Analisis Efektivitas Penilaian Prestasi Kerja sebagai Instrumen Performance Appraisal PNS Menggantikan DP3 di BKN
Pendahuluan
PP No.10 Tahun 1979 tentang
Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil secara substansi sudah tidak kompatibel dengan kondisi
saat ini. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai atau yang dikenal
dengan DP3 sudah tidak sesuai dengan jalannya reformasi birokrasi yang
menekankan pada kinerja. Oleh karena itu,
dikeluarkan PP 46 Tahun 2011 tentang Penilaian
Prestasi Kerja PNS sebagai revisi
dari PP No.10
Tahun 1979.Peraturan
baru tersebut diharapkan mampu
memberikan penilaian yang objektif dan terukur untuk setiap pegawai.Melihat tuntutan lingkungan
strategis, pada peraturan lama sudah banyak yang tidak relevan. Hal tersebut
dibuktikan dengan dilakukan kajian eksisting dan
mendengarkan pendapat para akademisi dan pakar teori-teori sektor publik, serta
melihat contoh dari negara-negara lain dalam hal penilaian sektor publik.
Setelah dilakukan kajian empiris,
maka didapatkan
fakta 35% peraturan yang lama masih layak digunakan
secara regulasi, namun secara implementasi 65% dari peraturan yang lama perlu dilakukan perubahan. Seharusnya
setiap kegiatan PNS dapat diukur dan berhubungan dengan tupoksinya (bkn.go.id).
Pembinaan
PNS saat ini lebih ditekankan kepada prestasi kerja yang berlandaskan
pasal 12 dan pasal 20 UU 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam RUU ASN dijelaskan terkait
pembinaan prestasi PNS, pasal 20 menegaskan terkait dnegan
Kenaikan Pangkat dilakukan penilaian prestasi kerja. Pasal tersebut yang mendasari
SKP dibuat sebagai pengganti DP3.
Penilaian prestasi kerja PNS berdasarkan prinsip : Objektif, Terukur,
Akuntabel, Partisipatif, keterlibatan dalam penyusunan tersebut berasaskantransparansi, jadi siapapun yang menilai
maka akan memiliki jawaban yang sama, misal
jika target
kinerja pegawai yang ingin dicapai dalam satu tahun
adalah 10, namun hanya tercapai 5, maka semua orang akan bisa menyimpulkan
pegawai tersebut hanya bekerja 50%.
Penilaian
pelaksanaan pekerjaan pegawai merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk
mengevaluasi tingkat pelaksanaan pekerjaan atau unjuk kerja (perfomance
appraisal) seorang pegawai. Dilingkungan Pegawai Negeri Sipil dikenal dengan
DP-3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang diatur dalam PP 10 Tahun
1979.Kenyataan empirik menunjukkan proses penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS
cenderung terjebak ke dalam proses formalitas. DP3-PNS dirasa telah kehilangan
arti dan makna substantif, tidak berkait langsung dengan apa yang telah
dikerjakan PNS. DP3-PNS secara substantif tidak dapat digunakan sebagai
penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas dan kontribusi PNS
terhadap organisasi. Seberapa besar keberhasilan dan atau kegagalan PNS dalam melaksanakan
tugas pekerjaannya.Penilaian DP3-PNS, lebih berorientasi pada penilaian
kepribadian (personality) dan perilaku (behavior) terfokus pada pembentukan
karakter individu dengan menggunakan kriteria behavioral, belum terfokus pada
kinerja, peningkatan hasil, produktivitas (end result) dan pengembangan
pemanfaatan potensi (bkn.go.id).Beberapa
tinjauan terkait dengan implementasi DP3 PNS selama ini, proses penilaian lebih
bersifat rahasia, sehingga kurang memiliki nilai edukatif, karena hasil
penilaian tidak dikomunikasikan secara terbuka. Selain itu, pengukuran dan
penilaian prestasi kerja tidak didasarkan pada target goal, sehingga proses
penilaian cenderung terjadi bias dan bersifat subyektif, nilai jalan tengah
dengan rata-rata baik untuk menghindari nilai “amat baik” atau “kurang”,
apabila diyakini untuk promosi dinilai tinggi, bila tidak untuk promosi
cenderung mencari alasan untuk menilai “sedang” atau “kurang”. Dalam hal Atasan
langsung sebagai pejabat penilai, ia hanya sekedar menilai, belum/tidak memberi
klarifikasi hasil penilaian dan tidak lanjut penilaian.Maka, setelah dilakukan
proses kajian yang panjang dan mendalam mengenai DP3 PNS, durumuskan metode
baru dalam melihat kinerja PNS melalui pendekatan metode SKP (Sasaran Kerja
PNS). Melalui metode ini, Penilaian prestasi kerja PNS secara sistemik
menggabungkan antara penilaian Sasaran Kerja Pegawai Negeri Sipil dengan
penilaian perilaku kerja. Dari hal
tersebut timbul pertanyaan mengenai seberapa efektifkah SKP sebagai instrumen
penilaian dalam mengukur kinerja PNS? Serta apa saja kelebihan, kekurangan, dan
hal - hal yang berpotensi menyebabkan kegagalan dalam penilaian prestasi kerja
sebgai pengganti DP3?
Kegagalan DP3,
Transformasi
DP3 ke Penilaian Prestasi Kerja
dan potensi kelemahan serta hambatan dalam Penilaian Prestasi Kerja
Penilaian
kinerja individu pegawai secara akurat dan akuntabel sebagai bahan pengambilan
keputusan manajemen dan administrasi kepegawaian, seperti identifikasi
kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen pegawai, seleksi, mutasi,
rotasi,promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari proses manajemen
sumber daya manusia secara efektif.Pengendalian
dan pengawasan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien apabila ada standar,
indikator atau faktor yang dapat diukur dengan mudah dan jelas. Tidak hanya
bersifat kualitatif atau berdasarkan perkiraan atau perasaan. Ketika tidak ada
standarisasi, penilaian akan sangat mungkin didominasi oleh perasaan subjektif.
Dalam DP3, yang merupakan penilaian akhir tahun di instansi pemerintahan, pada
proses penentuan dan pengukuran lebih cenderung pada asas kira - kira. Standar
indikator pengukuran yang tidak jelas dan merit sistem tidak memiliki peran
yang berarti dalam penilaian DP3 menyebabkan performa kinerja organisasi jauh
dari target proporsional. Seharusanya organisasi memiliki 4 hal penting
kaitannya dengan performa organisasi
untuk mencapai tujuan, yaitu standar
kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, serta korelasi dan perbaikan
kinerja (Azizy, 2007 : 122-124)
Untuk
melihat lebih jauh mengenai kelemahan yang ada dalam DP3, perlu ditinjau lebih
dalam mengenai bias dalam penilaian. Ada beberapa bentukbias yang biasa
ditemukan dalam penilaian (Armstrong, 2005) diantaranya adalah sebagai berikut.
a.
Halo Effect
Merupakan bias yang terjadi apabila
kualitas yang luar biasa dari individu menjadi
dasar peringkat dari keseluruhan. Dalam bias penialain ini, rating kinerja individu
bukan merupakan hal yang penting.Halo effect dikaitkan dengan penilaian pada
kesan pertama yang tetap utuh meskipun masalah berkembang.
b.
Horns Effect
Merupakan bias yang berkebalikan dari Halo
effect, terjadi apabila
satu kualitas burukdari individu menjadi
dasar peringkat dari keseluruhan.
c.Liniency
effect /Harshness Effect
kecenderungan bentuk bias penilaian berupa penilaian
subjektif kepada pegawai dengan kecenderungan
pengawas menilai sangat tinggi.
Kesalahan ini juga disebut kelonggaran negatif.
Evaluator biasanya berdalih
bahwahal itu memotivasi karyawan dan membuat mereka merasa nyaman, padahal tidak demikian.
d.
Central tendency Effect
Bias dalam bentuk menilai
seluruh pegawai dengan nilai
rata-rata dan dianggap gagaluntuk
membedakan antara pegawai yang
memiliki kompetensi tinggi dan mereka yang
membutuhkan dukungan khusus. Dalam hal
ini penilai sangat pelit untuk memberikan nilai.
e.
Recently Effect
Bias dalam bentuk menilai
kinerja pegawai dengan melihat apa yang telah
dilakukan saat ini dan melupakan penilaian sebelumnya.
Efek bias tersebut banyak ditemukan pada DP3. Hal ini
mengakibatkan kinerja organisasi maupun performa kinerja individu tidak dapat
maksimal karena subjektivitas dalam penilaian. Pada akhirnya banyak tupoksi
yang tidak terselesaikan dan tumpang tindih tugas diferensiasi. Secara rinci, sisi
kelemahan yang ada pada DP3 antara lain sebagai berikut.
1. Adanya unsur
penilaian yang sangat kualitatif, seperti unsur kesetiaan. Bukan hal yang tidak
mungkin akan memberikan penafsiran yang berbeda pada masing-masing penilai
dalam menilai kesetiaan pegawai bersangkutan. Selain sangat kualitatif,
kriteria penilaian dari unsur kesetiaan ini sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan zaman, seperti kriteria pada unsur Kesetiaan yaitu “tidak pernah
mengeluarkan ucapan/tulisan yang bertujuan mengubah Pancasila/UUD 1945. Padahal
di era reformasi ini tuntutan untuk menyempurnakan konstitusi tersebut bukan
suatu hal yang tabu lagi tetapi sudah merupakan mainstream masyarakat. Oleh
karena itu, unsur kesetiaan ini sebaiknya dihilangkan saja dan penilaian
kesetiaan bisa diintegrasikan kedalam unsur ketaatan, dimana ukuran kesetiaan
seorang PNS terhadap negara ini bisa dilihat dari seberapa jauh pegawai
tersebut mau mentaati peraturan yang ada (Muhammad, 2008).
2. DP3 merupakan
sistem penilaian yang berorientasi ke masa lalu dengan menggunakan teknik rating scale dan critical incident method, maka apabila tidak dilakukan sebagaimana
mestinya hal ini bisa menimbulkan adanya bias penilaian berupa bias liniency effect, central tendency effect, dan recency effect. Karena adanya resiko
demikian, bisa dipikirkan untuk mencoba mengubah metode tersebut menjadi metode
gabungan antara metode yang berorientasi ke masa lalu dengan yang berorientasi
ke masa yang akan datang, seperti metode management by objective (MBO), dimana
dengan berlakunya UU No. 43/1999 yang paradigma pembinaan PNS mulai bergeser
kearah prestasi kerja PNS, maka dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh
masing-masing instansi pemerintah, PNS yang menjadi obyek penilaian harus
dilibatkan dalam membuat atau menentukan target-target yang akan dicapainya,
sehingga mereka merasa ikut bertanggung jawab dalam pencapaian target tersebut.
(Muhammad, 2008).
3. Banyak masalah yang timbul pada saat penilaian atau pengisian DP3,
karena proses penilaian hanya terjadi pada akhir tahun atau pada akhir periode.
Salah satu masalah yang terjadi karena penilaian hanya pada akhlr periode ini
adalah terjadinya bias recency effect. Bias ini terjadi apabila pihak penilai
(atasan) hanya menilai berdasarkan hasil pengamatan/penilaian kinerja pada
waktu terakhir mendekati waktu/ periode penilaian, tanpa memerhatikan prestasi
kerja pada waktu yang lalu. Sebagai contoh, apabila bawahan pada akhir tahun
menunjukkan prestasi kerja buruk, tanpa mempertimbangkan kinerja yang baik pada
awal tahun, maka bawahan tersebut dinilai buruk atau rendah. Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, penggunaan buku kerja harian mungkin bisa dijadikan
salah satu solusi. Penggunaan buku harian tersebut adalah dengan tujuan
melakukan pencatatanterhadap semua aktivitas kerja sehari-hari, sehingga dari
hari ke hari, bisa diketahui hasil pencapaian prestasi kerja, dan pencatatan
harian prestasi kerja tersebut bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan
penilaian kinerja atau pengisian DP3 (Muhammad, 2008 : 219).
4. Pada proses penilaian kinerja PNS, DP3 hanya merupakan produk akhir,
sehingga sering kali DP3 tidak dipergunakan untuk keperluan apa pun, kecuali
hanya untuk 2 hal; untuk kenaikan pangkat dan sebagai dasar keputusan promosi.
Idealnya penilaian kinerja merupakan suatu rangkaian proses yang
berkesinambungan dan tidak ada akhirnya, sehingga hasil penilaian kinerja bisa
dipergunakan untuk kegiatan lainnya seperti urusan penggajian, untuk keperluan
pendidikan (training), atau untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan bawahan,
sehingga bisa dilakukan upaya pengembangan, dan bimbingan-penyuluhan
(coaching-counseling). Dengan melihat keberadaan DP3, jelaslah bahwa DP3 tidak
bisa dipergunakan untuk mengetahui keadaan bawahan, ataupun dipergunakan untuk
pengambilan keputusan pengembangan. Hal tersebut disebabkan karena DP3 hanya
berisi hasil evaluasi yang berbentuk angka, dan tidak ada sedikit pun mencantumkan
uraian tentang keadaan atau deskripsi kinerja bawahan. Apabila ingin lebih
memfungsikan DP3 sebagai penilaian kinerja, tentunya diperlukan perubahan yang
cukup besar pada sistem penilaian kinerja PNS.
5. Penilaian kinerja seharusnya didasarkan pada hasil analisis jabatan,
untuk mendapatkan penilaian yang tepat pada unsur yang dinilai. Pada
kenyataannya, DP3 tidak pernah mendasarkan pada analisis jabatan, bahkan jarang
sekali ada analisis jabatan yang tepat dan komprehensif pada jajaran Pemerintah
Daerah, padahal jelas sekali fungsi analisis jabatan adalah sangat penting dan
mendasar. Analisis jabatan merupakan muara untuk kegiatan kepegawaian lainnya,
termasuk kegiatan penugasan (deskripsi pekerjaan), serta penilaian kinerja.
Penilaian kinerja tanpa analisis jabatan dan deskripsi pekerjaan yang jelas dan
riil, ibarat pemberian nilai tanpa dasar atau mengawang-awang.
6.
Pada DP3 tidak tercantum standar penilaian yang jelas,
sehingga sering kali proses pemberian nilai DP3 bersifat perkiraan kepantasan,
dan sangat subjektif. Secara teroritis, standar penilaian kinerja harus
memenuhi beberapa kriterias, sementara apabila mengamati formulir DP3, sama sekali
tidak terlihat kriteria-kriteria yang terdapat pada standar kinerja, sehingga
bisa disimpulkan bahwa DP3 disusun tidak berdasarkan standar kinerja yang jelas
dan spesifik.
7.
Tidak pernah ada mekanisme feedback atau umpan batik pada proses penilaian kinerja PNS. Proses
umpan balik merupakan hal yang sangat penting, sehingga pihak yang dinilai bisa
memahami hasil penilaian atasan. Fungsi umpan balik yang lain adalah diketahuinya
kekuatan dan kelemahan bawahan, yang nantinya dapat digunakan sebagai keputusan
kepegawaian lainnya: apakah seorang bawahan memiliki kekurangan sehingga perlu
diberikan bimbingan, penyuluhan, atau pelatihan; atau apakah bawahan memiliki
kelebihan sehingga perlu diberikan penghargaan (reward) atau bahkan promosi.
Mekanisme umpan balik juga merupakan perwujudan dari keterbukaan, dan
komunikasi yang transparan antara atasan dan bawahan, yang justru akan menambah
besar kepercayaan (trust), dan komitmen antarkedua belah pihak, yang ujungnya
dapat meningkatkan prestasi kerja.
8. Unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 adalah merupakan sifat atau ciri
pribadi seseorang, sehingga tipe penilaian tersebut merupakan personnel
appraisal system. Kelemahan dari sistem penilaian berdasarkan ciri sifat
pribadi antara lain adalah; (1) ciri sifat seseorang tidak dapat memberikan
informasi yang banyak tentang kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan; (2) sulit dicari keandalan dan objektivitasnya, sehingga sering
terjadi bias; dan (3) penilaian cenderung ditujukan pada kualitas pribadi, bukan
hasil kinerjanya. Dengan mengetahui banyaknya kelemahan dalam penilaian
menggunakan unsur ciri sifat, maka apabila diinginkan mendapatkan penilaian
kinerja yang lebih baik dan objektif, sudah saatnya dilakukan perubahan pada
DP3.
Banyaknya ketidakjelasan pada sistem penilaian, terutama
tidak adanya standar penilaian yang jelas, maka sering kali dalam proses
penilaian sering terjadi kesalahan penilaian akibat unsur subjektivitas atau
penilaian tidak berdasar standar tertentu. Kesalahan penilaian tersebut antara
lain bias central tendency dan bias leniency. Bias penilaian tersebut bisa
diminimalkan apabila dalam proses penilaian, diberikan standar yang jelas dan
spesifik (muhammad, 2008 : 221). Untuk memperbaiki kelemahan yang ada pada DP3,
Penilaian kinerja terhadap pegawai kemudian disempurnakan dengan Penilaian
prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja terdiri dari
dua unsur yaitu SKP dan Perilaku Kerja dengan bobot penilaian unsur SKP sebesar
60 % dan perilaku kerja sebesar 40 %. Prestasi kinerja individu pegawai sangat
penting dalam mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu diperlukan sistem
penilaian kinerja yang dapat diandalkan, dan dapat dijadikan dasar untuk
penilaian kinerja dan pengembangan prestasi pegawai sesuai tujuan organisasi.
Dengan demikian, setiap pegawai dapat menilai seberapa jauh kinerjanya telah
menghasilkan prestasi yang diharapkan sesuai tujuan organisasi. Dalam penilaian kinerja
individu PNS selain memperhatikan tugas pokok dan fungsi, juga melakukan
penilaian terhadap tugas tambahan yang dibebankan kepada individu PNS yang
bersangkutan. Instrumen Penilaian kinerja Individu PNS meliputi : (1) Penilaian
kinerja berdasarkan pada Sasaran Kinerja Individu (SKI) yang dilakukan dengan
membandingkan antara realisasi kerja dengan target dari aspek kuantitas,
kualitas, waktu dan biaya, dikalikan dengan bobot kegiatan; (2) Penilaian
perilaku kerja dilakukan dengan cara pengamatan sesuai kriteria yang telah
ditetapkan; (3) Penilaian prestasi kerja dilakukan dengan cara menggabungkan
penilaian SKI dengan penilaian perilaku kerja (tangkilisan, 2005 :164). Penilaian dalam SKP meliputi
aspek-aspek kuantitas,
kualitas, waktu, atau biaya. Sementara
Penilaian perlaku kerja meliputi unsur: Orientasi Pelayanan, Integritas,
Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan Kepemimpinan. SKP ditetapkan setiap tahun
pada bulan Januari dan digunakan sebagai dasar penilaian prestasi kerja. Selain melakukan
Kegiatan Tugas Jabatan yang sudah menjadi tugas dan fungsi, apabila seorang
pegawai memiliki tugas tambahan terkait dengan jabatan, maka dapat dinilai dan
ditetapkan menjadi tugas tambahan. PNS yang melaksanakan tugas tambahan yang
diberikan oleh pimpinan atau pejabat
penilai yang berkaitan dengan tugas pokok jabatan, hasilnya dinilai sebagai
bagian dari capaian SKP.Selain tugas tambahan, PNS yang telah menunjukkan
kreatifitas yang bermanfaat bagi organisasi dalam melaksanakan tugas pokok jabatan,
hasilnya juga dapat dinilai sebagai bagian dari capaian SKP.
Penilaian prestasi kerja Pegawai akan mulai dilaksanakan serentak pada bulan
Januari 2014 mendatang. SKP
dan perilaku kerja sudah
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian
Prestasi Kerja Pegawai. Penilaian pegawai dalam
PP 46/2011 meliputi dua sisi,
yaitu penetapan kinerja dan disiplin pegawai.Penilaian melalui SKP dianggap lebih adil, obyektif,
transparan, akuntabel dan terukur.
Penilaian
dimulai dari penetapan, pelaksanaan dan evaluasi kinerja yang dilakukan oleh
PNS secara individual. Uji coba dilakukan pada
tahun 2013 di seluruh
Kementrian dan lembaga, khususnya yang telah melaksakan reformasi birokrasi dan
mendapatkan tunjangan kinerja. Ekspektasi
BKN, pada tahun
2014 semua SKP sudah berjalan dengan baik, dan pemerintah bisa mengukur setiap
kinerja masing-masing pegawai.
Indikator-indikator yang
digunakan dalam penilaian mengacu kepada indikator organisasi, sehingga
penilaian ini pada akhirnya mampu menjawab kinerja organisasi. Di beberapa instansi, SKP mulai diujicobakan sejak
tanggal 1 April 2013. Keberhasilan
sistem penilaian ini, perlu tiga syarat utama, yakni komitmen pimpinan, budaya
kinerja, serta manajemen kinerja.
Ada tiga syarat utama agar pelaksanaan penilaian
berjalan efektif. Syarat tersebut yaitu komitmen pimpinan, budaya kinerja,
serta manajemen kinerja itu sendiri. Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi,pada
2014 semua SKP sudah berjalan dengan baik, dan pemerintah bisa mengukur setiap
kinerja masing-masing pegawai.
Penilaian prestasi kerja diproyeksi mampu untuk
memberikan penilaian secara komprehensif dan memiliki ukuran yang jelas. Namun
di sisi lain terdapat potensi kelemahan
dan hambatan. Potensi Kelemahan dan Hambatan dalam
implementasi Penilaian prestasi kerja
dengan SKP dan perilaku kerja antara lain sebagai
berikut.
1. SDM yang
masih kurang dalam hal kompetensi dan moral
pada proses penilaian.
Dalam penilaian Penilaian prestasi kerja
potensi hambatan yang muncul yaitu ketidakselarasan antara pelaksana penilaian dengan mekanisme penilaian prestasi kerja itu
sendiri. Sangat mungkin terjadi apabila hasil penilaian tidak sesuai dengan
yang diharapkan, karena pejabat penilai
tidak tahu persis mekanisme yang ada di SKP
ataupun Perilaku Kerja. Oleh karena itu, harus
ada proses breakdown yang jelas agar
kompetensi
penilai mencukupi untuk melaksanakan penilaian secara maksimal, sehingga temuan
dari hasil penilaian dapat digunakan
sebagai evauasi secara jelas. Pada tahap
ujicoba memang membuahkan hasil yang signifikan, tetapi jika diimplementasikan
secara menyeluruh akan terlihat gap distorsi. Hal ini bisa timbul karena
kompetensi SDM penilai antara pusat dan daerah tidak sama. Apabila diimplementasikan
secara prematur, tanpa ada diklat penilaian prestasi kerja di daerah secara
intensif, penilaian tidak bisa berjalan secara maksimal. Di samping itu, harus ada motivasi moral, agar
tidak terjadi kecurangan dalam penilaian. Untuk menghindari kecurangan, Audit
penilaian harus memiliki dokumentasi yang jelas dan komprehensif serta
menggunakan TI seperti e-performance yang diaplikasikan di Kementrian Keuangan,
agar transparansi dan akuntabilitas bisa dipertanggungjawabkan.
2. Bentuk penilaian belum menggunakan
model 360 derajat.
Penilaian 360 derajat merupakan bentuk
penilaian yang bersifat multi rates, melibatkan circumstance di lingkungan
kerja, mulai dari bawahan, pegawai yang setara dan atasan (purnawanto, 2005 :
122). Penilaian prestasi kerja terutama pada SKP belum
menggunakan model 360 derajat, sehingga masih
berpotensi timbulnya subjektivitas dalam penilaian. Oleh karena itu, penilaian
360 derajat seharusnya bisa dilakukan pada Penilaian prestasi kerja, sehingga
objektivitas penilaiannyapun akan lebih tinggi.
Kesimpulan
Pada
sistem penilaian menggunakan Penilaian
prestasi kerja masih ada yang perlu dibenahi agar lebih efektif.
Dalam hal ini adalah SDM aparatur agar Penilaian
prestasi kerja bisa maksimal. Selain itu penyempurnaan penilaian dengan multi rates
agar objektif sehingga bisa diidentifikasi secara jelas permasalahan yang ada
terkait performa kinerja pegawai. Mengubah mindset pegawai
di bawah manajemen BKN lebih dari 4 juta pegawai agar bisa mewujudkan
hubungan
atasan bawahan lebih harmonis, mereduksi
kesewenang – wenangan
atasan pada bawahan, bawahan tidak bisa
seenaknya, dan publik juga turut menilai, bukanlah hal yang mudah. Penilaian prestasi kerja adalah
hal yang revolusioner bagi Pemerintah. Penilaian
prestasi kerja bukan semata-mata untuk memvonis pegawai
baik atau buruk, tapi juga digunakan untuk mengevaluasi dan menata
pegawai. Dengan Penilaian prestasi
kerja
bisa dilakukan identifikasi secara mendalam karakteristik
SDM PNS seperti apa, lalu dianalisis lebih lanjut. Misalnya
seorang pegawai tidak mencapai target
karena apa? Apakah beban atau
target terlalu berat atau ada variabel lain, atau karena tidak
kompeten, atau karena organisasinya
yang tidak kondusif ?. Pada dasarnya, terdapat 4
hal yang bisa diperbaiki, yang pertama adalah kompetensi pegawai melalui
pelatihan, kedua perbaikan organisasi melalui efisiensi, ketiga mensinkronkan
SDM, dan yang keempat melakukan
manajemen yang lebih baik dari identifikasi gap
pegawai baik kompetensi maupun kinerjanya.
Referensi :
Azizy, Qadri. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi. Jakarta : Gramedia.
Del Po , Amy. 2005. The Performance Appraisal
Handbook. Berkeley : Nolo.
Dwiyanto, Agus. Reformasi
Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : UGM Press.
Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Government : Pengalaman dari Daerah. Jakarta : Kompas
Gramedia.
Purnawanto, Budi. 2005. Manajemen SDM Berbasis Proses. Jakarta : Grasindo.
Tangkilisan, Hessel Nogi. 2007. Manajemen Publik. Jakarta : Grasindo.
Komentar