Pendahuluan
Di
Indonesia, desentralisasi berarti tanggung jawab provinsi dan kabupaten
(kabupaten / kota) dalam perumusan dan implementasi berbagai layanan dan
program termasuk pengembangan usaha kecil. Pemerintah provinsi dan kabupaten
memiliki peran penting dalam koordinasi kegiatan promosi teknis dan keuangan
untuk UKM dan dalam penyediaan lingkungan bisnis serta iklim yang kondusif
untuk pengembangan UKM. Usaha mikro dan
UKM memiliki karakteristik yang sangat berbeda dan perlu dibedakan. Bab ini
mengacu pada klasifikasi Biro Pusat Statistik di Indonesia untuk menguak
perbedaan ini. Perusahaan mikro menawarkan pekerjaan 1:4 keluarga dan pekerja
dibayar dan memainkan peran utama dalam pengentasan kemiskinan dengan
menawarkan pekerjaan bagi mereka yang tidak memiliki akses ke pekerjaan yang
layak di tempat lain dalam perekonomian. Selama krisis ekonomi (krismon), usaha
mikro adalah penyedia lapangan kerja bagi mereka yang kehilangan pekerjaan di
sektor formal. UKM yang berbeda dan memiliki orientasi kuat terhadap
pertumbuhan dan partisipator dalam proses pembangunan ekonomi.
Usaha
Mikro dan UKM Dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia
Liedholm dan Mead
(1999) menganalisis transformasi mikro dan UKM di beberapa negara berkembang
selama dinamika ekonomi berlangsung.
Temuan mereka relevan ketika kita ingin menilai apa yang telah terjadi pada
sektor manufaktur di Indonesia sebelum dan sejak krisis. Temuan mereka di
negara-negara Afrika dan Amerika Latin menunjukkan bahwa ketika ekonomi mulai bangkit,
UKM menyerap banyak tenaga kerja. Pada saat yang sama, usaha mikro cenderung tutup
sementara dan mengalami hambatan untuk
memulai kembali. Secara umum, minat pekerja sangat sedikit untuk bekerja di
perusahaan mikro yang memiliki insentif rendah karena di tempat lain, lapangan
pekerjaan yang menjanjikan insentif yang tinggi. Sebaliknya, kekuatan yang
berlawanan muncul di sektor UKM selama krisis ekonomi. Dalam keadaan ini,
banyak UKM lebih stabil terkait penyediaan lapangan pekerjaan. Kurangnya
lapangan pekerjaan dalam perekonomian secara keseluruhan meningkatkan tekanan
pada orang-orang untuk memulai sendiri usaha mikro walaupun mungkin
menghasilkan pendapatan sangat rendah. Prediksi ini didasarkan pada data yang
tercatat oleh Sensus Ekonomi. Pada masa Orde Baru, telah terjadi perubahan
struktural dalam sektor manufaktur. Selama masa
emas ekonomi, usaha mikro menjadi kurang penting bagi penciptaan lapangan
kerja secara keseluruhan di sektor manufaktur, meskipun sektor mikro tetap sebagai
penyedia utama lapangan pekerjaan. UKM telah tumbuh secara substansial namun
peningkatan yang paling signifikan dicatat oleh sektor perusahaan besar. pada
tahun 1996 jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan
besar di atas 35 persen dari lapangan kerja manufaktur.
Banyak dari para
pekerja mendapat pekerjaan di perusahaan padat karya skala besar, seperti tekstil,
garmen, alas kaki, furniture dan elektronik. Survei Angkatan Kerja Nasional
dilakukan di antara sampel yang representatif dari rumah tangga Indonesia.
Salah satu pertanyaan yang diajukan yaitu terkait kekhawatiran status kerja
dari penduduk yang bekerja berusia lima belas tahun atau lebih. Hal ini
menunjukkan bahwa saat-saat sulit di Indonesia, perubahan yang sama memang
terjadi seperti yang dicatat oleh Liedholm dan Mead (1999) untuk berbagai
negara berkembang. Wirausaha menurun dengan cepat pasca 2001, ketika ekonomi
mulai bangkit lagi.
kategori
"pekerja lepas".
Statistik Perusahaan dikumpulkan
setiap tahunnya hanya untuk perusahaan dengan lebih dari dua puluh pekerja,
kumpulan data memberikan wawasan perusahaan besar dan menengah, tidak termasuk usaha mikro dan perusahaan
kecil. Lapangan pekerjaan di perusahaan menengah meningkat dengan pesat sekitar
199.672.000. Ada bukti bahwa spesifik perusahaan menengah belum berjalan dengan
baik selama krisis. Namun, fakta menunjukkan
bahwa sektor ini telah mampu menyerap tenaga kerja lebih banyak selama krisis. Hal
ini menunjukkan bahwa tren tenaga kerja di sektor menengah perusahaan Indonesia
selama krisis moneter yang agak berbeda dari yang dilaporkan oleh Liedholm dan
Mead (1999).
Penjelasan untuk tren ini
di Indonesia menurut Berry, Rodriguez
dan Sandee (2001), perusahaan kecil dan menengah berkembang cukup baik sejak
pertengahan 1980-an, meskipun mereka sering menghadapi diskriminasi yang besar,
terutama terhadap peluang dinikmati oleh perusahaan-perusahaan besar. UKM mampu
merespon lebih fleksibel terhadap fluktuasi ekonomi daripada perusahaan yang
lebih besar. Ada bukti bahwa banyak cluster UKM telah mampu merespon positif
terhadap krisis ekonomi. Sandee, Isdijoso dan Sulandjari (2002) menyajikan
temuan sepuluh cluster di Jawa Barat dan Jawa Tengah yang telah memperoleh
manfaat dari krisis. Sebagian besar contoh keprihatinan kelompok yang mampu
memperluas ekspor mereka secara substansial selama krisis. Kasus-kasus meliputi
keramik di Plered dan kerajinan rotan di Tegalrejo, keduanya berlokasi di Jawa
Barat, serta furnitur di Jepara dan pengecoran logam di Ceper (Jawa Tengah).
Kelompok
UKM
Sebagian besar usaha mikro
dan UKM di Indonesia tergabung dalam kelompok kelompok tertentu. Ada desa yang
mengkhususkan diri dalam pengolahan makanan dari gula kelapa, tahu, tempe, dan sebagainya.
Contoh lainnya yakni kelompok yang mengolah sumber daya lokal termasuk produksi
tikar bambu, atau genteng dan bata. Ada
juga kelompok produsen tidak mengolah sumber daya yang berasal dari lokal, tapi
sumber daya juga bisa "diimpor" ke cluster. Pedagang atau produsen
berskala besar dari daerah perkotaan menjalin kontrak dengan kelompok di daerah
pedesaan untuk menekan biaya upah yang lebih
rendah. Selain itu, ada juga kelompok manufaktur di daerah perkotaan
terkonsentrasi di lingkungan tertentu. Sebagai contoh, ada banyak pakaian dan
cluster mebel kayu di Jakarta. Kelompok ini mengalami pertumbuhan pesat pada
awal 1990-an karena beberapa faktor seperti struktur produksi yang fleksibel,
dan ekonomi aglomerasi yang disebut berasal dari berbagai bentuk kerjasama di
antara produsen. Akses ke satu set data yang lengkap tidak tersedia untuk
memperkirakan persentase UKM yang berlokasi di cluster. Departemen
Perindustrian dan Perdagangan menyediakan daftar kerja UKM di sentra industri. Kementerian mendefinisikan
sentra industri sebagai kelompok geografis setidaknya terhadap dua puluh
perusahaan yang sama. Data yang tersedia untuk provinsi Jawa Tengah pada tahun
1990 (Sandee 1995) menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen dari semua usaha
mikro dan usaha UKM berada di sentra industri. Clusterisasi ini terutama
penting bagi perusahaan-perusahaan kecil dalam industri tekstil pengolahan
makanan, dan pakaian, produk genteng dan ubin, dan pengecoran logam. Informasi
tambahan tersedia dari Kabupaten Klaten di Jawa Tengah. Kantor Kabupaten Klaten
pada tahun 1995 dikunjungi untuk diperdalam wawasan tentang pentingnya
clustering. Klaten adalah Kabupaten strategis terletak di sepanjang jalan utama
yang menghubungkan kota-kota besar Solo dan Yogyakarta.
Pekerjaan di sektor pertanian
tidak cukup untuk mengatasi meningkatnya demand lapangan pekerjaan. Akibatnya,
banyak pekerja beralih ke pekerjaan
non-pertanian di daerah marjinal dan kota-kota sekitarnya. Cluster cluster UKM menarik
pekerja karena produsen kecil memiliki peluang untuk sumber daya dan tujuan produksi mereka di pasar di
kota-kota besar Solo dan Yogyakarta. Pemerintah Indonesia telah mengakui
pentingnya cluster UKM di Indonesia selama bertahun-tahun. Tahun 1980-an,
Departemen Perindustrian terlibat dalam pelaksanaan program B / P / K berfokus
pada sentra industri. Program ini dilaksanakan secara nasional dan
berkonsentrasi pada pelatihan teknis bagi produsen kecil di cluster. Para
pekerja proyek yang bekerja ekstra (ekstensi), diberikan kursus pelatihan singkat
untuk cluster di provinsi. stimulasi inovasi memiliki prioritas tinggi dalam
strategi. Hal tersebut dipertimbangkan bahwa, tanpa inovasi proses dan produk,
sebagian besar produsen skala kecil tidak akan mampu bertahan dalam proses
transformasi struktural ekonomi Indonesia. Anggaran proyek yang terbatas mempunyai
konsekuensi terhadap tujuan terutama untuk mengidentifikasi sejumlah pelopor
atau agen perubahan dalam cluster yang akan memimpin dalam proses perubahan
(Sandee 1995, hlm 158-61).
Cluster UKM mendapat
perhatian dalam literatur tentang pembangunan ekonomi di awal 1990-an (Schmitz
1999). Terinspirasi oleh keberhasilan pengembangan kawasan industri di
negara-negara Barat, baik peneliti dan pembuat kebijakan yang tertarik untuk
menilai apakah usaha kecil yang
berkelompok bisa berkontribusi lebih banyak untuk pembangunan ekonomi daripada yang
tersebar, mengingat fakta bahwa cluster
yang penting di Indonesia, diskusi baru pada kelompok usaha kecil telah
menerima banyak perhatian di Indonesia (Tarnbunan 1999). Pemerintah Indonesia
telah melakukan revitalisasi dan modernisasi program BIPIK terkait UKM dalam beberapa tahun terakhir.
Program
Nasional untuk Pengembangan UKM
Di Indonesia,
kementerian dan departemen memiliki program mereka sendiri dan proyek-proyek
untuk pengembangan usaha kecil. Bahkan, inisiatif untuk pengembangan usaha
kecil banyak dilakukan di mana-mana. Di Indonesia, sektor usaha kecil diakui
sebagai kelompok ekonomi lemah yang membutuhkan perlindungan khusus dan layak.
Hal ini secara luas disepakati bahwa usaha kecil tidak mampu bersaing dengan
perusahaan yang lebih besar, oleh karena itu membutuhkan perlindungan. Usaha
kecil dianggap penting karena mereka menyediakan pekerjaan bagi masyarakat yang
tidak memiliki akses ke pekerjaan lain dalam perekonomian karena keterbatasan
pendidikan, keterampilan, dll. Wakil Presiden, Jusuf Kalla menyatakan bahwa
pemerintah harus memperhatikan rapuhnya perusahaan kecil dalam perekonomian Indonesia
dan harus melindungi perusahaan-perusahaan terhadap dampak negatif dari
globalisasi.
Di Indonesia,
pemerintah telah melakukan intervensi dalam hal kebijakan terkait usaha kecil.
Intervensi itu berupa subsidi kredit program pelatihan, (dalam keterampilan
teknis dan kewirausahaan), penyuluhan, input bersubsidi, penyediaan
infrastruktur, fasilitas umum, dan sebagainya. sebagian besar intervensi
berdampak kecil terhadap pengembangan usaha kecil. Sampai batas tertentu, ini
tidak mengejutkan, mengingat anggaran yang terbatas untuk sebagian besar
program yang dilaksanakan. Dalam prakteknya, bantuan langsung tersebut sering
menyangkut sesi pelatihan singkat dari satu atau dua hari untuk kelompok yang
dipilih produsen. Hal ini tidak mungkin bahwa intervensi tersebut akan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap produsen kecil dalam jangka panjang produksi
dan jaringan perdagangan.
Perhatian lebih
diberikan kepada peran sektor swasta. Oleh karena itu, pemerintah berkonsentrasi
sebagai fasilitator penyediaan dukungan swasta kepada perusahaan kecil. Bukti
terbaru menunjukkan bahwa penyediaan swasta belum sangat sukses karena dua
alasan. Pertama, perusahaan kecil ragu-ragu untuk membayar dukungan karena
mereka merasa sulit untuk memperkirakan apa manfaat yang didapat. Kedua, layanan
pengembangan bisnis swasta memberikan beberapa dukungan yang umum saja, seperti
pembukuan, kewirausahaan, dll Layanan ini tidak disesuaikan dengan kebutuhan
dan preferensi dari produsen kecil yang spesifik dan, akibatnya, tidak sangat
populer. Perhatian sekarang bergeser menuju pembentukan kemitraan publik-swasta
yang harus mengarah pada program yang lebih efektif untuk pengembangan usaha
kecil di Indonesia. Desentralisasi telah menawarkan ruang untuk provinsi dan
kabupaten untuk mendirikan program kemitraan publik-swasta tanpa harus menunggu
pedoman dan arahan dari Jakarta.
Desentralisasi,
Kemitraan swasta dan Pengembangan UKM
Inisiatif yang
dilaksanakan di kabupaten Sragen, Jawa
Tengah, didukung oleh bantuan teknis
dari Asian Development Bank (ADB TA 3829-INO 2004), Pemerintah daerah dan DPRD telah
memperkenalkan kebijakan baru untuk mendukung pembangunan ekonomi lokal khususnya
mengacu pada usaha kecil. Beberapa inisiatif utama adalah sebagai berikut:
a. Pemerintah daerah
telah memperkenalkan zona pengembangan bisnis khusus, di mana perusahaan
dibebaskan dari sejumlah lisensi. Pada Juli 2004, ada total dari 54 eksportir
dan 200 usaha kecil yang beroperasi di zona ini.
b. Pemerintah daerah
telah memperkenalkan fasilitas stop service, yaitu pelayanan yang memudahkan perusahaan kecil mengumpulkan
semua lisensi yang diperlukan untuk pelaksanaan bisnis , terutama yang
diperlukan untuk memenuhi persyaratan kredit bank yang sebelumnya diperlukan
beberapa bulan sementara sekarang dikurangi menjadi dua belas hari.
c. Penerbitan beberapa
dokumen resmi dan lisensi telah didelegasikan ke tingkat desa untuk menghindari
bepergian yang tidak perlu bagi warga dari luar kota Sragen
d. Sebuah program
khusus untuk mempercepat proses
sertifikasi
tanah diperkenalkan, yang telah menghasilkan peningkatan dalam pelayanan sertifikat tanah.
Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana pemerintah daerah Sragen telah
mendapatkan manfaat dari kebijakan desentralisasi yang ditawarkan kabupaten dalam rangka
merumuskan prioritas kebijakan sendiri. Selain itu terdapat kendala berupa hampir tidak
adanya
insentif untuk melaksanakan program. Pengembangan ekonomi lokal memiliki konsekuensi meningkatkan
pendapatan. Namun, pendapatan yang lebih tinggi sejauh ini tidak berdampak pada
kenaikan pendapatan pajak daerah karena sistem pajak masih terpusat, yang
menyiratkan bahwa pemerintah pusat masih memiliki kewenangan utama atas
pengumpulan pajak dan alokasi pengeluaran berikutnya.
Salah
satu masalah utama yang dihadapi yaitu pemerintah daerah sering tidak yakin
tentang bagaimana keuntungan dari desentralisasi. Banyak pemerintah daerah
tampaknya tidak memiliki kapasitas untuk menuai keuntungan dari kebijakan
desentralisasi yang memerlukan perumusan inisiatif inovatif dan kemampuan untuk
memikirkan biaya dan manfaat dari kebijakan baru. Dalam kasus Sragen, dukungan
teknis yang diberikan melalui Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank)
telah memicu perubahan. Kebijakan baru menekankan bahwa ada peran penting bagi
pemerintah daerah dengan memfasilitasi pengembangan usaha kecil daripada
melalui penyediaan dukungan langsung. Proyek ADB juga dilaksanakan di kabupaten
lain di Jawa Tengah, tetapi hasilnya mengecewakan. Dalam kasus tersebut, pihak
berwenang dan DPRD tidak yakin bahwa perubahan yang diusulkan akan bermanfaat
bagi pengembangan ekonomi lokal. Selain itu, perubahan yang diusulkan dianggap
tidak secara langsung bermanfaat bagi mereka yang berkuasa. Hal ini menjadi
salah satu isu kunci dalam menentukan potensi dampak dari kebijakan
desentralisasi. Menawarkan ruang bagi kabupaten untuk menangani pembangunan
daerah dan mengambil inisiatif baru merupakan sebuah alternatif. Namun, pada
akhirnya tergantung pada kemauan mereka yang berkuasa apakah perubahan
struktural akan dilakukan atau tidak.
Desentralisasi
bertujuan mencapai pelayanan publik lebih baik yang ditawarkan dan disesuaikan
dengan kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini, desentralisasi harus merangsang
keterlibatan masyarakat yang lebih besar. Akibatnya, akuntabilitas dan tata kelola
akan lebih baik karena keputusan yang diambil lebih dekat dengan pengawasan
dari masyarakat. Untuk mencapai hal ini, pengendalian dana untuk pembangunan
daerah ditransfer dari lembaga-lembaga pusat untuk terutama pemerintah
kabupaten. Hibah khusus dengan pamrih telah digantikan oleh hibah blok yang
memberikan otoritas lokal lebih banyak kemungkinan dalam cara menggunakannya
(Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Bappenas 2001).
Di
tingkat nasional, Kementerian Negara Koperasi dan Pengembangan Usaha Kecil
memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan kebijakan usaha kecil dan program.
Namun, proses desentralisasi telah mengakibatkan lingkup yang lebih bagi
pemerintah kabupaten untuk merumuskan dan melaksanakan usaha-usaha pembangunan
untuk UKM. Percontohan pengalaman di Sragen menunjukkan bahwa kabupaten yang gagal
difasilitasi untuk melakukan inisiatif baru dan, akibatnya, sebagian besar
melanjutkan dengan jenis yang sama dari kebijakan dan program yang berhasil di
masa lalu tetapi tidak ada keahlian dan kapasitas untuk mengatasi masalah
dengan cara lain .
Salah
satu strategi yang mungkin untuk mengatasi kurangnya keahlian di antara
lembaga-lembaga publik lokal di era desentralisasi adalah pembentukan
kemitraan. Secara khusus, kemitraan publik-swasta yang diusulkan sebagai alat
dalam apa yang disebut pembangunan partisipatif yang efektif dalam
menerjemahkan kebutuhan lokal menjadi lebih kebijakan lokal yang efektif. Mitra
swasta termasuk LSM, perguruan tinggi dengan minat yang kuat dalam pengembangan
UKM, asosiasi, kamar dagang dan industri, pengusaha dan perwakilan lainnya dari
sektor UKM. Secara umum, mitra swasta akan menyadari identifikasi peluang
pasar, kebutuhan pelatihan khusus, modal yang dibutuhkan, dll. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional mengakui bahwa akan ada perbedaan substansial
antara kabupaten dan provinsi yang memerlukan perumusan pedoman yang sangat
fleksibel untuk mendukung penguatan kemitraan publik-swasta.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional mempromosikan pembentukan forum di tingkat
kabupaten. Rencana didasarkan sebagian pada pengalaman di Sragen, Jawa Tengah.
Selain itu, usulan didasarkan pada pengalaman di berbagai negara di mana cluster
UKM telah memperoleh manfaat dari forum lokal yang aktif yang bekerja sama erat
dengan badan-badan pemerintah daerah. Sebagai contoh, di Sri Lanka, instansi
pemerintah daerah memiliki pertemuan mingguan dengan berbagai perwakilan dari
komunitas bisnis lokal untuk mendiskusikan berbagai isu. Akibatnya,
agro-industri pengolahan mampu mengekspresikan kebutuhan kredit tepat waktu
sekarang bahwa musim panen mendekati cepat. Selanjutnya, instansi pemerintah
meminta bank lokal untuk memberikan prioritas kepada petani dalam menangani
proposal pinjaman. Ada banyak contoh dari negara-negara lain di mana kemitraan
swasta publik telah bermanfaat bagi pengembangan UKM. Sebuah forum menyatukan
berbagai aktor publik dan swasta yang mengambil minat dalam pengembangan UKM.
Menyatukan aktor memungkinkan mereka untuk berbagi pengetahuan mereka tentang
lingkungan setempat. Selanjutnya, melalui pertemuan dan mempelajari proses
pembangunan konsensus perlu dimulai bahwa mengarah ke identifikasi isu-isu
utama yang akan diatasi to'foster pembangunan daerah UKM. Pemangku kepentingan
lokal mendukung lembaga pembangunan lokal dengan pelaksanaan rencana.
Puspasari
(2001) mempelajari pengalaman Indonesia baru-baru ini dalam memperkuat tata
kelola yang baik melalui kemitraan pemerintah-swasta dalam era desentralisasi.
Dia menjelaskan bahwa pembentukan forum lokal dan kemitraan sulit di lingkungan
yang masih didominasi oleh politik top down. Pengalaman merujuk pada sebuah
proyek percontohan di Jawa Barat yang ditujukan pada pembentukan forum di
tingkat kabupaten dan kecamatan. Penelitian Puspasari ini menunjukkan bahwa
publik-swasta forum belum berhasil di tingkat kabupaten, tetapi berfungsi baik
di tingkat kecamatan. Referensi pengalaman positif di Sragen sangat baik karena
dukungan teknis yang diberikan oleh NIDB. Namun, belum ada informasi rinci dari
Sragen untuk menunjukkan bagaimana proses tersebut bekerja secara spesifik terhadap
usaha kecil. Perkembangan terkini dalam sebuah cluster pengrajin genteng di
Jawa Tengah yang menunjukkan bahwa komunikasi yang efektif antara mitra publik
dan swasta tidak selalu mudah untuk dibangun.
Perluasan
lebih lanjut dari kota kabupaten mungkin memiliki dampak pada cluster pengrajin
keramik. Selain itu, ada kekhawatiran tentang adanya lubang tanah liat yang
mendalam di sekitar langsung dari kota kabupaten. Sampai akhir 1980-an, semua
150 produsen menggunakan teknologi tradisional. Bahkan, teknologi telah tetap
tidak berubah untuk jangka waktu lama. Sebagian besar perusahaan di cluster pengrajin
genteng digunakan terutama tenaga kerja keluarga. Proses ini dimulai dengan
menyiapkan tanah liat dengan cetakan sederhana yang digunakan untuk mencetak ubin.
Perubahan besar terjadi pada akhir 1980-an, ketika diperkenalkan teknologi baru
dengan memperkenalkan mixer tanah liat. Hal ini menghasilkan produk yang lebih
baik yang bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi pada konsumen. Secara
bertahap, selama sekitar tujuh tahun, semua produsen mengadopsi teknologi baru
ini. Paket teknologi baru diperlukan kolaborasi yang lebih di antara produsen
kecil. Mixer tanah liat dapat digunakan secara efisien hanya ketika beberapa
produsen berbagi biaya. Akibatnya, perubahan teknologi dalam cluster pengrajin
keramik telah memberikan kontribusi untuk penguatan hubungan antar-perusahaan. Perubahan
teknologi baru diperlukan koordinasi yang lebih dalam pengumpulan tanah liat
dan standardisasi produk. Selain itu, pekerja cluster menyerukan koordinasi
sehubungan dengan peningkatan upah dan standar perburuhan. Demikian juga,
produsen tidak bisa mendapatkan akses ke kredit formal ketika mereka diterapkan
secara individu. Investasi yang besar dibuat oleh produsen ketika mengadopsi
teknologi baru. Akibatnya, taruhannya tinggi dan kelompok dibentuk untuk
menekan pemerintah lokal.
Kelompok
cluster menjadi aktif sebelum era
desentralisasi. Di satu sisi, hal itu berfungsi sebagai kelompok yang setara bagi produsen lokal untuk berbagi
pengalaman, di sisi lain, menjadi kelompok penekan dalam diskursus dengan
perwakilan dari instansi pemerintah beserta LSM. Sebagian besar instansi
pemerintah terkait, seperti Departemen Perindustrian, tidak memiliki perwakilan
di tingkat sub-distrik. Demikian juga, sebagian besar LSM yang aktif di tingkat
kabupaten saja. Sejak tahun 1999, sebuah instansi pemerintah daerah (di tingkat
kabupaten) menerima kesempatan yang cukup untuk merumuskan program-program
mereka sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, posisi cluster pengrajin keramik
telah diperkuat secara substansial dan akses ke kredit telah membaik sementara
itu memiliki jaminan akses di tahun-tahun mendatang.
Konklusi
Pengembangan
UKM di Indonesia sejak krisis moneter memberikan fakta bahwa sektor UKM melewati masa penuh
gejolak, tapi ada banyak bukti bahwa banyak usaha kecil mampu tetap dinamis
selama krisis. Kebijakan Desentralisasi menawarkan kesempatan kepada pemerintah
daerah untuk merumuskan kebijakan dan strategi baru. Beberapa daerah, seperti
Sragen, telah memperoleh manfaat dari desentralisasi. Sebagian besar kabupaten
memiliki banyak ide bagaimana untuk beradaptasi dengan lingkungan kebijakan
baru, tapi kacau dalam implementasinya. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional,
telah berusaha untuk menawarkan bimbingan tetapi studi percontohan menunjukkan
hasil yang beragam. Kasus cluster pengrajin keramik di mana perubahan teknologi
telah mendorong pengusaha kecil untuk bekerja sama lebih erat dan juga
membentuk kelompok. Dalam era desentralisasi untuk menyuarakan keprihatinan
produsen atap, kelompok ini punya peranan penting. Keberadaan seperti kelompok
penekan sangat penting dalam merangsang pembuat kebijakan lokal untuk
memanfaatkan mandat baru yang diberikan kepada mereka dalam proses
desentralisasi. Untuk mengatasi kemelut yang dihadapi UKM, maka tidak lain
kebijakan yang mendorong langsung perkembangan UKM pada masa kini dan di masa
datang sangat diperlukan. Kebijakan langsung dimaksud bukan hanya dalam hal
penyediaan faktor-faktor produksi dan lingkungan bisnis yang sangat diperlukan
UKM, melainkan juga (bila diperlukan) kebijakan proteksi terhadap UKM tertentu.
Kebijakan proteksi ini jangan ditafsirkan bahwa kita harus segera menghentikan
komitmen kita terhadap semangat liberalisasi dan globalisasi yang telah kita
setujui, namun lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk menseleksi
kegiatan-kegiatan ekonomi yang masih harus dilindungi, terutama UKM yang baru
tumbuh
Referensi
:
Berry,
A., E. Rodriguez and H. Sandee. "Small and Medium Enterprise Dynamics in Indonesia".
Bulletin of Indonesian Economic Studies
37, no. 3 (2001): 363-84.
Liedholm,
C. and D.C. Mead. 1999. Small Enterprise
Development and Economic Development. London and New York: Routledge.
Puspasari,
L. 2001. Partnership for Local Economic
Development: Case Study of Indonesian Local Economic Development Pilot Projects.
Master's thesis. The Hague: Institute
of Social Studies.
Rice,
R. and I. Abdullah. 2000. A Comparison of
Small, Medium and Large Enterprises from 1986 to 1996 Mimeograph. Jakarta:
USAID.
Sandee,
H. 1995. Innovation and Adoption in Rural
Industry: Technological Change in Roof Tile Clusters in Central Java,
Indonesia. Ph.D. thesis.
Amsterdam: Vrije Universiteit.
Sandee,
H., B. Isdijoso and S. Sulandjari. 2002. SME
Clusters in Indonesia: An Analysis of Growth Dynamics and Employment Conditions.
Jakarta: International Labour Office.
Sandee,
H. and P. van Diermen. "Exports by Small and Medium-Sized Enterprises in
Indonesia". In Business in
Indonesia: New Challenges, Old Problems, edited by M.
Chatib
Basri and P. van der Eng. 2004. Indonesia
Update Series. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies
Tambunan,
T. 1999. The Performance of Small Enterprise during the Economic Crisis.
Jakarta : Mimeo.
Komentar