Bansos untuk Usaha Produktif:
a.       Dana Bansos untuk Usaha Produktif merupakan dana stimulan untukmendukung usaha kelompok-kelompok afinitas, yang memiliki kemauan sendiri untuk meningkatkan kemampuan mengelola usaha produktif;
b.      Dana Bansos dikelola oleh LKD untuk pengembangan usaha produktifkelompok afinitas, yang penggunaannya didasarkan pada keputusan bersama seluruh anggota kelompok afinitas.
Secara keseluruhan, pada tahap persiapan Program Aksi Desa Mandiri,  Desa Dlingo  lebih unggul dibandingkan dengan Desa Temuwuh.  Berdasarkan Hasil FGD yang dilakukan, Dlingo unggul dalam beberapa penilaian. Adapun hasil scoring FGD oleh BKPPP adalah sebagai berikut. 
No.
Indikator
Nilai Skor
Dlingo
Temuwuh
1
Pengembangan Kelompok Afinitas
6,30
4,50
2
Pengembangan peran TPD
7,50
7,50
3
Pengembangan peran LKD
6,00
5,00
4
Pengembangan kelembagaan
pengelolaan cadangan pangan
masyarakat
4,50
4,50
5
Pengembangan peran dan fungsi DKP
4,50
1,50
Sub Total
28,80
23,00
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari  tabel tersebut dapat dilihat bahwa ditinjau dari pengembangan Kelompok Afinitas, Desa Dlingo lebih unggul daripada desa Temuwuh. Pengembangan Afinitas di Desa Dlingo dilakukan secara solid. Sosialisasi dan motivasi yang diberikan oleh Pendamping, dilakukan dengan intensitas yang tinggi. [9] Selain itu, pengembangan peran LKD di Desa Dlingo lebih baik daripada desa Temuwuh. LKD Desa Dlingo walaupun dijabat oleh aparatur desa (dalam hal ini dikoordinir langsung oleh kepala desa) mampu mengurai tugas secara baik.[10] 



2.Tahap Penumbuhan
Kegiatan yang dilakukan pada Tahap penumbuhan diantaranya: pemberdayaan masyarakat, pengembangan Sistem Ketahanan Pangan, dan dukungan pengembangan sarana dan prasarana.
a.    Pemberdayaan  Masyarakat: Dilakukan  melalui pendampingan, pelatihan-pelatihan, peningkatan aksesibilitas, dan penguatan kelembagaan.
1)      Pendampingan dilakukan untuk: mengembangkan  dinamika kelompok afinitas dan menumbuhkembangkan usaha produktif ;
2)      Pelatihan-pelatihan dilakukan untuk meningkatkan kapasitas SDM kelompok afinitas bidang administrasi dan pengelolaan usaha.
3)      Peningkatan aksesibilitas masyarakat di daerah rawan pangan, meliputi: akses informasi, sarana prasarana, teknologi, permodalan, pasar, dan lainnya dilakukan melalui kerjasama dengan stakeholder terkait, yang dapat memberikan peluang dan kesempatan berusaha kepada masyarakat melalui proses pendampingan, pembinaan, dan penyuluhan.
4)      Penguatan kelembagaan dilakukan pada Kelompok Kerja (Pokja) Demapan, TPD, kelompok afinitas.
b.Pengembangan Sistem Ketahanan Pangan:
1)       Pada subsistem ketersediaan pangan dilakukan untuk peningkatan produksi dan pengembangan cadangan pangan masyarakat;
2)       Pada subsistem distribusi, dilakukan melalui penumbuhan usaha-usaha perdagangan, pemasaran, dan sistem informasi harga pangan oleh anggota kelompok di tingkat desa;
3)       Pada subsistem konsumsi, dilakukan untuk peningkatan penganekaragaman pangan berbasis sumberdaya lokal, perbaikan pola konsumsi keluarga melalui pembinaan dasa wisma, pemanfaatan pekarangan, serta pengembangan teknologi pengolahan dan produk pangan olahan.



c. Dukungan Pengembangan Sarana dan Prasarana
Dukungan sarana dan prasarana  diarahkan untuk perbaikan sarana, prasarana, dan fasilitasi yang dilaksanakan pemerintah untuk pengembangan Demapan melalui integrasi program kerja lintas sektor.
Berdasarkan scoring yang dilakukan oleh BKPPP dengan melibatkan stakeholder di kedua desa (baik Dlingo maupun Temuwuh) diperoleh hasil sebagai berikut. 
No
Indikator
Nilai Skor
Desa Dlingo
Desa Temuwuh
 1.
Pembangunan infrastruktur pedesaan
5,09
5,63
 2.
Pembangunan Pengolahan dan Pemasaran komoditas
5,25
6,00
3.
Pemanfaatan Teknologi Pedesaan
9,38
9,38
 4.
Kelembagaan Penyuluhan dan Transfer teknologi
8,44
8,44
Sub Total
28,15
29,44
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dilihat dari hasil scoring tersebut, Desa Temuwuh unggul dalam hal pembangunan infrastruktur pedesaan, pembangunan pengolahan dan pemasaran komoditas. Hal ini disebabkan oleh kondisi geografis desa Temuwuh yang sebagian besar diliputi dataran rendah, sedangkan di Desa Dlingo, kondisi geografis diliputi daerah perbukitan sehingga pengadaan  infrastruktur membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang panjang.[11]
3.Tahap Pengembangan
Tahap  pengembangan dilaksankan untuk  penguatan dan pengembangan dinamika serta usaha produktif kelompok afinitas, serta pengembangan fungsi kelembagaan layanan modal, kesehatan, pendidikan, sarana usahatani, dan lainnya. Pada tahap ini sudah terdapat kemajuan sumber pendapatan, peningkatan daya beli, gerakan tabungan masyarakat, peningkatan ketahanan pangan rumah tangga, peningaktan pola pikir masyarakat, peningkatan keterampilan, dan pengetahuan masyarakat.
Pada Tahap pengembangan, Desa Temuwuh dalam hal sinergi program sangat baik bila dibandingkan dengan Desa Dlingo. Hal ini disebabkan oleh pemahaman stakeholder implementor tentang program Demapan dan program program lainnya yang mendukung, seperti P2KP, LDPM, PUAP. [12] Hasil dari scoring yang dilakukan oleh BKPPP melalui FGD juga mengindikasikan hal yang sama. Adapun hasil scoring melalui FGD oleh BKPPP adalah sebagai berikut.
No.

Indikator

Nilai Skor
Desa Dlingo
Desa Temuwuh
 1
Sinergi program
15,28
18,06
 2
Komitmen daerah
12,50
12,50
 3
Perluasan Program Demapan  pada Desa Lainnya.
12,50
4,17
Sub Total
40,28
34,72
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari data hasil FGD tersebut dapat dilihat bahwa perluasan program Demapan pada desa lainnya di Desa Dlingo memiliki nilai yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan desa Temuwuh. Peran aktif stakeholder implementor sangat baik dengan komitmen yang tinggi, walau ditinjau dari sinergi program masih kurang.  Di desa Temuwuh justru sebaliknya, Peran aktif stakeholder implementor sangat kurang dan komitmen yang kurang. Masyarakat sebenarnya masih belum bisa mandiri, namun peran implementor sedikit demi sedikit dikurangi sehingga outcomes yang dicapai Desa Temuwuh tidak bisa maksimal. [13]
4. Tahap Kemandirian
Tahap Kemandirian ditandai dengan: (a) adanya perubahan pola pikir, aktivitas, dan perbaikan usaha kelompok afinitas; (b) adanya perubahan pola konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan aman; (c) berfungsinya cadangan pangan masyarakat; (d) berfungsinya lembaga-lembaga layanan kesehatan, permodalan, akses produksi, dan pemasaran pertanian; (e) bekerjanya sistem ketahanan pangan yang ditandai ketersediaan dan kecukupan pangan, kemudahan akses distribusi pangan wilayah, kestabilan harga pangan, serta konsumsi pangan yang cukup, beragam, bergizi, berimbang, dan aman sampai tingkat rumah tangga.
Kemandirian pangan tingkat desa memerlukan dukungan program lintas sektor untuk pembangunan wilayah perdesaan dan pembangunan sarana prasarana perdesaan. Tingkat kemandirian dicapai dengan berfungsinya sarana fisik yang dibangun secara partisipatif oleh masyarakat dan fasilitasi pemerintah dengan menggunakan teknologi tepat guna sesuai kebutuhan masyarakat dan memberikan dampak terhadap kesejahteraan masyarakat dan desa sekitarnya.
Desa-desa yang sudah melalui tahap kemandirian dan mamasuki tahun kelima, selanjutnya akan mengembangkan Gerakan Kemandirian Pangan, dimana desa-desa yang telah mandiri berperan sebagai desa inti dan membina desa-desa sekitarnya. Pelaksanaan kegiatan Gerakan Kemandirian Pangan diatur dalam Pedoman Teknis Gerakan.
c. Indikator Implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan
Dalam implemntasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo dan Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, terdapat indikator kinerja yang menjadi tolak ukur keberhasilan implementasi. Indikator tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1. Akses
Program yang dilaksanakan  dan implementor yang bertanggung jawab mudah dijangkau oleh kelompok sasaran. Dalam hal ini,  Desa Dlingo memiliki tingkat kemudahan akses lebih tinggi dibandingkan dengan temuwuh[14].  Walaupun kondisi desa Dlingo diliputi oleh perbukitan, aktor implementor sangat aktif dalam  melakukan tugasnya, sehingga kelompok afinitas mendapatkan akses yang baik terhadap program aksi desa mandiri pangan[15].
2. Cakupan
Sasaran  yang telah dijangkau  Desa Dlingo lebih luas jika dibandingkan dengan Desa Temuwuh. TPD dan TKD sangat aktif dalam perannya untuk menyukseskan program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo.  

No.
Indikator
Nilai Skor
Desa Dlingo
Desa Temuwuh
 1
Perluasan Program Demapan  pada Desa Lainnya.
12,50
4,17
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Desa Dlingo Memiliki Perluasan Program Demapan  lebih baik daripada Desa Temuwuh  berdasarkan  tabel tersebut. Sasaran Demapan yang dijangkau Desa Dlingo sangat luas karena peran aktif masarakat dan stakeholder dengan komitmen yang tinggi, walaupun sinergitas program oleh implementor masih kurang apabila dibandingkan Desa Temuwuh.[16]   
3. Service delivery (ketepatan layanan)
Jangkauan ketepatan layanan program Demapan di desa Dlingo lebih baik jika dibandingkan dengan  Desa Temuwuh.  Ketepatan layanan program Demapan Desa Dlingo sudah menjangkau seluruh masyarakat miskin. Pembinaan dilakukan secara intensif, masyarakat Desa Dlingo diberikan pembinaan untuk meningkatkan nilai tambah pada produk hasil pangan dan pertanian, sehingga pendapatan bisa meningkat dan menekan angka kekurangan gizi.[17] Lain halnya di Desa Temuwuh, pembinaan dilakukan tidak sepenuhnya menjangkau masyarakat miskin. Selain itu, pembinaan tidak berorientasi pada peningkatan nilai tambah pada produk pangan dan pertanian, sehingga angka  kekurangan gizi tidak berkurang signifikan.[18]
4. Efektivitas
Efektivitas program dilihat dari target output, yakni  terbentuknya kelompok afinitas, Temuwuh lebih unggul. Terbentuknya  LKD , kedua Desa berimbang.  Tersalurkannya dana Bansos, Dlingo lebih unggul. Hal ini seperti yang tertera pada tabel hasil scoring FGD BKPPP, sebagai berikut.
           
No.
Indikator
Nilai Skor
Desa Dlingo
Desa Temuwuh
 1
Komposisi sharing dana dari APBN & APBD
30,00
26,25
 2
Dukungan lintas sektor 
22,50
22,50
Sub Total
52,50
48,75

Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul

Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa Desa Dlingo lebih unggul dalam hal komposisi sharing dana dari APBN dan APBD. Sedangkan Dukungan lintas sektor, kedua desa berimbang. Hal ini mengindikasikan bahwa efektivitas penyaluran bantuan sosial untuk program Demapan di desa Dlingo lebih baik jika dibandingkan dengan desa Temuwuh.
Indikator Efektivitas lainnya juga bisa dilihat dari capaian outcomes. Kepala keluarga miskin  masyarakat Desa Dlingo mengalami penurunan, dengan kondisi  kepala keluarga miskin  dari tahun 2010 sebesar 26,16% turun menjadi 22,65% atau turun sebesar 3,51% , sedangkan Temuwuh   justru naik sebesar 0,05%. Dari data kesediaan pangan dan akses pangan tahun 2010 dan tahun 2012(BPS Kab. Bantul, 2012). Hal ini juga diperkuat dengan hasil scoring melalui FGD yang dilakukan oleh BKPPP, yaitu sebagai berikut. 
No.
 
Indikator
Nilai Skor
Desa Dlingo
Desa Temuwuh
Tingkat Kelompok Afinitas
 
 
 1
Rawan pangan
13,13
11,25
 2
Pengentasan Kemiskinan
12,75
9,75
Tingkat Desa
 
 
 1
Rawan pangan
13,13
16,88
 2
Pengentasan Kemiskinan
11,25
11,25
Sub Total
50,25
49,13
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Tabel tersebut mengindikasikan bahwa di tingkat kelompok afinitas dalam pengentasan rawan pangan dan pengentasan kemiskinan, efektivitas dalam  pencapaian output desa Temuwuh  lebih unggul. Jika ditinjau dari tingkat desa, desa Dlingo lebih unggul dalam pengentasan rawan pangan. Secara keseluruhan, desa Dlingo paling unggul. Di Desa Dlingo, baik masyarakat sebagai sasaran program serta  Pendamping, TPD dan LKD sebagai   implementor bisa bekerja sama dengan baik sehingga program bisa berjalan secara efektif. Setiap kelompok afinitas yang menghadapi kendala dalam peningkatan produksi pangan dan pertanian, dibantu dengan baik oleh pendamping dan TPD, selain itu kegiatan simpan pinjam  oleh LKD sesuai  program Demapan  juga berjalan cukup baik guna menunjang masyarakat yang membutuhkan.[19]

Bab IV
Faktor Yang Mempengaruhi  Implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan  Di Desa  Dlingo dan Desa Temuwuh


Keberhasilan implementasi suatu program pemerintah sangat ditentukan oleh berbagai faktor (Subarsono, 2006:89), antara lain Komunikasi, dalam hal ini,  kapasitas pemerintah  mentransmisikan  tujuan dan hal yang ingin dicapai secara jelas, akurat dan konsisten kepada kelompok sasaran (target group) untuk mengurangi terjadinya distorsi implementasi. Yang kedua adalah Sumber Daya implementasi kebijakan akan tidak efektif apabila para implementatornya kekurangan sumber daya yang penting untuk melaksanakan kebijakan. Peranan seluruh pihak yang terlibat sumberdaya  sangat  penting, baik sumberdaya manusia maupun ketersediaan fasilitas untuk melaksanakan kebijakan (Widodo. 2001:202).  Selain itu,  struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu aspek yang paling penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi standar (Standart Operating Procedures atau SOP) (seobarsono, 2005:90). Hal lain yang perlu dicermati dari beragamnya derajat kualitas efektivitas program adalah kondisi dari kelompok sasaran. Selain itu juga  Partisipasi masyarakat di dalam kegiatan pembangunan karena partisipasi masyarakat sangat penting, bahkan mampu menentukan keberhasilan suatu program. Faktor-faktor yang mendukung efektivitas Program Aksi Desa Mandiri Pangan dikelompokkan menjadi tiga faktor yaitu peranan stakeholder implementor dan partisipasi masyarakat. Kedua faktor tersebut adalah sebagai berikut.
1. Peranan stakeholder Implementor
Peranan Stakeholder  sesuai  ditinjau dari  pembagian  tugas dan wewenang seluruh pihak yang terlibat serta mekanisme komunikasi dan koordinasi.
Scoring berdasarkan indikator oleh Peranan Kelembagaan, Pengelolaan usaha produktif, Terjalinnya jaringan usaha dan pemasaran oleh BKPPP
No.
Indikator
Nilai Skor
Dlingo
Temuwuh
1
Peranan Kelembagaan
60,00
40,00
2
Pengelolaan usaha produktif
53,33
53,33
3
Terjalinnya jaringan usaha dan pemasaran
53,33
53,33
Sub Total
166,67
146,67
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Scoring berdasarkan indikator oleh Pemberdayaan Masyarakat, Pengelolaan usaha produktif, Terjalinnya jaringan usaha dan pemasaran oleh BKPP. Sumberdaya yang dikerahkan untuk pelaksanaan program, meliputi  sumberdaya manusia, sumberdaya keuangan masyarakat dan stakeholder.
Ditinjau dari  indikator pengembangan kelompok afinitas, Skor tertinggi desa Dlingo yang mencapai 6,30 dan terendah desa Temuwuh sebesar 4,50. Dengan demikian desa Dingo dapat mengembangkan kelompok afinitas secara baik dibanding dengan Desa Dlingo  pada tahap mandiri. Hal ini disebabkan oleh komitmen implementor serta performa kinerja yang konstan, selain itu didukung dengan sikap implementor yang guyub (bersatu) dengan masyarakat sehingga pengembangan kelompok afinitas bisa maksimal dan berdampak pada outcomes yang dicapai[20]
Kelembagaan yang dibentuk dengan adanya program Aksi Desa mandiri Pangan di kedua desa pada dasarnya sudah cukup baik, namun konsistensi implementor dalam  melaksanakan perannya adalah kunci utama dalam keberhasilan program ini. Berdasarkan hasil FGD yang dilakukan oleh BKPPP, Indikasi keberhasilan di Desa Dlingo lebih baik daripada Desa Temuwuh. Adapun hasil FGD oleh BKPPP adalah sebagai berikut.

No.

Indikator

Nilai Skor
Desa Dlingo
Desa Temuwuh
 1
Pengembangan Kehidupan  KA



a. Usaha dan Pengembangan Modal
6,67
6,67

b. Sosialisasi dan Penyuluhan konsumsi pangan Beragam, Bergizi, Berimbang dan Aman (B3A)
6,67
5,00

c. Peningkatan Manajemen & Organisasi
6,68
5,01

d. Peningkatan Ketrampilan Teknis
5,01
5,85

e. Peningkatan Sanitasi dan Kebersihan
7,24
6,12
 2
Pengembangan Pola Fikir  KA



a. Peningkatan Aktivitas Anggota Kelompok Afinitas
6,68
5,25

b. Peningkatan Kepercayaan diri
8,35
6,12

c. Kebiasaan Menabung dan Meminjam
8,35
3,90

d. Pengarusutamaan  Jender (Aspek : partisipasi, kontrol, manfaat, akses)
6,12
8,35
Sub Total
61,8
52,3
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Dari hasil FGD tersebut dapat dilihat bahwa Dlingo lebih unggul dalam hal peningkatan manajemen dan organisai, sosialisasi dan  penyuluhan  konsumsi pangan B3A, peningkatan aktivitas anggota afinitas, peningkatan kepercayaan diri kelompok afinitas dan kebiasaan menabung dan meminjam. Peran implementor dari pendamping sangat aktif dalam meningkatkan produktivitas di setiap kelompok afinitas Desa Dlingo. Pendamping memberikan arahan untuk peningkatan produk pertanian dan olahan secara tepat. Masyarakat yang tergabung dalam kelompok afinitas di Desa Dlingo, diberikan penyuluhan mengenai pengolahan hasil pertanian dan kehutanan. Desa Dlingo yang sebagian besar diliputi oleh lahan non pertanian justru bisa lebih baik dalam  mencukupi kebutuhan pangan, karena bimbingan pendamping yang intensif dan orientasi pengolahan nilai tambah pada hasil pertanian, peternakan dan kehutanan. Selain itu  LKD mampu memfasilitasi simpan pinjam secara baik sehingga produktivitas kelompok afinitas bisa meningkat signifikan.[21]
Berbeda halnya yang terjadi di Desa Temuwuh, walaupun memiliki integritas dengan program lain secara baik, implementor kurang inovatif dalam memberikan pendampingan terhadap kelompok afinitas. Pendampingan hanya difokuskan pada peningkatan kuantitas pertanian, tanpa diimbangi dengan peningkatan kualitas berupa nilai tambah, sehingga untuk memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat masih terbebani. Penggunaan teknologi tepat guna belum maksimal dalam program Aksi Desa Mandiri Pangan Desa Temuwuh. Selain itu Lembaga Keuangan Desa (LKD) dalam melakukan simpan pinjam kurang akuntabel, sehingga masyarakat tidak bisa mengakses dana untuk meningkatkan produktivitas.[22]


2. Bentuk partisipasi masyarakat.
Hal yang tidak bisa dipisahkan selain peran dari  implementor yang terdiri dari TPD, para pendamping dan  LKD adalah feedback dari masyarakat itu sendiri dalam bentuk partisipasi. Program Aksi Desa Mandiri Pangan tidak akan bisa mencapai outcomes apabila masyarakat sebagai sasaran juga kurang aktif berpartisipasi dalam program tersebut.  Hal ini  juga dapat dilihat dari hasil scoring FGD oleh BKPPP sebagai berikut.  
No.
Indikator
Nilai Skor
Dlingo
Temuwuh
1
Pemberdayaan Masyarakat
166,67
146,67
2
Kemandirian Sistem Ketahanan Pangan
141,11
112,22
3
Kemandirian Sarana dan Prasarana
88,57
94,29
Total
396,35
353,17
Sumber : BKPPP Kabupaten Bantul
Ditinjau dari Bentuk Partisipasi masyarakat, Masyarakat Desa Dlingo lebih aktif dan dalam hal kemandirian sistem ketahanan pangan, desa Dlingo lebih unggul. Hal ini deisebabkan oleh dekatnya masyarakat dengan implementor. Selain itu bentuk komunikasi yang baik menyebabkan masyarakat terutama kelompok afinitas tidak canggung untuk mendeskripsikan masalah yang terjadi di lapangan sehingga bisa dicarikan solusi yang efektif untuk memecahkannya.[23] Masyarakat juga memiliki kemampuan swadaya dan swakelola yang baik. Di Desa Temuwuh, kondisi guyub demikian justru tidak ditemukan. Hal ini disebabkan adanya gap antara masyarakat dengan implementor. Implementor dalam  melakukan sosialisasi sebatas formalitas saja, tanpa diimbangi dengan rangsangan rangsangan agar masyarakat terutama kelompok afinitas mau menyampaikan feedback secara baik.[24]



BAB V
Kesimpulan dan Rekomendasi

a. Kesimpulan

Berdasarkan analisis, dapat disimpulkan bahwa Efektivitas Pelaksanaan  Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Desa Dlingo memiliki hasil yang signifikan bila dibandingkan dengan  Desa Temuwuh hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain sebagai berikut.
      Dalam hal Peranan Stakeholder, Peran kelembagaan baik Pendamping, TPD, dan LKD di Desa Dlingo sangat aktif dalam membina masyarakat dalam rangka pelaksanaan aksi desa mandiri pangan. Pendamping, TPD dan LKD menjalankan tugas ntegritas dan deferensiasi secara baik, berdasarkan data penilaian melalui FGD. Di Desa Temuwuh, sinergitas peran masih belum maksimal karena kapasitas dan komitmen stakeholder implementor yang  berbeda.
      Desa Dlingo  dalam hal pemberdayaan masyarakat lebih unggul, baik dari sisi intensitas dan komitmen sehingga  berdampak pada pencapaian outcomes, ditandai dengan tingginya aktivitas tingkat afinitas,  sedangkan di Desa Temuwuh, sudah cukup baik, namun intensitas dan komitmen belum maksimal.
b. Rekomendasi
Melihat faktor tersebut, perlu adanya rekomendasi  perbaikan untuk dapat memaksimalkan kinerja implementasi Program Aksi Desa Mandiri Pangan, sehingga output dan outcome bisa tercapai secara maksimal.  Rekomendasi  untuk mengatasi faktor yang menghambat kebijakan antara lain sebagai berikut.
      Perlu adanya Peningkatan Kapasitas Dalam hal Peranan Stakeholder melalui penyuluhan  dan motivasi oleh BKP3, terkait dengan peran kelembagaan baik Pendamping, TPD, dan LKD di Desa temuwuh, selain itu juga BKP3 memberikan motivasi serta kewenangan agar stakeholder bisa menjalankan tugas integrtas dan deferensiasi secara lebih baik untuk mencapai outcomes. Peran LKD di Desa Temuwuh harus lebih dimaksimalkan terutama terkait dengan aktivitas simpan pinjam yang menunjang Deamapan. LKD Desa Temuwuh  harus lebih responsif dalam memberikan pelayanan simpan pinjam kepada masyarakat dan proses pengawasan serta akuntabilitas aktivitas simpan pinjam juga disosialisasikan pada setiap kesempatan musyawarah desa terkait Demapan.  
      Harus ada sosialisasi mengenai hasil demapan di tiap kelompok afinitas desa Temuwuh, untuk referensi benchmarking untuk motivasi, sehingga masyarakat akan semakin aktif dan secara intensif bergerak mengejar ketertinggalan. Untuk meningkatkan keakraban dan guyub (persatuan) antara masyarakat dengan stakeholder implementor dan memotivasi masyarakat agar peningkatan ketersediaan pangan oleh kelompok afinitas bisa tercapai, setiap periode tertentu diadakan kegiatan seperti lomba unggulnya kelompok afinitas.  Mengadakan rembug desa dan pendekatan personal terhadap kelompok afinitas yang kurang maksimal dalam pencapaian hasil.

Referensi
Badan Ketahanan Pangan. 2007. Petunjuk Evaluasi Program Desa Mandiri Pangan. Departemen Pertanian RI.
Daymon, Christine, Immy Holloway. 2008. Riset Kualitatif . Yogyakarta : Bentang.  
Departemen Pertanian RI. 2005. Revitalisasi Pertanian. Perikanan dan Kehutanan. Jakarta : Deptan.
Feldman, Elliot J. 1978. "Comparative Public Policy: Field or Method?" Comparative Politics 10(2): 287-305.
G.C. Edwards III, 1980. Implementing Public Policy, Washington, D.C :Congressional Quarterly Press.
Grindle, Merilee S. (ed.). 1980. Politics and Policy Implementation in the Third World . Princeton: Princeton University Press.
Heidenheimer, A. et al. 1990. Comparative Public Policy, 3rd ed. New York: St. Martin's Press.
Mazmanian,  Daniel ,  Paul Sabatier. 1983. Implementation and Public Policy. Glencoe, Ill.: Scott. Foresman & Company.
Nainggolan. Kaman. 2008. “Ketahanan dan Stabilitas Pasokan. Permintaan dan Harga Komoditas  Pangan”. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian vol 6, Juni 2008.
Osborne, David, Ted Gaebler. 1996. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta: Pustaka Binaman Pres sindo.
Purwanto, Erwan Agus. Sulistyastuti, Dyah Ratih. 2012. Implementasi Kebijakan Publik “Konsep dan “Aplikasinya di Indonesia”. Yogyakarta :Gava Media.
Ripley, Randall B.. 1985. Political Analysis in Political Science. Chicago: Nelson Hall Inc.
Samodra Wibawa. 2011. Politik Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta:Graha Ilmu.
Simatupang. Pantjar. 2007. Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Subarsono. 2005. Analisis Kebijakan Publik, konsep,  Teori  dan Aplikasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Van Meter, D.S and C.E. Van Horn (1975). “The Policy Implementation Process: A Conceptual Framework”, in Lester, J. P and Stewart, J, JR. 2000. Public Policy: An Evolutionary Approach 2nd edition. Wadsworth : Belmont.
Winarno Budi. 2007. Kebijakan Publik Teori & Proses. Yogyakarta;Media Pressindo.
Peraturan dan Undang Undang
Undang-undang No. 7 tahun 1996 Tentang Pangan

Wawancara
No
Nama
Alamat
Jabatan
Waktu Wawancara
1
Ir. Sriwidodo, MP
Kantor BKPPP
Kabid Ketahanan Pangan
2, 9 September 2013
2
Sumandari, STP, Mekdev
Kantor BKPPP
Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan
9, 16September 2013
3
Maryani
Desa Temuwuh
Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh
1 September 2013
4
Mulyono
Desa Temuwuh
Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh
8 September 2013
5
Suratmi
Desa Dlingo
Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo
15 September 2013
6
Sunaryo
Desa Dlingo
Kelompok Wana Lestari  Desa Dlingo
22 September 2013





[1] Wawancara Ir. Sriwidodo, MP, Kabid Ketahanan Pangan
[2] Wawancara Ir. Sriwidodo, MP, Kabid Ketahanan Pangan
[3] Wawancara Suratmi, Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo.
[4] Wawancara Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul.

[5] Wawancara Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul.
[6] Wawancara Mulyono, Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh.
[7] Wawancara Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan, BKPPP Bantul
[8] Wawancara dengan Suratmi,  Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo.
[9] Wawancara dengan Suratmi,  Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo
[10] Wawancara dengan Suratmi,  Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo

[11] Wawancara Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan BKPPP Bantul
[12]Wawancara  Maryani, Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh.
[13] Wawancara  Maryani, Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh
[14] Wawancara Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan.
[15] Wawancara Sunaryo,  Kelompok Wana Lestari  Desa Dlingo.
[16] Wawancara Sumandari, STP, Mekdev, Kasubid Pemberdayaan Distribusi pangan.
[17]Wawancara Sunaryo, Kelompok Wana Lestari  Desa Dlingo.
[18] Wawancara  Maryani, Anggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh
[19] Wawancara Sunaryo, Kelompok Wana Lestari  Desa Dlingo.
[20] Wawancara Mulyono, Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh.
[21] Wawancara Suratmi Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo.
[22] Wawancara Mulyono, Anggota Kelompok Tani Ngudi Makmur Desa Temuwuh.
[23] Wawancara Suratmi Ketua Kelompok Tani Ngudi Rejeki Desa Dlingo.
[24] MaryaniAnggota Kelompok Tani Sedyo Mulyo Desa Temuwuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par