Langsung ke konten utama

Burreaucracy and network policy




Birokrasi merupakan organisasi yang memiliki rantai komando sebagai mesin pelaksana kebijakan (merupakan institusi  yang memiliki dominasi sekaligus menjadi pelaksana kebijakan) (winarno, 2007:202). Untuk melaksanakan kebijakan dan mencapai tujuan dari kebijakan, birokrasi membutuhkan relationship  dengan aktor-aktor lainnya, karena organisasi yang dnamakan birokrasi tidak dapat berjalan sendiri . Ini merupakan indikasi bahwa jejaring  dibutuhkan untuk mencapai tujuan.
Jejaring / Partnership merupakan hubungan yang terjadi antara civil society, pemerintah dan  atau sektor swasta dalam rangka mencapai satu tujuan yang didasarkan pada prinsip kepercayaan, kesetaraan dan kemandirian (Sumarto, 2009: 16).  Dilihat dari kronologinya,  perkembangan jejaring stakeholder antara birokrasi dengan dan stakeholder lainnya  mulai terlihat sangat signifikan sebagai dampak reformasi administrasi negara yang menuntut kebutuhan akan jejaring kebijakan. Perkembangan paradigma dari OPA ke NPM, kemudian NPS dan good governance menyebabkan tuntutan akan pembangunan jejaring kebijakan dalam proses kebijakan publik semakin signifikan. Hal ini adalah konsekuensi dari  locus public sebagai  negara menjadi masyarakat. Masyarakat dilibatkan dalam mekanisme administrasi publik. Government yang semua menitikberatkan pada otoritas mengalami perubahan menjadi governance yang menitikberatkan pada kompabilitas di antara aktor kebijakan yaitu state (pemerintah)  Private (sektor swasta) dan civil society (masyarakat sipil) (Suwitri : 2011).   Jejaring antara birokrasi dengan stake holder lainnya, seperti private (sektor swasta) dan segenap civil society (masyarakat madani) berkembang dari waktu ke waktu. Hal ini menyesuaikan tuntutan publik untuk tercapainya pelayanan yang maksimal.
Jejaring kerja masyarakat madani (civil socety) dengan pemerintah  (state) tercermin  melalui proses demokrasi. masyarakat sipil (civil society) berkontribusi aktif (partisipatif)  dengan memperluas partisipasi dalam proses pembuatan kebijakan – kebijakan publik. Gerak jejaring kerja antara masyarakat sipil dengan pemerintah (negara) tidak ditujukan untuk mengurangi peran kewenangan negara, namun diarahkan untuk memperkuat kapasitas masyarakat sipil itu sendiri dalam mengembangkan penguatan poros masyarakat (civil society) saat berhadapan dengan poros negara atau poros privat atau pasar (Widjajanto, 2007:6). 
Deliberatif merupakan suatu pengambilan keputusan kolektif yang didahului dengan proses diskusi yang menimbang alasan pendukung atau penentang suatu proposisi atau tindakan. Mereka yang mendukung proses deliberatif beragumentasi bahwa diskusi akan meningkatkan kualitas keputusan yang diambil (Sumarto, 2009: 16). Prinsip deliberatif sangat penting dalam berjerajing antara birokrasi dengan aktor lainnya  untuk menghasilkan output pencapaian implementasi kebijakan yang maksimal dalam jejaring kebijakan.
Jejaring kebijakan memiliki aktor yang berperan dalam melakukan koordinasi dan integritas. Aktor tersebut lebih dikenal dengan stakeholder, jadi stakeholder merupakan individu, kelompok atau organisasi yang memiliki kepentingan, terlibat atau dipengaruhi (baik secara positif atau negatif) oleh suatu kegiatan atau program pembangunan (Sumarto, 2009: 15).  Stake holder memiliki kontribusi dalam pembentukan governance yang baik. Komponen pembentuk kesatuan stakeholder adalah state (negara atau pemerintah), private sector (swasta) dan society/ civil society (masyarakat dan kelompok masyarakat) (Sumarto, 2009: 25).  
            Salah satu komponen dari stakeholder adalah civil society. Civil society merupakan ruang tempat kelompok kelompok sosial dapat eksis dan bergerak. Secara  umum yang dimaksud dengan kelompok sosial meliputi Organisasi Non-Pemerintah (LSM), institusi masyarakat di akar rumput, media, institusi pendidikan, organisasi keagamaan, dan lainnya. Kelompok sosial tersebut dapat menjadi kekuatan penyeimbang dari pemerintah maupun sektor swasta (Sumarto, 2009: 15).  Pada budaya politik negara demokrasi , civil society  beserta pemerintah memiliki tujuan  yang sama yaitu mewujudkan kebaikan bersama (public goods) seperti  penyelenggaraan sekolah, pemberdayaan masyarakat miskin, mendirikan wirausaha dan lainnya. Hal ini selaras dengan tujuan negara. Sifat hubungan antara civil society dengan pemerintah (birokrasi) adalah penyeimbang untuk memaksimalkan pencapaian tujuan(Hamidi & Lutfi, 2010:188). Sebagai contoh pemerintah mendirikan sekolah negeri sebagai salah satu upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, sementara civil society mendirikan sekolah swasta untuk menyeimbangkan kebijakan pemerintah mendirikan sekolah negeri agar kebutuhan publik akan pendidikan  bisa terpenuhi. Hal ini selaras dengan tujuan governance untuk menyelenggarakan pelayanan publik yang maksimal.
Privat Sector (sektor Swasta) sebagai aktor dalam stakeholder juga memiliki peranan penting. Inti jejaring antara swasta dengan pemerintah adalah pemerintah memberikan dukungan tertentu terhadap investasi dan produksi  oleh privat sektor melalui proteksi atau subsidi, terutama untuk memproduksi barang publik (Shut, 2005:5). Sering terjadi kesalahan kebijakan, kelemahan institusi dan kegagalan tata kelola pemerintahan (policy institutional and governance vailure) menyebabkan kontrol terhadap sektor privat saat ini tidak dapat diseimbangkan, sehingga terjadi eksternalitas. Perlu adanya penyeimbang yaitu masyarakat (civil society). Koordinasi yang baik dari  ketiga aktor , antara government (state) dengan sektor swasta dan civil society menghasilkan equrilibrium menurut Emil Salim (Aziz, 2010:170).
Dewasa ini isu privatisasi menyeruak dan menjadi penting, mengingat privatisasi merupakan bentuk proses dalam upaya mewujudkan demokrasi ekonomi yang melibatkan pihak swasta baik nasional maupun asing secara aktif. Pemerintah seharusnya bisa menempatkan diri sebagai fungsi regulator apabila privatisasi dijalankan, agar pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah berjejaring dengan swasta bisa maksimal (lebih efisien).  (Dwijowijoto, 2008 : 80). 
Indonesia pemerintahan zaman orde baru bersifat subversif  dan otoriter serta sentralistik. Hal ini menyebabkan negara melalui birokrat memiliki dominasi terhadap implementasi kebijakan. Sifat sentralistik seperti ini mengakibatkan masing masing stake holder berada pada sistem yang terfragmentasi.   Padahal good governance membutuhkan integrasi agar bisa terlaksana dengan baik (Sumarto, 2009: 25). Keadaan seperti ini yang  menyebabkan kebijakan tidak berjalan sesuai dengan perumusan kebijakan yang telah dibuat sebelumnya. Kondisi tersebut merupakan bentuk refraksi yang disebabkan oleh pandangan sempit dan ego para aktor pelasana kebijakan maupun institusi  yang terlalu tinggi (suwitri, 2011). 
Indonesia mengenal 3 jenis  jejaring kebijakan, dengan fokus pada subsistem sebagai wadah jejaring, yaitu sebagai berikut.
1. Jejaring kebijakan vertikal merupakan keterbukaan hubungan aktor yang
2. Jejaring kebijakan horizontal yaitu keterbukaan hubungan antar aktor terjadi hanya dalam tataran antar subsistem kebijakan dan hanya bagi pembentukan opini elit.
3. Jejaring Kebijakan Laba-laba yaitu keterbukaan hubungan aktor-aktor antar koalisi terjadi dalam tataran antar subsistem kebijakan dengan peran penengah sebagai pusat dari jejaring.
Solusi representatif Implementasi jejaring di indonesia adalah menggunakan model kebijakan laba – laba. Hal ini ditujukan untuk meminimalisir refraksi, karena bentuk jejaring laba – laba memiliki integritas yang tinggi dan mampu menggerakkan kontribusi seluruh aktor dalam stakeholder. Jejaring kebijakan tersebut memiliki karakteristik peran penengah bertugas menggiring koalisi yang terdiri dari sejumlah institusi publik dan privat pada seluruh tingkatanpemerintahan yang rnemiliki sejurnlah kepereayaan dasar yang digunakan untuk rnenyusun peraturan, anggaran dan surnber daya manusia agar dapat mencapai sasaran yang diinginkan kepentingan publik. Perangkat media massa, masyarakat dan NGO bertugas meringankan tugas peran penengah.


Referensi :
Aziz, Iwan J et.al.(ed). Pembangunan Berkelanjutan: Peran dan Kontribusi Emil Salim. Jakarta : Gramedia.

Dwijowijoto, Riant Nugroho, Randy Wrihatnolo. Manajemen dan Privatisasi BUMN. Jakarta : Elekmedia Komputindo.

Hamidi, Jazim, Mustafa Lutfi. Civic Education : Antara Realitas Politik dan Implementasi Hukumnya. Jakarta : Gramedia Pustaka.

Shut, Harry. 2005. Runtuhnya Kapitalisme. Jakarta : Teraju.

Sumarto, Hetifah Sj.. 2007. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Suwitri, Sri. 2011.“Jejaring Kebijakan Publik, Kerangka Baru Penyelenggaraan Pemerintahan”. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Administrasi Publik, Fisipol UNDIP, 13 April 2011. Semarang : Undip.
  
Widjajanto, Andi, et.al..2007. Trans Nasionalisasi Masyarakat Sipil. Yogyakarta :LKIS.

Winarno, Budi. 2007.  Kebijakan Publik: Teori dan Proser. Yogyakarta: Medpress.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par