Langsung ke konten utama

Analisis Efektivitas Penilaian Prestasi Kerja sebagai Instrumen Performance Appraisal PNS Menggantikan DP3 di BKN



Pendahuluan
PP No.10 Tahun 1979 tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai Negeri Sipil secara substansi sudah tidak kompatibel dengan kondisi saat ini. Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan pegawai atau yang dikenal dengan DP3 sudah tidak sesuai dengan jalannya reformasi birokrasi yang menekankan pada kinerja. Oleh karena itu, dikeluarkan PP 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja PNS sebagai revisi dari PP No.10 Tahun 1979.Peraturan baru tersebut diharapkan mampu memberikan penilaian yang objektif dan terukur untuk setiap pegawai.Melihat tuntutan lingkungan strategis, pada peraturan lama sudah banyak yang tidak relevan. Hal  tersebut dibuktikan dengan dilakukan kajian eksisting dan mendengarkan pendapat para akademisi dan pakar teori-teori sektor publik, serta melihat contoh dari negara-negara lain dalam hal penilaian sektor publik. Setelah dilakukan kajian empiris,  maka didapatkan fakta 35% peraturan yang lama masih layak digunakan secara regulasi, namun secara implementasi 65% dari peraturan yang lama perlu dilakukan perubahan. Seharusnya setiap kegiatan PNS dapat diukur dan berhubungan dengan tupoksinya (bkn.go.id).
Pembinaan PNS saat ini lebih ditekankan kepada prestasi kerja yang berlandaskan pasal 12 dan pasal 20 UU 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam RUU ASN dijelaskan terkait pembinaan prestasi PNS,  pasal 20 menegaskan terkait dnegan Kenaikan Pangkat dilakukan penilaian prestasi kerja. Pasal tersebut yang mendasari SKP dibuat sebagai pengganti DP3. Penilaian prestasi kerja PNS berdasarkan prinsip : Objektif, Terukur, Akuntabel, Partisipatif, keterlibatan dalam penyusunan tersebut berasaskantransparansi, jadi siapapun yang menilai maka akan memiliki jawaban yang sama, misal jika target kinerja pegawai yang ingin dicapai dalam satu tahun adalah 10, namun hanya tercapai 5, maka semua orang akan bisa menyimpulkan pegawai tersebut hanya bekerja 50%. Penilaian pelaksanaan pekerjaan pegawai merupakan proses kegiatan yang dilakukan untuk mengevaluasi tingkat pelaksanaan pekerjaan atau unjuk kerja (perfomance appraisal) seorang pegawai. Dilingkungan Pegawai Negeri Sipil dikenal dengan DP-3 (Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) yang diatur dalam PP 10 Tahun 1979.Kenyataan empirik menunjukkan proses penilaian pelaksanaan pekerjaan PNS cenderung terjebak ke dalam proses formalitas. DP3-PNS dirasa telah kehilangan arti dan makna substantif, tidak berkait langsung dengan apa yang telah dikerjakan PNS. DP3-PNS secara substantif tidak dapat digunakan sebagai penilaian dan pengukuran seberapa besar produktivitas dan kontribusi PNS terhadap organisasi. Seberapa besar keberhasilan dan atau kegagalan PNS dalam melaksanakan tugas pekerjaannya.Penilaian DP3-PNS, lebih berorientasi pada penilaian kepribadian (personality) dan perilaku (behavior) terfokus pada pembentukan karakter individu dengan menggunakan kriteria behavioral, belum terfokus pada kinerja, peningkatan hasil, produktivitas (end result) dan pengembangan pemanfaatan potensi (bkn.go.id).Beberapa tinjauan terkait dengan implementasi DP3 PNS selama ini, proses penilaian lebih bersifat rahasia, sehingga kurang memiliki nilai edukatif, karena hasil penilaian tidak dikomunikasikan secara terbuka. Selain itu, pengukuran dan penilaian prestasi kerja tidak didasarkan pada target goal, sehingga proses penilaian cenderung terjadi bias dan bersifat subyektif, nilai jalan tengah dengan rata-rata baik untuk menghindari nilai “amat baik” atau “kurang”, apabila diyakini untuk promosi dinilai tinggi, bila tidak untuk promosi cenderung mencari alasan untuk menilai “sedang” atau “kurang”. Dalam hal Atasan langsung sebagai pejabat penilai, ia hanya sekedar menilai, belum/tidak memberi klarifikasi hasil penilaian dan tidak lanjut penilaian.Maka, setelah dilakukan proses kajian yang panjang dan mendalam mengenai DP3 PNS, durumuskan metode baru dalam melihat kinerja PNS melalui pendekatan metode SKP (Sasaran Kerja PNS). Melalui metode ini, Penilaian prestasi kerja PNS secara sistemik menggabungkan antara penilaian Sasaran Kerja Pegawai Negeri Sipil dengan penilaian perilaku kerja. Dari hal tersebut timbul pertanyaan mengenai seberapa efektifkah SKP sebagai instrumen penilaian dalam mengukur kinerja PNS? Serta apa saja kelebihan, kekurangan, dan hal - hal yang berpotensi menyebabkan kegagalan dalam penilaian prestasi kerja sebgai pengganti DP3?
Kegagalan DP3, Transformasi DP3 ke Penilaian Prestasi Kerja dan potensi kelemahan serta hambatan dalam Penilaian Prestasi Kerja
Penilaian kinerja individu pegawai secara akurat dan akuntabel sebagai bahan pengambilan keputusan manajemen dan administrasi kepegawaian, seperti identifikasi kebutuhan program pendidikan dan pelatihan, rekrutmen pegawai, seleksi, mutasi, rotasi,promosi, sistem imbalan dan berbagai aspek lain dari proses manajemen sumber daya manusia secara efektif.Pengendalian dan pengawasan dapat dilakukan dengan efektif dan efisien apabila ada standar, indikator atau faktor yang dapat diukur dengan mudah dan jelas. Tidak hanya bersifat kualitatif atau berdasarkan perkiraan atau perasaan. Ketika tidak ada standarisasi, penilaian akan sangat mungkin didominasi oleh perasaan subjektif. Dalam DP3, yang merupakan penilaian akhir tahun di instansi pemerintahan, pada proses penentuan dan pengukuran lebih cenderung pada asas kira - kira. Standar indikator pengukuran yang tidak jelas dan merit sistem tidak memiliki peran yang berarti dalam penilaian DP3 menyebabkan performa kinerja organisasi jauh dari target proporsional. Seharusanya organisasi memiliki 4 hal penting kaitannya  dengan performa organisasi untuk mencapai tujuan,  yaitu standar kinerja, pengukuran kinerja, evaluasi kinerja, serta korelasi dan perbaikan kinerja (Azizy, 2007 : 122-124)
Untuk melihat lebih jauh mengenai kelemahan yang ada dalam DP3, perlu ditinjau lebih dalam mengenai bias dalam penilaian. Ada beberapa bentukbias yang biasa ditemukan dalam penilaian (Armstrong, 2005) diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Halo Effect
Merupakan bias yang terjadi apabila kualitas yang luar biasa dari individu menjadi dasar peringkat dari keseluruhan. Dalam bias penialain ini, rating kinerja individu bukan merupakan hal yang penting.Halo effect dikaitkan dengan penilaian pada kesan pertama yang tetap utuh meskipun masalah berkembang.
b. Horns Effect
Merupakan bias yang berkebalikan dari Halo effect,  terjadi apabila satu kualitas burukdari individu menjadi dasar peringkat dari keseluruhan.
c.Liniency effect /Harshness Effect
kecenderungan bentuk bias penilaian berupa penilaian subjektif kepada pegawai dengan kecenderungan pengawas  menilai sangat tinggi. Kesalahan ini juga disebut kelonggaran negatif. Evaluator biasanya berdalih bahwahal itu memotivasi karyawan dan membuat mereka merasa nyaman, padahal tidak demikian.
d. Central tendency Effect
Bias dalam bentuk menilai seluruh pegawai dengan nilai rata-rata dan dianggap gagaluntuk membedakan antara pegawai yang memiliki kompetensi tinggi dan mereka yang membutuhkan dukungan khusus. Dalam hal ini penilai sangat pelit untuk memberikan nilai.
e. Recently Effect
Bias dalam bentuk menilai kinerja pegawai dengan melihat apa yang telah dilakukan saat ini dan melupakan penilaian sebelumnya.
Efek bias tersebut banyak ditemukan pada DP3. Hal ini mengakibatkan kinerja organisasi maupun performa kinerja individu tidak dapat maksimal karena subjektivitas dalam penilaian. Pada akhirnya banyak tupoksi yang tidak terselesaikan dan tumpang tindih tugas diferensiasi. Secara rinci, sisi kelemahan yang ada pada DP3 antara lain sebagai berikut.
1. Adanya unsur penilaian yang sangat kualitatif, seperti unsur kesetiaan. Bukan hal yang tidak mungkin akan memberikan penafsiran yang berbeda pada masing-masing penilai dalam menilai kesetiaan pegawai bersangkutan. Selain sangat kualitatif, kriteria penilaian dari unsur kesetiaan ini sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, seperti kriteria pada unsur Kesetiaan yaitu “tidak pernah mengeluarkan ucapan/tulisan yang bertujuan mengubah Pancasila/UUD 1945. Padahal di era reformasi ini tuntutan untuk menyempurnakan konstitusi tersebut bukan suatu hal yang tabu lagi tetapi sudah merupakan mainstream masyarakat. Oleh karena itu, unsur kesetiaan ini sebaiknya dihilangkan saja dan penilaian kesetiaan bisa diintegrasikan kedalam unsur ketaatan, dimana ukuran kesetiaan seorang PNS terhadap negara ini bisa dilihat dari seberapa jauh pegawai tersebut mau mentaati peraturan yang ada (Muhammad, 2008).
2. DP3 merupakan sistem penilaian yang berorientasi ke masa lalu dengan menggunakan teknik rating scale dan critical incident method, maka apabila tidak dilakukan sebagaimana mestinya hal ini bisa menimbulkan adanya bias penilaian berupa bias liniency effect, central tendency effect, dan recency effect. Karena adanya resiko demikian, bisa dipikirkan untuk mencoba mengubah metode tersebut menjadi metode gabungan antara metode yang berorientasi ke masa lalu dengan yang berorientasi ke masa yang akan datang, seperti metode management by objective (MBO), dimana dengan berlakunya UU No. 43/1999 yang paradigma pembinaan PNS mulai bergeser kearah prestasi kerja PNS, maka dalam menentukan tujuan yang akan dicapai oleh masing-masing instansi pemerintah, PNS yang menjadi obyek penilaian harus dilibatkan dalam membuat atau menentukan target-target yang akan dicapainya, sehingga mereka merasa ikut bertanggung jawab dalam pencapaian target tersebut. (Muhammad, 2008).
3. Banyak masalah yang timbul pada saat penilaian atau pengisian DP3, karena proses penilaian hanya terjadi pada akhir tahun atau pada akhir periode. Salah satu masalah yang terjadi karena penilaian hanya pada akhlr periode ini adalah terjadinya bias recency effect. Bias ini terjadi apabila pihak penilai (atasan) hanya menilai berdasarkan hasil pengamatan/penilaian kinerja pada waktu terakhir mendekati waktu/ periode penilaian, tanpa memerhatikan prestasi kerja pada waktu yang lalu. Sebagai contoh, apabila bawahan pada akhir tahun menunjukkan prestasi kerja buruk, tanpa mempertimbangkan kinerja yang baik pada awal tahun, maka bawahan tersebut dinilai buruk atau rendah. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, penggunaan buku kerja harian mungkin bisa dijadikan salah satu solusi. Penggunaan buku harian tersebut adalah dengan tujuan melakukan pencatatanterhadap semua aktivitas kerja sehari-hari, sehingga dari hari ke hari, bisa diketahui hasil pencapaian prestasi kerja, dan pencatatan harian prestasi kerja tersebut bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan penilaian kinerja atau pengisian DP3 (Muhammad, 2008 : 219).
4. Pada proses penilaian kinerja PNS, DP3 hanya merupakan produk akhir, sehingga sering kali DP3 tidak dipergunakan untuk keperluan apa pun, kecuali hanya untuk 2 hal; untuk kenaikan pangkat dan sebagai dasar keputusan promosi. Idealnya penilaian kinerja merupakan suatu rangkaian proses yang berkesinambungan dan tidak ada akhirnya, sehingga hasil penilaian kinerja bisa dipergunakan untuk kegiatan lainnya seperti urusan penggajian, untuk keperluan pendidikan (training), atau untuk mengetahui kekurangan dan kelebihan bawahan, sehingga bisa dilakukan upaya pengembangan, dan bimbingan-penyuluhan (coaching-counseling). Dengan melihat keberadaan DP3, jelaslah bahwa DP3 tidak bisa dipergunakan untuk mengetahui keadaan bawahan, ataupun dipergunakan untuk pengambilan keputusan pengembangan. Hal tersebut disebabkan karena DP3 hanya berisi hasil evaluasi yang berbentuk angka, dan tidak ada sedikit pun mencantumkan uraian tentang keadaan atau deskripsi kinerja bawahan. Apabila ingin lebih memfungsikan DP3 sebagai penilaian kinerja, tentunya diperlukan perubahan yang cukup besar pada sistem penilaian kinerja PNS.
5. Penilaian kinerja seharusnya didasarkan pada hasil analisis jabatan, untuk mendapatkan penilaian yang tepat pada unsur yang dinilai. Pada kenyataannya, DP3 tidak pernah mendasarkan pada analisis jabatan, bahkan jarang sekali ada analisis jabatan yang tepat dan komprehensif pada jajaran Pemerintah Daerah, padahal jelas sekali fungsi analisis jabatan adalah sangat penting dan mendasar. Analisis jabatan merupakan muara untuk kegiatan kepegawaian lainnya, termasuk kegiatan penugasan (deskripsi pekerjaan), serta penilaian kinerja. Penilaian kinerja tanpa analisis jabatan dan deskripsi pekerjaan yang jelas dan riil, ibarat pemberian nilai tanpa dasar atau mengawang-awang.
6. Pada DP3 tidak tercantum standar penilaian yang jelas, sehingga sering kali proses pemberian nilai DP3 bersifat perkiraan kepantasan, dan sangat subjektif. Secara teroritis, standar penilaian kinerja harus memenuhi beberapa kriterias, sementara apabila mengamati formulir DP3, sama sekali tidak terlihat kriteria-kriteria yang terdapat pada standar kinerja, sehingga bisa disimpulkan bahwa DP3 disusun tidak berdasarkan standar kinerja yang jelas dan spesifik.
7. Tidak pernah ada mekanisme feedback atau umpan batik pada proses penilaian kinerja PNS. Proses umpan balik merupakan hal yang sangat penting, sehingga pihak yang dinilai bisa memahami hasil penilaian atasan. Fungsi umpan balik yang lain adalah diketahuinya kekuatan dan kelemahan bawahan, yang nantinya dapat digunakan sebagai keputusan kepegawaian lainnya: apakah seorang bawahan memiliki kekurangan sehingga perlu diberikan bimbingan, penyuluhan, atau pelatihan; atau apakah bawahan memiliki kelebihan sehingga perlu diberikan penghargaan (reward) atau bahkan promosi. Mekanisme umpan balik juga merupakan perwujudan dari keterbukaan, dan komunikasi yang transparan antara atasan dan bawahan, yang justru akan menambah besar kepercayaan (trust), dan komitmen antarkedua belah pihak, yang ujungnya dapat meningkatkan prestasi kerja.
8. Unsur-unsur yang dinilai dalam DP3 adalah merupakan sifat atau ciri pribadi seseorang, sehingga tipe penilaian tersebut merupakan personnel appraisal system. Kelemahan dari sistem penilaian berdasarkan ciri sifat pribadi antara lain adalah; (1) ciri sifat seseorang tidak dapat memberikan informasi yang banyak tentang kemampuan seseorang dalam menyelesaikan suatu pekerjaan; (2) sulit dicari keandalan dan objektivitasnya, sehingga sering terjadi bias; dan (3) penilaian cenderung ditujukan pada kualitas pribadi, bukan hasil kinerjanya. Dengan mengetahui banyaknya kelemahan dalam penilaian menggunakan unsur ciri sifat, maka apabila diinginkan mendapatkan penilaian kinerja yang lebih baik dan objektif, sudah saatnya dilakukan perubahan pada DP3.
Banyaknya  ketidakjelasan pada sistem penilaian, terutama tidak adanya standar penilaian yang jelas, maka sering kali dalam proses penilaian sering terjadi kesalahan penilaian akibat unsur subjektivitas atau penilaian tidak berdasar standar tertentu. Kesalahan penilaian tersebut antara lain bias central tendency dan bias leniency. Bias penilaian tersebut bisa diminimalkan apabila dalam proses penilaian, diberikan standar yang jelas dan spesifik (muhammad, 2008 : 221). Untuk memperbaiki kelemahan yang ada pada DP3, Penilaian kinerja terhadap pegawai kemudian disempurnakan dengan Penilaian prestasi kerja. Penilaian prestasi kerja terdiri dari dua unsur yaitu SKP dan Perilaku Kerja dengan bobot penilaian unsur SKP sebesar 60 % dan perilaku kerja sebesar 40 %. Prestasi kinerja individu pegawai sangat penting dalam mencapai tujuan organisasi. Oleh karena itu diperlukan sistem penilaian kinerja yang dapat diandalkan, dan dapat dijadikan dasar untuk penilaian kinerja dan pengembangan prestasi pegawai sesuai tujuan organisasi. Dengan demikian, setiap pegawai dapat menilai seberapa jauh kinerjanya telah menghasilkan prestasi yang diharapkan sesuai tujuan organisasi. Dalam penilaian kinerja individu PNS selain memperhatikan tugas pokok dan fungsi, juga melakukan penilaian terhadap tugas tambahan yang dibebankan kepada individu PNS yang bersangkutan. Instrumen Penilaian kinerja Individu PNS meliputi : (1) Penilaian kinerja berdasarkan pada Sasaran Kinerja Individu (SKI) yang dilakukan dengan membandingkan antara realisasi kerja dengan target dari aspek kuantitas, kualitas, waktu dan biaya, dikalikan dengan bobot kegiatan; (2) Penilaian perilaku kerja dilakukan dengan cara pengamatan sesuai kriteria yang telah ditetapkan; (3) Penilaian prestasi kerja dilakukan dengan cara menggabungkan penilaian SKI dengan penilaian perilaku kerja (tangkilisan, 2005 :164). Penilaian dalam SKP meliputi aspek-aspek  kuantitas, kualitas, waktu, atau biaya. Sementara Penilaian perlaku kerja meliputi unsur: Orientasi Pelayanan, Integritas, Komitmen, Disiplin, Kerjasama, dan Kepemimpinan. SKP ditetapkan setiap tahun pada bulan Januari dan digunakan sebagai dasar penilaian prestasi kerja. Selain melakukan Kegiatan Tugas Jabatan yang sudah menjadi tugas dan fungsi, apabila seorang pegawai memiliki tugas tambahan terkait dengan jabatan, maka dapat dinilai dan ditetapkan menjadi tugas tambahan. PNS yang melaksanakan tugas tambahan yang diberikan oleh pimpinan atau pejabat penilai yang berkaitan dengan tugas pokok jabatan, hasilnya dinilai sebagai bagian dari capaian SKP.Selain tugas tambahan, PNS yang telah menunjukkan kreatifitas yang bermanfaat bagi organisasi dalam melaksanakan tugas pokok jabatan, hasilnya juga dapat dinilai sebagai bagian dari capaian SKP.
Penilaian prestasi kerja Pegawai akan mulai dilaksanakan serentak pada bulan Januari 2014 mendatang. SKP dan perilaku kerja sudah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2011 tentang Penilaian Prestasi Kerja Pegawai. Penilaian pegawai dalam PP 46/2011 meliputi dua sisi, yaitu penetapan kinerja dan disiplin pegawai.Penilaian melalui SKP dianggap lebih adil, obyektif, transparan, akuntabel dan terukur. Penilaian dimulai dari penetapan, pelaksanaan dan evaluasi kinerja yang dilakukan oleh PNS secara individual. Uji coba  dilakukan pada tahun 2013 di seluruh Kementrian dan lembaga, khususnya yang telah melaksakan reformasi birokrasi dan mendapatkan tunjangan kinerja. Ekspektasi BKN,  pada tahun 2014 semua SKP sudah berjalan dengan baik, dan pemerintah bisa mengukur setiap kinerja masing-masing pegawai. Indikator-indikator yang digunakan dalam penilaian mengacu kepada indikator organisasi, sehingga penilaian ini pada akhirnya mampu menjawab kinerja organisasi. Di beberapa instansi, SKP mulai diujicobakan sejak tanggal 1 April 2013. Keberhasilan sistem penilaian ini, perlu tiga syarat utama, yakni komitmen pimpinan, budaya kinerja, serta manajemen kinerja. Ada tiga syarat utama agar pelaksanaan penilaian berjalan efektif. Syarat tersebut yaitu komitmen pimpinan, budaya kinerja, serta manajemen kinerja itu sendiri. Jika ketiga syarat tersebut terpenuhi,pada 2014 semua SKP sudah berjalan dengan baik, dan pemerintah bisa mengukur setiap kinerja masing-masing pegawai.
Penilaian prestasi kerja diproyeksi mampu untuk memberikan penilaian secara komprehensif dan memiliki ukuran yang jelas. Namun di sisi lain  terdapat potensi kelemahan dan hambatan. Potensi Kelemahan dan Hambatan dalam implementasi Penilaian prestasi kerja dengan SKP dan perilaku kerja antara lain sebagai berikut.
1. SDM yang masih kurang dalam hal kompetensi dan moral  pada proses penilaian.
Dalam penilaian Penilaian prestasi kerja potensi hambatan yang muncul yaitu ketidakselarasan antara pelaksana penilaian dengan mekanisme penilaian prestasi kerja itu sendiri. Sangat mungkin terjadi apabila hasil penilaian tidak sesuai dengan yang diharapkan, karena pejabat penilai tidak tahu persis mekanisme yang ada di SKP ataupun Perilaku Kerja. Oleh karena itu, harus ada proses breakdown yang jelas agar kompetensi penilai mencukupi untuk melaksanakan penilaian secara maksimal, sehingga temuan dari hasil penilaian dapat digunakan sebagai evauasi secara jelas. Pada tahap ujicoba memang membuahkan hasil yang signifikan, tetapi jika diimplementasikan secara menyeluruh akan terlihat gap distorsi. Hal ini bisa timbul karena kompetensi SDM penilai antara pusat dan daerah tidak sama. Apabila diimplementasikan secara prematur, tanpa ada diklat penilaian prestasi kerja di daerah secara intensif, penilaian tidak bisa berjalan secara maksimal.  Di samping itu, harus ada motivasi moral, agar tidak terjadi kecurangan dalam penilaian. Untuk menghindari kecurangan, Audit penilaian harus memiliki dokumentasi yang jelas dan komprehensif serta menggunakan TI seperti e-performance yang diaplikasikan di Kementrian Keuangan, agar transparansi dan akuntabilitas bisa dipertanggungjawabkan.
2. Bentuk penilaian belum menggunakan model 360 derajat.
Penilaian 360 derajat merupakan bentuk penilaian yang bersifat multi rates, melibatkan circumstance di lingkungan kerja, mulai dari bawahan, pegawai yang setara dan atasan (purnawanto, 2005 : 122). Penilaian prestasi kerja terutama pada SKP belum menggunakan model 360 derajat, sehingga masih berpotensi timbulnya subjektivitas dalam penilaian. Oleh karena itu, penilaian 360 derajat seharusnya bisa dilakukan pada Penilaian prestasi kerja, sehingga objektivitas penilaiannyapun akan lebih tinggi.

Kesimpulan
Pada sistem penilaian menggunakan Penilaian prestasi kerja masih ada yang perlu dibenahi agar lebih efektif. Dalam hal ini adalah SDM aparatur agar Penilaian prestasi kerja bisa maksimal. Selain itu penyempurnaan penilaian dengan multi rates agar objektif sehingga bisa diidentifikasi secara jelas permasalahan yang ada terkait performa kinerja pegawai. Mengubah mindset pegawai di bawah manajemen BKN lebih dari 4 juta pegawai agar bisa mewujudkan hubungan atasan bawahan lebih harmonis, mereduksi kesewenang – wenangan atasan pada bawahan, bawahan tidak bisa seenaknya, dan publik juga turut menilai, bukanlah hal yang mudah. Penilaian prestasi kerja adalah hal yang revolusioner bagi Pemerintah. Penilaian prestasi kerja bukan semata-mata untuk memvonis pegawai baik atau buruk, tapi juga digunakan untuk mengevaluasi dan menata pegawai. Dengan Penilaian prestasi kerja bisa dilakukan identifikasi secara mendalam karakteristik SDM PNS seperti  apa, lalu dianalisis lebih lanjut. Misalnya seorang pegawai tidak mencapai target karena apa? Apakah beban atau target terlalu berat atau ada variabel lain, atau karena tidak kompeten, atau karena organisasinya yang tidak kondusif ?. Pada dasarnya, terdapat 4 hal yang bisa diperbaiki, yang pertama adalah kompetensi pegawai melalui pelatihan, kedua perbaikan organisasi melalui efisiensi, ketiga mensinkronkan SDM, dan yang keempat melakukan manajemen yang lebih baik dari identifikasi gap pegawai baik kompetensi maupun kinerjanya.

Referensi :
Azizy, Qadri. 2007. Change Management dalam Reformasi Birokrasi.  Jakarta : Gramedia.
Del Po , Amy. 2005. The Performance Appraisal  Handbook. Berkeley : Nolo.
Dwiyanto, Agus. Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia. Yogyakarta : UGM Press.
Muhammad, Fadel. 2008. Reinventing Government : Pengalaman dari Daerah. Jakarta : Kompas Gramedia.
Purnawanto, Budi. 2005. Manajemen SDM Berbasis Proses. Jakarta : Grasindo.
Tangkilisan, Hessel Nogi. 2007. Manajemen Publik. Jakarta : Grasindo.
www.kompas.com, diakses tanggal 23 Mei 2013.
www.gatra.com, diakses tanggal 24 Mei 2013.
www.bkn.go.id, diakses tanggal 27 Mei 2013.
www.menpan.go.id, diakses tanggal 22 Mei 2013.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par