Langsung ke konten utama

Tinjauan Sistem Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi di Indonesia

written by Prof. Eko Prasojo, Reviewed By Indra Fibiona & Bayu Putra



Sistem pelayanan publik memiliki peran penting dan strategis dalam pengelolaan negara. Hal ini setidaknya didasarkan pada dua fakta: pertama, keberhasilan beberapa negara terletak pada upaya yang sistematis dan serius untuk mereformasi sistem pelayanan publik. Kedua, pegawai negeri publik merupakan faktor dinamis birokrasi yang berperan dalam pengelolaan pemerintah. Berdasarkan dua fakta, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa pegawai negeri adalah kunci keberhasilan dalam pelaksanaan proses tata kelola dan manajemen. Kualitas birokrasi negara sangat tergantung pada kualitas pelayanan publik.
Indonesia selama ini kurang memperhatikan pelaksanaan reformasi birokrasi. Hal ini terlihat dari program reformasi pelayanan publik yang agak tersendat. Setelah reformasi melalui UU No 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, tidak ada upaya nyata dari pemerintah untuk segera mereformasi sistem pelayanan publik. Seolah-olah reformasi PNS identik dengan perubahan renumerasi belaka, bukan merupakan upaya untuk meningkatkan kompetensi kerja dan profesionalisme
Selama orde baru, Birokrasi Indonesia, dengan layanan publik sebagai salah satu unsurnya, sangat dipengaruhi oleh kekuatan politik dalam korporatisme negara. Selama Era Reformasi, pilar birokrasi sangat rentan terhadap intervensi politik dan netralitas PNS serta kemerdekaannya sebagai pelaksana pemerintahan untuk lebih kritis terhambat, sehingga posisinya sangat dilematis. Pegawai percaya bahwa lebih baik memiliki hubungan dengan para penguasa karena terbukti bermanfaat untuk status, kelas, dan karir.
Akar masalah pelayanan publik di Indonesia dikelompokkan dalam dua faktor utama (Prasojo, 2007): (1) sistem internal pegawai negeri sendiri, (2) faktor eksternal yang mempengaruhi fungsi dan profesionalisme pegawai negeri publik. Situasi problematik berkaitan dengan sistem internal pegawai negeri, dapat dianalisis dengan memperhatikan unsur-unsur yang membentuk layanan publik, antara lain: (1) perekrutan, (2) penggajian dan reward, (3) pengukuran kinerja; (4) promosi status; (5) pemantauan. Kegagalan pemerintah untuk melaksanakan reformasi terkait dengan unsur-unsur yang akhirnya melahirkan birokrat dengan ciri memiliki moral bahaya, serta kurangnya kompetensi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
            Pilar reformasi pelayanan publik adalah penerbitan UU No 43/1999 untuk merevisi UU No.8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Reformasi pelayanan publik harus diatur dalam bentuk perubahan yang signifikan (evolusi meningkat) melalui serangkaian tindakan konseptual, sistematis dan berkelanjutan kegiatan pembaharuan melalui restrukturisasi, meninjau, pemesanan, memperbaiki, meningkatkan dan memperbarui sistem yang ada, kebijakan dan hukum mengenai layanan publik termasuk peningkatan moralitas dan karakter mereka sesuai dengan tuntutan kontemporer dan norma-norma yang berlaku, penguatan komitmen dan implementasi dari hukum negara.
            Selain revisi tata cara pelayanan publik, di era reformasi ada juga perubahan dalam penamaan institusi pelayanan publik dari BAKN (Badan Administrasi Kepegawaian Nasional) ke BKN (Badan Kepegawaian Nasional). Perubahan ini disebabkan oleh meningkatnya jumlah pegawai negeri publik (PNS) di Indonesia, yang tidak disertai dengan munculnya kompetensi yang memadai. Perubahan BAKN ke BKN bertujuan untuk meningkatkan peran pengorganisasian institusi pelayanan publik tidak hanya untuk mengumpulkan data administratif tetapi juga untuk mengembangkan kompetensi yang memadai dari pegawai negeri publik untuk menegakkan tugas pembangunan, untuk mendukung proses pengambilan pemerintahan dan untuk memberikan pelayanan publik.
            Dalam hal demokratisasi layanan publik, pasal 13 ayat (3) UU No 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian menetapkan pembentukan Komisi Layanan Publik Negara (Komisi Kepegawaian Negara). Namun hingga kini komisi itu belum didirikan. Namun demikian pemerintah Indonesia baru-baru ini diterbitkan grand design reformasi birokrasi melalui penerbitan Keputusan tidak Miniterial. 15/2008, yang juga berfungsi sebagai cetak biru reformasi hingga tahun 2025.

Sekilas Konteks Sosial Politik
            Konteks sosial politik sistem layanan publik di indonesia tidak dapat dipisahkan dari pengaruh kolonialisme Belanda sejak 1596 sampai dengan 1945. Sesuai dengan tujuan penjajah, Karakteristik utama layanan publik saat ini dipengaruhi budaya kolonial. Selain Eropa yang memegang kekuasaan birokrasi, terdapat kelompok pribumi kelas menengah yang juga tertarik untuk menjadi birokrat (Pangreh Praja).
Birokrasi Indonesia pasca kemerdekaan pada dasarnya dapat dikategorikan kedalam lima periode perkembangan sistem politik, yaitu 1945-1950 (awal kemerdekaan), 1950-1959 (periode demokrasi parlementer), 1959-1966 (periode demokrasi), 1966-1999 (periode orde baru) dan 1999 s/d sekarang (periode orde reformasi) (Thoha, 2003).

Status Sistem Layanan Publik Saat Ini
Sejak dikeluarkannya UU No. 43/1999 tetang Pokok-Pokok Kepegawaian telah mengubah paradigma sistem pelayanan publik di Indonesia, dari pendekatan personil menuju Pelayanan Publik yang didasarkan pada kompetensi dan pencapaian kerja. Konsep sistem personil tersebut diikuti ; (1) Kewenangan, aturan dan tanggung jawab dalam mengelola pemerintahan penyimpangan dari Presiden sebagai Kepala Pemerintah. (2) Perumusan kebijakan publik dalam bentuk norma, standar dan prosedur dibangun dan dilaksanakan oleh pemerintah (sistem terpadu); (3) Manajemen operasional di level daerah  dijalankan sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat (sistem desentralisasi); dan (4) Pemerintah pusat mengawasi dan mengontrol sistem pelayanan publik.

Perekrutan dan Seleksi Pegawai.
Pada umumnya perekrutan PNS dibagi dalam dua sistem : sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi. Dalam siststem sentralisasi, kebijakan perekrutan PNS yang meliputi aturan, standar, prosedur, komposisi materi tes dan standar kelulusan dikelola oleh TKK (Personel Work Team), yang terdiri dari BKN, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan institusi terkait di level pusat. Dalam sistem perekrutan desentralisasi, kebijakan dilakukan oleh level pusat (BKN), sementara lembaga didaerah hanya melakukan rekrutmen personil, yaitu penetapan standar kelulusan. Dalam penyusunan materi tes, lembaga daerah berkolaborasi dengan pihak akademi dan pihak universitas. Terdapat tiga materi tes yaitu (1) Tes Pengetahuan Umum, meliputi pengetahuan dan idiologi, plotik, ekonomi, sosial budaya, dan hukum; (2) Tes Skolastik, meliputi kemempuan verbal, kemampuan hitung dan kemampuan penalaran; (3) Tes Substantif, yang akan mengukur kemampuan peserta dengan kompetensi yang dibutuhkan.

Promosi dan Rotasi
Dalam hal yang berkaitan dengan kemajuan karir, baik promosi dan rotasi telah tegas diatur dalam ketentuan hukum . Peraturan yang berkait, misalnya pasal 12 ayat 22 dalam PP No. 43/1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, untuk memenuhi kewajiban dalam pemerintahan dan pembangunan nasional, negara membutuhkan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil.
Promosi juga disebut kenaikan posisi di sistem PNS di Indonesia, mempunyai perbedaan syarat tergantung pada masing-masing pekerjaan. Kenaikan posisi didasarkan pada sistem kenaikan pangkat reguler dan sistem kenaikan pangkat selektif.
·         Kenaikan Pangkat Reguler
Kenaikan Pangkat Reguler diberikan kepada PNS yang tidak menduduki jabatan struktural maupun jabatan fungsional. Kenaikan tersebut tidak pada posisi yang lebih tinggi dari atasan mereka. Kenaikan Pangkat Reguler diberikan setelah PNS setiap 4 tahun sekali, dan jabatan tertinggi mereka ditentukan oleh tingkat pendidikan.
·         Kenaikan Pangkat Selektif
Kenaikan Pangkat Selektif bagi PNS dalam posisi struktural, posisi fungsional atau posisi tertentu diangkat melalui keputusan presiden, diberikan dalam batas-batas hierarki posisi mereka, yang telah ditentukan sebelumnya untuk posisi yang relevan.
·         Pelatihan dan Pengembangan
Peraturan yang relevan dengan diklat adalah Peraturan Pemerintah (PP) No 101/2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Kerja bagi Karyawan Publik. Secara umum, ada dua jenis diklat PNS: prajab dan penataran. Untuk PNS, ada empat jenis diklat: (1) Prajab: diklat wajib bagi calon PNS sebelum mereka diangkat menjadi PNS, yang terdiri dari prajab Kelompok I, II, dan III, (2) diklat kepemimpinan wajib untuk PNS sebelum mereka menempati posisi Struktural di Eselon I, II, III dan IV, (3) pelatihan fungsional: diklat untuk jabatan fungsional, ditentukan oleh Lembaga Bimbingan jabatan Fungsional; dan (4) pelatihan teknis: diklat yang mengajarkan keterampilan dan / atau penguasaan pengetahuan teknis yang berkaitan langsung dengan melakukan tugas utama di lembaga-lembaga yang relevan.
·         Remunerasi
Sistem remunerasi PNS di Indonesia berdasarkan jenis pekerjaan dan tanggung jawab. Dalam pelaksanaannya, gaji pokok PNS berdasarkan pada posisi mereka dalam hirarki dan kepemilikan. Sistem gaji PNS dibagi menjadi: (1) sistem skala tunggal: sistem gaji di mana karyawan di posisi yang sama menerima jumlah yang sama dari gaji terlepas dari karakteristik pekerjaan dan tanggung jawab kerja. , (2) Sistem ganda skala: sistem gaji tidak hanya berdasarkan pada posisi, tetapi juga pada karakteristik kerja, prestasi kerja, dan tanggung jawab pekerjaan, dan (3) sistem skala gabungan: PNS dalam posisi yang sama menerima jumlah yang sama dari dasar gaji. Manfaat juga diberikan kepada PNS dengan tanggung jawab yang lebih besar dan yang memiliki tingkat yang lebih tinggi prestasi kerja.
·         Pemberhentian Karyawan
Salah satu fungsi penting  manajemen PNS, seperti yang dinyatakan dalam UU No 43/1999 adalah Pemberhentian Karyawan, secara khusus diatur dalam pasal 23 sampai 25. Pemberhentian atas kasus ini memiliki dua definisi: Pemberhentian dari posisi dalam pemerintahan dan pemberhentian sebagai PNS. Pemberhentian dari jabatan pemerintahan tidak berarti PHK, seorang PNS tidak berhenti bekerja untuk sebuah organisasi dan masih mempertahankan status PNS mereka. Dalam pemberhentian sebagai PNS, mereka kehilangan status PNS mereka. Ada beberapa jenis pemberhentian sebagai PNS:
a.      Pemberhentian sebagai PNS atas permintaan sendiri
b.      Pemberhentian PNS yang telah mencapai batas usia pensiun (BUP)
c.       Pemberhentian PNS karena penyederhanaan organisasi
d.      Pemberhentian PNS yang telah melakukan pelanggaran peraturan / tindakan kriminal / penipuan
e.      Pemberhentian PNS karena alasan fisik atau mental
f.        Pemberhentian karena meninggalkan tugas mereka
g.      Pemberhentian PNS yang meninggal atau telah hilang
h.      Pemberhentian PNS karena alasan lain

Institusi Pengelola Pelayanan Publik
Kebijakan manajemen pelayanan Publik diatur oleh presiden sebagai kepala pemerintah. Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 34/1999 menyatakan bahwa Badan Kepegawaian Nasional (BKN) didirikan dalam rangka menjamin kelancaran pelaksanaan kebijakan manajemen PNS. BKN adalah lembaga pemerintah non departemen di bawah Presiden. Dalam menjalankan tugasnya. BKN dikoordinasikan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan). Fungsi BKN adalah untuk mengelola sistem PNS, termasuk perencanaan, pengembangan kualitas sumber daya PNS dan administrasi kepegawaian, pengawasan dan pengendalian, menyebarkan dan mengelola informasi pelayanan publik, mendukung perumusan kebijakan di bidang kesejahteraan PNS, dan memberikan dukungan bimbingan teknis kepada personil, mengelola unit organisasi baik institusi pemerintah pusat maupun daerah. Untuk itu, BKN memainkan peran penting dalam administrasi dan manajemen PNS di Indonesia.


Reformasi Kepegawaian
Perubahan Struktur dan Budaya 
Penyempurnaan sebagaimana didefinisikan dalam UU No 43/1999 bertujuan untuk mengelola struktur pegawai negeri publik, profesionalisme dan netralitas aparatur negara, dan desentralisasi kewenangan personil, sementara tetap mempertahankan mobilitas dan peningkatan kesejahteraan PNS. Fakta menunjukkan bahwa reformasi sejauh ini belum menunjukkan hasil yang diinginkan. Masih ada banyak masalah pada setiap tingkat manajemen PNS, mulai dari perekrutan sampai pemberhentian. Perekrutan personil masih dipandang sebagai proyek tahunan, dan bukan bagian dari kebutuhan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan pemerintahan. Hal ini ditunjukkan dengan kurangnya analisis jabatan, berdasarkan persyaratan kerja yang ditentukan. Kondisi ini jelaskan oleh Naqib (2000), yang menyatakan bahwa faktor dominan di balik inefisiensi kinerja PNS adalah kebijakan rekruitmen personil di institusi pemerintah. Kebijakan ini tidak didasarkan pada perencanaan tenaga kerja tetapi lebih pada kepentingan politik dan kekuasaan (Herman, 2006). Situasi ini diperparah oleh korupsi, kolusi, dan nepotisme, di mana kemampuan pribadi dan keterampilan tidak diperhitungkan. Secara umum, sistem perekrutan PNS saat ini tidak berdasarkan prestasi kompetensi, tetapi hanya pada nepotisme.

Pembentukan Pengukuran Kinerja
Pemerintah telah dan sedang membuat beberapa reformasi dalam kaitannya dengan Sistem Layanan Publik, misalnya: penganggaran berbasis kinerja, di mana anggaran lembaga pemerintah harus didasarkan pada kinerja yang ditargetkan. Reformasi pada anggaran berbasis kinerja telah dinyatakan dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara. Menurut hukum, setiap lembaga di diwajibkan untuk mendirikan sebuah pengukuran kinerja selama alokasi anggaran mereka. Selain itu, setiap individu dalam institusi tersebut wajib memiliki kontrak kinerja individu.

Pengembangan Sistem Insentif Baru
Reformasi yang lain dalam sistem pelayanan publik diwujudkan melalui proyek percontohan untuk reformasi dalam kinerja manfaat. Proyek ini juga dilaksanakan di beberapa departemen lain dan lembaga pemerintah. Reformasi ini dimulai pada Departemen Keuangan pada tahun 2006, karena komitmen politik yang sangat tinggi dari Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan. Beberapa perubahan telah dilaksanakan, seperti penempatan personil berdasarkan kompetensi, membuka kantor baru untuk pelayanan publik, pemangkasan dari beberapa struktur internal yang tidak perlu, pengukuran kinerja dan penyediaan manfaat kinerja, dan karena itu reformasi remunerasi belum melahirkan hasil positif.

Pengembangan Pusat Penilaian dan Sistem Informasi Terpadu
Untuk memetakan profil kompetensi pegawai publik, proyek percontohan di Departemen Keuangan juga membangun pusat penilaian ditujukan sebagai dasar perencanaan, rotasi karir karyawan dan perbaikan. Pembentukan penilaian pusat pada dasarnya meliputi empat komponen utama, yaitu menyusun kamus kompetensi, yang terdiri dari rincian istilah kompetensi, kompetensi standar yang terdiri dari daftar kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pejabat untuk menduduki posisi tertentu, metode dan instrumen pengukuran kompetensi yang dibutuhkan dan profil kompetensi masing-masing PNS dan pejabat. Profil kompetensi adalah data berdasarkan dan digunakan sebagai dasar untuk departemen keuangan untuk merencanakan dan meningkatkan karir karyawan. Jenis lokakarya dan pelatihan yang harus diambil oleh karyawan dan pejabat didasarkan pada analisis kebutuhan kompetensi, melakukan melalui pusat penilaian.



Penawaran Terbuka untuk Promosi
Salah satu reformasi yang telah dilakukan sebagai proyek pengambilan sampel sejak 2006 di Departemen Keuangan adalah promosi resmi melalui penawaran terbuka. Proses pemenuhan posisi resmi melalui tender terbuka dilakukan dengan memberikan kesempatan terbuka untuk setiap PNS dan pejabat di Departemen Keuangan untuk mengikuti seleksi untuk posisi tertentu. Melalui sistem, kami berharap untuk memilih calon terbaik untuk memenuhi posisi yang kosong. Sistem tender terbuka memberi kesempatan terbuka bagi semua karyawan untuk diterapkan ke panitia seleksi untuk posisi yang kosong sendiri. Aspek-aspek yang dianggap memenuhi posisi kosong adalah kompetensi karyawan, prestasi karir, kinerja kerja, masa kerja, lokasi kerja, peringkat karir, catatan disiplin, dan persyaratan khusus yang diperlukan. Untuk menekankan tentang aspek tersebut, pemenuhan posisi kosong melalui tender terbuka tidak dilakukan di ruang tertutup, tidak seperti apa yang sering terjadi dalam pemenuhan posisi di Indonesia.

Reformasi Birokrasi di Tingkat Pemerintah Daerah
Sistem desentralisasi dilaksanakan pada tahun 2001, berdasarkan UU No 22/1999, di beberapa pemerintah daerah, dan sejak itu reformasi birokrasi juga telah berlangsung. Reformasi ini sangat tergantung pada setiap kepala pemerintah daerah. Daerah dengan para pemimpin berkomitmen tinggi biasanya mampu melaksanakan reformasi pelayanan publik dengan baik. Sebaliknya, daerah yang pemimpinnya tidak memiliki komitmen, dan secara ekonomi masih dalam hutang politik karena pemilu daerah, biasanya tidak dapat membuat perubahan. Perubahan parsial dan beberapa lokal dilaksanakan oleh sejumlah pemerintah daerah termasuk sistem rekrutmen yang lebih transparan, sebuah fit and proper test yang terbuka untuk penempatan personil, dan berbasis kinerja sistem remunerasi. Reformasi dalam pelayanan publik daerah memiliki sedikit kelemahan, misalnya, sangat tergantung pada komitmen kepala pemerintah daerah, dan memerlukan perubahan payung hukum di tingkat nasional. Beberapa reformasi di tingkat daerah bahkan sering melanggar aturan-aturan hukum pada tingkat nasional.

Tantangan dan Implikasi Kebijakan
Di tingkat perekrutan, masalahnya adalah kurangnya pola standar untuk rekrutmen karyawan karena masih sangat tergantung pada keputusan politik. Selain itu, persyaratan dan proses perekrutan tidak mencerminkan kompetensi karyawan yang sebenarnya adalah wajib. Oleh karena itu ada beberapa rekomendasi yang mengarah pada perubahan sistem perekrutan. Sebelum perekrutan, analisis harus dilakukan untuk setiap posisi dan pekerjaan di setiap sektor dan tingkat pemerintahan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui persyaratan kerja yang dibutuhkan dan harus dipenuhi oleh calon PNS. Persyaratan untuk posisi dan pekerjaan yang diuraikan dalam materi pemeriksaan yang mencerminkan kompetensi pelamar.
Arah lain dari reformasi adalah kebutuhan untuk secara akurat memperkirakan kondisi yang terjadi saat ini. Kondisi yang ada tidak hanya mencerminkan rasio jumlah pegawai terhadap penduduk (rasio beban kerja), tetapi juga kualifikasi yang dimiliki oleh karyawan. Kebutuhan pemetaan ini relevan dengan jumlah dan kompetensi dari pegawai negeri publik akan direkrut. Sebagai akibatnya, rekrutmen pegawai negeri bukan proyek tahunan belaka karena ketersediaan anggaran dan formasi bagi PNS di setiap sektor dan tingkat pemerintahan. Rekrutmen harus didasarkan pada penilaian kebutuhan yang dilakukan secara hati-hati. Ada juga masalah dalam sistem pendidikan dan pelatihan (diklat) pegawai. Meskipun telah dilakukan dengan hati-hati , pelaksanaan diklat masih menemui beberapa masalah:
1. Masalah otoritas
2. Masalah kualitas diklat
3. Masalah mempertahankan alumni diklat
4. Masalah Anggaran


Kesimpulan
Pola pikir birokrat sebagai pemegang otoritas bukan sebagai pegawai negeri telah menghambat reformasi untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Tak heran jika kompetensi birokrat tidak memadai, prosedur pelayanan publik masih panjang dan tidak adanya transparansi. Hal ini dikarenakan menyepelekan pentingnya reformasi pelayanan publik. Kita harus ingat bahwa reformasi pelayanan publik adalah agenda terpenting dalam reformasi birokrasi secara keseluruhan.
Reformasi Pegawai Negeri Sipil adalah bagian dari reformasi birokrasi yang menentukan keberhasilan kualitas birokrasi. Reformasi Pelayanan Publik dilakukan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1999 dan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan dalam kualitas pegawai negeri publik (PNS). Tidak mudah untuk mengambil langkah pada reformasi birokrasi, pada dasarnya untuk perubahan sistem harus disertai dengan perubahan pola pikir aparatur negara dan budaya yang belum didasarkan pada semangat untuk memberikan pelayanan publik yang baik. Secara obyektif, reformasi pada tingkat perekrutan, pendidikan dan pelatihan, promosi, remunerasi dan pemberhentian masih terhambat oleh otoritas yang lebih tinggi dan sebagian besar kepentingan politik kelompok tertentu dan individu. Ironisnya, reformasi pelayanan publik dipandang sesuai dengan perbaikan remunerasi saja buka merupakan upaya peningkatan profesionalisme pegawai. Jadi, perlu adanya tindakan berani dari pemerintah untuk menyisihkan kepentingan politiknya.

Komentar

sablon cup mengatakan…
mantap artikelnya, thank's.

www.kiostiket.com

Postingan populer dari blog ini

DARI TSSB HINGGA SDSB: SEJARAH “LOTERE LEGAL” SUMBANGAN BERHADIAH DI DIY, 1970AN HINGGA 1993

Indra Fibiona Balai Pelestarian Nilai Budaya Yogyakarta Jl. Brigjen Katamso 139 Yogyakarta 55152 e-mail : indrafibiona@yahoo.com ABSTRAK Fenomena maraknya lotere baik legal maupun ilegal di tahun 1970an menjadi stigma bahwa judi merupakan Tradisi masyarakat jawa. Lotere memiliki ekses negatif terhadap perekonomian termasuk perekonomian masyarakat di DIY. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif bertemakan sejarah sosial dengan metode penelitian snowball sampling dan triangulasi (kritik) dengan sumber primer mengenai peristiwa maraknya lotere pada waktu itu. Penelitian ini menjelaskan   tentang penyelenggaraan lotere TSSB hingga SDSB di Daerah Istimewa Yogyakarta dalam kerangka historis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa   dana dari daerah banyak tersedot ke Jakarta untuk setiap kali pengundian lotere . Keberadaan KSOB dan TSSB juga menyulut protes masyarakat karena dampak negatif yang ditimbulkan. TSSB dan KSOB mengalami metamorfosis menjadi SDSB di ta

Good Governance: Asal Usul, Perkembangan Konsep dan Kritik

 written by:  Indra Fibiona & Bayu Putra Pendahuluan administrasi publik mengalami perkembangan paradigma secara dinamis. Diawali dengan Old Public Administration, di mana terjadi dikotomi locus dan fokus, dan masih kental orientasinya dengan government. OPA pada perkembangannya bergeser menjadi paradigma baru, yaitu   New Public   Manajemen, New Public Services hingga Good Governance (Keban, 2008). Good Governance diterjemahkan sebagai tata pemerintahan yang baik merupakan tema umum kajian yang populer, baik di pemerintahan, civil society maupun di dunia swasta. Kepopulerannya adalah akibat semakin kompleksnya permasalahan, seolah menegaskan tidak adanya iklim pemerintahan yang baik. Good Governance dipromosikan oleh World Bank untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang sehat. Pemahaman pemerintah tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan y

Pengembangan Desa Wisata untuk Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Written by Indra Fibiona

Pendahuluan Desa Wisata merupakan suatu bentuk intergrasi antara atraksi akomodasi dan fasilitas pendukung yang tersaji dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku ( Nuryanti, 1993: 2-3) . Desa wisata juga dapat dimaknai sebagai s uatu kawasan pedesaan yang menawarkan keseluruhan suasana mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, keseharian, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan.             Di dalam pengembangan suatu desa menjadi desa wisata, disamping identifikasi terhadap unsur unsur yang ada di desa, penentuan desa wisata juga harus diimbangi dengan pemahaman karakteristik serta tatanan budaya masyarakat. Hal ini dimaksudkan agar dapat dimanfaatkan dalam pengembangan aspek perekonomian desa tersebut (dinas par