Langsung ke konten utama

RIVALITAS JAMU JAWA DAN OBAT TRADISIONAL CINA ABAD XIX - AWAL ABAD XX





Indra Fibiona, Siska Nurazizah Lestari

Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta

Universitas Nasional PGRI, Kediri




ABSTRAK

Jamu Jawa atau obat tradisional Jawa sebagai warisan budaya mengalami tekanan setelah obat tradisional Cinasemakin populer di Hindia Belanda . Keduanya saling berkompetisi dalam dunia kesehatan di Hindia Belanda  pada abad XIX dan XX.Rivalitas keduanyabelum banyak dikaji, dan sangat  menarik jika bisa diteliti lebih dalam. Tulisan ini merupakan penelitian kualitatif yangberasal dari penelitian kolektif mengenai Jamu yang digagas atas inisiatif bersama untuk melengkapi penelitian tentang jamu sebelumnya. Penelitian ini juga termasuk dalam  penelitian sejarah sosial dengan analisis menggunakan metodologi sejarah sosial.  Hasil penelitian menunjukan bahwa Jamu Jawa (traditionele Javaanse geneeskunde)kurang memiliki daya saing dalam beberapa hal jika dibandingkan dengan Obat Tradisional Cina(Traditionele  Chinese Geneeskunde). Kurangnya daya saing tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya  sistem distribusi dan brandingjamu yang belum bisa meraih pangsa pasar potensial. 

Kata Kunci : Jamu, obat tradisional, obat herbal



RIVALRY JAMU JAWA AND TRADITIONAL CHINESE[1] MEDICINE  IN XIX -THE BEGINNING OF XX CENTURY



ABSTRACT

Jamu Jawa or Javanese traditional medicine as a heritage inherited under pressure after the traditional Chinese medicine are increasingly popular in the Dutch East Indies. Both of them competing in the world of health in the Dutch East Indies in  the XIX and XX century. Rivalry of both has not been widely discussed, it's very interesting if it can be studied further. This paper is a qualitative research derived from collective research on herbs that was initiated on a joint initiative to complement previous research about traditional herbal medicine.The study alsoincluded inthe studywith an analysisof socialhistoryusingthe methodologyof socialhistory. The results showed that Jamu Jawa (Traditionele Javaanse Geneeskunde) lack of competitiveness in some respects when compared with Traditional Chinese medicine (Traditionele Chinese Geneeskunde). The lack of competitiveness caused by several factors, including the distribution system and Jamu’s branding have not been able to gain potential market share.

Keywords: Jamu, Traditional medicine, herbalmedicine





I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jamu  berasal dari bahasa Jawa Kuno “jampi” atau “usada” yang berarti penyembuhan yang menggunakan ramuan obat-obatan maupun doa-doa dan ajian-ajian. Pada abadke 15-16 M, istilah usada jarang digunakan, sedangkan istilah jampi semakin populer di kalangan elit keraton. Jamu kemudian mulai diperkenalkan pada publik oleh peracik jamu, seorang “dukun” atau tabib pengobatan tradisional(Djojoseputro, 2012:3). Jamu merupakan  obat tradisional di Hindia Belanda , didominasi oleh  obat berjenis herbal yang dibuat dari bahan-bahan alami, seperti akar tanaman, umbi, kulit kayu, bunga, biji, daun dan buah-buahan. Bahan-bahan lain yang digunakan dalam  ramuan jamu antara lain hasil ternak seperti madu, susu, telur ayam kampung hingga minyak hewani lainnya (Irwanto, 2015:138).


Foto 1. Salah satu relief Candi borobudur yang yang menggambarkan tentang konsumsi jamu.
Sumber: bhumihusadacilacap.blogspot.com
Jamu Jawa (traditionele  Javanesche geneeskunde) memiliki bahan bahan organik yang mudah didapat. Kegiatan mengkonsumsi jamu oleh masyarakat jawa banyak dijumpai sejak tahun 1200 Masehi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya relief di candi Borobudur yang menggambarkan tentang konsumsi ramuan obat  tradisional masyarakat Jawa (jamu).Ada dua panel relief yang umumnya diterjemahkan sebagai gambaran orang sedang membuat jamu. Satu relief tentang orang membuat jamu di panel 19 relief Karmawibangga, yang letakknya di dinding dasar candi bagian tenggara. Relief yang antara lain menggambarkan orang sedang menumbuk dengan alat tumbuk jamu, bercerita tentang ungkapan syukur atas kesembuhan seseorang dari sakitnya. Relief tentang jamu lainnya di Candi Borobudur terletak di sudut lorong pertama, sisi utara, dinding utama bawah, tepatnya di dekat relief kapal. Relief itu menggambarkan seorang perempuan memegang batu giling atau pipisan dengan di atasnya berupa relief rumah panggung.[2]
Pengobatan tradisional di Jawa  banyak didokumentasikan oleh kalangan bangsawan untuk warisan pengetahuan. Jamu digunakan oleh golongan elit selain untuk pengobatan juga untuk perawatan tubuh serta memelihara kecantikan. Masyarakat umumnya menggunakan jamu hanya untuk pengobatan karena keterbatasan pengetahuan (Tilaar,1999:18).Pengetahuan empiris tentangjamu yang diwariskan secara lisan lebih mengedepankan  pada informasi mengenai bahan-bahan untuk campuran obat herbal. Berbeda dengan obat modern, yang berasal dari penelitian ilmiah untuk mengobati penyakit.Fokus dari sistem penyembuhan tradisional Jawa adalah menganalisis hubungan antara orang dan lingkungan mereka.Pengetahuan ini  berdasarkanprimbon Jawa(Antons, 2009:300).

            Menurut kosmologi Jawa, sakit merupakan hasil dari ketidakseimbangan dalam hubungan dengan lingkungan. Oleh karena itu, sebagian orang Jawa berpendapat bahwa untuk menyembuhkan penyakit seseorang, dibutuhkan lebih dari sekedar pengetahuan tentang jamu, yaitu harus disertai dengan doa dan ritual tertentu. Orang di Jawa umumnya percaya bahwa banyak dari resep kuno tentang jamu diterima oleh dukun dengan  wahyu mistis melalui mimpi dan meditasi.  Banyak yang menganggap penyembuhan tradisional Jawa adalah ritual suci, dalam hal ini mistisisme dan sihir memainkan peran integral dalam perkembangan jamu(Antons, 2009:300).

Berdasarkan pemahaman orang Jawa, yang menjaga pengetahuan tentang pengobatan tradisional secara turun temurun  adalah keraton. Banyak orang Jawa percaya bahwa keluarga kerajaan Jawa telah mendapatkan pengetahuan tentang obat tradisional melalui wahyu ilahi. Ada beberapa buku penting terkait penyembuhan tradisional yang disimpan di keraton, baik keraton Yogyakarta, Surakarta maupun Cirebon, antara lain Lontar Husada (Buku Penyembuhan), Serat Kawruh bab jampi-jampi (buku yang membahas hampir semua carapengobatan), Serat Primbon Jampi, Serat Racikan Boreh Wulang Dalem dan Serat Centhini (Kitab Centhini) yang  berisi informasi tentang pengetahuan agama, spiritual dan penyembuhan secara mistis[3],  dan Kitab Tetamban di Keraton Cirebon.[4]

Seiring berjalannya waktu, pengetahuan pengobatan tradisional jamu yang semula hanya dikenal dilingkungan keraton menyebar hingga ke luar keraton. Beberapa peracik jamu keraton mengajarkan resep racikan jamu kepada masyarakat secara lisan.  Meskipunresep ramuan jamu keluarlingkungan istana, resep tersebut masih digunakan pada lingkungan terbatas.Penyebaran pengetahuan tentang pengobatan menggunakan jamu terjadi pada masa Kerajaan Mataram Islam.Pada saat itu muncul wiku, orang pintar yang membuat ramuan dari tumbuh tumbuhan yang kemudian dijajakan dengan cara dipikul atau digendong (Djojoseputro, 2012: 2).

Pengobatan  tradisional di Nusantara (khususnya Jawa) pada periode pra-modern merupakan dasar dari praktik pengobatan (metode penyembuhan) abad XIX dan abad XX, yang biasanya disebut sebagai jamu atau obat tradisional. Obat tradisional Indonesia, termasuk unsur-unsur animisme dan perdukunan, bersaing dengan metode pengobatan lain, seperti  Ayurvedic (India), Obat Tradisional Cina dan Unani (Islam) (Boomgaard dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)). Jamu bukan satu satunya obat tradisional yang berkembang di kala itu. Di antara metode pengobatan lainnya, jamu di Hindia Belanda  bersaing ketat dengan obat tradisional Cina.Orang –orang Cina memiliki sistem pengobatan jauh sebelum munculnya pengobatan ilmiah yang berkembang di Barat. Buku pertama pengobatan tradisional Cina ditulis oleh Su Wen Nei Ching sekitar tahun 300 Sebelum Masehi.Sistem pengobatan tradisional Cina berdasarkan  pengalaman pengobatan  yang ada di masyarakat,  tidak hanya menjelaskan  metafisik semata. Ramuan pengobatan yang dihasilkan  sebagian besar merupakan hasil dari pengamatan. Banyak gejala penyakit yang dijelaskansecaradetail dengan solusi penyembuhannya  dalam buku teks pengobatan tradisional Cina (Mann, dalam The China Quarterly, No. 23 (Jul. - Sep., 1965), pp. 28-36).Obat tradisional yang dibawa bersama migrasi orang-orang Cina ke asia Tenggara. Pengetahuan akan obat tradisional di kalangan Cina didukung dengan inventarisasi obat yang komprehensif, sehingga obat-obatan yang digunakan sesuai dengan dosis dan diagnosis.

Sebenarnya beberapa jenis pengobatan tradisional,  tabib serta dukun di Hindia Belanda   menjadi objek penelitian antropologi sistematis. Selama abad ke-19, literatur medis di Indonesia khususnya di Jawa, mengkaji studi kasus pasien, deskripsi spesifik penyakit 'tropis', terutama epidemi, dan 'topografi medis'. Pada akhir XIX,  studi terhadap  praktik pengobatan tradisional mengalami kenaikan yang signifikan. Studi tersebut dilakukan oleh misionaris, dokter dan etnolog, yang memuncak antara tahun 1900 dan 1925. Pada 1915,studi komprehensif mengenai  obat 'tradisional'  (jamu) mulai intensif dilakukan (Boomgaard dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)).Sementara itu, kajian mengenai rivalitas antara obat tradisional Jawa (jamu) dengan Obat Tradisional Cinaserta orang-orang yang terlibat di dalam bisnis keduanyabelum pernah dikaji secara komprehensif. Hal ini akan sangat menarik jika digali lebih dalam.

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan utama yang ingin diungkap dalam penelitianini adalah bagaimana rivalitas jamu Jawa dengan Obat tradisional Cina dan dampaknya bagi masyarakat Hindia Belanda? Dari pertanyaan utama, diuraikan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan untuk menganalisis pertanyaan utama, antara lain apa saja distingsi yang dimiliki jamu maupun obat tradisional Cina dalam rivalitas memperoleh pangsa pasar di era kolonial?Siapa saja yang terlibat dalam kompetisi rivalitas jamu dan obat tradisional Cina? Bagaimana competitive advantage tiap pebisnis jamu maupun obat tradisional Cina untuk branding pada masyarakat kala itu? Faktor apa saja yang mempengaruhi daya saing keduanya?

Lingkup kajian dalam penelitian ini mencakup lingkup spasial di wilayah Jawa, baik Jawa Barat (termasuk Batavia), Jawa Tengah (termasuk daerah Vostenlanden), dan Jawa Timur di mana kebiasaan meminum jamu banyak dijumpai. Selain itu, penyembuh dan pembuat jamu di daerah ini banyak memberikan pelayanan pengobatan, baik kepada orang pribumi maupun orang-orang Eropa. Lingkup temporal yang dipilih adalah abad XIX dan XX. Abad XIX dipilih karena interaksi antara orang pribumi dengan orang Eropa secara intensif mulai terlihat. Interaksi antara orang-orang pribumi modern dengan shinshe juga terlihat pada periode tersebut. Pada periode ituah yang dirasa penting untuk bisa diungkap tentang rivalitas jamu dan obat tradisional Cina. Abad XX, dipilih karena eksistensi jamu di masyarakat semakin dikenal sebagai dampak diadakannya konferensi tentang jamu dan juga dibentuknya Komite Jamu Indonesia (Irwanto, 2015:139).

B. Metode Peneltian dan Kerangka Berpikir

Penelitian ini didasarkan pada hasil penelitian tentang jamu sebelumnya, terutama penelitian Hesselink yang membahas perbedaan obat tradisional di Hindia Belanda. Penelitian ini mengkaji tentang rivalitas obat tradisional, sehingga historiografi dari penelitian ini  disusun sesuai kaidah sejarah dengan tema sejarah sosial ekonomi. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan ilmu-ilmu sosial  dalam proses analisis untuk mendapatkan hasil rekonstruksi yang valid. Penelitian yang dilakukan berfokus pada pencarian arsip, studi pustaka dan  sumber lisan untuk menggali informasi yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan objek kajian penelitian. Studi pustaka dilakukan dengan penelusuran sumber primer dan sekunder untuk menggali informasi terkait penggunaan jamu dan obat tradisional Cina oleh masyarakat Hindia belanda, serta rivalitasnya. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan wawasan dan sumber-sumber yang berkaitan dengan tema penelitian. Data dokumen dianalisis untuk mengungkap informasi dari dokumen, laporan-laporan resmi, buku-buku yang relevan dengan tema yang diusung dalam penelitian ini.

Ada beberapa penelitian yang mengungkapkan tentang jamu di Hindia Belanda , antara lain penelitian Friedrich August Carl Waitzdi tahun 1829 yang berjudul “Praktische waarnemingen over eenige Javaansche geneesmiddelen” (Praktik Observasi dariBeberapa Meditasi Jawa). Pada penelitiannya, iamenjelaskan tentang jenis obat-obatan herbal (jamu) dan penggunaannya di Jawa. Penelitiannya lebih fokus pada farmasi, dan hanya sedikit menyinggung distribusi obat obatan tradisional oleh orang-orang pribumi dan pengobatan tradisional Cina.

Penelitian lainnya yang terkait jamu dan rivalitasnya dengan obat tradisional Cina dilakukan oleh Liesbeth Hesselink (2011). Penelitian yang dibukukan dengan judul Healers on the Colonial Market Native Doctors and Midwives in the Dutch East Indiesmemuat tentangrekonstruksi mengenai penjualan obat tradisional di Hindia Belanda  dan praktik penyembuhan yang dilakukan oleh dokter Jawa. Tidak ada pembandingan komprehensifantara obat tradisional Cina dengan Jamu Jawa dalam penelitian tersebut.

Kerangka konseptual (logical framework) yang dibangun dalam  penelitian ini yaitu membandingkan dua komoditas yang dipengaruhi oleh jaringan serta aktivitas manusianya. Oleh karena itu,penelitian ini menggunakan pendekatan teori rivalitas antara dua hal yang  dipengaruhi oleh interaksi dan aktivitas manusia yang menentukan keunggulan masing-masing komoditas. Penelitian mengenai jaringan di pasarmerujuk pada  persaingan antara kelompok yang memiliki  persamaan struktural  seperti sejauh mana mereka melakukan transaksi dengan pemasok serta  konsumen yang sama (Burt dalam Kilduff, et. al, 2010). Selain itu juga menggunakan hubungan sebab akibat dalam mengungkap dampak dari rivalitas jamu dan obat tradisional Cina bagi masyarakat. Sebelumnya, perlu diperhatikan bahwa jamu memiliki 2 jenis antara lain jamu yang digunakan untuk menjaga kesehatan (promotif/preventif) dan untuk mengobati penyakit (kuratif) (Handayani dan Suharmiati, 2012:12-15). Dari cara menggunakannya, jamu juga digolongkan menjadi  2jenis  antara lain melaluimulut atau dikonsumsi (oral) dan luar (topical/external use) (Liu, 2011:28-39). Rivalitas yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah jamu jenis kuratif dan yang ditujukan untuk konsumsi (baik oralmaupun topical) diperbandingkan dengan obat tradisional Cinayang sejenis. Secara garis bersar, penelitian ini ingin mengungkapkan mengenai  rivalitas daya saing  jamu dengan obat obatan tradisional Cina,orang-orang yang terlibat serta competitive advantagesdalam persaingan bisnis kedua obat tradisional tersebut,  sehingga bisa mengungkap kekurangan dan kelebihan masing-masing.



II. PENGGUNAAN JAMU DAN OBAT TRADISIONAL CINA DI JAWA 

Pulau Jawa yang notabene berada di daerah tropis, memiliki endemi penyakit yang berbeda dengan daerah di Eropa yang beriklim sub tropis. Penyakit di daerah tropis lebih sulit didiagnosis  karena  perbedaaniklim (Boomgaard dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)).Namun thesis ini tidak sepenuhnya benar dan dibantah  oleh W. Bosch. Kelangkaan dan naiknya pemenuhan  kebutuhan dasar, terutama bahan makanan pokok, seperti beras dan bahan makanan lainnya, menjadi salah satu penyebab penyebaran penyakit, pendapat tersebut tampaknya diperkuat dengan bukti kondisi kesehatan orangEropa, Cina dan pembantu mereka yang terhindar epidemi (Bosch dalam Hesselink, 2011: 67).

Terlepas dari pernyataan  tersebut, pada akhir abadke-19, ilmu medis modern mulai berkembang di Hindia Belanda  karena epidemi khususnya di Jawa juga meningkat. Hampir semua dokterEropadi Hindia Belanda memperbarui pengetahuan mereka terutama tentang bakteri dan kumanpenyakit dalam ilmu medis. Di sisi lain, mereka kurang peduli terhadap orang-orang Hindia Belanda yang  masih melakukan penyembuhan dengan metode mengusir gangguanroh-roh jahat.

Dukun dan tabibdi Hindia Belanda selain memiliki pengetahuan tentang obatlokaldan herbal (jamu), terkadang juga masih menggunakan penyembuhan dengan metode mengusir  gangguanroh-roh jahat. Hal ini dipandang  negatifolehbanyak ahli medis dan sebagian masyarakatEropa. Dukun dan tabib dianggappenipuyang berkedok penyihirkarena masih menggunakan takhayul dalam pengobatan(Boomgaard dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993)).Perilaku dukun dan tabib tersebut menyebabkan orang – orang Eropa kemudian tidak suka dengan jamu yang diramu oleh dukun.

Pada dasarnya, hampir semua penduduk di Hindia Belanda (terutama di Jawa) merupakan  konsumen dari produk dan jasa dari pasar medis. Komposisi  jumlah penduduk Hindia Belanda   menurut perkiraan dari tahun 1850 yaitu 9,5 juta jiwa penduduk Jawa (dan Madura)  dan  10,5 juta jiwa penduduk di  luar Jawa. Di Jawa dan Madura saja terdapat  keberagaman kelompok etnis dalam populasi, yaitu Jawa, Sunda, Madura, Cina, Arab, Melayu danEurasia. Kelompok-kelompok ini berbicara dengan bahasa yang berbeda dan memiliki agama serta pengetahuan tentang kesehatan, penyakit dan pengobatan sesuai etnis masing-masing. Paradigma agama dan dunia menentukan klasifikasi kesehatan dan penyakit sesuai dengan penanganannya. Jika orang tidak menganggap sesuatu penyakit, mereka tidak mungkin untuk mencari pengobatan atau menggunakan produk/jasa dari pasar medis (Hesselink, 2011:2).

Sebagian masyarakat Eropa yang bekerja sebagai dokter dan ahli medis di Jawamenggunakan obat herbal (baik jamu maupun obat tradisional Cina) sebagai alternatif untuk mengatasi penyakit.  Tahun 1860-an hingga1880-an, penduduk Eurasia Eropa dan pribumi di Jawa banyak menggunakan obat tradisional (jamu) dalam penyembuhan penyakit. Wanita Eurasia yang dikenal dengan sebutan  'Nyonya', Nyonya van Blokland, dan 'Nyonya' van Gent, menulis buku - dalam bahasa Melayutentang  obat-obatan Jawa (jamu)  dan praktik penyembuhan untuk awam. Tulisan tersebut disambut baik oleh pembaca dan dicetak lebih dari tiga edisi. Setelah tahun 1900 Kloppenburg juga menulis buku tentang  obat-obatan Jawa (jamu)  dan praktik penyembuhandalam bahasa  Belanda, berhasil populer dan dicetak beberapa edisi (Kloppenburg dalam Boomgard, 1993).Dokter Eropa yang bekerja di Hindia Belanda menyatakan  bahwa selama lebih dari satu dekade, awal abad XX,  penduduk Eropa dan Eurasia banyak  mengandalkan buku-buku tentang jamu dan penyembuh dari golongannon pribumi daripada dokter Eropa (Weller dan Eerland dalam Boomgard, 1993). Hal tersebut berkaitan dengan keterbatasan jumlah dokter Eropa. Namun, bagi keluarga Euroasia dan Eropayang tinggal di Indonesia selama beberapa generasi, obat Eropadianggapasing dan kurang disukai.Penduduk asli Jawa ragu-ragu untuk memanfaatkan jasa dokter Eropa (Breitenstein, Vermeer dan  Woller dalam Boomgard, 1993).

 Berbagai faktor yang mempengaruhi minimnya penggunaan obat Eropa  diantaranya  obat Eropa tidak memiliki kemampuan seperti jamu atau obat tradisional Cinayang bisa menyembuhkan berbagai penyakit, sekaligus sebagai  vaksinasi berbagai penyakit, salah  satunya cacar  pada tahun 1900an. Kedua, pertimbangan faktor ekonomi (kemampuan daya beli masyarakat). Dokter dan rumah sakit Eropa terletak jauh dari pemukiman  masyarakat pribumi, dan biaya dan obat-obatan cenderung  mahal. Ketiga, hambatan psikologis, seperti sebagian besar fakta yang menyatakan bahwa pasien harus meninggalkan desa dan keluarga, dan harus percaya ketika ditangani oleh ahli medis asing (dokter dan ahli medis Eropa), padahal ahli medis tersebut dianggap sebagai bagian dari aparatur  kolonial. Selain itu, masyarakat pribumi (orang Jawa) masih memiliki mindset bahwa  sakit merupakan pengaruh dari roh jahat, sehingga mereka lebih memilih untuk berobat ke  dukun yang bisa dipanggil ke rumah. Di lain pihak, dokter Eropa dan shinshesebagian besar tidak menerima layanan panggilan. Pelayanan medis yang ditawarkan  kemudian mengalami perubahansetelah tahun 1900an. Shinse dan dokter modern mulai menerima layanan panggilan. Perubahan pelayanan tersebut menyebabkan obat tradisional Cina bisa lebih luas dijangkau masyarakat Hindia Belanda dengan bantuan shinshe(Vermeer dan  Peveelli dalam Boomgard, 1993).

III. PEBISNIS JAMU DAN OBAT TRADISIONAL CINA SERTA PANGSA PASARNYA

Pasar dengan barang dan jasa medis dipengaruhi oleh adat dan agama sebagai faktor sosio-budaya dan  dipengaruhi juga oleh beberapa aspek kebijakan kolonial sebagai faktor sosio-ekonomi. Pasokan dan permintaan di pasar medis ditentukan oleh kedua faktor tersebutpada batas tertentu. Pemerintah kolonial tidak banyak mengintervensi dalam hal yang terkaitdengan kesehatanmasyarakat. Hal ini disebabkanHindia Belanda  menganut sistem administrasi tidak langsung, khususnya di daerah Vorstenlanden. Kewenangan untuk mengatur penggunaan barang dan jasa medis di masyarakat adalah tugas dariBupati. Namun demikian, aspek-aspek tertentu dari implementasi kebijakan kolonial berpengaruh pada pasar medis (khususnya distribusi jamu dan obat tradisional Cina) (Hesselink, 2011:43).

Dibandingkan dengan obat tradisional Cina, jamu memang telah mengalami penurunan nilai prestise setelah lapisan masyarakatdapat menikmatinya, sebagai akibat dari publikasi para ahli botani mengenai ragam dan manfaat tanaman untuk pengobatan. Setelah pengetahuan tentang meramu jamu tersebar luas, muncul industri jamu rumahan dan penjulan bahan-bahan ramuan jamu.  Jamu yang dibuat oleh rumah tangga mulai berkembang menjadi indusri pada awal tahun 1900(Djojoseputro, 2012).Ketenaran jamu  telah diwariskan dari generasi ke generasi untuk keperluan kesehatan, perawatan dan treatment.  Jamu kemudian mengalami depresiasi di bawah kekuasaan kolonial, sehingga sebagian  masyarakat kelas menengah dan kelas atas kurang  tertarik menggunakan obat-obatan tradisional ini. Sebagian  masyarakat kelas menengah dan kelas atas  memiliki kecenderungan yang lebih besar dan menggunakan obat-obatan modern, dan menganggap jamu lebih tepat hanya untuk orang menengah ke bawah (Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001: 48).


Foto 2. Tukang Akar-akar (Penjual dan peracik bahan Jamu) di pasar Tradisional.
Sumber: tatic-content.springer.com
Distribusi jamu dilakukan oleh beberapa agen, salah satunya adalah tukangrempah-rempah, yang merupakan ahli jamu. Merekatidak hanya menawarkanobat-obatanyang dijualtetapi memberikaninstruksi untukpenggunaannya. Tukang rempah-rempahsering membeli bahanjamudarigrosir Cina yang berkecimpung dalam bisnis jamu. Selain itu, tukang rempah-rempah jugasering mendapatkan bahan jamu daritukangakar-akar.Adapun yang berperan penting dalam distribusi jamu adalah Tukang akar-akar, karena merekamencaribahan-bahan herballangsung dari hutandan menjualnya, sebagian besarketukangrempah-rempah, di samping itumerekajuga menjualnya sendiridi pasar (Hesselink, 2011:26).
Distribusi jamu juga dilakukan oleh dukun. Dukun  pada waktu itu memiliki beberapa macam diversifikasi, salah satunya dukun bayi[5]. Dukun bayi tidak hanya membantu persalinan, tetapi juga memberikan layanan lainnya. Mereka mengurus wanita sepanjang kehamilan dan memberikan rekomendasi berdasarkan norma-norma yang harus diikuti secara konsisten. Dukun bayi juga memberikan ramuan jamu serta pijat untuk menghilangkan rasa lelah. Ramuan jamu dan pijat khusus diberikan untuk membuat  janin terlahir sehat(Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001: 61).



Foto 3. Wiku di pasar di Yogyakarta sekitar tahun 1910 menyajikan  jamu Bagolan, jamu parem yang dijual dengan gendongan.
Sumber: Vrouwen tijdens de bereiding van jamu een traditioneel geneesmiddel op de markt te Jogjakarta,1900s Koleksi Tropen Museum, dimuat juga dalam buku Liesbeth Hesselink (Hesselink, 2011:27)

Selain tukang rempah-rempah, distribusi jamu untuk kelas menengah ke bawah dilakukan juga oleh penjual jamu gendong (wiku). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penjual jamu gendong banyak mempelajari resep jamu secara turun-temurun dari leluhurnya yang belajar meramu jamu kepada paraperamu jamu keraton.


Keturunan  para migran Cina (peranakan)yang dibesarkan oleh ibu dari etnis Jawa, dididik sesuai dengan nilai-nilai budaya lokal. Oleh  karena itu, mereka akrab dengan primbon Jawa. Para wanita Cina peranakan juga diajarkan oleh ibu pribumi mengenai pengetahuan tentang jamu. Pengetahuan tersebut merupakan pengetahuan empiris masyarakat umum, karena kebanyakan dari istri-istri para migran Cinaberasal dari latar belakang sosial yang lebih rendah. Transmisi ajaran dan nilai tradisidari ibu ke anak perempuan dilakukan secara berkelanjutan di  beberapa keluarga Cina peranakan (Antons, 2009:373).

Posisi orang Cina  peranakandiuntungkan oleh hukum kolonial. Mereka bisa mengkomersialisasi  pengetahuan tentang obat herbal kepada masyarakat secara efektif. Hal ini disebabkan warga Cina peranakan diklasifikasikan sebagaiwarga 'Timur Asing', dan dengan demikian mereka dibedakan secara hukum dari warga pribumi. Warga pribumi harus patuh terhadap hukum adat dan  hukum Islam ditambah sistem hukum  kolonial Belanda.[6] Oleh  karena itu, lebih mudah bagi warga etnis Cina untuk mendirikan sebuah perusahaan di bawah hukum kolonial Belanda. Perusahaan jamu pertama, Djamoe Industrie en Chemicalen Handel 'IBOE' Tjap 2 Njonja, didirikan oleh dua wanita peranakan di Surabaya pada tahun 1910. Mereka mendaftarkan  produk mereka dengan merek dagang Djamoe Ibu Tjap 2 Njonja. Perusahaan ini kemudian berkembang dan berganti nama menjadi  PT Jamu lboe Djaya di akhir abad XX.Perusahaan Jamu yang dikelola Peranakan Cina setelah tahun 1910an banyak didirikan.Sebagai contoh, pada tahun 1918 dan 1919 perusahaan Jamu Jago dan Jamu Nyonya Meneermulai memproduksi jamu. Kedua perusahaan tersebut kemudian tumbuh menjadi pemain utama dalam industri jamu Indonesia (Antons, 2009:373).

Berbeda dengan jamu, peran distributor obat tradisionalCina banyak dilakukan oleh sinshe. Shinshe adalah seorang herbalis Cina yang terampil dalam peracikan obat tradisional Cina, serta ahli akupunktur dan akupresur. Biasanya ia meramuobat sendiri, atau menanyakan pasien untuk membuat ramuan obatberdasarkan resep yang diinginkan. Seorang sinshe tidak selalu menjadi distributorobat sendiri,  ia juga bekerjasama dengan apotek Cinadengan menggunakan pengantar berupa selembar kertas, seperti halnya resep dokter. Pasien harus membeli bahan obat tersebut dari apotek Cina (Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001: 57).



IV. PERSAINGAN JAMU DENGAN OBAT TRADISIONAL CINA

Orang-orang pribumi bahkan beberapa orangEropatertarik untuk menggunakan obat tradisional, baik jamu maupun obat tradisionalCina. Hal ini  disebabkan oleh  khasiat jamu dalam penyembuhan penyakit di daerah tropis yang tidak bisa disembuhkan dengan obat modern.Ketertarikan orang Eropa terhadap jamu dibuktikan dengan adanya penelitian orang-orang Eropa mengenai Jamu. OrangEropa pertama yang tercatat sebagai dokter (physician) dalam sejarah melakukan penelitian tentang jamu adalah Jacobus Bontius.[7]  Ia menulis buku yang berjudul De Medicina Indorum tahun 1642 (Irwanto, 2015: 138). Selama abad kesembilan belas, para dokter Eropa yang bertugas di Hindia Belanda tertarik dengan jamu, hal ini disebabkan mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyembuhan penyakit yang mereka temui pada pasien di daerah tropis(Hesselink, 2011: 26-27).

Penjualan jamu dilakukan melalui beberapa cara, salah satunya yaitu penjualan dari pintu ke pintu. Penjualan dengan cara ini dilakukan oleh wanita  dengan menggunakan keranjang  (bakul) berisi obat-obatan tradisional yang siap untuk dikonsumsi (Koentjaraningrat 1979: 44). Penjualan  jamu juga dilakukan dengan panggilan, seperti halnya yang dilakukan oleh tukang ampoh yang merangkap dukun bayi. Tukang  ampoh menjual ramuan ampoh untuk kesehatan janin wanita yang sedang  hamil (Zwaan 1910: 126-7).Seluruh penjual obat  tradisional berorientasi pada pelanggan, sehingga pelanggan bisa memutuskan sendiri mana obat-obatan yang harus dibeli dan berapa banyak jumlahnya (Hesselink, 2011: 26-28).

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Jamu bukan satu-satunya alternatif pengobatan pada abad XIX. Jamu sendiri pada perkembangannya mendapat saingan dari obat tradisional Cina(traditioneleChinese geneeskunde). Obat tradisional tersebut lebih banyak dilirik karena khasiatnya yang efektif dalam menyembuhkan penyakit tertentu yang tidak bisa disembuhkan dengan jamu.Pada perkembangannya, obat tradisional Cina kemudian menjadi tekenal. Penyebarluasan obat tradisional Cina juga tidak lepas dari peran akademisi kedokteran Belanda yang mengkajinya. Salah satu contoh kajian tersebut yaitu mengenai diferensiasi fisiologis dalam konteks kolonial Jawa 1860-1900 yang  dikaji oleh dokter A.G. Vorderman. Ia sangat tertarik dengan pengobatan asli dariTiongkok dan menerbitkan artikel tersebut (Hesselink, 2011:5).

Keberhasilan orang-orang Cina dalam mengelola obat tradisional Cina tidak lepas dari pengalaman hidup di Hindia Belanda. Orang–orang Cinamembentuk kelompok yang agak tertutup terhadap masyarakat lain di Hindia Belanda. Mereka tidak diizinkan untuk menyewa tanah, sehingga harus bisa mengelola bisnis dengan cara mereka sendiri.Orang-orangCina memiliki fasilitas medis sendiri,  antara lain penyembuh, yang dikenal dengan Sinshe. Di tahun 1840an, mereka  memiliki 49 apotek, dan 50rumah sakit, termasuk di Jakarta dan Semarang. Ada setidaknya 10 apotek Cina di Jakarta, dan sebuah apotek di Kedu. Orang-orang Cina yang berbisnis di bidang kesehatan mengimpor obat-obatan, terutama obat herbal, dari Tingkok, wilayah sekitar India dan Arab. Mereka terkadang  membeli bahan obat herbal dari tukang akar-akar. Pada tahun 1860 jumlah apotek Cina di Jakarta berkembang menjadi  30 apotek, dan pada tahun 1885, 67 shinsheCina di Karesidenan Jakarta, sebagian besar membuka praktik pengobatan di Jakarta (Hesselink, 2011:28).

Beberapa Sinsheterkenal memiliki akses obat-obatan khusus dan kadang-kadang  mampu  menjual formula dan meraup banyak keuntungan. E.F. Meijer, petugas kesehatan di Riouw(Riau), menceritakan kisah seorang pria Cina dari Singapura pada tahun 1855 dan diklaim mampu mencabutgigi tanpa rasa sakit, bahkan gigi geraham. Banyak pasien yang mengunjunginya. Meijer memanggil orang tersebut dan membeli rahasianya. Resep yang diberikan berupa dua jenis bubuk ramuan: satu obat penghilang rasa sakit dan satu lagi untuk melonggarkan gigi. Kedua obat ini mempermudah sinshe tersebut dalam mencabut gigi (Hesselink, 2011:29).

Seorang Sinshe dalam praktik pengobatan relatif lebih formal. Nama dan jam  kerja ditulis di papan luar kliniknya. Sinshelebih banyak membuka praktik pengobatan di kota-kota besar. Ruang praktik yang digunakanSinshe seperti klinik dokter, lengkap dengan ruang tunggu dan ruang pemeriksaan. Pengobatan pasien dilakukan menggunakan metode pengobatan tradisional Cina, yakni dengan anamnesis (bertanya tentang keluhan dan gejala pasien), dan memeriksa denyut nadi di kedua pergelangan tangan. Pasien juga diobati dengan metode akupunktur atau akupresur. Dalam menjual ramuanobat tradisional Cina, sinshe mengenakan biaya berdasarkan harga bahan. Harga yang harus dibayar pasien  lebih tinggi daripada penjual jamu atau dukun, karena beberapa bahan langsung  diimpor dari Tiongkok (Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001:57).

Rivalitas antara Jamu Jawa dengan obat tradisional Cina Abad XIX hingga XX dapat dibedakan sebagai berikut.
Kriteria Distinctiveness
jamu Jawa
(traditionele Javaanse geneeskunde)
obat tradisional Cina
(traditionele  Chinese geneeskunde)
Harga
Baik penjual Jamu Gendong, tukang rempah-rempah, jamu kemasan dijual dengan harga terjangkau, karena tidak ada resep khusus, sehingga tidak ada tambahan untuk membayar konsultasi.
Penjualan melalui shinshe dan apoteker mematok harga yangmahal, karena ada resep khusus  rekomendasi sinshe, sehingga konsumen dibebani biaya untuk konsultasi. Selain itu dikenakan biaya untuk bahan-bahan obat yang diimpor dari luar Hindia Belanda .
khasiat
Jamu siap saji yang dijual melalui gendongan (oleh Wiku) memiliki khasiat tidak signifikan,  karena diramu untuk pencegahan penyakit dan dikonsumsi secara umum. Selain itu, tidak ada dosis yang pasti dalam meramu.
Jamu yang dijual oleh dukun merupakan hasil meditasi spiritual dan pengalaman dukun, bukan berdasarkan pengamatan yang bersifat ilmiahmutlak, sehingga ramuan jamu yang diberikan ada yang mujarab dan ada juga yang justru memperparah penyakit.
Jamu yang dijual oleh Tukang rempah-rempah dan tukang akar –akar memiliki khasiat yang mujarab, karena mereka ditularkan pengethuan oleh tabib, dukun dan orang-orangyang memiliki pengalaman dalam mencari bahan-bahan jamu yang diperlukan.
Obat tradisional Cina yang dijual baik oleh shinshe maupun Apotek Cina memliki khasiat yang signifikan dalam penyakit tertentu jika dibandingkan jamu, karena sesuai dengan resep dan dosis berdasarkan pengetahuan tentang pengobatan yang dimiliki oleh shinshe.
Ketersediaan bahan
Mudah, karena bahan bahan bisa diperoleh secara lokal. Sebagian besar diambil dari flora dan fauna di wilayah tropis(khususnya pulau Jawa). Karena kemudahan perolehan bahan baku, Suplai bahan baku jamu  hampir tidak pernah kosong, baik dari tukang akar-akar maupun tukang rempah –rempah.
Bahan yang digunakan lebih kompleks, berdasarkan anamesi dan diagnosis yang dilakukan. Kompleksnya bahan yang digunakan menyebabkan penyediaan bahan baku sangat susah karena beberapa bahan diperoleh dari Tiongkok, dataran Arab dan beberapa wilayah di sekitar India.
Penyedia bahan
Tukang rempah-rempah (pengecer)
Tukang akar akar(grosir)
Tukang akar –akar(grosir), Importir bahan dari Tiongkok, Arab dan wilayah lainnya.
Penyebarluasan informasi dan promosi
Melalui tulisan ahli farmasi Belanda, Kitab serat Centhini, tulisan ahli farmasi Belanda,
Penyebarluasan informasidilakukan melalui tulisan ahli farmasi Belanda, selain itu testimonial pengguna obat tradisional Cina dari mulut ke mulut. 
Higienitas
Ada yang higienis dan ada yang kurang higienis. Jamu yang kurang higienis  dijual secara bebas di pasar, didistribusikan oleh tukang rempah rempah  secara bebas, sehingga kebersihan kurang terjaga. Meskipun demikian, konsumen bisa memilih bahan terbaik sesuai dengan selera mereka.
Jamu yang higienis dikemas dalam produk siap saji, dengan standar pengolahan yang baik. Jamu yang higienis biasanya dikembangkan oleh orang-orang Cina peranakan.
Lebih higienis,karenadiracik  oleh apoteker Cina denganprosedur yang ketat dan tertutup, selain itu dikemas dalam bentuk kering, sehingga konsumen mendapatkan bahan bahan terbaik yang telah disortir oleh shinshe maupun apoteker.
Konsumen
Masyarakat pribumi, semua lapisan mengkonsumsinya, baik masyarakat pribumi golongan bawah , menengah maupun golongan atas.
Masyarakat etnis Tioghoa, terutama peranakan (keturunan dari ibu yang beretnis Jawa).

Golongan menengah dan golongan  atas. Hal ini disebabkan oleh mahalnya tarif yang ditawarkan karena harga disesuaikan dengan ketersediaan bahan ramuan dan kesulitan dalam mencari bahan  obat tradisional tersebut.
Kebebasan konsumen dalam memilih kombinasi produk
Konsumen bebas memilih kombinasi bahan yang disukai, sehingga bisa menyesuaikan harga serta selera konsumen.
Konsumen tidak bisa memilih kombinasi bahan dari apotek, karena harus sesuai resep shinshe, sehingga harus berdasarkan rekomendasi shinsheuntuk memilih alternatif bahan obat lainnya.
Aksesibilitas
Mudah terjangkau, karena dipasarkan dari pintu ke pintu (oleh Wiku), selain itu ketersediaan bahan bahan obat jamu di pasar melimpah.
Beberapa apotek Cina terdapat di kota-kota besar, sehingga susah untuk dijangkau masyarakat pedesaan.
Sumber: olah data dari Hesselink (2011), Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury, (e.d.). (2001), Antons(2009) Mann  dalam The China Quarterly, No. 23 (Jul. - Sep., 1965)Boomgaard (1993)

Keunggulan obat tradisional Cina(traditionele Chinese geneeskunde)terletak pada kualitas dalam penyembuhan yang ditawarkan jika dibandingkan dengan jamu Jawa. Kelebihan inilah yang menyebabkan Jamu Jawa kurang bisa bersaing dengan obat tradisional Cina. Kondisi seperti ini terjadi pada abad XIX. Pada awal abad XX, jamu bisa bangkit dan memperluas jangkauan distribusi karena peran orang-orang keturunan Cina yang mampu mengemas jamu menjadi daya tarik bagi pasar medis (Hesselink, 2011 dan Antons, 2009).


Foto 5. Iklan dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen 1909 Sumber: surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen 1909
Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya iklan jamu yang dimuat dalam surat kabar, salah satunya surat kabar  Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen terbitan tahun 1909.  Bahasa persuasif serta afirmatif yang terdapat dalam iklan tersebut menjelaskan bahwa semua dari produk jamu tersebut telah diuji dengan baik, dan tidak berbahaya digunakan, sementara jenis lainnya yang diinginkan konsumen dapat dipesan dengan sistem pre-order (dibayar di muka). Produk yang ditawarkan bervariasi, dari jamu galian, jamu penganten hingga jamu spesial dengan harga yang cukup terjangkau, berkisar ƒ1,5 –ƒ20[8]. Ini menandakan bahwa jamu dikemas lebih menarik untuk meyakinkan konsumen terkait higienitas produk jamu.
Persaingan antara Jamu dengan obat tradisional Cina semakin kompetitif terlebih setelah konferensi kedua Asosiasi Tabib/Mantri Indonesia yangdiadakan di Surakarta, Jawa Tengah, pada bulan Maret 1940. Konferensi tersebut mempresentasikan khasiat jamu. Presentasi tersebut memberikan efek multiplier bagi pengusaha jamu karena efektif sebagai media promosi. Seiring dengan perkembangan zaman, pada masa pendudukan Jepangtahun 1944, Komite Jamu Indonesia dibentuk. Selama dekade berikutnya, popularitas jamu meningkat, walaupun banyak dokterberpendapat ambivalen tentang khasiat dan perkembangan jamu (Irwanto, 2015:139). Kampanye tentang metode pengobatan mengenai khasiat jamu  dibandingkan dengan obat modern dari Barat, mengakibatkan jamu semakin unggul. Obat modern bersifat membunuh infeksi, sedangkan jamu mendorong tubuh memproduksi antibodi sendiri. Dengan kata lain, jamu bertindak sebagai katalisator dan tidak menggantikan fungsi tubuh. Obatnya berasal dari dalam.[9] Hal tersebut berdampak pada beralihnya  masyarakat dari obat modern yang dipromosikan Belanda menjadi menggunakan jamu, sisanya menggunakan pengobatan tradisional Cina.

Peran produsen dalam  mengolah ataupun menawarkan produk jamu Jawa danobat tradisional Cinamemang berpengaruh terhadappersaingan antara keduanya, namun ada nilai lebih jamu Jawa sehingga konsumen lebih memilihnya.Nilai lebih tersebut antara lain keterjangkauan harga jika dibandingkan dengan obat tradisional Cina.Perbedaan mencolok antara obat tradisional Cina dengan jamu Jawa, yaitu terkait harga yang ditawarkan. Sinshe (peracik Obat tradisional Cina) memberikan racikan dengan harga yang mahal, sementara tukang rempah-rempahdan Tukang akar-akar bisa menyesuaikan selera dan kebutuhan serta keterjangkauan harga yang diinginkan konsumen. Selain itu praktik pengobatan shinshe yang jauh dari pedesaan, mengakibatkan masyarakat lebih memilih jamu.  Hal ini berdampak pada selektifnya masyarakat Hindia Belanda  dalam mempertimbangkan khasiat dan keterjangkauanpengobatan.(Handayani, Suparto dan Suprapto dalam Chaudhury dan Rafei, 2001:57) Mereka lebih memilih jamu daripada membayar mahal untuk  obat tradisional Cina(Hesselink, 2011 dan Antons, 2009).



V.  PENUTUP

A. Kesimpulan

Persaingan Jamu dan obat tradisional Cina abad XIX dan XX dalam merebut konsumen di pasar medis tidaklepas dari aktor yang menjalankan bisnis dua komoditas tersebut. Dampak dari persaingan tersebut bagi masyarakat Hindia Belanda adalahmasyarakat menjadi lebih selektif dan mempertimbangkan khasiat dan keterjangkauan. Distingsi yang paling menguntungkan bagijamu ketika bersaing dengan obat tradisional Cinaadalah bahan bahan yang digunakan. Hampir 100% bahan ramuan yang digunakan untuk membuat jamu merupakan bahan lokal. Penggunaan bahan baku lokal menyebabkan Jamu lebih unggul dalam ketersediaan bahan jika dibandingkan dengan obat tradisional Cina.

Obat tradisional menjadi komoditas pasar medis yang memiliki banyak konsumen di abad XIX karena orang-orang Cinayang bergerak di bisnis pengobatan herbal (traditionele  Chinese geneeskunde)  bisa melakukan  branding terhadap produk yang ditawarkan. Merekadifasilitasi oleh orang–orang Eropa dengan promosi melalui tulisan-tulisan. Meskipun demikian, jamu bisa perlahan mendapat perhatian konsumen karenabrandingyangdilakukan oleh orang-orang keturunan Cina yang memiliki hak khusus dan dilindungi pemerintah kolonial. Hal  tersebut mengakibatkan produk-produk jamu kemasan yang mereka buat mampu bersaing dengan obat tradisional Cina di pasaran.Distingsi lain dari jamu maupun obat tradisional Cina dalam rivalitas memperoleh pangsa pasar di era kolonial terletak pada kriteria kebebasan konsumen dalam memilih kombinasi produk. Konsumen jamu diberikan keleluasaan untuk memilih kuantitas bahan yang ingin digunakan.

Rivalitas jamu dan obat tradisional Cina melibatkan banyak koneksi. Keterlibatan tukang rempah-rempah memiliki  kontribusi besar dalam distribusi jamu. Dalam hal ini, tukang rempah-rempah berperan secara makro. Adapun kontribusi besar dalam distribusi obat tradisional Cina diperankan oleh shinshe dengan kontribusi memberikan rekomendasi terhadap ramuan apa saja yang digunakan, kuantitasnya dan juga harga ramuan tersebut.Rendahnya daya saing jamu abad XIX disebabkan oleh keterlibatan mistisme dan tahayul dalam pengobatan yang dilakukan dukun yang mengakibatkan orang-orang Euroasia dan orang Eropa tidak mempercayai dukun.

Ketidakpercayaan kepada dukun sebagai penyembuh berimbas pada konsumsi jamu ramuan dukun yang kurang diminati. Selain itu, higienitas ramuan jamu oleh dukun sangat rendah. Kehati-hatian dan kejelian konsumen inilah yang menyebabkan mereka lebih memilih tabib atau shinshekarena lebih ilmiah dan mempertimbangkan aspek kebersihan. Namun hal tersebut berubah ketika pebisnis jamu yang memiliki competitive advantagedalam mengolah jamu mengemas  jamu sebagai obat herbal dalam bentuk instan yang mudah dijumpai. Kreativitas dalam mengemas jamu tersebut berdampak pada rendahnya biaya yang harus dikeluarkan konsumen jika dibandingkan dengan membeli obat tradisional Cina di Apotek.



B. Saran

Jamu dan obat tradisional Cina adalah warisan budaya yang dimiliki Indonesia dan menjadi cirikhas (indigenous)  yang dimiliki Indonesia, sudah sepatutnya dijaga. Untuk itu, perlu kerjasama antar instansi guna menyelenggarakan workshop tentang kedua obat tradisional ini serta kegiatan dan sosialisasi agar masyarakat gemar menggunakan obat tradisional. Selain itu, inventarisasi terhadap jenis pengobatan tradisional di Indonesia sudah sepatutnya diinternalisasikan untuk generasi muda agar mereka menjadi generasi yang sehat serta tidak memiliki ketergantungan terhadap obat-obat berbahan kimia. Higienitas serta branding jamu perlu diangkat untuk meningkatkan daya saing jamu di pangsa pasar global. Jika hal ini bisa tercapai, Indonesia akan unggul dalam ketahanan kesehatan serta memiliki produk kesehatan unggulan yang bisa diterima secara global.





Daftar Pustaka

Arsip :

Vrouwen tijdens de bereiding van jamu een traditioneel geneesmiddel op de markt te Jogjakarta,1900s, koleksi foto Tropen Museum

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen, 11 September 1909

Buku

Antons, C. 2009. Traditional Knowledge, Traditional Cultural Expressions, and Intellectual Property Law in the Asia-Pacific Region. Alphen: Kluwer Law International

Boomgaard, P. 1993. “The Development of Colonial Health Care in Java” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 149, 1ste Afl. (1993), pp. 77-93

___________. 2007. Syphilis, Gonorrhoea, Leprosy and Yaws In The Indonesian Archipelago, 1500-1950. MANUSYA: Journal of Humanities, Special Issue No.14, 2007 

Dahles, H. 2013. Tourism, Heritage and National Culture in Java: Dilemmas of a Local Community. Cornwall: Routledge

Djojoseputro, S. 2012. Resep dan Khasiat Jamu Tradisional Nusantara. Surabaya: Liris.

Hesselink, L.2011. Healers On The Colonial Market Native Doctors And Midwives In The Dutch East Indies.Leiden: KITLV Press.

Handayani, L., Haryadi Suparto and Agus Suprapto. “Traditional System of Medicine in Indonesia”, dalam  Chaudhury, Ranjit Roy, Uton Muchtar Rafei (e.d.). 2001. Traditional Medicine in Asia. New Delhi: World Health Organization.

____________, Suharmiati, 2012. Cara Benar Meracik Obat Tradisional. Jakarta: AgroMedia

Irwanto, D. 2015. Atlantis: The Lost City is in Java Sea.  Jakarta: Indonesia Hydro Media

Gatra, Volume 12, Era Media Informasi, 2006, halaman 98

Kilduff, G. J., et.al. The Psychology Of  Rivalry: A Relationally Dependent Analysis Of Competition dalam Academy of Management Journal,2010, Vol. 53, No. 5, 943–969

Koentjaraningrat. 1979. ‘Javanese magic, sorcery and numerology’ dalam Masyarakat Indonesia 6-1:37-53.

Liu, W. J.H.. 2011. Traditional Herbal Medicine Research Methods: Identification, Analysis, Bioassay, and Pharmaceutical and Clinical Studies.New Jersey: John Wiley & Sons.

Mann, F. 1965. Chinese Traditional Medicine: A Practitioner's View dalam The China Quarterly, No. 23 (Jul. - Sep., 1965), pp. 28-36

Susan, J. B. 2013. Jamu: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing: The Ancient Indonesian Art of Herbal Healing. De Hague: Tuttle Publishing.

Tilaar, M.1999. Kecantikan Perempuan Timur. Jakarta: Indonesia Tera

Waitz, F. A. C. 1829. Praktische Waarnemingen Over Eenige Javaansche Geneesmiddelen, Welke Niet Alleen Vele Uitheemsche Medicamenten, Die Thans Nog Van Europa Naar Java Moeten Worden Overgezonden, Kunnen Vervangen, Maar Dezelve Ook Tegen Eenige Ziekten Op Het Eiland Java Heerschende, In Werkzaamheid Overtreffen, Volume 1. Amsterdam: C.G.Sulpke.

Wasito, H. 2011. Obat Tradisional Kekayaan Indonesia. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Zwaan, J.P.K.1910. De Geneeskunde der Menangkabau-Maleiers: Ethnologische Studie. Amsterdam: Meulenhoff.

Internet

bhumihusadacilacap.blogspot.com, diakses tanggal 10 September 2015, pukul 13.00.

tatic-content.springer.com, diakses tanggal 13 September, pukul 21.00.

kitlv.nl, diakses tanggal 22 September 2015 pukul 09.00.



 Artikel ini telah diterbitkan di Jurnal Patrawidya, Volume 16, No.4, Desember 2015





[1]Penulis menggunakan kata Cina karena dalam literatur kolonial disebut dengan Chinese (Cina). Tanpa mengurangi rasa hormat kepada etnis Tionghoa, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/PRES.KAB/6/1967, penggunaan istilah Cina lebih kepada rujukan literatur yang penulis gunakan. 

[2] Dijelaskan bahwa  alat alat untuk membuat jamu masih sederhana. Penjelasan tersebut terdapat  dalam artikel “Ada Dua Relief Tentang Jamu di Borobudur” Republika .co.id , lihat juga Heidi Dahles dalam bukunya“Tourism, Heritage and National Culture in Java: Dilemmas of a Local Community“ ( Dahles, 2013: 161), lihat juga Gatra. (Gatra Volume 12, 2006:98)


[3]Hal ini dijelaskan Christoph Antons (2009:300). Lihat juga Hendri Wasito (2011: 3)


[4]Wawancara Muttaqin, Cirebon, 2 Okt 2015

[5]Orang-orang jawa menyebutnya dukun bayi, sedangkan orang sunda menyebutnyaparaji.

[6]Sistem administrasi publik  di Hindia Belanda  khususnya di vorstenlanden menganut sistem tidak langsung, sehingga regulasi mengacu pada hukum kolonial dan hukum adat.


[7]Dikenal juga dengan Jacob Debont, berprofesi sebagai dokter di Batavia.


[8] Lihat gambar iklan jamu dalam surat kabar Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, NV Mij tot Expl. van Dagbladen 1909


[9]Hasil wawancara Susan dan Jane Beers dengan seorang yang berprofesi sebagai penyembuh orang-orang Belanda di Hindia Belanda . (Susan & Beers, 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par