Langsung ke konten utama

Desentralisasi : Hambatan yang dihadapi di Negara Berkembang, Khususnya di Indonesia



Pendahuluan
Desentralisasi bukan sekedar memindahkan sistem politik dan ekonomi yang lama dari pusat ke daerah, tetapi pemindahan tersebut harus pula disertai oleh perubahan kultural menuju arah yang lebih demokratis dan beradab. Melalui desentralisasi diharapkan akan meningkatkan peluang masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan yang terkait dengan masalah sosial, politik, ekonomi. Hal ini sangat mungkin, karena lokus pengambilan keputusan menjadi lebih dekat dengan masyarakat. Melalui proses ini maka desentralisasi diharapkan akan mampu meningkatkan penegakan hukum; meningkatkan efisiensi dan efektifitas pemerintah dan sekaligus meningkatkan daya tanggap, transparansi dan akuntabilitas pemerintah daerah.
Rondinelli dan Nellis (1986: 5) mendefinisikan desentralisasi dari perspektif administrasi sebagai Pengalihan tanggung jawab untuk perencanaan, manajemen, dan peningkatan serta alokasi sumber daya dari pemerintah pusat untuk unit bidang instansi pemerintah, unit bawahan atau tingkat pemerintahan, otoritas publik semi-otonom atau perusahaan, regional atau otoritas fungsional, atau organisasi nonpemerintah, atau sukarela. Desentralisasi juga dapat didefinisikan sebagai situasi di mana barang publik dan jasa yang bisa disediakan terutama melalui preferensi individu oleh mekanisme pasar. Sejumlah besar penyedia menawarkan warga lebih banyak pilihan yang  dapat dikemas untuk memenuhi kebutuhan berbagai kelompok pengguna. Dalam implementasi desentralisasi di negara negara berkembang, seringkali terhambat oleh beberapa faktor yang mempengaruhi secara signifikan, faktor apa sajakah yang harus diperhatikan dalam pengembangan desentralisasi di negara berkembang dan treatmen apa saja yang harus dilakukan untuk dapat meminimalisir hambatan desentralisasi? Paper ini membahas mengenai  hambatan desentralisasi dalam implementasinya di negara berkembang.
Desentralisasi dan Kendala yang Dihadapi di Negara Berkembang (Indonesia)
desentralisasi memiliki dampak nyata yang  memungkinkan organisasi lokal untuk menyediakan layanan dan infrastruktur lebih efektif, organisasi lokal publik dan swasta harus memiliki otoritas kuat untuk meningkatkan pendapatan dan untuk menghasilkan jumlah yang lebih besar dari pendapatan. Kondisi ini tidak sama karena dalam banyak negara unit administratif lokal memiliki kewenangan hukum untuk memberlakukan pajak, tetapi basis pajak sangat lemah atau ketergantungan pada subsidi pusat sehingga tertanam bahwa tidak ada usaha yang dibuat untuk otoritas tersebut. Kegiatan yang menghasilkan pendapatan daerah dapat mencakup spektrum yang luas, dari pengisian biaya pengguna jasa untuk membangun suatu perusahaan khusus ditujukan untuk menggalang dana untuk penyediaan layanan. Pajak properti dan real estate, biaya sekolah, porsi pendapatan yang berasal dari sumber daya alam (misalnya hasil hutan), dan laba yang diperoleh dari industri dimiliki dan dioperasikan oleh otoritas lokal adalah beberapa cara di mana organisasi lokal telah mampu menghasilkan pendapatan (Rondinelli dan Nellis, 1986).
Menurut beberapa literatur teori desentralisasi, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di negara berkembang termasuk Indonesia telah menggunakan tiga tipe teori desentralisasi yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Litvack dan Seddon, 1999 dan Shah, 1998). Desentralisasi politik didefinisikan sebagai mekanisme yang mana pemerintah pusat memberikan kekuasaannya kepada pemerintah daerah, yang sering disebut otonomi daerah. Desentralisasi administratif adalah penyerahan wewenang administratif dari pusat kepada pemerintah daerah. Ada tiga bentuk, yaitu dekonsentrasi, delegasi, dan devolusi. Dekonsentrasi adalah pemberian tanggung jawab pemerintah pusat untuk beberapa pelayanan kepada pemerintah daerahnya. Demikian pula delegasi dan devolusi berhubungan dengan perimbangan kepentingan pusat dan daerah. Desentralisasi fiskal merupakan penambahan tanggung jawab keuangan dan kemampuan pemerintah daerah. Selain itu, tujuan dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah menciptakan pemerintah daerah yang demokratis, transparan, meningkatkan kapasitas administrasi, dan lebih mandiri dan mampu di dalam pengelolaan fiskal.
Kebijakan desentralisasi di negara berkembang menyebabkan dampak negatif, yaitu memunculkan peluang dominasi kontrol elit lokal yang menghasilkan informasi yang tidak utuh  yang berpotensi  menimbulkan inefisiensi kelembagaan (institution inefficiency). Lemahnya pengawasan dan penegakan kelembagaan (lack of enforcement) merupakan hal yang krusial dalam hubungan pelaku desentralisasi dan otonomi daerah. Perubahan kelembagaan desentralisasi dan otonomi daerah telah mengakibatkan ketidakjelasan siapa yang menjadi pemberi kewenangan (principal) dan siapa yang diberi kewenangan atau yang mewakili (agent), sehingga terjadilah ketidakharmonisan kelembagaan  serta menciptakan kemacetan (bottleneck) bagi terselenggaranya tata kelola yang baik (Jaya, 2005). Kontribusi Pemikiran Ekonomi Kelembagaan Baru terhadap Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah di Indonesia Menurut nobelis ekonomi North (1990), kelembagaan adalah aturan-aturan formal (formal rules) dan aturan informal (informal rules) beserta aturan-aturan penegakannya (enforcerment rules). Sedangkan organisasi adalah sekelompok orang (players) yang mempunyai tujuan dan motif yang sama. Organisasi dan individu mencapai kepentingan mereka di dalam sebuah struktur kelembagaan berupa aturan-aturan formal (hukum, peraturan, kontrak, hukum konstitusional) dan aturan-aturan informal (etika, kepercayaan, dan norma-norma yang tidak tertulis lainnya). Organisasi kemudian memiliki aturan-aturan internal untuk menangani permasalahan personalia, anggaran, pengadaan dan prosedur pelaporan, yang membatasi perilaku anggota mereka. Dengan demikian, kelembagaan merupakan struktur insentif (pendorong) bagi perilaku organisasi dan individu. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia dari tahun 1974, 1999 dan tahun 2004 merupakan perubahan kelembagaan dan organisasi yang drastis (institutional change), karena telah mengubah regulasi (formal rules) dan organisasi, perilaku para pelaku dan pola-pola pertukaran kewenangan (exchange).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan program desentralisasi di negara berkembang (Rondinelli et al, 1987)antara lain sebagai berikut.
1. Faktor politik.
Penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan pelaksanaan desentralisasi kebijakan sangat tergantung pada faktor-faktor politik. Politik yang kuat komitmen dan dukungan harus datang dari para pemimpin nasional untuk perencanaan pemindahan, pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk agen lapangan dan tingkat administrasi, atau ke swasta sektor. Para pemimpin politik harus bersedia menerima partisipasi dalam perencanaan dan pengelolaan organisasi lokal yang berada di luar kontrol langsung dari pemerintah pusat atau politik yang dominan partai. Mendukung, dan komitmen untuk desentralisasi harus juga berasal dari instansi garis birokrasi pusat, dan pusat pejabat pemerintah harus bersedia untuk mentransfer fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh mereka untuk organisasi lokal. Desentralisasi biasanya membutuhkan kapasitas administratif dan teknis yang kuat dalam instansi pemerintah pusat dan kementerian untuk melaksanakan fungsi pembangunan nasional dan mendukung - dengan memadai perencanaan, pemrograman, logistik, personil dan sumber daya anggaran - Bidang mereka instansi dan tingkat pemerintahan yang lebih rendah dalam melakukan fungsi desentralisasi.
2. Faktor organisasi
Organisasi yang kondusif untuk desentralisasi meliputi alokasi sesuai perencanaan dan fungsi administratif antara tingkat pemerintah dan organisasi lokal dengan setiap fungsi sesuai dengan kemampuan pengambilan keputusan dari masing-masing tingkat organisasi. Desentralisasi memerlukan hukum, peraturan dan instruksi yang jelas. Garis hubungan antara tingkat pemerintahan yang berbeda dan administrasi, alokasi fungsi antar unit organisasi, peran dan tugas petugas di setiap tingkat, organisasi koperasi dan swasta, dan keterbatasan mereka serta kendala. Desentralisasi harus didukung oleh pengaturan hukum yang fleksibel, berdasarkan kriteria kinerja, fungsi realokasi sebagai sumber daya dan kemampuan lokal organisasi berubah seiring waktu. Jelas dan relatif perencanaan rumit dan prosedur manajemen untuk memunculkan partisipasi pemimpin lokal dan warga - dan untuk mendapatkan, kerjasama atau persetujuan dari penerima manfaat dalam formulasi, penilaian, organisasi, pelaksanaan dan evaluasi pelayanan program penyediaan - juga diperlukan.
3. Faktor perilaku stake holder
Kondisi Perilaku dan psikologis mendukung desentralisasi termasuk sikap yang tepat dan perilaku pejabat pemerintah pusat dan tingkat lebih rendah terhadap desentralisasi penyediaan jasa dan pemeliharaan, dan kemauan pada bagian mereka untuk berbagi kewenangan dengan warga dan menerima mereka partisipasi dalam pengambilan keputusan publik. Efektif berarti harus ditemukan untuk mengatasi perlawanan, atau mendapatkan kerja sama, dari elit lokal dan tokoh adat. Tingkat minimum kepercayaan dan hormat harus diciptakan antara organisasi lokal dan pemerintah pejabat, dan saling pengakuan bahwa setiap mampu melakukan fungsi tertentu dan berpartisipasi secara efektif dalam berbagai aspek pembiayaan dan manajemen. Kepemimpinan yang kuat harus dikembangkan dalam organisasi lokal dan perusahaan swasta yang akan memungkinkan mereka untuk secara efektif menangani daerah dan pusat pemerintah.
4.Faktor SDA dan finansial
Faktor sumber daya keuangan dan manusia yang dibutuhkan untuk desentralisasi termasuk pemberian kewenangan yang cukup untuk unit lokal organisasi administrasi atau pemerintah, koperasi dan swasta untuk mendapatkan sumber keuangan yang memadai untuk memperoleh peralatan, perlengkapan, personil dan fasilitas yang diperlukan dalam rangka memenuhi terdesentralisasi tanggung jawab. Pada akhirnya, keberhasilan desentralisasi kebijakan bergantung pada institusi kapasitas. Kapasitas kelembagaan masyarakat lokal dan organisasi swasta untuk membiayai dan mengelola pelayanan dan pemeliharaan, dan pemerintah pusat untuk memfasilitasi dan mendukung desentralisasi, harus diperkuat (Rondinelli, Leonard, Uphoff, 1986). Secara umum, kapasitas dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengantisipasi dan mempengaruhi perubahan, membuat keputusan, menarik dan menyerap sumber daya, dan mengelola sumber daya untuk mencapai tujuan.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk melaksanakan desentralisasi yang lebih baik. Konsep North (1990) kaitannya dengan kebijakan untuk memperbaiki  desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia yaitu terkait aturan informal, yang merupakan tradisi, norma, adat, agama, kebiasaan baik yang bersifat produktif maupun tidak produktif, belum kompatibel mendukung aturan formal. Budaya primordialisme, patron-klien, raja-raja kecil, pangreh praja, upeti, adalah budaya informal yang melekat (embededness) sebagai mindset perilaku pelaku desentralisasi menciptakan biaya tinggi. Selain itu, administrasi Indonesia telah dipengaruhi oleh konsep tradisional Jawa dalam kekuasaan dan hirarki, yang menekankan sentralisasi kekuasaan, perilaku patrimonial, primordialism, patron-client dan pembuatan keputusan top–down (Rohdewohld, 1995).
Hak kepemilikan (property rights) kewenangan belum jelas dalam kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Sistem kewenangan dibagi secara hirarkhi, yang mana kewenangan pusat adalah mengurusi moneter, perdagangan, agama, pertahanan dan militer, sedang kewenangan lainnya dibagi antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten dan kota berdasarkan akuntabilitas, efisiensi dan dampak eksternalitas. Ketidakjelasan terjadi baik secara vertikal maupun secara horizontal, menyebabkan ketidakjelasan hak kepemilikan pemerintah pusat, provinsi dan daerah, ketidakjelasan kontrak hubungan hak kepemilikan. Selain itu, masih terjadi ego sektoral dan multitafsir kepemilikan kewenangan kementerian dan kelembagaan di tingkat pusat, yang juga berakibat multitafsir kepemilikan kewenangan di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten dan kota. Selain itu ada ketidakjelasan pemilikan formal dengan informal seperti hak kepemilikan adat, tradisi seperti dalam kasus pertanahan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan. Apalagi ketidakjelasan pembagian kewenangan juga sebagai akibat keterlambatan kementerian dan lembaga di pemerintah pusat menyiapkan Norma Standar Prosedur dan Kriteria (NSPK) (Jaya, 2009).
Rasional yang terbatas (bounded rationality) dan perilaku yang oportunis (opportunistic behaviour) telah meningkatkan biaya transaksi ekonomi (transaction cost economics). Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah telah menggeser pola penyalahgunaan kekuasaan ”abuse of power” yaitu pola monopoli dan diskresi minus akuntabilitas oleh segelintir oknum di lembaga trias politika yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kontrak-kontrak hubungan transaksi antarpelaku desentralisasi belum lengkap (incomplete contract). Selain itu, transaksi-transaksi oportunis, informal, ilegal, baik yang dilakukan oleh oknum kepala daerah, dewan perwakilan daerah ataupun oknum lembaga penegak hukum semakin meningkat. Hal ini dikarenakan lemahnya transparansi informasi, akuntabilitas dan minimnya mekanisme kontrol (check and balances) dari masyarakat (civil society). Selain itu, konstruksi model mental (mental model) para pelaku desentralisasi dan otonomi daerah belum berubah. Perilaku birokrasi masih ingin dilayani (pangrehpraja) daripada ingin melayani masyarakat (pamongpraja). Selain itu, perubahan kelembagaan desentralisasi telah menghasilkan kelompok yang menang (winner) dan kelompok yang kalah (losser). Kelompok incumbent yang kalah akan mempertahankan status quo saat memimpin dengan cara melawan kembali (revenge). Tarik-menarik kekuatan dari kelompok yang kalah menyebabkan aturan main desentralisasi menjadi limbung, tidak jelas, sehingga menciptakan biaya transaksi ekonomi, apalagi ditambah dengan perilaku aji mumpung (moral hazards) daripara pelaku elit desentralisasi. Selain itu, perilaku elit daerah yang oportunis sering menempatkan sumberdaya manusia berdasarkan kelompok, keluarga, dan tim sukses pilkada yang tidak sesuai dengan keahlian dan kompetensinya.
Prespektif teori ekonomi mikro, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah belum memanfaatkan prinsip-prinsip ekonomi, seperti skala ekonomi, cakupan ekonomi, komplementaritas, dan eksternalitas jejaring matriks kelembagaan. Belanja publik dan belanja modal masih belum menunjukkan skala ekonomis (economic of scale). Atau dengan kata lain belanja rata-rata jangka panjang meningkat terus yang tidak diikuti dengan kenaikan output pelayanan publik (diseconomies of scale). Selain itu pemerintah daerah belum memanfaatkan kerjasama antardaerah dengan prinsip kerjasama biaya (economic of scope) dan prinsip saling melengkapi (complementarity) guna menciptakan pelayanan publik yang efisien dan akibat penanggulangan dampak eksternalitas negatif. Cara pandang (mindset) pelaku desentralisasi masih sangat terbatas dan dipengaruhi kebiasaan-kebiasaan masa lalu yang turun temurun. Selain itu, pergeseran pertanggungjawaban secara vertikal (vertical accountability) menuju pertanggungjawaban horizontal (horizontal accountability) dan kembali lagi ke pertanggungjawaban vertikal telah membuat ketidakjelasan hubungan principal-agent. Kerangka kelembagaan (institutions framework) dari kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak optimal membentuk struktur insentif untuk mendikte ketrampilan dan pengetahuan sumberdaya, maupun organisasi yang dianggap memiliki pertukaran hasil yang paling maksimum (maximum pay-off). Desain kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia kurang komplit, tidak ada pemilikan kewenangan yang jelas, kontrak kinerja, tidak ada sistem meritokrasi, serta tidak adanya sertifikasi jabatan fungsional bagi pelaku pengelola keuangan daerah, maka dapat dikatakan bahwa kerangka kelembagaan desentralisasi belum menghasilkan hasil atau outcomes yang maksimal. Lingkungan yang tidak kompetitif belum mendorong organisasi untuk melakukan investasi ketrampilan dan pengetahuan, dan belum membentuk persepsi merubah kelembagaan menjadi lebih efisien dan efektif.
Konklusi
Pemerintah dalam mengembangkan desentralisasi, membutuhkan pembiayaan dan pemeliharaan layanan dan infrastruktur lokal serta kerangka kerja yang terintegrasi untuk analisis kebijakan. Analis kebijakan juga harus memiliki  konsep dan metode yang terus diperbaharui dan disesuaikan dengan prioritas, SWOT daerah untuk merancang dan menerapkan kebijakan desentralisasi yang lebih efektif. Analis juga harus memahami karakteristik jasa, pengguna jasa dan aturan perilaku organisasi,  alternatif pembiayaan dan pengaturan organisasi serta faktor-faktor politik, ekonomi, administrasi dan keuangan yang mempengaruhi hasil kebijakan. Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah harus diubah, perlu memasukkan analisis kelembagaan dan tata kelola, pembuatan undang-undang, peraturan pemerintah. Perlu adanya perbaikan di level mikro yaitu tata kelola kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah (institutional governance). Perbaikan lainnya yang harus dilakukan pemerintah tingkat daerah untuk memuluskan capaian outcome desentralisasi yang baik  adalah perbaikan terkait kapasitas profesional antarbirokrat, sistem manajemen, dan infrastruktur, teknologi, sumberdaya menjadi signifikan untuk menentukan keberhasilan desentralisasi dan otonomi daerah. Elemen-elemen pendukung lainnya yang harus dipertimbangkan dalam penyusunan strategi langkah ini berupa restrukturisasi organisasi dan sumber daya manusia berbasis kompetensi yang berorientasi pada pelayanan publik, terciptanya mekanisme check and balances melalui civil society melalui penguatan asosiasi, organisasi profesi, dan LSM, penggalangan kemitraan antardaerah dan swasta dalam penyediaan pelayanan publik,  peningkatan pengawasan dan koordinasi bertingkat dari pemerintah pusat terhadap pemerintah provinsi, dan dari pemerintah provinsi terhadap pemerintah kabupaten/kota. Selain itu harus ada komitmen bersama multistakeholder agar desentralisasi bisa berjalan dengan baik. 




DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Lincolin. 2005. Institutions Do Really Matter: Lesson from Village Credit Institutions of Bali, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol 20, No 4, October, 2005, Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia.
Bird, R.M. and F. Vaillancourt, Eds. 1998. Fiscal Decentralization in Developing Countries. Cambridge, Cambridge University Press.
Erani, Y.A. (2006). Ekonomi Kelembagaan: Definisi, Teori dan Strategi, Bayumedia Publishing.
Furobotn, E.G. and R. Richter .1998. Institutions and Economics Theory, the Contribution of the New Institutional Economics. Michigan, the University of Michigan Press.
Martine J. Vasquez; and R.M. McNab.1997. Fiscal Decentralization, Economic Growth and Democratic Governance. Atlanta, School of Political Studies, Georgia State University.
North, D.C. 1990. Institutions: Institutional Change and Economic Performance. Cambridge, Press Syndicate of the University of Cambridge
Jaya, W.K, Dick, H. 2001. The Latest Crisis of Regional Autonomy in Historical Perspective, in Book Chapter ”Indonesia Today” ISEAS, Singapore.
Jaya, W.K .2005. Dysfunctional Institutions in the Case of Indonesia Regional Government Budget Process, Journal of Indonesia Economy and Business, Vol 20, No 2, April 2005, Faculty of Economics of Gadjah Mada University, Indonesia.
Prud'homme, R. 1995. "The Dangers of Decentralisation. "The World Bank Research Observer 10(2): 201-220.
Rohdewohld.1995. Public Administration in Indonesia, Melbourne, Montech Pty, Ltd.
Rondinelli, Dennis A. and Kenneth Ruddle. 1987. Urbanization and Rural Development: A Spatial Policy for Equitable Growth. New York: Praeger.
Shah, A. 1998. Balance Accountability, and Responsiveness: Lesson about Decentralization. Washington, World Bank.
Shah, Anwar. 2006. Local Governance in Developing Countries.
World Bank. 2002. World Development Report 2002: Building Institutions for Market. New York: Oxford University Press

Komentar

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par