Langsung ke konten utama

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona




Pendahuluan
Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku (Nuryanti, 1993: 2-3). Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai suatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.
            Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas pariwisata kab sleman, 2007: 4).Wilayah yang bisa dikembangkan di desa wisata adalah wilayah yang baik dari segi ekonomi, sosial budaya, lingkungan fisik alam,mempunyai ciri khas yang non urban, dan mempunyai ciri kehidupan tradisional yang unik (dinas pariwisata kab sleman, 2007: 8).Klasifikasi desa wisata dengan karakteristik tertentu antara lain desa wisata budaya, desa wisata pertanian, desa wisata pendidikan, desa wisata fauna, desa wisata kerajinan, dan desa wisata alam (dinas pariwisata kab sleman, 2007: 16). Di Indonesia terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta, terdapat beberapa desa wisata yang sangat berpotensi mendongkrak pendapatan domestik, sehingga kesejahteraan bisa terdistribusi untuk masyarakat desa. Lalu bagaimanakah langkah kebijakan yang seharusnya dilakukan pemerintah bersama stakeholder lainnya untuk bisa memaksimalkan pencapaian peningkatan perekonomian daerah?

Pengelolaan desa wisata dan kendala yang dihadapi
Desa wisata merupakan alternatif wisata yang diminati wisatawan baik terutama wisatawan dari eropa karena  menawarkan keindahan alam tropis dengan suasana yang nyaman dan tidak pernah ditemukan di belahan dunia eropa (Naghib, 2005: 52). Oleh karena itu, Potensi desa wisata dalam mendongkrak pendapatan domestik harus diperhatikan. Desa-desa yang bisa dikembangkan dalam program desa wisata akan memberikan contoh yang baik bagi desa lainnya, penetapan suatu desa dijadikan sebagai desa wisata harus memenuhi persyaratanpersyaratan, antara lain sebagai berikut :
1. Aksesbilitasnya baik, sehingga mudah dikunjungi wisatawan dengan menggunakan berbagai jenis alat transportasi.
2. Memiliki obyek-obyek menarik berupa alam, seni budaya, legenda, keunikan kuliner lokal, dan sebagainya untuk dikembangkan sebagai obyek wisata.
3. Masyarakat dan aparat desanya menerima dan memberikan dukungan yang tinggi terhadap desa wisata serta para wisatawan yang datang ke desanya.
4. Keamanan di desa tersebut terjamin.
5. Tersedia akomodasi, telekomunikasi, dan tenaga kerja yang memadai.
6. Beriklim sejuk atau dingin.
7. Berhubungan dengan obyek wisata lain yang sudah dikenal oleh masyarakat luas.
Pembangunan desa wisata bertujuan untuk mendukung program pemerintah dalam pembangunan kepariwisataan dengan menyediakan obyek wisata alternatif. Selain itu juga menggali potensi desa untuk pembangunan masyarakat sekitar desa wisata. Tujuan lainnya yaitu memperluas lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi penduduk desa, sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat desa. Dengan demikian akan terjadi pemerataan pembangunan ekonomi di desa. Mendorong orang-orang kota yang secara ekonomi relatif lebih baik, agar senang pergi ke desa untuk berekreasi (Ruralisasi). Menimbukan rasa bangga bagi penduduk desa untuk tetap tinggal di desanya, sehingga mengurangi urbanisasi. Sesuai dengan tujuan tersebut, maka program kegiatan ini seharusnya dilaksanakan oleh masyarakat desa setempat. Kepala Desa dan staf serta masyarakat itu sendiri yang harus mengkoordinasi pembangunan desa wisata dibantu oleh Badan Pengawas Desa (BPD) sebagai pengelola atau managernya untuk pengawasan program pembangunan desa wisata, hal inipun terkait pula dengan pengawasan di bawah pembinaan dinas pariwisata daerah (Diparda) setempat. Pembangunan desa wisata mempunyai manfaat di bidang ekonomi, sosial dan lain-lain. Manfaat  dari pembangunan desa wisata dari segi ekonomi yaitu meningkatkan perekonomian nasional, regional, dan masyarakat lokal. Selain itu membuka lapangan kerja dan lapangan berusaha bagi masyarakat di desa. Pengembangan pariwisata ini juga bermanfaat untuk meningkatkan ilmu dan teknologi bidang kepariwisataan. Manfaat lainnya yakni menggugah sadar lingkungan, yaitu menyadarkan masyarakat akan arti pentingnya memelihara dan melestarikan lingkungan bagi kehidupan manusia kini dan di masa datang (Soemarno, 2010).
Kendala yang dihadapi dalam pengembangan desa wisata diantaranya adalah masalah transportasi. Keberadaan desa wisata harusnya ditunjang dengan infrastruktur transportasi yang menjamin pengunjung bisa menjangkau dengan mudah. Realitas yang terjadi saat ini adalah wisatawan susah untuk mengakses transportasi umum yang melewati desa wisata (Kedaulatan Rakyat, 9 Oktober 2010). Kendala lainnya yaitu  minimnya sumber daya manusia (SDM) pariwisata andal, menjadikan desa wisata belum tergarap optimal. Oleh karena itu, perlu adanya inovasi berupa frog leap agar desa wisata bisa dipertahankan. Selain itu belum banyaknya promosi yang unik dan menarik untuk mengenalkan desa wisata pada masyarakat baik domestik maupun asing, sehingga desa wisata kurang mendapat perhatian lebih (Kedaulatan Rakyat, 27 Oktober 2010).

Kebijakan yang dilakukan untuk meningkatkan PAD melalui pengembangan desa wisata
Kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah DIY (statusquo) yang ditujukan untuk mendongkrak  peningkatan potensi desa wisata seperti yang dikemukakan oleh Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Dinas Pariwisata DIY, diantaranya yaitu  Pemda DIY menganggarkan Rp 800 juta pada APBD DIY 2013 untuk diberikan kepada 32 desa wisata. Per desa  mendapat bantuan sebesar Rp 25 juta, yang nantinya digunakan sebagai pengembangan serta penyelenggaraan event agar meningkatkan jumlah pengunjung. Sebenarnya ada sekitar 100 desa wisata yang mengajukan proposal. Namun setelah diseleksi hanya ada 32 desa yang layak mendapat bantuan karena menjalankan fungsinya dengan baik. Seleksi ketat yang dilakukan dengan tujuan anggaran yang diberikan mampu dikelola secara optimal. Sebab, saat ini terdapat sekitar 40 desa wisata yang mampu mengelola diri untuk peningkatan kunjungan wisatawan. Seperti Desa Bejiharjo Gunungkidul dan Pentingsari Cangkringan Sleman. Selain itu, upaya peningkatan kunjungan wisatawan dilakukan dengan perbaikan infrastruktur di sejumlah objek wisata (jogja.tribunnews.com).
Untuk meningkatkan pembangunan desa wisata yang berkualitas, sehingga mampu mendongkrak pendapatan asli daerah, kebijakan yang harus ditempuh adalah sebagai berikut.
1. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
Pelaksanaan pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), bisa dilakukan melalui pendidikan, pelatihan dan keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya, serta di bidang-bidang kepariwisataan. Pendidikan diperlukan untuk tenaga-tenaga yang akan dipekerjakan dalam kegiatan manajerial. Untuk itu, sebaiknya ditugaskan generasi muda dari desa yang bersangkutan untuk dididik pada sekolah-sekolah kepariwisataan, sedangkan pelatihan diberikan kepada mereka yang akan diberi tugas menerima dan melayani wisatawan. Keikutsertaan dalam seminar, diskusi, dan lain sebagainya diberikan kepada para petugas kepariwisataan di desa, kecamatan, dan kabupaten, karena penduduk desa umumnya hanya mempunyai keterampilan bertani. Kepada mereka dapat diberikan pelatihan keterampilan lain untuk menambah kegiatan usaha seperti kerajinan, industri rumah tangga, pembuatan makanan lokal, budi daya jamur, cacing, menjahit, dan lain sebagainya.
2. Fasilitasi terhadap  kemitraan multi stakeholder
Pola kemitraan atau kerjasama dapat saling menguntungkan multi stakeholder, baik pihak pengelola desa wisata dengan para pengusaha pariwisata di kota atau pihak pembina desa wisata dalam hal ini pihak dinas pariwisata daerah. Bidang-bidang usaha yang bisa dikerjasamakan, antara lain seperti : bidang akomodasi, perjalanan, promosi, pelatihan, dan lain-lain.
3. Kegiatan Pemerintahan di Desa
Kegiatan dalam rangka desa wisata yang dilakukan oleh pemerintah desa, antara lain seperti : Rapat-rapat dinas, pameran pembangunan, dan upacara-upacara hari-hari besar diselenggarakan di desa wisata.
4. Promosi
Desa wisata harus sering dipromosikan melalui berbagai media, oleh karena itu desa atau kabupaten harus sering mengundang wartawan dari media cetak maupun elektronik untuk kegiatan hal tersebut.

5. Festival / Pertandingan dan atraksi
Secara rutin di desa wisata perlu diselenggarakan kegiatan-kegiatan yang bias menarik wisatawan atau penduduk desa lain untuk mengunjungi desa wisata tersebut, misalnya mengadakan festival kesenian, pertandingan olah raga, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, pemerintah DIY sudah menganggarkan Rp 1,12 miliar untuk  penyelenggaraan  15 event di berbagai objek wisata yang sebagian besar merupakan desa wisata, dan dilakukan kontinyu setiap bulannya. Seperti festival layang-layang, kompetisi panjat tebing dan lainnya (jogja.tribunnews.com). Diharapkan penyelenggaraan even lebih bersifat kebudayaan baik kontemporer maupun tradisional yang atraktif, sehingga mampu meningkatkan kunjungan wisatawan.  
6. Pembinaan organisasi warga dengan melibatkan stakeholder tingkat desa
7. Kerjasama dengan Universitas.
Universitas-Universitas di Indonesia mensyaratkan melakukan Kuliah Kerja Praktek Lapangan (KKPL) bagi mahasiswa yang akan menyelesaikan studinya, sehubungan dengan itu sebaiknya dijalin atau diadakan kerjasama antara desa wisata dengan Universitas yang ada, agar bisa memberikan masukan dan peluang bagi kegiatan di desa wisata untuk meningkatkan pembangunan desa wisata tersebut. Untuk memperkaya Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) di desa percontohan, dapat dibangun berbagai fasilitas dan kegiatan sebagai berikut :
1). Eco-lodge : Renovasi homestay agar memenuhi persyaratan akomodasi wisatawan, atau membangun guest house berupa, bamboo house, traditional house, log house, dan lain sebagainya.
2). Eco-recreation : Kegiatan pertanian, pertunjukan kesenian lokal, memancing ikan di kolam, jalan-jalan di desa (hiking), biking di desa dan lain sebagainya.
3). Eco-education : Mendidik wisatawan mengenai pendidikan lingkunagn dan memperkenalkan flora dan fauna yang ada di desa yang bersangkutan.
4). Eco-research : Meneliti flora dan fauna yang ada di desa, dan mengembangkan produk yang dihasilkan di desa, serta meneliti keadaan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di desa tersebut, dan sebagainya.
5). Eco-energy : Membangun sumber energi tenaga surya atau tenaga air untuk Eco-lodge.
6). Eco-development : Menanam jenis-jenis pohon yang buahnya untuk makanan burung atau binatang liar, tanaman hias, tanaman obat, dll, agar bertambah populasinya.
7). Eco-promotion : Promosi lewat media cetak atau elektronik, dengan mengundang wartawan untuk meliput mempromosikan kegiatan desa wisata (Soemarmo, 2010).
8. Standarisasi desa wisata dan pembangunan infrastruktur transportasi
Perlunya standarisasi desa wisata agar desa wisata mampu bertahan karena kualitasnya yang terstandarisasi, selain itu juga menghindari kejenuhan wisatawan sehingga berdampak pada kestabilan kunjungan terhadap desa wisata dan meningkatnya kualitas ekonomi masyarakat serta kontribusi terhadap pendapatan asli daerah (Kompas, 12 Oktober 2010). Dalam hal ini, pemerintah melalui dinas pariwisata melakukan pemantauan, sertifikasi dan reward terhadap desa wisata agar mampu mempertahankan kualitas dan secara mandiri mampu mengembangkan kreativitas, sehingga memiliki daya saing yang tinggi. Selain itu juga pembangunan sarana transportasi. Dalam hal ini, pemerintah menganggarakan Rp 1,5 miliar pada APBD 2013 (jogja.tribunnews.com).
Dalam pembangunan desa wisata ini pemerintah daerah (desa atau kabupaten) bertindak sebagai fasilitator membangun fasilitas umum, seperti jalan, terminal kendaraan, gedung serbaguna di desa, gedung peribadatan, rumah sakit, gedung sekolahan, alat komunikasi, dan promosi. Penyelenggaraan usaha kepariwisataan beserta fasilitasnya diserahkan kepada swasta, koperasi dan perorangan. Dengan demikian pembiayaan pembangunan fasilitas umum diusahakan dari APBD kabupaten setempat atau mencari bantuan pemerintah pusat dan bantuan hibah dari luar negeri.
Dalam mengembangkan potensi desa wisata, perlu adanya pemberdayaan masyarakat sebagai stakeholder yang merasakan langsung dampak positifnya. Pemberdayaan masyarakat mempunyai dua makna pokok, yaitu
1). Meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pelaksanaan berbagai kebijakan program pembangunan.
2). Meningkatkan kemandirian masyarakat melalui pemberian wewenang secara proporsional kepada masyarakat dalam mengambil keputusan. Dari penjelasan tersebut, jelas masyarakat diberi kesempatan penuh dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Disitu ditegaskan bahwa tugas birokrasi di daerah hanyalah sebagai fasilitator (pelayanan). Kreativitas masyarakat dipacu dan didorong berkembang. Kemudian Departemen Pariwisata dalam kiprah memberdayakan masyarakat desa telah menyusun program pembangunan desa (Soemarmo. 2010).

Konklusi
Pembangunan desa wisata yang berorientasi pada pemberdayaan stakeholder setempat dengan menstimulasi kreativitas terutama melalui peningkatan sumberdaya manusia  di desa wisata mampu membuka peluang lapangan kerja dan lapangan berusaha yang luas bagi penduduk desa. Oleh karena itu orientasi kebijakan pemerintah harus lebih mendukung pemerataan pembangunan dan mendukung paradigma pembangunan yang berpihak kepada rakyat. Pembangunan desa wisata menambah Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW). Hal ini membangun rasa bangga penduduk desa untuk tetap tinggal di desanya, sehingga mengurangi urbanisasi. Selain itu juga masyarakat mampu mengenali potensi desanya sehingga memiliki kemampuan untuk menggali dan mengembangkan potensi desa secara maksimal.









Referensi
Berne, 1995. For a Dynamic Partnership between Tourism and Culture, Forum on Culture and International Tourism, Yogyakarta: UGM press.
Naghib, Laila. 2005. “Pengembangan Industri Pariwisata dan Isu Ketenagakerjaan”. Dalam Jurnal Komunika Vol 8 No 2 Tahun 2005.
Nuryanti, Wiendu.1993. Concept, Prespective and Challenges, makalah bagian dari  Pemberdayaan Masyarakat Desa. Yogyakarta : UGM press
Soemarmo. 2010. “Desa Wisata” diakses melalui http://marno.lecture.ub.ac.id tanggal 10 pukul 22.30 WIB.  
2007.Profil Desa Wisata Kabupaten Sleman.Yogyakarta : Dinas pariwisata kabupaten Sleman.
“32 Desa Wisata di DIY Dapat Bantuan Rp 800 Juta” diakses melalui http://jogja.tribunnews.com tanggal 10 Desember 2012 pukul 22.10 WIB
“Desa Wisata Perlu Transportasi Khusus”. Kedaulatan Rakyat, 9 Oktober 2010.
“Pengembangan Desa Wisata Belum Optimal”. Kedaulatan Rakyat,  27 Oktober 2010.
“Standarisasi Desa Wisata Diperlukan”. Kompas, 14 Oktober 2010.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y