Langsung ke konten utama

Pemekaran Wilayah di Indonesia, Mengapa lebih berdampak Negatif?




Pendahuluan
Penyelenggaraan pemerintahan baru yang memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintahan daerah mulai diberlakukan di Indonesia yang diimplementasikan atas dasar UU No. 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan UU No. 32 Tahun 2004. Untuk memaksimalkan Desentralisasi sesuai dengan UU tersebut,  penataan Daerah Otonom Baru (DOB) menjadi salah satu isu penting yang sampai sekarang masih menjadi fokus Pemerintah. Penataan DOB sampai saat ini masih sangat identik dengan pemekaran wilayah, belum ada yang mengarah pada penghapusan dan penggabungan wilayah seperti diatur dalam PP 129 tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP 78 tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pembentukan DOB sejak tahun 1999 menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, karena jumlah Provinsi di Indonesia meningkat sebesar 21%, jumlah Kabupaten meningkat sebesar 41%, dan jumlah Kota meningkat sebesar 37%. Dalam peraturan pemerintah tersebut prasyarat pembentukan wilayah provinsi harus meliputi minimal lima kabupaten/ kota, sedangkan untuk kabupaten terdiri dari lima kecamatan dan kota cukup dengan empat kecamatan. Di sisi lain pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa hanya ditetapkan melalui peraturan daerah. Sehingga tidak mampu terpantau oleh pemerintah, mengingat belum adanya suatu sistem pelaporan atau pencatatan peraturan daerah yang kontinyu di tingkat pusat. Berdasarkan pencatatan Departemen Dalam Negeri pada tahun 2008 diketahui bahwa rata-rata setiap bulan terbentuk 18 kecamatan, 30 kelurahan dan 60 desa (seknasfitra.org).
Mengingat tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mendekatkan pelayanan umum, dan memperkuat daya saing daerah, maka membanjirnya tingkat pemekaran wilayah tersebut mengancam turunnya kualitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hasil evaluasi kinerja DOB yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan hanya 58,71% berkinerja tinggi. Sisanya 34,19% berkinerja sedang, dan 4,16% berkinerja rendah. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri melansir 80% DOB gagal meningkatkan kesejahteraan.Fakta lain dari hasil evaluasi Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan ada 34 daerah yang menjadi tertinggal atau miskin setelah dimekarkan. Pembentukan DOB menimbulkan banyak masalah dan justru menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat menurun, mengapa demikian? Paper ini mencoba untuk menjelaskan permasalahan yang dihadapi pasca pemekaran di Daerah Otonom Baru.
Masalah yang timbul dalam Pemekaran daerah atau Pembentukan Daerah Otonom Baru.
Pada kurun waktu 1999-2009, telah ada 205 DOB terdiri dari 7 Provinsi, 164 Kabupaten dan 34 Kota. Akibatnya pada 2003, pemerintah harus menyediakan DAU Rp1,33 triliun bagi 22 daerah otonom baru hasil pemekaran yang dilakukan pada 2002. Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada tahun 2004, di mana pemerintah harus mentransfer Rp2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 DOB. Pada tahun 2010, pemerintah mengucurkan dana Rp47,9 triliun sebagai DAU untuk DOB. Dalam Desentralisasi, komponen terbesar perimbangan keuangan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah Dana Alokasi Umum (DAU). Formula DAU telah memberikan motivasi bagi daerah untuk melakukan pembengkakan belanja pegawai dan terjadinya pemekaran daerah. Masuknya belanja pegawai sebagai alokasi dasar tidak mencerminkan kebutuhan dan kesenjangan antar daeah. Formula ini tidak memberikan insentif bagi daerah yang mengurangi belanja pegawainya dan disinsentif bagi terjadinya pemekaran. Artinya tujuan DAU untuk mengurangi kesenjangan fiskal tidak akan tercapai jika alokasinya habis untuk membiayai belanja pegawai. Hal ini juga yang memotivasi terjadinya pemekaran daerah karena beban belanja pegawainya sudah pasti akan dibiayai oleh DAU. Mengingat motivasi lahirnya daerah baru lebih banyak bersifat politis dan didasari semangat mengambil anggaran lebih besar, maka satu-satunya cara untuk mengendalikan laju pemekaran daerah tersebut adalah dengan merevisi aturan terkait DAU. Melalui momentum revisi undang-undang perimbangan keuangan harus ditegaskan pengaturan secara mengikat bahwa daerah otonomi baru tidak secara otomatis bisa mendapatkan DAU.
Dengan berpegang pada prinsip pembentukan daerah baru berpotensi meningkatkan pelayanan terhadap rakyat, DPR RI secara aklamasi mengesahkan inisiatif 19 RUU daerah otonom baru.. Perhatian terhadap kawasan yang terabaikan karena terlalu jauh dari ibu kota kabupaten atau provinsi dapat ditingkatkan. Alasan lainnya adalah bahwa kawasan tersebut diharapkan dapat lebih produktif dan lebih berkembang. Pemekaran daerah bertujuan utama agar ada ruang partisipasi bagi politik daerah serta masuknya uang dari pusat ke daerah. Namun, untuk melakukan pemekaran pada suatu daerah harus ada sosialisasi secara komprehensif terlebih dahulu kepada masyarakat yang menginginkan pemekaran tentang masalah yang harus dihadapi setelah pemekaran. Sebab, pemekaran daerah tidaklah mudah dan murah. Pemekaran wilayah seharusnya menjadi solusi atas suatu permasalahan yang dihadapi, bukannya justru menambah masalah atau menciptakan masalah baru. Tujuan dari pemekaran daerah tersebut tidak akan tercapai jika tidak disiapkan secara serius. Masyarakat justru akan memperoleh pelayanan yang semakin buruk, birokrasi daerah tidak mampu memenuhi semua jenis layanan, dan infrastruktur dasar tidak tersedia dengan baik. Jika infrastruktur belum tersedia, maka kepala daerah baru hanya akan disibukkan untuk membenahi urusan ini dan melupakan persoalan sehari-hari masyarakat.
Banyaknya daerah otonom baru di Indonesia memiliki implikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah otonom baru yang dialokasikan dari APBN. Pada tahun 2002 dialokasikan DAU sebesar Rp. 1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun 2010 sebesar Rp. 47.9 triliun. Beberapa fakta yang dijumpai antara lain adalah adanya daerah otonom baru ternyata memiliki jumlah penduduk sangat sedikit bahkan ada sebuah daerah otonom kabupaten baru hanya berpenduduk kurang dari 12.000 jiwa. Fakta lain adalah jumlah dan kualitas SDM Pemerintah Daerah sangat minim, kurang tersedianya prasarana dan sarana pemerintahan dan munculnya berbagai konflik masyarakat lokal yang mengiringi proses otonomi daerah antara lain akibat persoalan batas wilayah.
Berdasarkan hasil evaluasi terhadap daerah otonom hasil pemekaran daerah selama kurun waktu 10 tahun yang dipandang kurang memuaskan maka dicanangkan kebijakan pemberhentian sementara (moratorium) terhadap pembahasan usulan daerah otonom baru pada tahun 2010. Seiring dengan keputusan moratorium tersebut dilakukan upaya komperhensif untuk menata kembali daerah otonom yang sudah ada dan secara khusus menetapkan strategi untuk menangani usulan daerah otonom baru antara lain dengan menetapkan persyaratan teknis meliputi parameter dan indikator yang harus dipenuhi. Salah satu persyaratan yang harus ada adalah parameter dan indikator dari dimensi geografi. Pada tahun 2011 secara administratif wilayah Indonesia terbagi dalam 33 provinsi, 398 kabupaten dan 93 kota. Berdasarkan luasnya, wilayah provinsi paling kecil adalah provinsi Bali dan DI Yogyakarta, sedangkan yang paling luas adalah provinsi provinsi di Kalimantan   kecuali Kalimantan Selatan dan Papua. Wilayah wilayah provinsi yang paling luas inilah, dari segi luas wilayah, memiliki potensi untuk dimekarkan di masa datang.
Pembangunan wilayah di Indonesia mengalami perubahan yang signifikan sejak reformasi tahun 1998. Kewenangan kepala daerah (gubernur, bupati dan wali kota) dalam mengembangkan wilayah tercermin dari berbagai kebijakan yang tertuang dalam peraturan daerah (perda) sesuai UU Otonomi Daerah. Pelaksanaan kegiatan pembangunan didasarkan pada rencana pembangunan daerah dan rencana pembangunan idealnya disusun berdasarkan rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah sebagai pedoman dalam pengelolaan wilayah disusun berdasarkan keinginan dan harapan rakyat (seluruh stake holder/pemangku kepentingan), yang secara sederhana disebut sebagai cerminan “visi” yang ditetapkan pemerintah daerah. Kementrian Dalam Negeri menemukan beberapa masalah yang timbul masalah tersebut  yaitu di samping persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru serta munculnya konflik horisontal yang cenderung semakin meningkat, ternyata masalah di atas juga disebabkan oleh lemahnya aturan persyaratan dan pentahapan pembentukan daerah otonom baru. Oleh karena itu pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan penghentian sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya melakukan penyempurnaan aturan pemekaran daerah, salah satu diantaranya menyempurnakan ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru.
Rata rata dalam kurun waktu 10 telah lahir lebih dari 20 daerah otonom baru tiap tahunnya. Apabila diamati kecendrungan besarnya jumlah pemekaran daerah dan usulan pemekaran, para penggagas pemekaran daerah tentu menyambut antusias pengesahan itu, terlebih apabila hal tersebut didasarkan motivasi memburu rente ekonomi dan kekuasaan politik. Namun, karena pemekaran selama ini tidak kunjung menghasilkan "buah" yang berkualitas, amatlah krusial untuk menghentikan atau setidaknya memoratorium munculnya daerah-daerah otonom baru (DOB). Sikap pemerintah pusat yang begitu akomodatif terhadap gagasan (atau desakan politisi) soal pemekaran, sebenarnya bertolak belakang dengan temuan dan hasil kajian yang dilakukan sendiri.
Secara normatif, pemekaran seharusnya memberikan akses kemudahan pelayanan publik, akan tetapi implementasinya dana publik tersebut malah habis terserap untuk dana politik. Dalam praktik, demikian temuan BPK, pemekaran justru menggerogoti keuangan negara. Daerah hasil pemekaran membutuhkan investasi besar karena tidak mempunyai asset perangkat pemerintahan dan infrastruktur. Pemerintah daerah hasil pemekaran menutup kebutuhan biaya dari porsi dana pelayanan publik, seperti di daerah Kalimantan Timur. Pembangunan asset daerah membutuhkan dana sebesar Rp 900 milyar atau sebesar total anggaran pendapatan dan belanja daerah tersebut (www.bpk.go.id, yang mengutip Koran Tempo edisi 27 April 2007). Bahkan, Kausar Bailusy (Kompas, 10 Maret 2007), memberi kesimpulan bahwa pemekaran daerah memakmurkan pencari jabatan di daerah. Pada laporan Kompas (10 Maret 2007), yang mengutifpendapat Syarif Hidayat, bahwa daerah pemekaran di Indonesia sebagian besar dibentuk berdasarkan kriteria yang tidak realistis. Lobi dan jaringan politik yang kuat membuat daerah yang sebenarnya tidak Iayak dimekarkan akhirnya dapat menjadi daerah otonom baru. Daerah dimekarkan berdasarkan kriteria pernyataan, bukan kriteria kenyataan. Menurut Syarif Hidayat (2007), sebagian besar daerah pemekaran dibentuk atas usul sekelompok elite politik daerah, bukan atas usul masyarakat. Kelompok elite dimaksud, umumnya adalah pejabat yang ingin kembali berperan dalam panggung politik, yang sebelumnya berada di lingkaran kekuasaan masa lalu. Dengan jaringan politik yang terbentuk hingga ke pemerintah pusat, elite politik di daerah dengan leluasa mengamankan jalan. Sejak awal, daerah pemekaran yang diusulkan seolah telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Untuk memenuhi persyaratan studi kelayakan, sekelompok elite politik membentuk lembaga independen bayaran, dan proses selanjutnya diikuti sampai pada penetapannya. Idealnya, pemekaran suatu wilayah harus melewati seleksi dan evaluasi yang ketat (Syarif Hidayat, 2007).
Diperlukan masa persiapan agar pemerintah pusat dan daerah induk dapat memfasilitasi dan menyiapkan hal-hal penting terkait pemekaran, mulai dari aparatur pemerintahan sampai infrastruktur penunjang bagi aparatur sendiri. Bila persiapan telah selesai -bisa sampai 10 tahun, tergantung kondisi lapangan-baru dilakukan evaluasi apakah pemekaran layak dilakukan. Kenyataan janganlah mendesakkan urgennya masa persiapan sebelum daerah baru dibentuk, pemerintah justru terkesan tidak menghindar dari tuntutan pemekaran daerah. Padahal studi Bappenas-UNDP telah menyebut perlunya ketegasan pemerintah pusat tentang hal ini. Pasalnya secara umum, kondisi Daerahotonom baru, masih tertinggal dari daerah induk (dan daerah kontrol/sebanding) meski pemekaran telah berjalan lima tahun.
"Menyerahnya" pemerintah pusat terhadap desakan pemerintah daerah mungkin dipandang sebagai upaya politik untuk merebut hati daerah, hal yang penting untuk menjadi salah satu modal memenangi Pemilu mendatang. Politisi dalam hal ini legislatif, memiliki kepentingan politik yang tidak jauh berbeda. Sementara itu, di daerah, pemekaran terkait kepentingan politik¬ekonomi elit lokal tampak dari sejumlah studi politik lokal di Indonesia (Nordhold Klinken 2007, eds) Dalam kondisi semacam itu, tentu amat sulit berharap adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat ataupun kualitas pelayan publik di Daerah Otonom Baru. Disertasi Riatu Mariatul Qibthiyyah (2008) dari Andrew Young School of Policy Studies (Georgia State University) juga memberikan indikasi demikian. Analisisnya menemukan, dampak pemekaran di Indonesia tidak seragam diantara daerah-daerah yang terpengaruh (seperti Daerah otonom baru dan daerah induk). Perebedaan dampak ini lalu menguatkan pendapat, pemekaran hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu, sementara daerah yang lain tertinggal. Berdasarkan evaluasi Depdagri, November 2006-Maret 2007, pemekaran juga cenderung menurunkan pendapatan asli daerah dan meningkatkan jumlah penduduk miskin (Kompas,22/12). Dengan demikian, pemekaran daerah tidak otomatis menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat ataupun pelayanan publik. Studi evaluasi Bappenas UNDP menemukan, pemekaran mendorong pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke daerah otonom baru, sehingga menjadi tempat pemusatan penduduk miskin. Tentu saja hal ini, membuat perbedaan kesejahteraan kian parah antara daerah , segelintir elite lokal yang terkait elite pusat dan beberapa kasus dapat juga dengan korporasi¬korporasi bisnis multinasional. Padahal, pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah sering menjadi argumen utama dalam pemekaran daerah. Namun, yang terjadi justru ketertinggalan secara spasial dan peningkatan ketimpangan antar warga di daerah baru.
Pengalaman menunjukkan, ketimpangan sosial ekonomi merupakan salah satu penjelas penting konflik sosial yang terjadi di sini. Ironis bila pemekaran di satu sisi tidak memperbaiki kualitas pelayanan publik, tetapi justru menguatkan bibit-bibit konflik sosial yang makin bernuansa lokal. Maka, tidak salah bila pembentukan daerah baru benar-benar dipertimbangkan matang, bila perlu dihentikan, setidaknya dimoratorium agar tidak menjadi bumerang pada kemudian hari. Dalam sepuluh tahun era desentralisasi kewenangan yang lebih besar kepada daerah, setidaknya didapatkan beberapa catatan kecil. Pertama, ihwal fungsi keberadaannya, rezim desentralisasi belum sepenuhnya tampil beda dari sediakala. Dengan atau tanpa desentralisasi, tingkat capaian nilai keutamaan, yakni kesejahteraan rakyat, kurang lebih sama saja. Yang terasa mengedepan - kecuali di sejumlah daerah inovatif-otonomi daerah itu masih sebatas otonomi pemda, berjejal isu pembagian nil masyarakat, lebih sebagai tetesan (trickle down effect) ketimbang alokasi Apabila dilihat dari isu pelayanan publik, sebagai instrumen negara bagi people acces to welfare, baik instrument regulative (perda) maupun instrument fiscal (APBD) belum menempatkan rakyat sebagai bagian inti dari sistem permainan. Ikhwal kesehatan, misalnya, studi di 30 (tiga puluh) kab/kota menunjukkan tingginya prioritas regulasi kelembagaan dan orientasi pungutan ketimbang esensi pelayanan, jaminan hak kesehatan, affirmative policy bagi kaum miskin. Sedang pada sisi fiscal, prosentase belanja kesehatan memperl ihatkan prioritas rendah, rerata 3-5 persen dari total APBD. Kesehatan gratis, premi asuransi belum merata gaungnya, bahkan ada yang sebatas isu semata. Kecuali Kabupaten Bone Sulawesi Selatan (masa pemerintahan Bupati Bone masa bhakti 2008 - 2013, H.A.Muh. Idris Galigo, SH dan Drs. H.A.Said Pabokori ), sejak 1 Januari 2008 telah menerapkan pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis, dengan cumber dana APBD Kab. Bone tahun 2008.
Dari fakta tersebut di atas, penguatan otonomi daerah, apalagi pemekaran daerah, agar lebih efektif, filterisasi pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan langsung masyarakat (public expenditure )merupakan keharusan. Sebab dari belanja langsung itulah tergambar kegiatan pemerintah daerah hasil pemekaran, memang diperuntukkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, bukan kepentingan elite atau aparatur pemerintah daerah itu sendiri, yang selama ini lebih menitikberatkan pada indirect expenditure.
Kesimpulan
Rasionalisasi dan disiplin manajemen masih belum tegak, politik terus saja mendominasi. Kasus pemekaran daerah, misalnya, kerangka dasar pemekaran adalah sebagai tindakan khusus dalam manajemen publik. Bahwa dengan memilih pemekaran diyakini memicu percepatan pembangunan dan pelayanan publik, yang semua itu sulit dicapai kalau pilihannya tidak dilakukan pemekaran. Dengan demikian, urgensi dan proyeksi menjadi kata kunci. Aspek urgensi mesti dirunding dan diputuskan secara politik, sedang proyeksi dibuat berdasar rasional yang terukur. Lemahnya mutu rasionalitas kebijakan, longgarnya disiplin manajemen, terutama di sisi eksekutif yang mestinya mendasarkan tuah atau wibawa daya tawarnya pada kedua moda tersebut, berimplikasi tidak kunjung muncul grand design penataan daerah. Semua itu membuka lebar niang politisasi. Kriteria pemekaran yang berciri teknokratis serentak luluh dalam proses yang amat politis. Segalanya terasa ambigu. Fenomena kinerja daerah pemekaran yang sebagian besar tidak sesuai makin memperkuat tesis sebelumnya. Bahkan DPR dan Pemerintah kini berada di lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Republik di hari-hari ke depan (Dwi Rokhimah dalam jeddawi, 2010).
Tata kelola fiscal belum baik. Meski relatif sukses membenah aspek transfer dari pusat, namun daya serapnya di daerah tidak maksimal. Pemda belum berkekuatan penuh untuk fungsi alokatif distributilnya. Bahkan di daerah Propinsi tertentu , yang APBD-nya kecil (Tahun Anggaran 2008: Rp 1,052 triliun), kapasitas pakai baru berkisar 19 persen untuk belanja barang dan 20 persen bagi belanja modal. Di lainnya sisa dana tak terpakai lalu "diparkir" di perbankan, berbentuk sertifikat BI (SBI). Fenomena ini menjadi bukti berulang penyunatan hak rakyat, khususnya bagi belanja pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Juga dalam konteks mengakselerasi perekonomian daerah, kinerja instrument fiscal tersebut tentu sulit menjadi stimulant alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta. Delapan tahun desentralisasi, kita belum kunjung membenahi akar sebab gagal fiscal tersebut. 1). Sistem perencanaan anggaran, 2). Prosedur pengadaan barang/jasa pemerintah, 3). Proses legislasi di daerah, 4). Orientasi Pendapatan Asli Daerah dari bunga simpanan SBI.
Maraknya praktik inovasi di sejumlah daerah lima tahun ini tentu patut diapresiasi. Rakyat merasakan mudahnya urusan perijinan, terbantunya biaya layanan dasar, terbukanya proses politik dan kinerja birokrasi. Dampak baik otonomi mulai terasakan, tingkat kepercayaan publik tampak menguat di daerah - daerah tersebut. Meski demikian, sejumlah ikhtiar pembaruan tetap perlu dilakukan : (1) relevansi dan prioritas bentuk inovasi. Bagi daerah miskin, sesungguhnya yang pas adalah inovasi model welfare-state, seperti premi kesehatan, pendidikan gratis, dan seterusnya. Faktanya, sebagian daerah malah memilih model neo-institusionalist di mana arah kebijakan negara ditujukan memfasilitasi investasi, padahal problem layanan masyarakatnya masih pada level dasar. (2) inovasi yang ada mengandalkan faktor personal: kepemimpinan lokal. Pada tingkat selanjutnya, guna menjamin efektivitas dan sustainability, institusionalisasi jelas, yakni pengaturan berbasis peraturan perundang-undangan dan dalam kerangka reformasi birokrasi secara menyeluruh. Dengan takar kesejahteraan rakyat sebagai keutamaan desentralisasi, secara umum kita memang nyaris belum kemana - mana. Sebagian manfaat perubahan yang dibawa desentralisasi macet di atas negara, sementara rakyat hanya mendapat tetesan sisanya.
Referensi
Karim, Abdul Gafar. 2003. Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dwiyanto, Agus. 2009. Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta : Gramedia.
Jeddawi Murtir. 2009. Pro Kontra Pemekaran Daerah. Yogyakarta : Total Media
Kumorotomo, Wahyudi. 2009.“Pemekaran Versus Kemakmuran Daerah” dalam Pramusinto, Agus, Erwan Agus P. (ed). 2009. Reformasi Birokrasi Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Hidayat, Syarif. 2007. Too Much Too Soon: Local State-Elite’s Perspective on and the Puzzle of Contemporary Indonesia’s Regional Autonomy, Jakarta: Pt. Rajwali Press.
Haris, Syamsyudin, et al. 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta : LIPI.
http://seknasfitra.org, diakses tanggal 11 Mei 2013
http://kompas.com, diakses tanggal 12 Mei 2013
http://lsi.com diakses tanggal 12 Mei 2013
Tempo.co diakses tanggal 12 Mei 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par