Indra
Fibiona, Siska Nurazizah Lestari
Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta
Universitas Nasional PGRI, Kediri
ABSTRAK
Jamu Jawa atau obat tradisional Jawa sebagai
warisan budaya mengalami tekanan setelah obat tradisional Cinasemakin populer
di Hindia Belanda . Keduanya saling berkompetisi dalam dunia kesehatan di Hindia
Belanda pada abad XIX dan XX.Rivalitas keduanyabelum
banyak dikaji, dan sangat menarik jika
bisa diteliti lebih dalam. Tulisan ini merupakan penelitian kualitatif yangberasal
dari penelitian kolektif mengenai Jamu yang digagas atas inisiatif bersama
untuk melengkapi penelitian tentang jamu sebelumnya. Penelitian ini juga termasuk
dalam penelitian sejarah sosial dengan
analisis menggunakan metodologi sejarah sosial. Hasil penelitian menunjukan bahwa Jamu
Jawa (traditionele Javaanse geneeskunde)kurang
memiliki daya saing dalam beberapa hal jika dibandingkan dengan Obat
Tradisional Cina(Traditionele Chinese Geneeskunde).
Kurangnya daya saing tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya sistem distribusi dan brandingjamu yang belum bisa meraih pangsa pasar potensial.
Kata Kunci : Jamu,
obat tradisional, obat herbal
RIVALRY
JAMU JAWA AND TRADITIONAL CHINESE[1] MEDICINE IN XIX -THE BEGINNING OF XX CENTURY
ABSTRACT
Jamu Jawa
or Javanese traditional medicine as a heritage inherited under pressure after
the traditional Chinese medicine are increasingly popular in the Dutch East
Indies. Both of them competing in the world of health in the Dutch East Indies in
the XIX and XX century. Rivalry of both
has not been widely discussed, it's very interesting if it can be studied
further. This paper is a qualitative research derived from collective research
on herbs that was initiated on a joint initiative to complement previous
research about traditional herbal medicine.The study
alsoincluded inthe studywith an analysisof socialhistoryusingthe methodologyof
socialhistory. The results showed that Jamu Jawa (Traditionele Javaanse Geneeskunde) lack of competitiveness in some
respects when compared with Traditional Chinese medicine (Traditionele Chinese Geneeskunde). The lack of competitiveness
caused by several factors, including the distribution system and Jamu’s branding
have not been able to gain potential market share.
Keywords: Jamu,
Traditional medicine, herbalmedicine
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jamu berasal dari bahasa Jawa Kuno
“jampi” atau “usada” yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan
maupun doa-doa dan ajian-ajian. Pada abadke 15-16 M, istilah usada jarang digunakan, sedangkan
istilah jampi semakin populer di
kalangan elit keraton. Jamu kemudian mulai diperkenalkan pada publik oleh
peracik jamu, seorang “dukun” atau tabib pengobatan tradisional(Djojoseputro, 2012:3). Jamu merupakan obat tradisional di Hindia Belanda ,
didominasi oleh obat berjenis herbal
yang dibuat dari bahan-bahan alami, seperti akar tanaman, umbi, kulit kayu,
bunga, biji, daun dan buah-buahan. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam ramuan jamu antara lain hasil ternak seperti
madu, susu, telur ayam kampung hingga minyak hewani lainnya (Irwanto, 2015:138).
Foto
1. Salah satu relief Candi borobudur yang yang menggambarkan tentang
konsumsi jamu.
Sumber:
bhumihusadacilacap.blogspot.com
|
Pengobatan tradisional di
Jawa banyak didokumentasikan oleh
kalangan bangsawan untuk warisan pengetahuan. Jamu digunakan oleh golongan elit
selain untuk pengobatan juga untuk perawatan tubuh serta memelihara kecantikan.
Masyarakat umumnya menggunakan jamu hanya untuk pengobatan karena keterbatasan
pengetahuan (Tilaar,1999:18).Pengetahuan empiris tentangjamu yang diwariskan secara
lisan lebih mengedepankan pada informasi
mengenai bahan-bahan untuk campuran obat herbal. Berbeda dengan obat modern,
yang berasal dari penelitian ilmiah untuk mengobati penyakit.Fokus dari sistem penyembuhan tradisional
Jawa adalah menganalisis hubungan antara orang dan lingkungan mereka.Pengetahuan
ini berdasarkanprimbon Jawa(Antons, 2009:300).
Menurut
kosmologi Jawa, sakit merupakan hasil dari ketidakseimbangan dalam hubungan
dengan lingkungan. Oleh karena itu, sebagian orang Jawa berpendapat bahwa untuk
menyembuhkan penyakit seseorang, dibutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan
tentang jamu, yaitu harus disertai dengan doa dan ritual tertentu. Orang di
Jawa umumnya percaya bahwa banyak dari resep kuno tentang jamu diterima oleh
dukun dengan wahyu mistis melalui mimpi
dan meditasi. Banyak yang menganggap
penyembuhan tradisional Jawa adalah ritual suci, dalam hal ini mistisisme dan
sihir memainkan peran integral dalam perkembangan jamu(Antons, 2009:300).
Berdasarkan pemahaman orang Jawa, yang menjaga pengetahuan tentang
pengobatan tradisional secara turun temurun adalah keraton. Banyak orang Jawa percaya
bahwa keluarga kerajaan Jawa telah mendapatkan pengetahuan tentang obat
tradisional melalui wahyu ilahi. Ada beberapa buku penting terkait penyembuhan
tradisional yang disimpan di keraton, baik keraton Yogyakarta, Surakarta maupun
Cirebon, antara lain Lontar Husada (Buku Penyembuhan), Serat Kawruh bab jampi-jampi
(buku yang membahas hampir semua carapengobatan), Serat Primbon Jampi, Serat
Racikan Boreh Wulang Dalem dan Serat
Centhini (Kitab Centhini) yang
berisi informasi tentang pengetahuan agama, spiritual dan penyembuhan
secara mistis[3], dan Kitab Tetamban di Keraton Cirebon.[4]
Seiring berjalannya waktu, pengetahuan pengobatan tradisional jamu yang
semula hanya dikenal dilingkungan keraton menyebar hingga ke luar keraton. Beberapa
peracik jamu keraton mengajarkan resep racikan jamu kepada masyarakat secara
lisan. Meskipunresep ramuan jamu keluarlingkungan
istana, resep tersebut masih digunakan pada lingkungan terbatas.Penyebaran
pengetahuan tentang pengobatan menggunakan jamu terjadi pada masa Kerajaan
Mataram Islam.Pada saat itu muncul wiku,
orang pintar yang membuat ramuan dari tumbuh tumbuhan yang kemudian dijajakan
dengan cara dipikul atau digendong (Djojoseputro, 2012: 2).
Pengobatan tradisional di
Nusantara (khususnya Jawa) pada periode pra-modern merupakan dasar dari praktik
pengobatan (metode penyembuhan) abad XIX dan abad XX, yang biasanya disebut
sebagai jamu atau obat tradisional. Obat tradisional Indonesia, termasuk
unsur-unsur animisme dan perdukunan, bersaing dengan metode pengobatan lain,
seperti Ayurvedic (India), Obat Tradisional Cina dan Unani (Islam) (Boomgaard
dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)). Jamu bukan satu satunya obat
tradisional yang berkembang di kala itu. Di antara metode pengobatan lainnya, jamu
di Hindia Belanda bersaing ketat dengan
obat tradisional Cina.Orang –orang Cina memiliki sistem pengobatan jauh sebelum
munculnya pengobatan ilmiah yang berkembang di Barat. Buku pertama pengobatan
tradisional Cina ditulis oleh Su Wen Nei Ching sekitar tahun 300 Sebelum Masehi.Sistem
pengobatan tradisional Cina berdasarkan
pengalaman pengobatan yang ada di
masyarakat, tidak hanya menjelaskan metafisik semata. Ramuan pengobatan yang
dihasilkan sebagian besar merupakan
hasil dari pengamatan. Banyak gejala penyakit yang dijelaskansecaradetail
dengan solusi penyembuhannya dalam buku
teks pengobatan tradisional Cina (Mann, dalam The China Quarterly, No. 23 (Jul. - Sep., 1965), pp. 28-36).Obat
tradisional yang dibawa bersama migrasi orang-orang Cina ke asia Tenggara.
Pengetahuan akan obat tradisional di kalangan Cina didukung dengan
inventarisasi obat yang komprehensif, sehingga obat-obatan yang digunakan
sesuai dengan dosis dan diagnosis.
Sebenarnya beberapa jenis pengobatan tradisional, tabib serta dukun di Hindia Belanda menjadi objek penelitian antropologi
sistematis. Selama abad ke-19, literatur medis di Indonesia khususnya di Jawa,
mengkaji studi kasus pasien, deskripsi spesifik penyakit 'tropis', terutama
epidemi, dan 'topografi medis'. Pada akhir XIX,
studi terhadap praktik pengobatan
tradisional mengalami kenaikan yang signifikan. Studi tersebut dilakukan oleh
misionaris, dokter dan etnolog, yang memuncak antara tahun 1900 dan 1925. Pada
1915,studi komprehensif mengenai obat
'tradisional' (jamu) mulai intensif
dilakukan (Boomgaard dalam Bijdragen tot
de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)).Sementara itu,
kajian mengenai rivalitas antara obat tradisional Jawa (jamu) dengan Obat
Tradisional Cinaserta orang-orang yang terlibat di dalam bisnis keduanyabelum
pernah dikaji secara komprehensif. Hal ini akan sangat menarik jika digali
lebih dalam.
Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama yang ingin
diungkap dalam penelitianini adalah bagaimana rivalitas jamu Jawa dengan Obat
tradisional Cina dan dampaknya bagi masyarakat Hindia Belanda? Dari pertanyaan
utama, diuraikan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk menganalisis
pertanyaan utama, antara lain apa saja distingsi yang dimiliki jamu maupun obat
tradisional Cina dalam rivalitas memperoleh pangsa pasar di era kolonial?Siapa
saja yang terlibat dalam kompetisi rivalitas jamu dan obat tradisional Cina? Bagaimana
competitive advantage tiap pebisnis jamu
maupun obat tradisional Cina untuk branding
pada masyarakat kala itu? Faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing keduanya?
Lingkup kajian dalam penelitian ini mencakup lingkup spasial di wilayah
Jawa, baik Jawa Barat (termasuk Batavia), Jawa Tengah (termasuk daerah Vostenlanden), dan Jawa Timur di mana
kebiasaan meminum jamu banyak dijumpai. Selain itu, penyembuh dan pembuat jamu
di daerah ini banyak memberikan pelayanan pengobatan, baik kepada orang pribumi
maupun orang-orang Eropa. Lingkup temporal yang dipilih adalah abad XIX dan XX.
Abad XIX dipilih karena interaksi antara orang pribumi dengan orang Eropa
secara intensif mulai terlihat. Interaksi antara orang-orang pribumi modern
dengan shinshe juga terlihat pada
periode tersebut. Pada periode ituah yang dirasa penting untuk bisa diungkap
tentang rivalitas jamu dan obat tradisional Cina. Abad XX, dipilih karena
eksistensi jamu di masyarakat semakin dikenal sebagai dampak diadakannya
konferensi tentang jamu dan juga dibentuknya Komite Jamu Indonesia (Irwanto,
2015:139).
B. Metode Peneltian dan Kerangka Berpikir
Penelitian
ini didasarkan pada hasil penelitian tentang jamu sebelumnya, terutama
penelitian Hesselink yang membahas perbedaan obat
tradisional di Hindia Belanda. Penelitian ini mengkaji tentang rivalitas obat
tradisional, sehingga historiografi dari penelitian ini disusun sesuai kaidah sejarah dengan tema
sejarah sosial ekonomi. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan ilmu-ilmu
sosial dalam proses analisis untuk
mendapatkan hasil rekonstruksi yang valid. Penelitian yang dilakukan berfokus
pada pencarian arsip, studi pustaka dan
sumber lisan untuk menggali informasi yang memiliki kaitan langsung
maupun tidak langsung dengan objek kajian penelitian. Studi pustaka dilakukan
dengan penelusuran sumber primer dan sekunder untuk menggali informasi terkait penggunaan
jamu dan obat tradisional Cina oleh masyarakat Hindia belanda, serta
rivalitasnya. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan wawasan dan
sumber-sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Data dokumen dianalisis
untuk mengungkap informasi dari dokumen, laporan-laporan resmi, buku-buku yang
relevan dengan tema yang diusung dalam penelitian ini.
Ada beberapa penelitian yang mengungkapkan tentang jamu di Hindia Belanda
, antara lain penelitian Friedrich August Carl Waitzdi tahun 1829 yang berjudul
“Praktische waarnemingen over eenige
Javaansche geneesmiddelen” (Praktik Observasi dariBeberapa Meditasi Jawa).
Pada penelitiannya, iamenjelaskan tentang jenis obat-obatan herbal (jamu) dan
penggunaannya di Jawa. Penelitiannya lebih fokus pada farmasi, dan hanya
sedikit menyinggung distribusi obat obatan
tradisional oleh orang-orang pribumi dan pengobatan tradisional Cina.
Penelitian lainnya yang terkait jamu dan rivalitasnya dengan obat
tradisional Cina dilakukan oleh Liesbeth Hesselink (2011). Penelitian yang
dibukukan dengan judul Healers on the Colonial
Market Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indiesmemuat tentangrekonstruksi
mengenai penjualan obat tradisional di Hindia Belanda dan praktik penyembuhan yang dilakukan oleh
dokter Jawa. Tidak ada pembandingan komprehensifantara obat tradisional Cina
dengan Jamu Jawa dalam penelitian tersebut.
Kerangka konseptual (logical
framework) yang dibangun dalam
penelitian ini yaitu membandingkan dua komoditas yang dipengaruhi oleh
jaringan serta aktivitas manusianya. Oleh karena itu,penelitian ini menggunakan
pendekatan teori rivalitas antara dua hal yang
dipengaruhi oleh interaksi dan aktivitas manusia yang menentukan keunggulan
masing-masing komoditas. Penelitian mengenai jaringan di pasarmerujuk pada persaingan antara kelompok yang memiliki persamaan struktural seperti sejauh mana mereka melakukan transaksi
dengan pemasok serta konsumen yang sama
(Burt dalam Kilduff, et. al, 2010). Selain itu juga menggunakan hubungan sebab
akibat dalam mengungkap dampak dari rivalitas jamu dan obat tradisional Cina
bagi masyarakat. Sebelumnya, perlu diperhatikan bahwa jamu memiliki 2 jenis
antara lain jamu yang digunakan untuk menjaga kesehatan (promotif/preventif)
dan untuk mengobati penyakit (kuratif) (Handayani dan Suharmiati, 2012:12-15).
Dari cara menggunakannya, jamu juga digolongkan menjadi 2jenis antara lain melaluimulut atau dikonsumsi (oral) dan luar (topical/external use) (Liu,
2011:28-39). Rivalitas yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah jamu jenis kuratif
dan yang ditujukan untuk konsumsi (baik oralmaupun
topical) diperbandingkan dengan obat
tradisional Cinayang sejenis. Secara garis bersar, penelitian ini ingin
mengungkapkan mengenai rivalitas daya
saing jamu dengan obat obatan
tradisional Cina,orang-orang yang terlibat serta competitive advantagesdalam persaingan bisnis kedua obat
tradisional tersebut, sehingga bisa
mengungkap kekurangan dan kelebihan masing-masing.
II. PENGGUNAAN JAMU DAN OBAT
TRADISIONAL CINA DI JAWA
Pulau Jawa yang notabene berada di daerah tropis, memiliki endemi
penyakit yang berbeda dengan daerah di Eropa yang beriklim sub tropis. Penyakit
di daerah tropis lebih sulit didiagnosis karena perbedaaniklim
(Boomgaard dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)).Namun thesis ini tidak
sepenuhnya benar dan dibantah oleh W.
Bosch. Kelangkaan dan naiknya pemenuhan kebutuhan dasar, terutama bahan makanan pokok,
seperti beras dan bahan makanan lainnya, menjadi salah satu penyebab penyebaran
penyakit, pendapat tersebut tampaknya diperkuat dengan bukti kondisi kesehatan
orangEropa, Cina dan pembantu mereka yang terhindar epidemi (Bosch dalam
Hesselink, 2011: 67).
Terlepas dari pernyataan tersebut, pada akhir abadke-19, ilmu medis modern mulai berkembang di Hindia Belanda karena epidemi khususnya di Jawa juga
meningkat. Hampir semua dokterEropadi Hindia Belanda memperbarui
pengetahuan mereka terutama tentang bakteri dan kumanpenyakit dalam ilmu medis.
Di sisi lain, mereka kurang peduli terhadap orang-orang Hindia
Belanda yang masih melakukan penyembuhan
dengan metode mengusir gangguanroh-roh jahat.
Dukun dan tabibdi Hindia Belanda selain memiliki pengetahuan tentang obatlokaldan herbal (jamu), terkadang juga
masih menggunakan penyembuhan dengan metode mengusir gangguanroh-roh jahat. Hal ini dipandang negatifolehbanyak ahli medis dan sebagian
masyarakatEropa. Dukun dan tabib dianggappenipuyang
berkedok penyihirkarena masih menggunakan takhayul dalam pengobatan(Boomgaard dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl.
(1993)).Perilaku dukun dan tabib tersebut menyebabkan orang
– orang Eropa kemudian tidak suka dengan jamu yang diramu oleh dukun.
Pada dasarnya, hampir semua penduduk di Hindia Belanda (terutama di Jawa)
merupakan konsumen dari produk dan jasa
dari pasar medis. Komposisi jumlah
penduduk Hindia Belanda menurut
perkiraan dari tahun 1850 yaitu 9,5 juta jiwa penduduk Jawa (dan Madura) dan 10,5 juta jiwa penduduk di luar Jawa. Di Jawa dan Madura saja terdapat keberagaman kelompok etnis dalam populasi,
yaitu Jawa, Sunda, Madura, Cina, Arab, Melayu danEurasia. Kelompok-kelompok ini
berbicara dengan bahasa yang berbeda dan memiliki agama serta pengetahuan
tentang kesehatan, penyakit dan pengobatan sesuai etnis masing-masing. Paradigma agama dan dunia menentukan klasifikasi kesehatan
dan penyakit sesuai dengan penanganannya. Jika orang tidak menganggap sesuatu
penyakit, mereka tidak mungkin untuk mencari pengobatan atau menggunakan
produk/jasa dari pasar medis (Hesselink, 2011:2).
Sebagian masyarakat Eropa yang bekerja sebagai dokter dan ahli medis di
Jawamenggunakan obat herbal (baik jamu maupun obat tradisional Cina) sebagai
alternatif untuk mengatasi penyakit. Tahun
1860-an hingga1880-an, penduduk Eurasia Eropa dan pribumi di Jawa banyak
menggunakan obat tradisional (jamu) dalam penyembuhan penyakit. Wanita Eurasia
yang dikenal dengan sebutan 'Nyonya',
Nyonya van Blokland, dan 'Nyonya' van Gent, menulis buku - dalam bahasa
Melayutentang obat-obatan Jawa (jamu) dan praktik penyembuhan untuk awam. Tulisan
tersebut disambut baik oleh pembaca dan dicetak lebih dari tiga edisi. Setelah
tahun 1900 Kloppenburg juga menulis buku tentang obat-obatan Jawa (jamu) dan praktik penyembuhandalam bahasa Belanda, berhasil populer dan dicetak
beberapa edisi (Kloppenburg dalam Boomgard, 1993).Dokter Eropa yang bekerja di Hindia
Belanda menyatakan bahwa selama lebih
dari satu dekade, awal abad XX, penduduk
Eropa dan Eurasia banyak mengandalkan
buku-buku tentang jamu dan penyembuh dari golongannon pribumi daripada dokter Eropa
(Weller dan Eerland dalam Boomgard, 1993). Hal tersebut berkaitan dengan
keterbatasan jumlah dokter Eropa. Namun, bagi keluarga Euroasia dan Eropayang
tinggal di Indonesia selama beberapa generasi, obat Eropadianggapasing dan
kurang disukai.Penduduk asli Jawa ragu-ragu untuk memanfaatkan jasa dokter Eropa
(Breitenstein, Vermeer dan Woller dalam
Boomgard, 1993).
Berbagai faktor yang mempengaruhi
minimnya penggunaan obat Eropa
diantaranya obat Eropa tidak
memiliki kemampuan seperti jamu atau obat tradisional Cinayang bisa
menyembuhkan berbagai penyakit, sekaligus sebagai vaksinasi berbagai penyakit, salah satunya cacar
pada tahun 1900an. Kedua, pertimbangan faktor ekonomi (kemampuan daya
beli masyarakat). Dokter dan rumah sakit Eropa terletak jauh dari
pemukiman masyarakat pribumi, dan biaya
dan obat-obatan cenderung mahal. Ketiga,
hambatan psikologis, seperti sebagian besar fakta yang menyatakan bahwa pasien
harus meninggalkan desa dan keluarga, dan harus percaya ketika ditangani oleh
ahli medis asing (dokter dan ahli medis Eropa), padahal ahli medis tersebut dianggap
sebagai bagian dari aparatur kolonial. Selain
itu, masyarakat pribumi (orang Jawa) masih memiliki mindset bahwa sakit
merupakan pengaruh dari roh jahat, sehingga mereka lebih memilih untuk berobat
ke dukun yang bisa dipanggil ke rumah. Di
lain pihak, dokter Eropa dan shinshesebagian
besar tidak menerima layanan panggilan. Pelayanan medis yang ditawarkan kemudian mengalami perubahansetelah tahun 1900an.
Shinse dan dokter modern mulai menerima
layanan panggilan. Perubahan pelayanan tersebut menyebabkan obat tradisional Cina
bisa lebih luas dijangkau masyarakat Hindia Belanda dengan bantuan shinshe(Vermeer dan Peveelli dalam Boomgard, 1993).
III. PEBISNIS JAMU DAN OBAT TRADISIONAL CINA
SERTA PANGSA PASARNYA
Pasar dengan barang dan jasa medis dipengaruhi oleh
adat dan agama sebagai faktor sosio-budaya dan dipengaruhi juga oleh beberapa aspek kebijakan
kolonial sebagai faktor sosio-ekonomi. Pasokan dan permintaan di pasar medis ditentukan oleh kedua faktor tersebutpada batas
tertentu. Pemerintah kolonial tidak banyak mengintervensi dalam hal yang
terkaitdengan kesehatanmasyarakat. Hal ini disebabkanHindia
Belanda menganut sistem administrasi
tidak langsung, khususnya di daerah Vorstenlanden. Kewenangan untuk mengatur penggunaan
barang dan jasa medis di masyarakat adalah tugas dariBupati. Namun demikian,
aspek-aspek tertentu dari implementasi kebijakan kolonial berpengaruh pada
pasar medis (khususnya distribusi jamu dan obat tradisional Cina) (Hesselink,
2011:43).
Dibandingkan dengan obat tradisional Cina, jamu memang telah mengalami
penurunan nilai prestise setelah lapisan masyarakatdapat menikmatinya, sebagai
akibat dari publikasi para ahli botani mengenai ragam dan manfaat tanaman untuk
pengobatan. Setelah pengetahuan tentang meramu jamu tersebar luas, muncul
industri jamu rumahan dan penjulan bahan-bahan ramuan jamu. Jamu yang dibuat oleh rumah tangga mulai
berkembang menjadi indusri pada awal tahun 1900(Djojoseputro,
2012).Ketenaran
jamu telah diwariskan dari generasi ke
generasi untuk keperluan kesehatan, perawatan dan treatment. Jamu kemudian
mengalami depresiasi di bawah kekuasaan kolonial, sehingga sebagian masyarakat kelas menengah dan kelas atas
kurang tertarik menggunakan obat-obatan
tradisional ini. Sebagian masyarakat
kelas menengah dan kelas atas memiliki
kecenderungan yang lebih besar dan menggunakan obat-obatan modern, dan
menganggap jamu lebih tepat hanya untuk orang menengah ke bawah (Handayani,
Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001: 48).
Foto
2. Tukang Akar-akar (Penjual dan peracik bahan Jamu) di pasar Tradisional.
Sumber:
tatic-content.springer.com
|
Distribusi jamu
juga dilakukan oleh dukun. Dukun pada
waktu itu memiliki beberapa macam diversifikasi, salah satunya dukun bayi[5]. Dukun bayi tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga memberikan
layanan lainnya. Mereka mengurus wanita sepanjang kehamilan dan memberikan
rekomendasi berdasarkan norma-norma yang harus diikuti secara konsisten. Dukun
bayi juga memberikan ramuan jamu serta pijat untuk menghilangkan rasa lelah. Ramuan
jamu dan pijat khusus diberikan untuk membuat janin terlahir sehat(Handayani, Suparto
dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001: 61).
Foto
3. Wiku di pasar di Yogyakarta sekitar tahun 1910 menyajikan jamu Bagolan, jamu parem yang dijual
dengan gendongan.
Sumber: Vrouwen tijdens de bereiding van jamu
een traditioneel geneesmiddel op de markt te Jogjakarta,1900s Koleksi Tropen Museum, dimuat juga dalam buku Liesbeth
Hesselink (Hesselink, 2011:27)
|
Keturunan para migran Cina (peranakan)yang dibesarkan
oleh ibu dari etnis Jawa, dididik sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal.
Oleh karena itu, mereka akrab dengan
primbon Jawa. Para wanita Cina peranakan juga diajarkan oleh ibu pribumi mengenai
pengetahuan tentang jamu. Pengetahuan tersebut
merupakan pengetahuan empiris masyarakat umum, karena kebanyakan dari
istri-istri para migran Cinaberasal dari latar belakang sosial yang lebih
rendah. Transmisi ajaran dan nilai tradisidari ibu ke anak perempuan dilakukan
secara berkelanjutan di beberapa
keluarga Cina peranakan (Antons, 2009:373).
Posisi orang Cina peranakandiuntungkan oleh hukum kolonial.
Mereka bisa mengkomersialisasi pengetahuan tentang obat herbal kepada
masyarakat secara efektif. Hal ini disebabkan warga Cina peranakan
diklasifikasikan sebagaiwarga 'Timur Asing', dan dengan demikian mereka dibedakan
secara hukum dari warga pribumi. Warga pribumi harus patuh terhadap hukum adat
dan hukum Islam ditambah sistem
hukum kolonial Belanda.[6]
Oleh karena itu, lebih mudah bagi warga etnis
Cina untuk mendirikan sebuah perusahaan di bawah hukum kolonial Belanda.
Perusahaan jamu pertama, Djamoe Industrie
en Chemicalen Handel 'IBOE' Tjap 2 Njonja, didirikan oleh dua wanita
peranakan di Surabaya pada tahun 1910. Mereka mendaftarkan produk mereka dengan merek dagang Djamoe Ibu Tjap 2 Njonja. Perusahaan ini
kemudian berkembang dan berganti nama menjadi PT Jamu
lboe Djaya di akhir abad XX.Perusahaan Jamu yang dikelola Peranakan Cina
setelah tahun 1910an banyak didirikan.Sebagai contoh, pada tahun 1918 dan 1919 perusahaan
Jamu Jago dan Jamu Nyonya Meneermulai memproduksi jamu. Kedua perusahaan tersebut
kemudian tumbuh menjadi pemain utama dalam industri jamu Indonesia (Antons,
2009:373).
Berbeda dengan jamu, peran distributor obat tradisionalCina banyak dilakukan oleh sinshe. Shinshe adalah seorang herbalis Cina yang terampil dalam peracikan obat
tradisional Cina, serta ahli akupunktur dan akupresur. Biasanya ia meramuobat sendiri,
atau menanyakan pasien untuk membuat ramuan obatberdasarkan resep yang
diinginkan. Seorang sinshe tidak
selalu menjadi distributorobat sendiri, ia juga bekerjasama dengan apotek Cinadengan
menggunakan pengantar berupa selembar kertas, seperti halnya resep dokter. Pasien
harus membeli bahan obat tersebut dari apotek Cina (Handayani, Suparto
dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001: 57).
IV. PERSAINGAN JAMU
DENGAN OBAT TRADISIONAL CINA
Orang-orang pribumi bahkan beberapa orangEropatertarik untuk menggunakan
obat tradisional, baik jamu maupun obat tradisionalCina.
Hal ini disebabkan oleh khasiat jamu dalam penyembuhan penyakit di
daerah tropis yang tidak bisa disembuhkan dengan obat modern.Ketertarikan
orang Eropa terhadap jamu dibuktikan dengan adanya penelitian orang-orang Eropa
mengenai Jamu. OrangEropa pertama yang tercatat
sebagai dokter (physician) dalam
sejarah melakukan penelitian tentang jamu adalah Jacobus Bontius.[7] Ia menulis buku yang
berjudul De Medicina Indorum tahun
1642 (Irwanto, 2015: 138). Selama abad kesembilan
belas, para dokter Eropa yang bertugas di Hindia Belanda tertarik dengan jamu, hal
ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyembuhan
penyakit yang mereka temui pada pasien di daerah tropis(Hesselink, 2011:
26-27).
Penjualan jamu dilakukan melalui beberapa cara,
salah satunya yaitu penjualan dari pintu ke pintu. Penjualan dengan cara ini
dilakukan oleh wanita dengan menggunakan
keranjang (bakul) berisi obat-obatan tradisional yang siap untuk dikonsumsi
(Koentjaraningrat 1979: 44). Penjualan
jamu juga dilakukan dengan panggilan, seperti halnya yang dilakukan oleh
tukang ampoh yang merangkap dukun
bayi. Tukang ampoh menjual ramuan ampoh untuk kesehatan janin wanita yang sedang hamil (Zwaan 1910: 126-7).Seluruh
penjual obat tradisional berorientasi pada
pelanggan, sehingga pelanggan bisa memutuskan sendiri mana obat-obatan yang
harus dibeli dan berapa banyak jumlahnya (Hesselink, 2011: 26-28).
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Jamu bukan satu-satunya alternatif pengobatan
pada abad XIX. Jamu sendiri pada perkembangannya mendapat saingan dari obat
tradisional Cina(traditioneleChinese
geneeskunde). Obat tradisional tersebut lebih banyak dilirik karena khasiatnya
yang efektif dalam menyembuhkan penyakit tertentu yang tidak bisa disembuhkan
dengan jamu.Pada perkembangannya, obat tradisional Cina kemudian menjadi
tekenal. Penyebarluasan obat tradisional Cina juga tidak lepas dari peran
akademisi kedokteran Belanda yang mengkajinya. Salah satu contoh kajian
tersebut yaitu mengenai diferensiasi fisiologis dalam konteks kolonial Jawa
1860-1900 yang dikaji oleh dokter A.G.
Vorderman. Ia sangat tertarik dengan pengobatan asli dariTiongkok dan
menerbitkan artikel tersebut (Hesselink, 2011:5).
Keberhasilan orang-orang Cina dalam mengelola obat tradisional Cina tidak
lepas dari pengalaman hidup di Hindia Belanda. Orang–orang Cinamembentuk
kelompok yang agak tertutup terhadap masyarakat lain di Hindia Belanda. Mereka
tidak diizinkan untuk menyewa tanah, sehingga harus bisa mengelola bisnis
dengan cara mereka sendiri.Orang-orangCina memiliki fasilitas medis sendiri, antara lain penyembuh, yang dikenal dengan Sinshe. Di tahun 1840an, mereka memiliki 49 apotek, dan 50rumah sakit,
termasuk di Jakarta dan Semarang. Ada setidaknya 10 apotek Cina di Jakarta, dan
sebuah apotek di Kedu. Orang-orang Cina yang berbisnis di bidang kesehatan mengimpor
obat-obatan, terutama obat herbal, dari Tingkok, wilayah sekitar India dan Arab.
Mereka terkadang membeli bahan obat
herbal dari tukang akar-akar. Pada
tahun 1860 jumlah apotek Cina di Jakarta berkembang menjadi 30 apotek, dan pada tahun 1885, 67 shinsheCina di Karesidenan Jakarta,
sebagian besar membuka praktik pengobatan di Jakarta (Hesselink, 2011:28).
Beberapa Sinsheterkenal
memiliki akses obat-obatan khusus dan kadang-kadang mampu menjual formula dan meraup banyak keuntungan.
E.F. Meijer, petugas kesehatan di Riouw(Riau),
menceritakan kisah seorang pria Cina dari Singapura pada tahun 1855 dan diklaim
mampu mencabutgigi tanpa rasa sakit, bahkan gigi geraham. Banyak pasien yang mengunjunginya.
Meijer memanggil orang tersebut dan membeli rahasianya. Resep yang diberikan
berupa dua jenis bubuk ramuan: satu obat penghilang rasa sakit dan satu lagi
untuk melonggarkan gigi. Kedua obat ini mempermudah sinshe tersebut dalam mencabut gigi (Hesselink, 2011:29).
Seorang Sinshe dalam praktik pengobatan relatif lebih formal. Nama dan jam kerja ditulis di papan luar kliniknya. Sinshelebih banyak membuka praktik
pengobatan di kota-kota besar. Ruang praktik yang digunakanSinshe seperti klinik dokter, lengkap dengan ruang tunggu dan ruang
pemeriksaan. Pengobatan pasien dilakukan menggunakan metode pengobatan
tradisional Cina, yakni dengan anamnesis
(bertanya tentang keluhan dan gejala pasien), dan memeriksa denyut nadi di
kedua pergelangan tangan. Pasien juga diobati dengan metode akupunktur atau
akupresur. Dalam menjual ramuanobat tradisional Cina, sinshe mengenakan biaya berdasarkan harga bahan. Harga yang harus
dibayar pasien lebih tinggi daripada penjual
jamu atau dukun, karena beberapa bahan langsung diimpor dari Tiongkok (Handayani,
Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001:57).
Rivalitas antara Jamu Jawa dengan obat tradisional Cina
Abad XIX hingga XX dapat dibedakan sebagai berikut.
Kriteria Distinctiveness
|
jamu Jawa
(traditionele Javaanse geneeskunde)
|
obat
tradisional Cina
(traditionele Chinese geneeskunde)
|
Harga
|
Baik penjual Jamu
Gendong, tukang rempah-rempah, jamu kemasan dijual dengan harga terjangkau,
karena tidak ada resep khusus, sehingga tidak ada tambahan untuk membayar
konsultasi.
|
Penjualan melalui shinshe dan apoteker mematok harga
yangmahal, karena ada resep khusus
rekomendasi sinshe, sehingga
konsumen dibebani biaya untuk konsultasi. Selain itu dikenakan biaya untuk
bahan-bahan obat yang diimpor dari luar Hindia Belanda .
|
khasiat
|
Jamu siap saji yang
dijual melalui gendongan (oleh Wiku)
memiliki khasiat tidak signifikan, karena diramu untuk pencegahan penyakit dan dikonsumsi
secara umum. Selain itu, tidak ada dosis yang pasti dalam meramu.
Jamu yang dijual
oleh dukun merupakan hasil meditasi spiritual dan pengalaman dukun, bukan
berdasarkan pengamatan yang bersifat ilmiahmutlak, sehingga ramuan jamu yang
diberikan ada yang mujarab dan ada juga yang justru memperparah penyakit.
Jamu yang dijual
oleh Tukang rempah-rempah dan tukang akar –akar memiliki khasiat yang
mujarab, karena mereka ditularkan pengethuan oleh tabib, dukun dan orang-orangyang
memiliki pengalaman dalam mencari bahan-bahan jamu yang diperlukan.
|
Obat tradisional Cina
yang dijual baik oleh shinshe
maupun Apotek Cina memliki khasiat yang signifikan dalam penyakit tertentu
jika dibandingkan jamu, karena sesuai dengan resep dan dosis berdasarkan
pengetahuan tentang pengobatan yang dimiliki oleh shinshe.
|
Ketersediaan bahan
|
Mudah, karena bahan
bahan bisa diperoleh secara lokal. Sebagian besar diambil dari flora dan
fauna di wilayah tropis(khususnya pulau Jawa). Karena kemudahan perolehan
bahan baku, Suplai bahan baku jamu
hampir tidak pernah kosong, baik dari tukang akar-akar maupun tukang
rempah –rempah.
|
Bahan yang digunakan
lebih kompleks, berdasarkan anamesi
dan diagnosis yang dilakukan. Kompleksnya bahan yang digunakan menyebabkan penyediaan
bahan baku sangat susah karena beberapa bahan diperoleh dari Tiongkok, dataran
Arab dan beberapa wilayah di sekitar India.
|
Penyedia bahan
|
Tukang rempah-rempah (pengecer)
Tukang akar akar(grosir)
|
Tukang akar –akar(grosir), Importir bahan
dari Tiongkok, Arab dan wilayah lainnya.
|
Penyebarluasan informasi
dan promosi
|
Melalui tulisan ahli
farmasi Belanda, Kitab serat Centhini, tulisan ahli farmasi Belanda,
|
Penyebarluasan informasidilakukan
melalui tulisan ahli farmasi Belanda, selain itu testimonial pengguna obat
tradisional Cina dari mulut ke mulut.
|
Higienitas
|
Ada yang higienis
dan ada yang kurang higienis. Jamu yang kurang higienis dijual secara bebas di pasar,
didistribusikan oleh tukang rempah rempah
secara bebas, sehingga kebersihan kurang terjaga. Meskipun demikian,
konsumen bisa memilih bahan terbaik sesuai dengan selera mereka.
Jamu yang higienis
dikemas dalam produk siap saji, dengan standar pengolahan yang baik. Jamu
yang higienis biasanya dikembangkan oleh orang-orang Cina peranakan.
|
Lebih
higienis,karenadiracik oleh apoteker Cina
denganprosedur yang ketat dan tertutup, selain itu dikemas dalam bentuk
kering, sehingga konsumen mendapatkan bahan bahan terbaik yang telah disortir
oleh shinshe maupun apoteker.
|
Konsumen
|
Masyarakat pribumi,
semua lapisan mengkonsumsinya, baik masyarakat pribumi golongan bawah ,
menengah maupun golongan atas.
Masyarakat etnis
Tioghoa, terutama peranakan (keturunan dari ibu yang beretnis Jawa).
|
Golongan menengah dan
golongan atas. Hal ini disebabkan oleh
mahalnya tarif yang ditawarkan karena harga disesuaikan dengan ketersediaan
bahan ramuan dan kesulitan dalam mencari bahan obat tradisional tersebut.
|
Kebebasan
konsumen dalam memilih kombinasi produk
|
Konsumen bebas
memilih kombinasi bahan yang disukai, sehingga bisa menyesuaikan harga serta
selera konsumen.
|
Konsumen tidak bisa
memilih kombinasi bahan dari apotek, karena harus sesuai resep shinshe, sehingga harus berdasarkan
rekomendasi shinsheuntuk memilih
alternatif bahan obat lainnya.
|
Aksesibilitas
|
Mudah terjangkau,
karena dipasarkan dari pintu ke pintu (oleh Wiku), selain itu ketersediaan
bahan bahan obat jamu di pasar melimpah.
|
Beberapa apotek Cina
terdapat di kota-kota besar, sehingga susah untuk dijangkau masyarakat
pedesaan.
|
Sumber: olah data dari Hesselink
(2011), Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury, (e.d.). (2001),
Antons(2009) Mann dalam The China Quarterly, No. 23 (Jul. - Sep.,
1965)Boomgaard (1993)
Keunggulan obat
tradisional Cina(traditionele Chinese
geneeskunde)terletak pada kualitas dalam penyembuhan yang ditawarkan jika
dibandingkan dengan jamu Jawa. Kelebihan inilah yang menyebabkan Jamu Jawa kurang
bisa bersaing dengan obat tradisional Cina. Kondisi seperti ini terjadi pada
abad XIX. Pada awal abad XX, jamu bisa bangkit dan memperluas jangkauan
distribusi karena peran orang-orang keturunan Cina yang mampu mengemas jamu
menjadi daya tarik bagi pasar medis (Hesselink, 2011 dan Antons, 2009).
Foto
5. Iklan dalam surat kabar Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen
1909 Sumber: surat kabar Het nieuws
van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen
1909
|
Persaingan
antara Jamu dengan obat tradisional Cina semakin kompetitif terlebih setelah konferensi
kedua Asosiasi Tabib/Mantri Indonesia yangdiadakan di Surakarta, Jawa Tengah,
pada bulan Maret 1940. Konferensi tersebut mempresentasikan khasiat jamu.
Presentasi tersebut memberikan efek
multiplier bagi pengusaha jamu karena efektif sebagai media promosi.
Seiring dengan perkembangan zaman, pada masa pendudukan Jepangtahun 1944,
Komite Jamu Indonesia dibentuk. Selama dekade berikutnya, popularitas jamu
meningkat, walaupun banyak dokterberpendapat ambivalen tentang khasiat dan
perkembangan jamu (Irwanto, 2015:139). Kampanye tentang metode pengobatan
mengenai khasiat jamu dibandingkan
dengan obat modern dari Barat, mengakibatkan jamu semakin unggul. Obat modern bersifat membunuh infeksi,
sedangkan jamu mendorong tubuh memproduksi antibodi sendiri. Dengan kata lain,
jamu bertindak sebagai katalisator dan tidak menggantikan fungsi tubuh. Obatnya
berasal dari dalam.[9]
Hal tersebut berdampak pada beralihnya masyarakat dari obat modern yang dipromosikan
Belanda menjadi menggunakan jamu, sisanya menggunakan pengobatan tradisional Cina.
Peran produsen dalam mengolah
ataupun menawarkan produk jamu Jawa danobat tradisional Cinamemang berpengaruh
terhadappersaingan antara keduanya, namun ada nilai lebih jamu Jawa sehingga konsumen
lebih memilihnya.Nilai lebih tersebut antara lain keterjangkauan harga jika
dibandingkan dengan obat tradisional Cina.Perbedaan mencolok antara obat
tradisional Cina dengan jamu Jawa, yaitu terkait harga yang ditawarkan. Sinshe (peracik Obat tradisional Cina)
memberikan racikan dengan harga yang mahal, sementara tukang rempah-rempahdan Tukang
akar-akar bisa menyesuaikan selera dan kebutuhan serta keterjangkauan harga
yang diinginkan konsumen. Selain itu praktik pengobatan shinshe yang jauh dari pedesaan, mengakibatkan masyarakat lebih
memilih jamu. Hal ini berdampak pada selektifnya masyarakat Hindia
Belanda dalam mempertimbangkan khasiat
dan keterjangkauanpengobatan.(Handayani, Suparto dan
Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001:57) Mereka lebih memilih jamu daripada
membayar mahal untuk obat tradisional Cina(Hesselink, 2011 dan Antons,
2009).
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Persaingan Jamu dan obat tradisional Cina abad XIX dan XX dalam merebut
konsumen di pasar medis tidaklepas dari aktor yang menjalankan bisnis dua komoditas
tersebut. Dampak dari persaingan tersebut bagi masyarakat Hindia Belanda adalahmasyarakat
menjadi lebih selektif dan mempertimbangkan khasiat dan keterjangkauan. Distingsi
yang paling menguntungkan bagijamu ketika bersaing dengan obat tradisional Cinaadalah
bahan bahan yang digunakan. Hampir 100% bahan ramuan yang digunakan untuk
membuat jamu merupakan bahan lokal. Penggunaan bahan baku lokal menyebabkan
Jamu lebih unggul dalam ketersediaan bahan jika dibandingkan dengan obat
tradisional Cina.
Obat tradisional menjadi komoditas pasar medis yang memiliki banyak
konsumen di abad XIX karena orang-orang Cinayang bergerak di bisnis pengobatan herbal (traditionele
Chinese geneeskunde) bisa
melakukan branding
terhadap produk yang ditawarkan. Merekadifasilitasi oleh orang–orang Eropa
dengan promosi melalui tulisan-tulisan. Meskipun demikian, jamu bisa perlahan
mendapat perhatian konsumen karenabrandingyangdilakukan
oleh orang-orang keturunan Cina yang memiliki hak khusus dan dilindungi
pemerintah kolonial. Hal tersebut
mengakibatkan produk-produk jamu kemasan yang mereka buat mampu bersaing dengan
obat tradisional Cina di pasaran.Distingsi lain dari jamu maupun obat
tradisional Cina dalam rivalitas memperoleh pangsa pasar di era kolonial
terletak pada kriteria kebebasan konsumen dalam memilih kombinasi produk. Konsumen
jamu diberikan keleluasaan untuk memilih kuantitas bahan yang ingin digunakan.
Rivalitas jamu dan obat tradisional Cina melibatkan banyak koneksi.
Keterlibatan tukang rempah-rempah
memiliki kontribusi besar dalam
distribusi jamu. Dalam hal ini, tukang
rempah-rempah berperan secara makro. Adapun kontribusi besar dalam
distribusi obat tradisional Cina diperankan oleh shinshe dengan kontribusi memberikan rekomendasi terhadap ramuan
apa saja yang digunakan, kuantitasnya dan juga harga ramuan tersebut.Rendahnya
daya saing jamu abad XIX disebabkan oleh keterlibatan mistisme dan tahayul
dalam pengobatan yang dilakukan dukun yang mengakibatkan orang-orang Euroasia
dan orang Eropa tidak mempercayai dukun.
Ketidakpercayaan kepada dukun sebagai penyembuh berimbas pada konsumsi
jamu ramuan dukun yang kurang diminati. Selain itu, higienitas ramuan jamu oleh
dukun sangat rendah. Kehati-hatian dan kejelian konsumen inilah yang
menyebabkan mereka lebih memilih tabib atau shinshekarena
lebih ilmiah dan mempertimbangkan aspek kebersihan. Namun hal tersebut berubah
ketika pebisnis jamu yang memiliki competitive
advantagedalam mengolah jamu mengemas jamu sebagai obat herbal dalam bentuk instan
yang mudah dijumpai. Kreativitas dalam mengemas jamu tersebut berdampak pada
rendahnya biaya yang harus dikeluarkan konsumen jika dibandingkan dengan
membeli obat tradisional Cina di Apotek.
B. Saran
Jamu dan obat
tradisional Cina adalah warisan budaya yang dimiliki Indonesia dan menjadi
cirikhas (indigenous) yang dimiliki Indonesia, sudah sepatutnya dijaga.
Untuk itu, perlu kerjasama antar instansi guna menyelenggarakan workshop tentang kedua obat tradisional
ini serta kegiatan dan sosialisasi agar masyarakat gemar menggunakan obat
tradisional. Selain itu, inventarisasi
terhadap jenis pengobatan tradisional di Indonesia sudah sepatutnya
diinternalisasikan untuk generasi muda agar mereka menjadi generasi yang sehat
serta tidak memiliki ketergantungan terhadap obat-obat berbahan kimia.
Higienitas serta branding jamu perlu
diangkat untuk meningkatkan daya saing jamu di pangsa pasar global. Jika hal
ini bisa tercapai, Indonesia
akan unggul dalam ketahanan kesehatan serta memiliki produk kesehatan unggulan
yang bisa diterima secara global.
Daftar Pustaka
Arsip :
Vrouwen tijdens de bereiding van jamu een
traditioneel geneesmiddel op de markt te Jogjakarta,1900s, koleksi foto Tropen Museum
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij
tot Expl. van Dagbladen, 11 September 1909
Buku
Antons, C. 2009. Traditional
Knowledge, Traditional Cultural Expressions, and Intellectual Property Law in
the Asia-Pacific Region. Alphen: Kluwer Law International
Boomgaard, P. 1993. “The Development of Colonial Health Care in Java”
dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993), pp. 77-93
___________. 2007. Syphilis, Gonorrhoea, Leprosy and Yaws In The
Indonesian Archipelago, 1500-1950. MANUSYA:
Journal of Humanities, Special Issue No.14, 2007
Dahles, H.
2013. Tourism, Heritage and National
Culture in Java: Dilemmas of a Local Community. Cornwall: Routledge
Djojoseputro, S. 2012. Resep dan
Khasiat Jamu Tradisional Nusantara. Surabaya: Liris.
Hesselink, L.2011.
Healers On The Colonial Market Native
Doctors And Midwives In The Dutch East Indies.Leiden: KITLV Press.
Handayani, L., Haryadi Suparto and Agus Suprapto. “Traditional System
of Medicine in Indonesia”, dalam
Chaudhury, Ranjit Roy, Uton Muchtar Rafei (e.d.). 2001. Traditional Medicine in Asia. New Delhi:
World Health Organization.
____________, Suharmiati, 2012. Cara
Benar Meracik Obat Tradisional. Jakarta: AgroMedia
Irwanto, D.
2015. Atlantis: The Lost City is in Java
Sea. Jakarta: Indonesia Hydro Media
Gatra, Volume 12, Era Media
Informasi, 2006, halaman 98
Kilduff, G. J., et.al. The Psychology Of Rivalry: A Relationally Dependent Analysis Of
Competition dalam Academy of Management
Journal,2010, Vol. 53, No. 5, 943–969
Koentjaraningrat. 1979. ‘Javanese magic, sorcery and numerology’
dalam Masyarakat Indonesia 6-1:37-53.
Liu, W. J.H.. 2011. Traditional
Herbal Medicine Research Methods: Identification, Analysis, Bioassay, and
Pharmaceutical and Clinical Studies.New Jersey: John Wiley & Sons.
Mann, F. 1965. Chinese Traditional Medicine: A Practitioner's View
dalam The China Quarterly, No. 23 (Jul. -
Sep., 1965), pp. 28-36
Susan, J. B. 2013. Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal
Healing: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing. De Hague: Tuttle
Publishing.
Tilaar, M.1999. Kecantikan Perempuan
Timur. Jakarta: Indonesia Tera
Waitz, F. A. C. 1829. Praktische
Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen, Welke Niet Alleen Vele
Uitheemsche Medicamenten, Die Thans Nog Van Europa Naar Java Moeten Worden
Overgezonden, Kunnen Vervangen, Maar Dezelve Ook Tegen Eenige Ziekten Op Het
Eiland Java Heerschende, In Werkzaamheid Overtreffen, Volume 1. Amsterdam:
C.G.Sulpke.
Wasito, H. 2011. Obat
Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Zwaan, J.P.K.1910. De Geneeskunde
der Menangkabau-Maleiers: Ethnologische Studie. Amsterdam: Meulenhoff.
Internet
bhumihusadacilacap.blogspot.com, diakses tanggal 10 September 2015, pukul
13.00.
tatic-content.springer.com, diakses tanggal 13 September, pukul 21.00.
kitlv.nl, diakses tanggal 22 September 2015 pukul 09.00.
Artikel ini telah diterbitkan di Jurnal Patrawidya, Volume 16, No.4, Desember 2015
[1]Penulis
menggunakan kata Cina karena dalam literatur kolonial disebut dengan Chinese (Cina). Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada etnis Tionghoa, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor
12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967,
penggunaan istilah Cina lebih kepada rujukan literatur yang penulis
gunakan.
[2]
Dijelaskan bahwa alat alat untuk membuat
jamu masih sederhana. Penjelasan tersebut terdapat dalam artikel “Ada Dua Relief Tentang Jamu di
Borobudur” Republika .co.id , lihat juga Heidi Dahles dalam bukunya“Tourism,
Heritage and National Culture in Java: Dilemmas of a Local Community“ ( Dahles,
2013: 161), lihat juga Gatra. (Gatra Volume 12, 2006:98)
[3]Hal
ini dijelaskan Christoph Antons (2009:300). Lihat juga Hendri Wasito (2011: 3)
[4]Wawancara
Muttaqin, Cirebon, 2 Okt 2015
[5]Orang-orang jawa
menyebutnya dukun bayi, sedangkan orang sunda menyebutnyaparaji.
[6]Sistem
administrasi publik di Hindia Belanda khususnya di vorstenlanden menganut sistem tidak langsung, sehingga regulasi
mengacu pada hukum kolonial dan hukum adat.
[7]Dikenal juga dengan Jacob
Debont, berprofesi sebagai dokter di Batavia.
[8]
Lihat gambar iklan jamu dalam surat kabar Het
nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen
1909
[9]Hasil wawancara Susan dan Jane
Beers dengan seorang yang berprofesi sebagai penyembuh orang-orang Belanda di
Hindia Belanda . (Susan & Beers, 2013)
Komentar