Pendahuluan
Penyelenggaraan
pemerintahan baru yang memberikan peran yang lebih besar kepada pemerintahan
daerah mulai
diberlakukan di Indonesia
yang diimplementasikan atas dasar UU No. 22 Tahun 1999 kemudian direvisi dengan
UU No. 32 Tahun 2004. Untuk memaksimalkan Desentralisasi sesuai dengan UU
tersebut, penataan Daerah Otonom Baru (DOB) menjadi
salah satu isu penting yang sampai sekarang masih menjadi fokus Pemerintah. Penataan DOB sampai
saat ini masih sangat identik dengan pemekaran wilayah, belum ada yang mengarah
pada penghapusan dan penggabungan wilayah seperti diatur dalam PP 129 tahun
2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan
Penggabungan Daerah yang kemudian diganti dengan PP 78 tahun 2007 tentang Tata
Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Pembentukan DOB sejak
tahun 1999 menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, karena jumlah
Provinsi di Indonesia meningkat sebesar 21%, jumlah Kabupaten meningkat sebesar
41%, dan jumlah Kota meningkat sebesar 37%. Dalam peraturan
pemerintah tersebut prasyarat pembentukan wilayah provinsi harus meliputi
minimal lima kabupaten/ kota, sedangkan untuk kabupaten terdiri dari lima
kecamatan dan kota cukup dengan empat kecamatan. Di sisi lain pembentukan
kecamatan, kelurahan dan desa hanya ditetapkan melalui peraturan daerah.
Sehingga tidak mampu terpantau oleh pemerintah, mengingat belum adanya suatu
sistem pelaporan atau pencatatan peraturan daerah yang kontinyu di tingkat
pusat. Berdasarkan pencatatan Departemen Dalam Negeri pada tahun 2008 diketahui
bahwa rata-rata setiap bulan terbentuk 18 kecamatan, 30 kelurahan dan 60 desa (seknasfitra.org).
Mengingat
tujuan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
mendekatkan pelayanan umum, dan memperkuat daya saing daerah, maka membanjirnya
tingkat pemekaran wilayah tersebut mengancam turunnya kualitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Hasil
evaluasi kinerja DOB yang dilakukan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan hanya
58,71% berkinerja tinggi. Sisanya 34,19% berkinerja sedang, dan 4,16%
berkinerja rendah. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri melansir
80% DOB gagal meningkatkan kesejahteraan.Fakta lain dari hasil evaluasi
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal menunjukkan ada 34 daerah yang
menjadi tertinggal atau miskin setelah dimekarkan. Pembentukan
DOB menimbulkan banyak masalah dan justru menyebabkan tingkat kesejahteraan
masyarakat menurun, mengapa demikian? Paper ini mencoba untuk menjelaskan
permasalahan yang dihadapi pasca pemekaran di Daerah Otonom Baru.
Masalah
yang timbul dalam Pemekaran daerah atau Pembentukan Daerah Otonom Baru.
Pada
kurun waktu 1999-2009, telah ada 205 DOB terdiri dari 7 Provinsi, 164 Kabupaten
dan 34 Kota. Akibatnya pada 2003, pemerintah harus menyediakan DAU Rp1,33
triliun bagi 22 daerah otonom baru hasil pemekaran yang dilakukan pada 2002.
Jumlah tersebut melonjak dua kali lipat pada tahun 2004, di mana pemerintah
harus mentransfer Rp2,6 triliun alokasi DAU bagi 40 DOB. Pada tahun 2010,
pemerintah mengucurkan dana Rp47,9 triliun sebagai DAU untuk DOB. Dalam Desentralisasi, komponen
terbesar perimbangan keuangan yang diberikan kepada pemerintah daerah adalah
Dana Alokasi Umum (DAU). Formula
DAU telah memberikan motivasi bagi daerah untuk melakukan pembengkakan belanja
pegawai dan terjadinya pemekaran daerah. Masuknya belanja pegawai sebagai
alokasi dasar tidak mencerminkan kebutuhan dan kesenjangan antar daeah. Formula
ini tidak memberikan insentif bagi daerah yang mengurangi belanja pegawainya
dan disinsentif bagi terjadinya pemekaran. Artinya tujuan DAU untuk mengurangi
kesenjangan fiskal tidak akan tercapai jika alokasinya habis untuk membiayai
belanja pegawai. Hal ini juga yang memotivasi terjadinya pemekaran daerah
karena beban belanja pegawainya sudah pasti akan dibiayai oleh DAU. Mengingat motivasi
lahirnya daerah baru lebih banyak bersifat politis dan didasari semangat
mengambil anggaran lebih besar, maka satu-satunya cara untuk mengendalikan laju
pemekaran daerah tersebut adalah dengan merevisi aturan terkait DAU. Melalui
momentum revisi undang-undang perimbangan keuangan harus ditegaskan pengaturan
secara mengikat bahwa daerah otonomi baru tidak secara otomatis bisa
mendapatkan DAU.
Dengan
berpegang pada prinsip pembentukan daerah baru berpotensi meningkatkan
pelayanan terhadap rakyat, DPR RI secara aklamasi mengesahkan inisiatif 19 RUU
daerah otonom baru.. Perhatian terhadap kawasan yang terabaikan karena terlalu
jauh dari ibu kota kabupaten atau provinsi dapat ditingkatkan. Alasan lainnya
adalah bahwa kawasan tersebut diharapkan dapat lebih produktif dan lebih
berkembang. Pemekaran
daerah bertujuan utama agar ada ruang partisipasi bagi politik daerah serta
masuknya uang dari pusat ke daerah. Namun, untuk melakukan pemekaran pada suatu
daerah harus ada sosialisasi
secara komprehensif terlebih dahulu kepada masyarakat
yang menginginkan pemekaran tentang masalah yang harus dihadapi setelah
pemekaran. Sebab, pemekaran daerah tidaklah mudah dan murah. Pemekaran wilayah
seharusnya menjadi solusi atas suatu permasalahan yang dihadapi, bukannya
justru menambah masalah atau menciptakan masalah baru. Tujuan dari pemekaran
daerah tersebut tidak akan tercapai jika tidak disiapkan secara serius. Masyarakat justru akan
memperoleh pelayanan yang semakin buruk, birokrasi daerah tidak mampu memenuhi
semua jenis layanan, dan infrastruktur dasar tidak tersedia dengan baik. Jika
infrastruktur belum tersedia, maka kepala daerah baru hanya akan disibukkan
untuk membenahi urusan ini dan melupakan persoalan sehari-hari masyarakat.
Banyaknya
daerah otonom baru di Indonesia
memiliki implikasi terhadap semakin besarnya dana pembangunan daerah otonom
baru yang dialokasikan dari APBN. Pada tahun 2002 dialokasikan DAU sebesar Rp.
1.33 triliun, tahun 2003 sebesar Rp. 2.6 triliun dan pada tahun 2010 sebesar
Rp. 47.9 triliun. Beberapa
fakta yang dijumpai antara lain adalah adanya daerah otonom baru ternyata
memiliki jumlah penduduk sangat sedikit bahkan ada sebuah daerah otonom
kabupaten baru hanya berpenduduk kurang dari 12.000 jiwa. Fakta lain adalah
jumlah dan kualitas SDM
Pemerintah Daerah sangat minim, kurang tersedianya prasarana dan sarana
pemerintahan dan munculnya berbagai konflik masyarakat lokal yang mengiringi
proses otonomi daerah antara lain akibat persoalan batas wilayah.
Berdasarkan
hasil evaluasi terhadap daerah otonom hasil pemekaran daerah selama kurun waktu
10 tahun yang dipandang kurang memuaskan maka dicanangkan kebijakan
pemberhentian sementara (moratorium) terhadap pembahasan usulan daerah otonom
baru pada tahun 2010. Seiring dengan keputusan moratorium tersebut dilakukan
upaya komperhensif untuk menata kembali daerah otonom yang sudah ada dan secara
khusus menetapkan strategi untuk menangani usulan daerah otonom baru antara
lain dengan menetapkan persyaratan teknis meliputi parameter dan indikator yang
harus dipenuhi. Salah satu persyaratan yang harus ada adalah parameter dan
indikator dari dimensi geografi. Pada
tahun 2011 secara administratif wilayah Indonesia terbagi dalam 33 provinsi,
398 kabupaten dan 93 kota. Berdasarkan luasnya, wilayah provinsi paling kecil
adalah provinsi Bali dan DI Yogyakarta, sedangkan yang paling luas adalah
provinsi provinsi di Kalimantan kecuali
Kalimantan Selatan dan Papua. Wilayah wilayah provinsi yang paling luas inilah,
dari segi luas wilayah, memiliki potensi untuk dimekarkan di masa datang.
Pembangunan wilayah di
Indonesia mengalami perubahan yang signifikan sejak reformasi tahun 1998. Kewenangan kepala
daerah (gubernur, bupati dan wali kota) dalam mengembangkan wilayah tercermin
dari berbagai kebijakan yang tertuang dalam peraturan daerah (perda) sesuai UU
Otonomi Daerah. Pelaksanaan kegiatan pembangunan didasarkan pada rencana
pembangunan daerah dan rencana pembangunan idealnya disusun berdasarkan rencana
tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah sebagai pedoman dalam
pengelolaan wilayah disusun berdasarkan keinginan dan harapan rakyat (seluruh
stake holder/pemangku kepentingan), yang secara sederhana disebut sebagai
cerminan “visi” yang ditetapkan pemerintah daerah. Kementrian Dalam Negeri
menemukan beberapa masalah yang timbul masalah tersebut yaitu di samping
persoalan adanya ketimpangan antara besarnya dana yang dialokasikan dengan
hasil yang dicapai dalam pembangunan daerah otonom baru serta munculnya konflik
horisontal yang cenderung semakin meningkat, ternyata masalah di atas juga
disebabkan oleh lemahnya aturan persyaratan dan pentahapan pembentukan daerah
otonom baru. Oleh karena itu pemerintah memandang perlu mengeluarkan kebijakan
penghentian sementara (moratorium) pemekaran daerah sekaligus berupaya
melakukan penyempurnaan aturan pemekaran daerah, salah satu diantaranya
menyempurnakan ketentuan persyaratan minimal untuk daerah otonom baru.
Rata rata dalam kurun
waktu 10 telah lahir lebih dari 20 daerah otonom baru tiap tahunnya. Apabila
diamati kecendrungan besarnya jumlah pemekaran daerah dan usulan pemekaran,
para penggagas pemekaran daerah tentu menyambut antusias pengesahan itu,
terlebih apabila hal tersebut didasarkan motivasi memburu rente ekonomi dan
kekuasaan politik. Namun, karena pemekaran selama ini tidak kunjung menghasilkan
"buah" yang berkualitas, amatlah krusial untuk menghentikan atau
setidaknya memoratorium munculnya daerah-daerah otonom baru (DOB). Sikap
pemerintah pusat yang begitu akomodatif terhadap gagasan (atau desakan
politisi) soal pemekaran, sebenarnya bertolak belakang dengan temuan dan hasil
kajian yang dilakukan sendiri.
Secara
normatif, pemekaran seharusnya memberikan akses
kemudahan pelayanan
publik, akan tetapi implementasinya
dana publik tersebut malah habis terserap untuk dana politik. Dalam praktik,
demikian temuan BPK, pemekaran justru menggerogoti keuangan negara. Daerah
hasil pemekaran membutuhkan investasi besar karena tidak mempunyai asset
perangkat pemerintahan dan infrastruktur. Pemerintah daerah hasil pemekaran
menutup kebutuhan biaya dari porsi dana pelayanan publik, seperti di daerah
Kalimantan Timur. Pembangunan asset
daerah membutuhkan dana sebesar Rp 900 milyar atau sebesar total anggaran
pendapatan dan belanja daerah tersebut (www.bpk.go.id, yang mengutip Koran
Tempo edisi 27 April 2007). Bahkan, Kausar Bailusy (Kompas, 10 Maret 2007),
memberi kesimpulan bahwa pemekaran daerah memakmurkan pencari jabatan di
daerah. Pada
laporan Kompas (10 Maret 2007), yang mengutifpendapat Syarif Hidayat, bahwa
daerah pemekaran di Indonesia sebagian besar dibentuk berdasarkan kriteria yang
tidak realistis. Lobi dan jaringan politik yang kuat membuat daerah yang
sebenarnya tidak Iayak dimekarkan akhirnya dapat menjadi daerah otonom baru.
Daerah dimekarkan berdasarkan kriteria pernyataan, bukan kriteria kenyataan. Menurut Syarif Hidayat
(2007), sebagian besar daerah pemekaran dibentuk atas usul sekelompok elite
politik daerah, bukan atas usul masyarakat. Kelompok elite dimaksud, umumnya
adalah pejabat yang ingin kembali berperan dalam panggung politik, yang
sebelumnya berada di lingkaran kekuasaan masa lalu. Dengan jaringan politik
yang terbentuk hingga ke pemerintah pusat, elite politik di daerah dengan
leluasa mengamankan jalan. Sejak awal, daerah pemekaran yang diusulkan seolah
telah memenuhi kriteria yang dipersyaratkan. Untuk memenuhi persyaratan studi
kelayakan, sekelompok elite politik membentuk lembaga independen bayaran, dan
proses selanjutnya diikuti sampai pada penetapannya. Idealnya, pemekaran suatu
wilayah harus melewati seleksi dan evaluasi yang ketat (Syarif Hidayat, 2007).
Diperlukan
masa persiapan agar pemerintah pusat dan daerah induk dapat memfasilitasi dan
menyiapkan hal-hal penting terkait pemekaran, mulai dari aparatur pemerintahan
sampai infrastruktur penunjang bagi aparatur sendiri. Bila persiapan telah
selesai -bisa sampai 10 tahun, tergantung kondisi lapangan-baru dilakukan
evaluasi apakah pemekaran layak dilakukan. Kenyataan janganlah
mendesakkan urgennya masa persiapan sebelum daerah baru dibentuk, pemerintah
justru terkesan tidak menghindar dari tuntutan pemekaran daerah. Padahal studi
Bappenas-UNDP telah menyebut perlunya ketegasan pemerintah pusat tentang hal
ini. Pasalnya secara umum, kondisi Daerahotonom baru, masih tertinggal dari
daerah induk (dan daerah kontrol/sebanding) meski pemekaran telah berjalan lima
tahun.
"Menyerahnya"
pemerintah pusat terhadap desakan pemerintah daerah mungkin dipandang sebagai
upaya politik untuk merebut hati daerah, hal yang penting untuk menjadi salah
satu modal memenangi Pemilu mendatang. Politisi dalam hal ini legislatif,
memiliki kepentingan politik yang tidak jauh berbeda. Sementara itu, di daerah,
pemekaran terkait kepentingan politik¬ekonomi elit lokal tampak dari sejumlah
studi politik lokal di Indonesia (Nordhold Klinken 2007, eds) Dalam kondisi semacam
itu, tentu amat sulit berharap adanya perbaikan kesejahteraan masyarakat
ataupun kualitas pelayan publik di Daerah Otonom Baru. Disertasi Riatu Mariatul
Qibthiyyah (2008) dari Andrew Young School of Policy Studies (Georgia State
University) juga memberikan indikasi demikian. Analisisnya menemukan, dampak
pemekaran di Indonesia tidak seragam diantara daerah-daerah yang terpengaruh
(seperti Daerah otonom baru dan daerah induk). Perebedaan dampak ini
lalu menguatkan pendapat, pemekaran hanya menguntungkan daerah-daerah tertentu,
sementara daerah yang lain tertinggal. Berdasarkan evaluasi Depdagri, November
2006-Maret 2007, pemekaran juga cenderung menurunkan pendapatan asli daerah dan
meningkatkan jumlah penduduk miskin (Kompas,22/12). Dengan demikian, pemekaran
daerah tidak otomatis menjamin pemerataan kesejahteraan masyarakat ataupun
pelayanan publik. Studi evaluasi Bappenas UNDP menemukan, pemekaran mendorong
pelepasan penduduk miskin dari daerah induk ke daerah otonom baru, sehingga
menjadi tempat pemusatan penduduk miskin. Tentu saja hal ini, membuat perbedaan
kesejahteraan kian parah antara daerah , segelintir elite lokal yang terkait
elite pusat dan beberapa kasus dapat juga dengan korporasi¬korporasi bisnis
multinasional. Padahal,
pemerataan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah
sering menjadi argumen utama dalam
pemekaran daerah. Namun, yang
terjadi justru ketertinggalan
secara spasial dan peningkatan ketimpangan antar warga di daerah baru.
Pengalaman
menunjukkan, ketimpangan sosial ekonomi merupakan salah satu penjelas penting
konflik sosial yang terjadi di sini. Ironis bila pemekaran di satu sisi tidak
memperbaiki kualitas pelayanan publik, tetapi justru menguatkan bibit-bibit
konflik sosial yang makin bernuansa lokal. Maka, tidak salah bila pembentukan
daerah baru benar-benar dipertimbangkan matang, bila perlu dihentikan,
setidaknya dimoratorium agar tidak menjadi bumerang pada kemudian hari. Dalam sepuluh tahun era
desentralisasi kewenangan yang lebih besar kepada daerah, setidaknya didapatkan
beberapa catatan kecil. Pertama, ihwal fungsi keberadaannya, rezim
desentralisasi belum sepenuhnya tampil beda dari sediakala. Dengan atau tanpa
desentralisasi, tingkat capaian nilai keutamaan, yakni kesejahteraan rakyat,
kurang lebih sama saja. Yang terasa mengedepan - kecuali di sejumlah daerah
inovatif-otonomi daerah itu masih sebatas otonomi pemda, berjejal isu pembagian
nil masyarakat, lebih sebagai tetesan (trickle down effect) ketimbang alokasi Apabila dilihat dari
isu pelayanan publik, sebagai instrumen negara bagi people acces to welfare,
baik instrument regulative (perda) maupun instrument fiscal (APBD) belum
menempatkan rakyat sebagai bagian inti dari sistem permainan. Ikhwal kesehatan,
misalnya, studi di 30 (tiga puluh) kab/kota menunjukkan tingginya prioritas regulasi
kelembagaan dan orientasi pungutan ketimbang esensi pelayanan, jaminan hak
kesehatan, affirmative policy bagi kaum miskin. Sedang pada sisi fiscal,
prosentase belanja kesehatan memperl ihatkan prioritas rendah, rerata 3-5
persen dari total APBD. Kesehatan gratis, premi asuransi belum merata gaungnya,
bahkan ada yang sebatas isu semata. Kecuali Kabupaten Bone Sulawesi Selatan
(masa pemerintahan Bupati Bone masa bhakti 2008 - 2013, H.A.Muh. Idris Galigo,
SH dan Drs. H.A.Said Pabokori ), sejak 1 Januari 2008 telah menerapkan
pelayanan kesehatan gratis dan pendidikan gratis, dengan cumber dana APBD Kab.
Bone tahun 2008.
Dari
fakta tersebut di atas, penguatan otonomi daerah, apalagi pemekaran daerah,
agar lebih efektif, filterisasi pemanfaatan sumber daya untuk kepentingan
langsung masyarakat (public expenditure )merupakan keharusan. Sebab dari belanja
langsung itulah tergambar kegiatan pemerintah daerah hasil pemekaran, memang
diperuntukkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, bukan
kepentingan elite atau aparatur pemerintah daerah itu sendiri, yang selama ini
lebih menitikberatkan pada indirect expenditure.
Kesimpulan
Rasionalisasi dan
disiplin manajemen masih belum tegak, politik terus saja mendominasi. Kasus
pemekaran daerah, misalnya, kerangka dasar pemekaran adalah sebagai tindakan
khusus dalam manajemen publik. Bahwa dengan memilih pemekaran diyakini memicu
percepatan pembangunan dan pelayanan publik, yang semua itu sulit dicapai kalau
pilihannya tidak dilakukan pemekaran. Dengan demikian, urgensi dan proyeksi
menjadi kata kunci. Aspek urgensi mesti dirunding dan diputuskan secara politik,
sedang proyeksi dibuat berdasar rasional yang terukur. Lemahnya mutu
rasionalitas kebijakan, longgarnya disiplin manajemen, terutama di sisi
eksekutif yang mestinya mendasarkan tuah atau wibawa daya tawarnya pada kedua
moda tersebut, berimplikasi tidak kunjung muncul grand design penataan daerah.
Semua itu membuka lebar niang politisasi. Kriteria pemekaran yang berciri
teknokratis serentak luluh dalam proses yang amat politis. Segalanya terasa
ambigu. Fenomena kinerja daerah pemekaran yang sebagian besar tidak sesuai
makin memperkuat tesis sebelumnya. Bahkan DPR dan Pemerintah kini berada di
lorong tiada ujung dari terus terbaginya tanah Republik di hari-hari ke depan (Dwi
Rokhimah dalam jeddawi, 2010).
Tata kelola fiscal belum
baik. Meski relatif sukses membenah aspek transfer dari pusat, namun daya
serapnya di daerah tidak maksimal. Pemda belum berkekuatan penuh untuk fungsi
alokatif distributilnya. Bahkan di daerah Propinsi tertentu , yang APBD-nya kecil
(Tahun Anggaran 2008: Rp 1,052 triliun), kapasitas pakai baru berkisar 19
persen untuk belanja barang dan 20 persen bagi belanja modal. Di lainnya sisa
dana tak terpakai lalu "diparkir" di perbankan, berbentuk sertifikat
BI (SBI). Fenomena
ini menjadi bukti berulang penyunatan hak rakyat, khususnya bagi belanja
pelayanan dasar kesehatan dan pendidikan. Juga dalam konteks mengakselerasi
perekonomian daerah, kinerja instrument fiscal tersebut tentu sulit menjadi
stimulant alternatif di tengah masih lesunya investasi sektor swasta. Delapan
tahun desentralisasi, kita belum kunjung membenahi akar sebab gagal fiscal
tersebut. 1). Sistem perencanaan anggaran, 2). Prosedur pengadaan barang/jasa
pemerintah, 3). Proses legislasi di daerah, 4). Orientasi Pendapatan Asli
Daerah dari bunga simpanan SBI.
Maraknya praktik inovasi
di sejumlah daerah lima tahun ini tentu patut diapresiasi. Rakyat merasakan
mudahnya urusan perijinan, terbantunya biaya layanan dasar, terbukanya proses
politik dan kinerja birokrasi. Dampak baik otonomi mulai terasakan, tingkat
kepercayaan publik tampak menguat di daerah
- daerah tersebut. Meski demikian,
sejumlah ikhtiar pembaruan tetap perlu dilakukan : (1) relevansi dan prioritas
bentuk inovasi. Bagi daerah miskin, sesungguhnya yang pas adalah inovasi model
welfare-state, seperti premi kesehatan, pendidikan gratis, dan seterusnya.
Faktanya, sebagian daerah malah memilih model neo-institusionalist di mana arah
kebijakan negara ditujukan memfasilitasi investasi, padahal problem layanan
masyarakatnya masih pada level dasar. (2) inovasi yang ada mengandalkan faktor
personal: kepemimpinan lokal. Pada tingkat selanjutnya, guna menjamin
efektivitas dan sustainability, institusionalisasi jelas, yakni pengaturan
berbasis peraturan perundang-undangan dan dalam kerangka reformasi birokrasi
secara menyeluruh. Dengan
takar kesejahteraan rakyat sebagai keutamaan desentralisasi, secara umum kita
memang nyaris belum kemana - mana.
Sebagian manfaat perubahan yang dibawa desentralisasi macet di atas negara, sementara
rakyat hanya mendapat tetesan
sisanya.
Referensi
Karim, Abdul
Gafar. 2003. Kompleksitas Persoalan
Otonomi Daerah Di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Dwiyanto, Agus.
2009. Mengembalikan Kepercayaan Publik
Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta : Gramedia.
Jeddawi Murtir.
2009. Pro Kontra Pemekaran Daerah.
Yogyakarta : Total Media
Kumorotomo,
Wahyudi. 2009.“Pemekaran Versus Kemakmuran Daerah” dalam Pramusinto, Agus,
Erwan Agus P. (ed). 2009. Reformasi
Birokrasi Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Yogyakarta : Gava Media.
Hidayat, Syarif.
2007. Too Much Too Soon: Local
State-Elite’s Perspective on and the Puzzle of Contemporary Indonesia’s
Regional Autonomy, Jakarta: Pt. Rajwali Press.
Haris, Syamsyudin, et al. 2006. Membangun Format Baru Otonomi Daerah. Jakarta : LIPI.
http://seknasfitra.org, diakses tanggal 11 Mei 2013
http://kompas.com, diakses tanggal 12 Mei 2013
Tempo.co diakses tanggal 12 Mei 2013
Komentar