Kinerja Birokrasi di Daerah yang Masih Rendah dalam Penyelenggaraan Administrasi Publik Berasaskan Meritokrasi: Masalah dan Implikasi
Masa
transisi menuju demokrasi yang dijalani oleh bangsa Indonesia ini ditandai
dengan munculnya beragam lembaga negara yang bersifat sampiran (state auxilarry institution) yang
berperan sebagai implementor ataupun sebagai pengawas pemerintah dalam menyelenggarakan
pelayanan publik, tetapi hal ini belum sepenuhnya menjawab ada atau tidaknya
perubahan dalam pelayanan publik (Hasibuan,
2008 : 309). Pelayanan yang prima terhadap masyarakat merupakan tuntutan utama
yang harus dipenuhi birokrasi dalam aministrasi publik. Sudah semestinya aparat
birokrasi mengetahui kebutuhan publik, sehingga kinerja dapat disesuaikan
dengan prioritas kebutuhan publik untuk memaksimalkan pelayanan dan lebih publicness. Dewasa ini, timbul stigma
negatif terhadap organisasi publik karena ketidakpuasan masyarakat (citizen)
terhadap kualitas layanan yang diselenggarakan oleh organisasi publik. Kepuasan
masyarakat terhadap pelayanan yang diselenggarakan oleh organisasi publik bisa
digunakan sebagai ukuran bagi kinerja birokrasi, dan untuk mengetahui informasi
kepuasan masyarakat sangat mudah, bisa melalui media massa maupun diskusi
publik (tangkilisan, 2007: 177). Meritokrasi dalam birokrasi juga belum dapat dijalankan
secara maksimal, padahal asas meritokrasi diperlukan untuk mewujudkan birokrasi
yang lebih baik.
Banyak variabel yang menyebabkan kurang
baiknya pelayanan publik, salah satunya adalah akibat dari tidak berjalannya meritokrasi, Permasalahan
utama yang diangkat dalam penulisan ini yaitu
mengapa masih banyak birokrasi
yang mengesampingkan implementasi meritokrasi? Padahal meritokrasi dalam birokrasi dalam
administrasi public sangat
penting untuk meningkatkan performa pelayanan publik yang lebih baik.
Kemudian bagaimana manajemen yang harus dijalankan untuk menciptakan meritokrasi
dalam birokrasi administrasi publik? Paper ini mendiskusikan mengenai meritokrasi yang tidak berjalan sebagai
mana mestinya dalam birokrasi di Indonesia.
A. Meritokrasi dan implikasi terhadap kinerja
birokrasi dari dulu dan sekarang
Meritokrasi merupakan suatu sistem sosial di mana
penghargaan dan posisi yang dialokasikan secara adil atas dasar prestasi, bukan
faktor askriptif seperti jenis kelamin, kelompok etnis atau kekayaan. terkait
hal ini, banyak yang mengklaim bahwa
masyarakat industri modern lebih meritokratis daripada di masa lalu, dan sistem
pendidikan di masyarakat tersebut juga meritokrasi. Namun, ada banyak bukti
yang menunjukkan bahwa faktor-faktor askriptif memberikan pengaruh yang besar
terhadap peluang kehidupan individu (kumorotomo, 2006). Sejatinya, konsep
birokrasi secara modern pada pemerintahan di Indonesia sejatinya telah
dilaksanakan sejak zaman penjajahan kolonial belanda. Pada waktu itu birokrasi
dibentuk untuk memaksimalkan jalannya roda pemerintahan kolonial, pemerintah Belanda
merekrut para birokrat level menengah kebawah dari para bangsawan kraton
(priyayi) sedangkan birokrat atas tetap dipegang oleh orang-orang belanda. Hal
ini membawa implikasi kepada masuknya pengaruh budaya tradisional kedalam
birokrasi dimana budaya ini men-dikotomi antara bangsawan (priyayi) dengan
masyarakat bawah. Dari konteks itu birokrasi dikembangkan sehingga membentuk
pola hubungan paternalistik yang bersifat informal dan sangat pribadi. Corak
Paternalistik birokrasi di Indonesia lebih mencerminkan bapak dan anak buah.
Hubungan bapak-anak ini lebih halus dibandingkan dengan hubungan patron klien.
Untuk memperkuat gambaran ini, Niels Mulder (1985) menunjukkan bahwa posisi
seorang bawahan dan atasan disamakan dengan posisi hubungan antara seorang anak
dengan bapaknya dalam konsep jawa. Seorang anak harus menghormati bapaknya,
yang secara praktis termanifestasi dalam perasaan sungkan dan berbahasa halus
(kromo) dalam berbicara dengan bapak. Hubungan antara orang tua dengan anak
merupakan hubungan superior dan inferior (Dwiyanto, 2008:95).
Dalam budaya paternalistik tersebut, para aparatur
negara dibentuk dan ditempa, hasilnya mereka seringkali tidak mampu membedakan
mana kepentingan publik dan mana kepentingan privat. Pada kenyataannya
seringkali kepentingan privat yang merupakan kepentingan pribadi dan birokrasi
jauh lebih diutamakan daripada kepentingan publik yang notabene adalah
kepentingan masyarakat luas, padahal seharusnya para aparatur negara ini harus
bersikap profesional dalam menjalankan tugas pelayanan publik dengan
menempatkan kepentingan masyarakat sebagai fokus utama dari pelaksanaan tugas. Akibatnya
publik menjadi apatis terhadap aparatur negara, disisi lain kualitas sumber
daya aparatur kurang memenuhi standar kompetensi yang dibutuhkan, hal ini
selain disebabkan oleh budaya paternalisme juga akibat dari rekrutmen pegawai
yang tidak baik sehingga hasilnya adalah pegawai yang mempunyai kualitas yang
buruk serta komitmen yang rendah terhadap pelaksanaan tugas-tugas pelayanan
masyarakat. Tentu saja yang paling dirugikan adalah masyarakat sebagai pengguna
layanan birokrasi, dimana mereka harus mendapat pelayanan yang buruk dari para
birokrat (Dwiyanto, 2008:95).
Kepegawaian negara
merupakan faktor dinamis demokrasi yang memegang peranan penting dari semua
aspek pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Ketidakmampuan
pemerintah untuk melakukan perubahan struktur, norma, nilai dan regulasi
kepegawaian negara telah menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan
kebutuhan masyarakat. Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan
publik masih jauh dari harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan publik
yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan (service delivery culture).
Sebaliknya, yang terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk
mengalihkan birokrasi sebagai lahan pemerintahan hasrat dan kekuasaan (power
culture). Proses rekrutmen CPNS kurang
mengacu pada meritokrasi atau system yang mengedepankan profesionalisme dan
kompetensi pegawai menjadi gejala umum dalam rekrutmen dan pengangkatan CPNS.
Birokrasi menjadi powerless dan tidak bisa membentengi diri ketika diintervensi
oleh kepentingan politik dalam pengangkatan CPNS. Analisis jabatan dan analisis
beban kerja pegawai selama ini lebih banyak berhenti sebagai dokumen
kepegawaian di Baperjakat, dan seringkali kurang mendapat perhatian dari yang
berwenang membina pegawai (Mutiarin, 2011). Seharusnya, untuk meningkatkan profesionalisme
PNS, keahlian yang ditetapkan secara obyektif merupakan persyaratan utama dalam penerimaan, pengangkatan,
penempatan, promosi, dan pelatihan para calon. Selain itu, agar dapat
mempertahankan orang-orang terbaik dalam birokrasi, gaji dan kesejahteraan
sosial PNS harus dijamin agar tidak terlalu berbeda dari remunerasi di
perusahaan swasta. Sistem penggajian yang bertumpu pada kinerja PNS (performance
based salary system) perlu didukung oleh evaluasi kinerja PNS yang efektif.
Agar evaluasi tersebut dapat dilaksanakan, klasifikasi jabatan dan analisis
jabatan pada birokrasi publik harus dikembangkan. Sejalan dengan kebijakan
pemerintah untuk memberikan otonomi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi
pemerintahan tertentu kepada daerah, undang-undang No. 43 tahun 1999 meletakkan
dasar bagi desentralisasi kepegawaian, dengan tidak menurunkan standar kualitas
serta fungsi PNS sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.
Untuk itu pelaksanaan fungsi kepegawaian, yang mencakup penerimaan,
pengangkatan, penempatan, promosi, mutasi, penggajian, pelatihan dan
pendidikan, serta pemberhentian PNS di daerah akan diserahkan kepada daerah.
Tetapi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi kepegawaian tersebut daerah tetap harus
tunduk kepada standar, norma dan prosedur sistem merit yang berlaku nasional (Efendi,
2010:135).
Jika kita melihat ke belakang, Selama masa Orde Baru
yang otoriter, pengangkatan PNS berlangsung lebih tertutup tetapi
masalah-masalah di lapangan memang relatif mudah dikendalikan. Jika formasi dan
penerimaan PNS sudah diumumkan, pejabat yang berwenang akan memiliki otoritas
penuh dan tidak ada lagi pelamar yang berani protes. Tetapi dalam masa
demokrasi yang lebih terbuka, hal itu sama sekali tidak dapat dijamin. Kepala
BKD, bupati/walikota atau gubernur harus lebih sensitif terhadap isu-isu baru
yang berkembang dalam penerimaan pegawai. Akibatnya, banyak diantara para
pejabat daerah yang kemudian memenuhi tuntutan dari masyarakat dengan
mengorbankan prinsip-prinsip kepastian aturan dan meritokrasi dalam rekrutmen
pegawai. Alasan-alasan yang menyangkut tenggang-rasa kepada tenaga-tenaga
honorer yang sudah mengabdi selama bertahun-tahun lebih sering mengemuka. Tidak
jarang, isu ini berkembang menjadi isu politik dan ditangkap oleh para aktivis
LSM, politisi di DPD dan DPRD serta pihak-pihak lain yang berkepentingan. Yang
menjadi soal ialah bahwa para pembuat keputusan di daerah kemudian
mengakomodasi berbagai kepentingan berdasarkan kekuatan dari kelompok-kelompok
tertentu. Tidak jarang, kekuatan tawar-menawar dari kelompok tersebut
mengandalkan unjuk-rasa yang anarkhis, pengaruh politik, serta cara-cara yang
sebenarnya sudah melewati batas-batas demokrasi yang seharusnya. Ekses
penggerudukan, anarki, atau semua ancaman kekerasan yang sudah merupakan wujud
dari mobocracy ternyata juga bisa digunakan dalam persoalan pengangkatan PNS.
Kekecewaan sebagian masyarakat mengenai mobokrasi atau demokrasi yang
kebablasan. (Kumorotomo,2006) .
Rekrutmen pegawai seakan-akan menjadi kebutuhan
proyek tahunan dan bukan sebagai kebutuhan untuk meningkatkan kualitas
pelayanan publik dan penyelenggaraan pemerintahan. Indikasi ini sangat nyata
apabila dilihat bahwa job analisis sebagai persyaratan untuk menentukan job recruitment
masih belum dimiliki oleh pemerintah. Ketiadaan persyaratan jabatan telah
menyebabkan rekrutmen dilakukan secara serampangan, dan tidak memperhatikan
kualifikasi yang dibutuhkan. Untuk dapat melakukan dengan baik proses rekrutmen
maka spesifikasi tugas dan jabatan, harus diketahui secara baik. Ironisnya,
banyak sekali PNS yang tidak mengetahui tugasnya, bahkan nama jabatannya. Jika
perekrutan dilakukan tanpa mengetahui kebutuhan analisis jabatannya, SDM
aparatur pada satuan organisasi menjadi berlebihan dan tidak sesuai dengan
beban kerja yang ada. Rekrutmen yang demikian akan semakin banyak pengangguran
tidak kentara PNS (disguised unemployment) (Mujiyono, 2006).
Pada sisi lainnya, kepastian tentang jumlah PNS yang
dibutuhkan terhadap jumlah penduduk (rasio beban kerja) masih belum dapat
dihitung secara baik untuk menentukan jumlah pegawai yang harus direkrut setiap
tahunnya. Dari sisi penyelenggaraannya, rekrutmen pegawai masih dilakukan
dengan cara-cara yang tidak menjamin kesempatan dan terjaringnya calon-calon
yang potensial. Hal ini disebabkan rekrutmen masih dilakukan pemerintah, dan
bukan oleh sebuah lembaga yang independen (seperti civil service commition)
(Efendi, 2010:135).
Kondisi seperti ini tentu saja sangat potensial
untuk melahirkan praktek-praktek KKN dalam proses rekruitmen pegawai, dalam era
otonomi daerah hal ini semakin nyata terjadi. Kepentingan para elit politik
daerah untuk menempatkan para anggota keluarga, sanak saudara dan orang-orang
dekatnya untuk dijadikan pegawai negeri sangat kental. Pada saat yang bersamaan
jual beli formasi pegawai di daerah juga sangat intens terjadi, hal ini semakin
memperburuk proses rekruitmen pegawai. Pada akhirnya dari proses tersebut
dihasilkan pegawai-pegawai yang tidak memiliki kompetensi dan kemampuan yang
dibutuhkan guna menjalankan roda birokrasi secara efektif dan optimal.
Peningkatan Kompetensi SDM, Aparatur. Sosok birokrat
– ataupun SDM aparatur (pegawai negeri) pada umumnya - penampilannya harus
profesional sekaligus taat hukum, netral, rasional, demokratik, inovatif,
mandiri, memiliki integritas yang tinggi serta menjunjung tinggi etika
administrasi publik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan
profesionalisme aparatur harus ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan
mengupayakan pelembagaan karakteristik sebagai berikut.
a. mempunyai
komitmen yang tinggi terhadap perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan
bernegara,
b. memiliki
kompetensi yang dipersyaratkan dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan
kebijakan publik,
c. berkemampuan
melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif dan inovatif
d. Taat
asas, dan disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional,
e. memiliiki
daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas),
f. memiliki
jati diri sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, serta bangga terhadap
profesinya sebagai pegawai negeri,
g. memiliki
derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan
berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan
h. memaksimalkan efisiensi, kualitas, dan produktivitas.
Selain itu
perlu pula diperhatikan reward system
yang kondusi (baik dalam bentuk gaji maupun perkembangan karier yang didasarkan
atas sistem merit serta finalty system
yang bersifat preventif dan repressif. Pentingnya meritokrasi dalam organisasi
Pemda Secara sederhana, meritokrasi dapat dirumuskan sebagai suatu sistem
sosial yang menempatkan imbalan, kedudukan dan jabatan berdasarkan kemampuan
atau kecakapan dan bukan berdasarkan faktor-faktor askriptif seperti kelas
sosial, jender, kesukuan ataupun kekayaan seseorang. Pada umumnya terdapat
asumsi bahwa meritokrasi adalah suatu sistem yang memungkinkan terbentuknya
suatu tatanan yang lebih adil dan lebih profesional yang akan menunjang
kemajuan suatu bangsa. Ini berlaku untuk sektor publik maupun sektor swasta.
Namun demikian harus diakui bahwa meritokrasi adalah sesuatu yang sulit
diwujudkan, bukan saja di negara -negara berkembang tetapi juga di negara yang
relatif lebih maju (Kumorotomo,2006) .
Mengantisipasi tantangan global, pembinaan sumber
daya manusia aparatur negara juga perlu mengacu pada standar kompetensi
internasional (world class) (Mustopadijaja,2010). Dalam perencanaan Grand Design Reformasi Birokrasi,
pemerintah harus menaruh perhatian yang lebih serius dan tegas (termasuk dalam
menerapkan meritokrasi di tubuh birokrasi), sebab aparatur negara merupakan
komponen yang penting dalam penyelengaraan pemerintahan namun demikian perlu
dibuat suatu perubahan secara mendasar dan terintegral terhadap rancang bangun
dari reformasi birokrasi sehingga dapat meningkatkan kualitas pelayanan publik
kepada masyarakat serta mampu menjawab tantangan perubahan zaman dalam rangka
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Konklusi
Dalam menyelenggarakan birokrasi yang baik,
diperlukan sikap tegas dalam menghentikan kooptasi antara kepentingan politik
(terutama pemegang tampuk distribution of power tertinggi) dengan birokrasi agar tercipta
meritokrasi yang maksimal, sehingga profesionalisme dan kualitas sumberdaya
manusia aparatur birokrasi tinggi dan mampu melaksanakan tugas pelayanan publik
dengan maksimal.Terkait dengan
hal ini, pelaksanaan Birokrasi yang baik
dan berprinsip pada meritokrasi harus mendapatkan pengawasan dari seluruh lapis
stakeholder. Perlu adanya boundaries yang jelas agar kepentingan politik tidak
memberikan kooptasi yang berlebihan.
Proses recruitment
saat ini bukan menggunakan spoil system, melainkan sudah mengedepankan
meritokrasi untuk mewujudkan birokrasi yang mampu memberikan pelayanan yang
efektif dan efisien. spoil system yang syarat dengan politik
balas jasa, senioritas dan kekerabatan harus dihindari karena bisa merusak tatanan birokrasi. Bisa dibayangkan apabila manajemen birokrasi dikelola
oleh rang yang tidak memiliki kapabilitas yang memadai, akan terjadi kekacauan
dan ketidak efisienan karena kinerja pegawai harus berdasarkan direction order
yang komprehensif, tanpa mampu berinovasi dan berkreasi, serta kurang responsif
dalam menghadapi masalah. Sistem perekrutan yang baik akan
menghasilkan tenaga-tenaga yang profesional dalam birokrasi publik. Selain
moral, pentingnya pendidikan birokrasi dan peningkatan sumberdaya manusia
aparatur birokrasi melalui diskursus ataupun melakukan evaluasi kinerja yang
transparan, sehingga tercipta pelayanan
publik yang prima.
Referensi
:
Dwiyanto,
Agus et.al..2008. Reformasi Birokrasi
Publik di Indonesia. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Dwiyanto,
Agus. 2009. Revisi UU 32/2004 : Latar
Belakang dan Arah Perubahannya : Reformasi Birokrasi, Kepemimpinan dan
Pelayanan Publik; Kajian tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia.
Yogyakarta : Gava Media.
Dwiyanto, Agus. 2011. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Effendi,
Sofian. 2006. “Reformasi aparatur negara untuk melaksanakan tata pemerintahan
yang baik”, makalah yang disampaikan dalam seminar nasional AIPI “Reformasi Birokrasi dan Pemberantasan Korupsi di
Indonesia”. Pdf.
Effendi,
Sofian. 2010. Reformasi Tata
Kepemerintahan, Menyiapkan Aparatur Negara untuk Mendukung Demokratisasi
Politik dan Ekonomi Terbuka. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Hasibuan,
Muhamad Umar Syadat, Yohanes.2008. Revolusi
Politik Kaum Muda. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kumorotomo,
Wahyudi. 2006.”Demokrasi VS Meritokrasi, Mencari Jalan Tengah Dari Kasus
Pengangkatan Pegawai Honorer”. Makalah
Seminar tentang Manajeman Pejabat
Politik dan Pegawai Birokrasi di Gedung Pemda Provinsi DI Yogyakarta,
Kepatihan, tgl 17 Mei 2006, dalam situs www.kumorostaff.ugm.ac.id,
diakses tanggal 23 November 2012 pukul 20.30.
Kumorotomo,
Wahyudi & Ambar Widyaningrum, eds. 2010. Reformasi Aparatur Negara Ditinjau Kembali. Yogyakarta : Gava
Media.
Mustopadidjaja,
Reformasi Birokrasi sebagai syarat pemberantasan KKN, diunduh melalui http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Reformasi.pdf
diakses tanggal 12 agustus 2012 pukul 18.30
Mutiarin,
Diah. 2011.“ Moratorium CPNS” dalam Kedaulata
Rakyat, 13 September 2011
Thoha,
Miftah. 2008. Ilmu Administrasi Publik
Kontemporer. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Tangkilisan, Hessel
Nogi S.. 2007. Manajemen Publik.
Jakarta : Grasindo
Komentar