Pendahuluan
Kebijakan otonomi daerah yang dilahirkan
dalam era reformasi seperti saat sekarang ini sangat disadari telah mengundang
berbagai penafsiran di dalam implementasinya. Aspek keleluasaan kekuasaan yang
diberikan kepada daerah otonom telah melahirkan berbagai dinamika politik
lokal. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari perubahan paradigma
penyelenggaraan otonomi daerah dari the structural efficiency model ke
arah the local democracy model (Bastian, 2006).
Implikasi politik dari kebijakan otonomi
daerah sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan berbagai peraturan
pelaksanaannya, menuntut kepekaan dan kemampuan Badan Legislatif Daerah dan
Badan Eksekutif Daerah untuk memahami berbagai fenomena yang berkembang di
tengah-tengah masyarakat, sekaligus mampu mengembangkan pola kemitraan yang
dengan dilandasi etika hubungan yang baik. Kemudian, dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
ciri yang menonjol adalah adanya demokratisasi di daerah dengan penguatan
rakyat melalui DPRD. Perubahan tersebut mendasar yang menyangkut hak dan
wewenang, sedangkan prinsip yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 adalah bahwa pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peran dan
fungsi Badan Eksekutif dan Legislatif Daerah.
Otonomi daerah yang tertuang melalui
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah telah
membawa perubahan yang mendasar dan memberikan ruang yang lebih besar bagi
daerah dalam melaksanakan kewenangan dan mengelola keuangan di daerahnya.
Substansi dari kedua undang-undang tersebut adalah memberi kewenangan penuh
kepada daerah untuk mengelola semua urusan rumah tangganya sendiri, kecuali
dalam hal pertahanan keamanan, politik luar negeri, agama, kehakiman, moneter
dan fiskal. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, terjadi ketidakharmonisan hubungan
antara legislatif dengan Eksekutif di daerah. Mereka berebut kepentingan untuk
mengelola urusan daerah, sehingga terjadi carut marut yang mengakibatkan proses
desentralisasi tidak bisa berjalan dengan maksimal. Lalu bagaimana kondisi
kusutnya hubungan antara legislatif dengan eksekutif dalam mengawal
desentralisasi? Paper ini mencoba mengulas beberapa permasalahan tentang
disharmoni yang terjadi antara eksekutif dengan legislatif yang ada di daerah.
Hubungan antara Eksekutif dan Legislatif
yang Kurang Harmonis di Daerah
Maksud penyelenggaraan otonomi daerah
adalah untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta
masyarakat, pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah. Dengan demikian dapat diartikan bahwa otonomi daerah
diharapkan akan memberdayakan masyarakat dan menghidupkan demokrasi. Dalam sistem
pemerintahan demokrasi, lembaga perwakilan rakyat merupakan unsur yang penting
di samping unsur-unsur lainnya seperti sistem pemilihan, persamaan di depan
hukum, kebebasan berserikat dan sebagainya. Setiap sistem demokrasi adalah ide
bahwa warga negara seharusnya terlibat dalam hal tertentu di bidang pembuatan
keputusan-keputusan politik, baik secara langsung maupun melalui wakil pilihan
mereka di lembaga perwakilan.
Tujuan yang ingin dicapai dalam
pembangunan politik di Indonesia adalah terbentuknya sistem politik yang
demokratis. Oleh karena itu, kedaulatan dan kekuasaan yang tertinggi dalam
negara haruslah berada di tangan rakyat. Maksudnya, rakyatlah yang berdaulat
dan sekaligus sebagai pemilik utama kekuasaan tertinggi tersebut. Sesungguhnya, semua
bentuk pemerintahan memiliki satu sifat yang sama, yaitu kewenangan untuk
membuat hukum atau peraturan, serta kekuasaan untuk memaksa semua pihak agar menaati
hukum dan peraturan itu. Berbeda antara sistem yang demokratis dan yang tidak
demokratis terletak pada kenyataan bahwa di dalam sistem yang demokratis,
kewenangan dan kekuasaan semacam itu dibangun dan dipelihara berdasarkan
kesepakatan dari rakyat, sementara di dalam sistem yang tidak demokratis
kesepakatan rakyat tidak merupakan persyaratan.
Pada masa lampau telah banyak kita
mendengar dan membaca tulisan yang mengandung kritik tentang keberadaan
Legislatif (DPRD) dan Eksekutif Daerah Indonesia. Dimana DPRD lebih banyak
berperan sebagai mitra yang kurang seimbang dari Kepala Daerah yang juga
merangkap sebagai Kepala Wilayah. Kedudukan DPRD disini adalah salah satu
komponen Pemerintah Daerah umumnya dilihat sebagai faktor kelemahan dari suatu
badan yang menyelenggarakan fungsi Legislatif di daerah. Ada anggapan,
seolah-olah DPRD sebagai mitra Kepala Daerah, DPRD lebih banyak dituntut untuk
mengikuti arah kebijakan pemerintah daerah yang sudah terlebih dahulu
dirumuskan oleh Kepala Daerah.
Dan hubungan antara Legislatif dan
Eksekutif yakni dominatif, dimana pemerintah daerah yang berkuasa mengawasi dan
mengatur rakyat, karena Kepala Daerah itu merangkap kepala wilayah sering
dengan sebutan penguasa tunggal. Dalam hal ini membina dan mengawasi langsung partai
politik, organisasi yang ada dan juga mengawasi kinerja DPRD. Dimana DPRD
praktis tidak berfungsi sebagaimana mestinya baik sebagai pembuat kebijakan
maupun sebagai pengawas. Hal ini mengingatkan kita pada pengamalan di masa lalu
melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di
Daerah, dimana peranan DPRD sangat terbatas dan menempatkan DPRD sebagian
bagian dari Pemerintah Daerah bahkan cenderung sebagai subordinasi Kepala
Daerah baik di Daerah Tingkat Provinsi maupun Daerah Tingkat Kabupaten/Kota.
Dan juga merupakan bagian dari pemerintah daerah, jadi secara struktural
dikondisikan tidak bisa berbuat apa-apa, seperti hak angket tidak dapat
dipergunakan karena belum diatur dengan undang-undang dan harus mengikuti
petunjuk yang telah ditetapkan oleh Depdagri. Para anggota DPRD diharuskan
patuh terhadap petunjuk pimpinan partai daripada konsekuensinya. Partai diawasi
dan dibina oleh eksekutif, karena sarana pendukung pelaksanaan tugas DPRD
dikendalikan oleh Kepala Daerah.
Birokrasipun bukan untuk melayani
masyarakat tetapi lebih menguasai masyarakat, dan lebih banyak menyerap sumber
daya materil daripada mendistribusikan sumber daya material kepada masyarakat.
Dimana rakyat tidak punya wadah untuk dapat memperjuangkan baik itu DPRD maupun
eksekutif. Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 yang lalu membuktikan
bahwa telah berpengaruh terhadap kedudukan lembaga legislatif dan eksekutif.
Dalam kurun waktu adanya perubahan kedudukan DPRD, hubungan antara Kepala Daerah
dan DPRD telah bergeser, yaitu dari dominasi Eksekutif Daerah menjadi dominasi
Legislatif Daerah (Wasistiono, 2002 : 18). Dominasi legislatif daerah
tanpa disertai pengawasan yang seimbang dari semua pihak, hanya akan
memindahkan pusat-pusat korupsi yang semula melekat pada eksekutif daerah di
legislatif daerah. Padahal UU No. 22 Tahun 1999 tidak cukup mengatur mengenai
pengawasan terhadap DPRD. Dalam hal ini akan berlaku pandangan Lord Action yang menyatakan bahwa
“Kekuasaan cenderung korup kekuasaan yang absolut mendorong terjadinya korupsi
secara absolut pula”.
Karena
pernyataan tersebut di atas pada kenyataannya terbukti karena pada
implementasinya, banyak sekali penyimpangan yang dilakukan oleh DPRD. Adanya
otonomi daerah dan kesempatan kekuasaan itu. DPRD justru menunjukkan perilaku
yang bersifat anomali. Hampir
semua DPRD memanfaatkan otonomi daerah untuk kepentingan mereka seperti
menaikkan gaji secara tidak proporsional, meminta fasilitas yang berlebihan,
menyalahgunakan dengan melakukan kegiatan yang tidak dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat seperti melakukan studi banding keluar negeri atau keluar daerah,
bahkan ada DPRD yang menggunakan anggaran pemerintah daerah untuk menonton
sepakbola dengan alasan memberikan dukungan kepada tim kesayangan daerahnya.
Hampir setiap hari kita membaca berita di media masa tentang perilaku anggota
DPRD yang tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat.
Perilaku DPRD menyebabkan
banyak pihak menyatakan kekecewaan. Dalam hal ini pihak eksekutif tidak dapat berbuat
apa-apa, pada prinsipnya menyetujui kegiatan DPRD, karena pada masanya
kekuasaan dominasi pada legislatif dan juga merasa bahwa eksekutif dipilih dan
diberhentikan oleh DPRD.
Fakta
yang ada menunjukkan bahwa penguatan peran dan fungsi
DPRD sebagaimana yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang
berkaitan dengan otonomi daerah tidak sesuai dengan yang diharapkan dan bahkan
dapat dikatakan DPRD pada saat itu telah mengkhianati kepercayaan masyarakat
yang telah memilihnya dan menghantarkannya hingga duduk di kursi dewan yang
terhormat. Pada
akhirnya perubahan telah membawa kondisi yang sangat drastis berbeda, yaitu
terjadinya perubahan Undang-Undang No. 22 dan 25 Tahun 1999 menjadi
Undang-undang No. 32 dan 33 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan
Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah, khususnya
pada hubungan Eksekutif dengan DPRD, yang semula DPRD memegang peran penting
baik dalam pemerintahan maupun yang lainnya, seperti halnya pembuatan Perda.
Pada pemilihan Gubernur, dewanlah yang berpeluang besar karena Gubernur dipilih
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan kinerja Gubernur pun
dipertanggungjawabkan kepada DPRD, serta DPRD juga berhak memberhentikan
Gubernur dan Wakil Gubernur.
Dengan perubahan Undang-Undang tersebut di
atas, telah membawa angin segar terhadap pihak Eksekutif, dalam hal ini
hubungan Eksekutif dan Legislatif Daerah hanya sebagai mitra kerja, Gubernur
tidak lagi bertanggung jawab kepada DPRD melainkan hanya memberikan laporan
kerja dan Gubernur bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam
Negeri, selanjutnya pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pun diselenggarakan
oleh KPUD dan dipilih oleh rakyat, tertuang dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 Pasal 56 Ayat (1). Berbicara tentang pemerintahan tidak bisa
dipisahkan dengan pola hubungan Legislatif dan Eksekutif daerah, karena lembaga
itu merupakan penyelenggara pemerintahan daerah dalam arti luas. Dalam kerangka
hubungan Legislatif dan Eksekutif di beberapa daerah, dewasa ini tengah terjadi polemik antara
Eksekutif dan Legislatif tentang keabsahan atau legitimasi Gubernur dan Wakil
Gubernur yang sekarang sedang memerintah. Selain itu, dewan juga menyatakan
tidak dapat bekerja sama dengan lembaga eksekutif tersebut.
Kesimpulan
Dengan
berlakunya Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, maka
kedudukan dan fungsi DPRD semakin tidak jelas. Karena DPRD sebagai unsure dari
pemerintah daerah yang bersama-sama dengan Kepala Daerah menetapkan Peraturan Daerah,
termaksud APBD. Artinya DPRD tidak bisa bertindak secara mandiri untuk
menjalankan fungsi legislatif, karena harus mendapatkan persetujuan dari kepala
daerah. Dalam posisi yang demikian, maka kewenangan dari DPRD menjadi sangat
terbatas, bahkan DPRD tidak lagi bisa disebut sebagai sebagai lembaga
legislatif. Demikian juga kewenangan untuk kontrol terhadap eksekutif menjadi
terbatas, ketika Kepala daerah bertanggung Jawab kepada pemerintah atasan.
Secara normatif, seharusnya lembaga Pemerintahan Daerah, DPRD mempunyai
kedudukan setara dan memiliki hubungan kerja bersifat kemitraan dengan
Pemerintah Daerah. Kedudukan yang setara berrnakna bahwa antara DPRD dan
Pemerintah Daerah merniliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam arti tidak
saling membawahi. Hubungan bersifat kemitraan berarti DPRD merupakan mitra
kerja Pemerintah Daerah dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan
otonomi daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Berdasarkan hal
tersebut antar kedua lembaga wajib memelihara dan membangun hubungan kerja yang
harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan atau
pesaing. Untuk terjalinnya hubungan kerja yang harmonis dan saling mendukung,
diperlukan adanya pengaturan tentang hak-hak protokoler dan keuangan Pimpinan
dan Anggota DPRD yang lebih komprehensif.
Referensi
Abdullah, Rozali, 2002, Pelaksanaan Otonomi Luas dan Federalisme sebagai Suatu Alternatif, Jakarta : Grafindo Persada.
Adisubrata, S.W, 2003, Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia (Sejak Proklamsi sampai Awal
Reformasi), Semarang : Aneka Ilmu.
Bastian, Indra,
Akuntansi Sektor Publik,
Semarang : Erlangga.
Gaffar, A., Syaukani, Rasyid, R., 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar – Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan.
Imawan,
R., 2002, ”Peningkatan Daya Saing : Pendekatan Paradigmatik-Politis”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Volume 6 Nomor 1 Juli 2002, 79 – 104.
Komisi
Penyelenggaraan Otonomi Daerah, 2005, Daya
Saing Investasi Kabupaten / Kota di Indonesia, Jakarta.
Musa’ad,
A.M., 2002, Penguatan Otonomi daerah :
Dibalik bayang-bayang Ancaman Disintegrasi, Bandung : ITB .
Piliang,
I.J., Pribadi, A., Ramdani, D., 2003, Otonomi
Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Jakarta : Divisi Kajian Demokrasi Lokal
Yayasan Harkat Bangsa.
Wasistiono, S., 2005, Pasang Surut Otonomi Daerah, Sketsa Perjalanan 100 Tahun, Jakarta :
Institut For Local Development, dan Yayasan Tifa.
Widjaja, A.W., 2002, Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi, Jakarta : Grafindo Persada.
Komentar