Pendahuluan
Desentralisasi
bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke
daerah, tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural
menuju arah yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi
diharapkan akan meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam
proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik,
ekonomi. Hal ini sangat mungkin, karena
lokus pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Melalui
proses ini maka desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan penegakan
hukum; meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintah dan sekaligus
meningkatkan daya tanggap, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Rondinelli
dan Nellis (1986: 5) mendefinisikan desentralisasi dari perspektif administrasi
sebagai Pengalihan tanggung jawab untuk perencanaan, manajemen, dan peningkatan
serta alokasi sumber daya
dari pemerintah pusat untuk unit bidang instansi pemerintah, unit bawahan atau
tingkat pemerintahan, otoritas publik semi-otonom atau perusahaan, regional
atau otoritas fungsional, atau organisasi nonpemerintah, atau sukarela.
Desentralisasi juga dapat didefinisikan sebagai situasi di mana barang publik
dan jasa yang bisa disediakan
terutama melalui preferensi individu oleh mekanisme pasar. Sejumlah besar
penyedia menawarkan warga lebih banyak pilihan yang dapat dikemas untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok
pengguna. Dalam implementasi
desentralisasi di negara negara berkembang, seringkali terhambat oleh beberapa
faktor yang mempengaruhi secara signifikan, faktor apa sajakah yang harus
diperhatikan dalam pengembangan desentralisasi di negara berkembang dan
treatmen apa saja yang harus dilakukan untuk dapat meminimalisir hambatan
desentralisasi? Paper ini membahas mengenai hambatan
desentralisasi dalam implementasinya di negara berkembang.
Desentralisasi dan Kendala yang Dihadapi di Negara Berkembang
(Indonesia)
desentralisasi
memiliki dampak nyata yang memungkinkan organisasi lokal untuk
menyediakan layanan dan infrastruktur lebih efektif, organisasi lokal publik
dan swasta harus memiliki otoritas kuat untuk meningkatkan pendapatan dan untuk
menghasilkan jumlah yang lebih besar dari pendapatan. Kondisi ini tidak sama
karena dalam banyak negara unit administratif lokal memiliki kewenangan hukum
untuk memberlakukan pajak, tetapi basis pajak sangat lemah atau ketergantungan
pada subsidi pusat sehingga tertanam bahwa tidak ada usaha yang dibuat untuk
otoritas tersebut.
Kegiatan yang menghasilkan pendapatan daerah
dapat mencakup spektrum yang luas, dari pengisian biaya pengguna jasa untuk
membangun suatu perusahaan khusus ditujukan untuk menggalang dana untuk
penyediaan layanan. Pajak properti
dan real estate, biaya sekolah, porsi pendapatan yang berasal dari sumber daya
alam (misalnya hasil hutan), dan laba yang diperoleh dari industri dimiliki dan
dioperasikan oleh otoritas lokal adalah beberapa cara di mana organisasi lokal
telah mampu menghasilkan pendapatan
(Rondinelli
dan Nellis, 1986).
Menurut
beberapa literatur teori desentralisasi, kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di negara berkembang termasuk Indonesia telah menggunakan tiga tipe
teori desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi
administratif, dan desentralisasi fiskal (Litvack dan Seddon, 1999 dan Shah,
1998). Desentralisasi politik didefinisikan sebagai mekanisme yang mana
pemerintah pusat memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah, yang sering
disebut otonomi daerah. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang
administratif dari pusat kepada pemerintah daerah. Ada tiga bentuk, yaitu
dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi adalah pemberian tanggung
jawab pemerintah pusat untuk beberapa pelayanan kepada pemerintah daerahnya.
Demikian pula delegasi dan devolusi berhubungan dengan perimbangan kepentingan
pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab
keuangan dan kemampuan pemerintah daerah. Selain itu, tujuan dari kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah adalah menciptakan pemerintah daerah yang
demokratis, transparan, meningkatkan kapasitas administrasi, dan lebih mandiri
dan mampu di dalam pengelolaan fiskal.
Kebijakan
desentralisasi di negara berkembang menyebabkan dampak negatif, yaitu
memunculkan peluang dominasi kontrol elit lokal yang menghasilkan informasi
yang tidak utuh yang berpotensi menimbulkan inefisiensi kelembagaan
(institution inefficiency). Lemahnya pengawasan dan penegakan kelembagaan (lack
of enforcement) merupakan hal yang krusial dalam hubungan pelaku desentralisasi
dan otonomi daerah. Perubahan kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah
telah mengakibatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan
(principal) dan siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent),
sehingga terjadilah ketidakharmonisan kelembagaan serta menciptakan kemacetan (bottleneck) bagi
terselenggaranya tata kelola yang baik (Jaya, 2005). Kontribusi Pemikiran
Ekonomi Kelembagaan Baru terhadap Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
di Indonesia Menurut nobelis ekonomi North (1990), kelembagaan adalah
aturan-aturan formal (formal rules) dan aturan informal (informal rules)
beserta aturan-aturan penegakannya (enforcerment rules). Sedangkan organisasi
adalah sekelompok orang (players) yang mempunyai tujuan dan motif yang sama.
Organisasi dan individu mencapai kepentingan mereka di dalam sebuah struktur
kelembagaan berupa aturan-aturan formal (hukum, peraturan, kontrak, hukum
konstitusional) dan aturan-aturan informal (etika, kepercayaan, dan norma-norma
yang tidak tertulis lainnya). Organisasi kemudian memiliki aturan-aturan
internal untuk menangani permasalahan personalia, anggaran, pengadaan dan prosedur
pelaporan, yang membatasi perilaku anggota mereka. Dengan demikian, kelembagaan
merupakan struktur insentif (pendorong) bagi perilaku organisasi dan individu.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dari tahun 1974, 1999
dan tahun 2004 merupakan perubahan kelembagaan dan organisasi yang drastis
(institutional change), karena telah mengubah regulasi (formal rules) dan
organisasi, perilaku para pelaku dan pola-pola pertukaran kewenangan
(exchange).
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pelaksanaan
program desentralisasi di negara berkembang (Rondinelli et al, 1987)antara lain sebagai berikut.
1. Faktor politik.
Penelitian
menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi kebijakan sangat
tergantung pada faktor-faktor politik. Politik yang kuat komitmen dan dukungan
harus datang dari para pemimpin nasional untuk perencanaan pemindahan,
pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk agen lapangan dan tingkat
administrasi, atau ke swasta sektor. Para pemimpin politik harus bersedia
menerima partisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan organisasi lokal yang
berada di luar kontrol langsung dari pemerintah pusat atau politik yang dominan
partai. Mendukung, dan komitmen untuk desentralisasi harus juga berasal dari
instansi garis birokrasi pusat, dan pusat pejabat pemerintah harus bersedia
untuk mentransfer fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh mereka untuk organisasi
lokal. Desentralisasi biasanya membutuhkan kapasitas administratif dan teknis
yang kuat dalam instansi pemerintah pusat dan kementerian untuk melaksanakan
fungsi pembangunan nasional dan mendukung - dengan memadai perencanaan,
pemrograman, logistik, personil dan sumber daya anggaran - Bidang mereka
instansi dan tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam melakukan fungsi desentralisasi.
2. Faktor organisasi
Organisasi
yang kondusif untuk desentralisasi meliputi alokasi
sesuai perencanaan dan fungsi administratif antara tingkat pemerintah dan
organisasi lokal dengan setiap fungsi sesuai dengan kemampuan pengambilan
keputusan dari masing-masing tingkat organisasi. Desentralisasi memerlukan
hukum, peraturan dan instruksi yang jelas.
Garis hubungan antara
tingkat pemerintahan yang berbeda dan administrasi, alokasi fungsi antar unit
organisasi, peran dan tugas petugas di setiap tingkat, organisasi koperasi dan
swasta, dan keterbatasan mereka serta
kendala. Desentralisasi harus didukung oleh pengaturan hukum yang fleksibel,
berdasarkan kriteria kinerja, fungsi realokasi sebagai sumber daya dan
kemampuan lokal organisasi berubah seiring waktu. Jelas dan relatif perencanaan
rumit dan prosedur manajemen untuk memunculkan partisipasi pemimpin lokal dan
warga - dan untuk mendapatkan, kerjasama atau persetujuan dari penerima manfaat
dalam formulasi, penilaian, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan
program penyediaan - juga diperlukan.
3. Faktor perilaku stake holder
Kondisi Perilaku
dan psikologis mendukung desentralisasi termasuk sikap yang tepat dan perilaku
pejabat pemerintah pusat dan tingkat lebih rendah terhadap desentralisasi
penyediaan jasa dan pemeliharaan, dan kemauan pada bagian mereka untuk berbagi
kewenangan dengan warga dan menerima mereka partisipasi dalam pengambilan
keputusan publik. Efektif berarti harus ditemukan untuk mengatasi perlawanan,
atau mendapatkan kerja sama, dari elit lokal dan tokoh adat. Tingkat minimum
kepercayaan dan hormat harus diciptakan antara organisasi lokal dan pemerintah
pejabat, dan saling pengakuan bahwa setiap mampu melakukan fungsi tertentu dan
berpartisipasi secara efektif dalam berbagai aspek pembiayaan dan manajemen.
Kepemimpinan yang kuat harus dikembangkan dalam organisasi lokal dan perusahaan
swasta yang akan memungkinkan mereka untuk secara efektif menangani daerah dan
pusat pemerintah.
4.Faktor SDA dan finansial
Faktor sumber
daya keuangan dan manusia yang dibutuhkan untuk desentralisasi termasuk
pemberian kewenangan yang cukup untuk unit lokal organisasi administrasi atau
pemerintah, koperasi dan swasta untuk mendapatkan sumber keuangan yang memadai
untuk memperoleh peralatan, perlengkapan, personil dan fasilitas yang
diperlukan dalam rangka
memenuhi terdesentralisasi tanggung jawab. Pada akhirnya, keberhasilan
desentralisasi kebijakan bergantung pada institusi kapasitas. Kapasitas
kelembagaan masyarakat lokal dan organisasi swasta untuk membiayai dan
mengelola pelayanan dan pemeliharaan, dan pemerintah pusat untuk memfasilitasi
dan mendukung desentralisasi, harus diperkuat (Rondinelli, Leonard, Uphoff, 1986). Secara
umum, kapasitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengantisipasi dan
mempengaruhi perubahan, membuat keputusan, menarik dan menyerap sumber daya,
dan mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk
melaksanakan desentralisasi yang lebih baik. Konsep
North (1990) kaitannya dengan kebijakan
untuk memperbaiki desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
yaitu terkait aturan informal, yang merupakan tradisi, norma, adat, agama,
kebiasaan baik yang bersifat produktif maupun tidak produktif, belum kompatibel
mendukung aturan formal. Budaya primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil,
pangreh praja, upeti, adalah budaya informal yang melekat (embededness) sebagai
mindset perilaku pelaku desentralisasi menciptakan biaya tinggi. Selain itu,
administrasi Indonesia telah dipengaruhi oleh konsep tradisional Jawa dalam
kekuasaan dan hirarki, yang menekankan sentralisasi kekuasaan, perilaku
patrimonial, primordialism, patron-client dan pembuatan keputusan top–down
(Rohdewohld, 1995).
Hak kepemilikan
(property rights) kewenangan belum jelas dalam kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah di Indonesia. Sistem kewenangan dibagi secara hirarkhi, yang
mana kewenangan pusat adalah mengurusi moneter, perdagangan, agama, pertahanan
dan militer, sedang kewenangan lainnya dibagi antara pemerintah pusat, provinsi
dan kabupaten dan kota berdasarkan akuntabilitas, efisiensi dan dampak
eksternalitas. Ketidakjelasan terjadi baik secara vertikal maupun secara
horizontal, menyebabkan ketidakjelasan hak kepemilikan pemerintah pusat,
provinsi dan daerah, ketidakjelasan kontrak hubungan hak kepemilikan. Selain
itu, masih terjadi ego sektoral dan multitafsir kepemilikan kewenangan
kementerian dan kelembagaan di tingkat pusat, yang juga berakibat multitafsir
kepemilikan kewenangan di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten dan kota.
Selain itu ada ketidakjelasan pemilikan formal dengan informal seperti hak
kepemilikan adat, tradisi seperti dalam kasus pertanahan, perkebunan, kehutanan
dan pertambangan. Apalagi ketidakjelasan pembagian kewenangan juga sebagai
akibat keterlambatan kementerian dan lembaga di pemerintah pusat menyiapkan
Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) (Jaya, 2009).
Rasional
yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis (opportunistic
behaviour) telah meningkatkan biaya transaksi ekonomi (transaction cost
economics). Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menggeser pola
penyalahgunaan kekuasaan ”abuse of power” yaitu pola monopoli dan diskresi
minus akuntabilitas oleh segelintir oknum di lembaga trias politika yaitu
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kontrak-kontrak hubungan transaksi
antarpelaku desentralisasi belum lengkap (incomplete contract). Selain itu,
transaksi-transaksi oportunis, informal, ilegal, baik yang dilakukan oleh oknum
kepala daerah, dewan perwakilan daerah ataupun oknum lembaga penegak hukum
semakin meningkat. Hal ini dikarenakan lemahnya transparansi informasi,
akuntabilitas dan minimnya mekanisme kontrol (check and balances) dari
masyarakat (civil society). Selain itu, konstruksi model mental (mental model)
para pelaku desentralisasi dan otonomi daerah belum berubah. Perilaku birokrasi
masih ingin dilayani (pangrehpraja) daripada ingin melayani masyarakat
(pamongpraja). Selain itu, perubahan kelembagaan desentralisasi telah menghasilkan
kelompok yang menang (winner) dan kelompok yang kalah (losser). Kelompok
incumbent yang kalah akan mempertahankan status quo saat memimpin dengan cara
melawan kembali (revenge). Tarik-menarik kekuatan dari kelompok yang kalah
menyebabkan aturan main desentralisasi menjadi limbung, tidak jelas, sehingga
menciptakan biaya transaksi ekonomi, apalagi ditambah dengan perilaku aji
mumpung (moral hazards) daripara pelaku elit desentralisasi. Selain itu,
perilaku elit daerah yang oportunis sering menempatkan sumberdaya manusia
berdasarkan kelompok, keluarga, dan tim sukses pilkada yang tidak sesuai dengan
keahlian dan kompetensinya.
Prespektif
teori ekonomi mikro, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum
memanfaatkan prinsip-prinsip
ekonomi, seperti skala ekonomi, cakupan ekonomi, komplementaritas, dan
eksternalitas jejaring matriks kelembagaan. Belanja publik dan belanja modal
masih belum menunjukkan skala ekonomis (economic of scale). Atau dengan kata
lain belanja rata-rata jangka panjang meningkat terus yang tidak diikuti dengan
kenaikan output pelayanan publik (diseconomies of scale). Selain itu pemerintah
daerah belum memanfaatkan kerjasama antardaerah dengan prinsip kerjasama biaya
(economic of scope) dan prinsip saling melengkapi (complementarity) guna
menciptakan pelayanan publik yang efisien dan akibat penanggulangan dampak
eksternalitas negatif. Cara pandang (mindset) pelaku desentralisasi masih
sangat terbatas dan dipengaruhi kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang turun
temurun. Selain itu, pergeseran pertanggungjawaban secara vertikal (vertical
accountability) menuju pertanggungjawaban horizontal (horizontal
accountability) dan kembali lagi ke pertanggungjawaban vertikal telah membuat
ketidakjelasan hubungan principal-agent. Kerangka kelembagaan (institutions
framework) dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak optimal
membentuk struktur insentif untuk mendikte ketrampilan dan pengetahuan
sumberdaya, maupun organisasi yang dianggap memiliki pertukaran hasil yang
paling maksimum (maximum pay-off). Desain kebijakan desentralisasi dan otonomi
daerah di Indonesia kurang komplit, tidak ada pemilikan kewenangan yang jelas,
kontrak kinerja, tidak ada sistem meritokrasi, serta tidak adanya sertifikasi
jabatan fungsional bagi pelaku pengelola keuangan daerah, maka dapat dikatakan
bahwa kerangka kelembagaan desentralisasi belum menghasilkan hasil atau
outcomes yang maksimal. Lingkungan yang tidak kompetitif belum mendorong
organisasi untuk melakukan investasi ketrampilan dan pengetahuan, dan belum
membentuk persepsi merubah kelembagaan menjadi lebih efisien dan efektif.
Konklusi
Pemerintah dalam
mengembangkan desentralisasi,
membutuhkan pembiayaan dan pemeliharaan layanan dan
infrastruktur lokal serta
kerangka kerja yang terintegrasi untuk analisis kebijakan. Analis kebijakan juga harus memiliki konsep dan metode yang terus diperbaharui dan disesuaikan dengan
prioritas, SWOT daerah untuk merancang dan menerapkan
kebijakan desentralisasi yang lebih
efektif. Analis juga harus memahami karakteristik
jasa, pengguna jasa dan aturan perilaku organisasi, alternatif pembiayaan dan
pengaturan organisasi serta
faktor-faktor politik, ekonomi, administrasi dan keuangan yang mempengaruhi
hasil kebijakan. Kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah harus diubah, perlu memasukkan analisis
kelembagaan dan tata kelola, pembuatan
undang-undang, peraturan pemerintah.
Perlu adanya perbaikan
di level mikro yaitu tata kelola kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah (institutional governance). Perbaikan lainnya yang harus dilakukan pemerintah
tingkat daerah untuk memuluskan capaian outcome desentralisasi yang baik adalah perbaikan terkait
kapasitas profesional antarbirokrat, sistem manajemen, dan infrastruktur,
teknologi, sumberdaya menjadi signifikan untuk menentukan keberhasilan
desentralisasi dan otonomi daerah. Elemen-elemen pendukung lainnya yang harus
dipertimbangkan dalam penyusunan strategi langkah ini berupa restrukturisasi
organisasi dan sumber daya manusia berbasis kompetensi yang berorientasi pada
pelayanan publik, terciptanya
mekanisme check and balances melalui civil society melalui penguatan asosiasi,
organisasi profesi, dan LSM, penggalangan kemitraan
antardaerah
dan swasta dalam penyediaan pelayanan publik,
peningkatan pengawasan dan koordinasi bertingkat dari pemerintah pusat
terhadap pemerintah provinsi, dan dari pemerintah provinsi terhadap pemerintah
kabupaten/kota. Selain itu harus ada
komitmen bersama multistakeholder agar desentralisasi bisa berjalan dengan
baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2005. Institutions Do Really
Matter: Lesson from Village Credit Institutions of Bali, Journal of Indonesia
Economy and Business, Vol 20, No 4, October, 2005, Faculty of Economics of
Gadjah Mada University, Indonesia.
Bird, R.M. and F. Vaillancourt, Eds. 1998. Fiscal
Decentralization in Developing Countries. Cambridge, Cambridge University
Press.
Erani, Y.A. (2006). Ekonomi Kelembagaan: Definisi,
Teori dan Strategi, Bayumedia Publishing.
Furobotn, E.G. and R. Richter .1998. Institutions
and Economics Theory, the Contribution of the New Institutional Economics.
Michigan, the University of Michigan Press.
Martine J. Vasquez; and R.M. McNab.1997. Fiscal
Decentralization, Economic Growth and Democratic Governance. Atlanta, School of
Political Studies, Georgia State University.
North, D.C. 1990. Institutions: Institutional Change
and Economic Performance. Cambridge, Press Syndicate of the University of
Cambridge
Jaya, W.K, Dick, H. 2001. The Latest Crisis of
Regional Autonomy in Historical Perspective, in Book Chapter ”Indonesia Today”
ISEAS, Singapore.
Jaya, W.K .2005. Dysfunctional Institutions in the
Case of Indonesia Regional Government Budget Process, Journal of Indonesia
Economy and Business, Vol 20, No 2, April 2005, Faculty of Economics of Gadjah
Mada University, Indonesia.
Prud'homme, R. 1995. "The Dangers of
Decentralisation. "The World Bank Research Observer 10(2): 201-220.
Rohdewohld.1995. Public
Administration in Indonesia, Melbourne, Montech Pty, Ltd.
Rondinelli, Dennis A. and Kenneth Ruddle.
1987. Urbanization and Rural Development: A Spatial Policy
for Equitable Growth. New York:
Praeger.
Shah, A. 1998. Balance
Accountability, and Responsiveness: Lesson about Decentralization.
Washington, World Bank.
Shah,
Anwar. 2006. Local Governance in
Developing Countries.
World Bank. 2002. World Development Report 2002: Building Institutions for Market.
New York: Oxford University Press
Komentar